Share

KEHIDUPAN YANG KEJAM

     Hari ini sekolahku libur.  Yah, hari Sabtu dan Minggu memang jatah semua siswa untuk beristirahat, dan pilihan terbaikku adalah tidur di kamar.

    Aku tidak seperti gadis lain yang sebaya denganku yang akan mempersiapkan diri untuk kencan malam minggu. Semenjak memasuki masa remaja, aku belum pernah merasakan bagaimana berkencan di malam minggu. Bukan karena tidak ada yang mengajak, tetapi aku takut melakukannya. Dan jangan bilang aku bodoh, aku memiliki alasan untuk tidak melakukannya. Seperti yang terjadi hari ini di rumahku, menjadi salah satu alasan, kenapa aku tidak ingin melakukan kencan di malam minggu.

     “Dasar bodoh!”

     Suara teriakan ayah tiriku terdengar dari ruang tamu di lantai satu, yang jaraknya  cukup jauh dari kamarku, kemudian disambung dengan kata-kata kasar lainnya. Hampir setiap hari aku mendengarnya dan aku tahu ini akan berlangsung lama. 

    Suara itu bisa membuat pecah gendang telinga yang sudah aku tutup rapat-rapat dengan bantal. Aku ingin tidak mendengarnya, tapi tidak bisa. Ini rumahku dan laki-laki itu adalah pilihan ibuku. Aku tak bisa menolaknya selain menahan rasa sakit di telingaku terlebih di hatiku. Bagaimana mungkin aku bisa mempercayai laki-laki?

    Hatiku terasa remuk. Lambat- lambat aku bisa mendengar suara isakan ibuku. Isak tangis Ibu rasanya lebih menyakitkan ketimbang suara cacian dengan bariton yang keras itu. Mendengar isak tangis Ibu membuat hatiku semakin perih. Tanpa terasa air mataku mengalir di pipi membasahi bantal yang kupakai menutup telingaku. Aku tidak tahu harus melakukan apa.

                                                            ***

     Sudah pukul sembilan malam.

     Aku terbangun dari tidurku yang letih, lalu  mengintip dari balik pintu kamar. Sepertinya Ayah sudah tidur, atau pergi keluar? Aku tidak tahu. Aku tidak lagi mendengar suaranya.

    Setelah memastikan Ayah tidak ada, aku memberanikan diri untuk mencari Ibu di ruang bawah.  Aku melihatnya sedang membereskan sisa-sisa makan malam.

    “Ibu.”

     Aku menyapanya lembut setelah berdiri disampingnya sambil bergegas membantunya membersihkan meja makan.

     “Ah, Key. Kenapa baru keluar? Ibu pikir, kamu sudah tidur. Kenapa tidak ikut makan malam?” tanya Ibu sambil menoleh sekilas kearahku.

    “Aku ketiduran, Bu. Lalu terbangun karena lapar,” jawabku padahal aku malas makan bersama Ayah, jika dia sudah bertengkar dengan Ibuku.

    “Yah, bagaimana ini? Makanannya sudah habis,” kata ibu sambil berpikir, lalu melanjutkan perkataaanya, “Mau Ibu buatkan mie saja?”

    “Ah, nggak usah, Bu,” jawabku tersenyum. “Bagaimana kalau kita ke pasar malam saja, Bu. Ini kan malam minggu,  pasti banyak kuliner di sana. Ibu temani aku, ya,” pintaku sambil memeluknya setelah meja makan dan dapur bersih..

    Ibu mengangguk lalu tersenyum sambil mengacak- ngacak rambutku gemas.

    “Ya, sudah. Ayok,” katanya girang. Aku tahu, Ibu selalu berusaha girang di depanku, dia tidak mau memperlihatkan kesedihan dan masalahnya dengan Ayah.

    “Makanya kamu cari pacar untuk nemenin makan di pasar malam. Sudah SMA masih saja sendirian,” kata Ibu tertawa sambil menggandeng tanganku. Kami segera pergi ke pasar malam.

                                                                 ***

     Suasana di sini sangat ramai memenuhi stand-stand yang berjajar rapih di pinggiran jalan panjang. Aku dan Ibu menikmati perjalanan melihat-lihat setiap stand yang kami lewati sambil mencari tempat kuliner yang menarik, bersih dan enak.

   Malam ini aku hanya ingin menghibur Ibu. Bagaimanapun Ibu tetaplah seorang perempuan. Aku tahu bagaimana perasaannya setelah dua kali gagal dalam menjalin hubungan dengan pria. Pertama dengan Ayah kandungku yang brengsek itu, kemudian dengan Ayah tiriku yang lebih brengsek lagi.

    Mungkin hal itulah yang membuat aku menutup diri dari orang lain, menjadikan masa remajaku menjadi terlihat tidak normal. Aku trauma menjalin hubungan dengan pria, aku takut merasakan sakit yang Ibuku rasakan.  

    Tapi bukan berarti aku perempuan tidak normal, buktinya aku menyukai Andra, sama seperti teman-teman perempuanku yang mengidolakannya disekolah. Hanya Andra. Mungkin karena dia berbeda.

                                                                  ***

     “Neng, ini baksonya,” kata abang bakso mengagetkanku, menyodorkan semangkok bakso dengan kuah panas.

     Aku menyambutnya dengan perasaan senang. Ibu sudah memesan soto ayam tanpa sambal. Ibuku seorang mantan perawat sehingga dia sangat menunjung tinggi nilai kesehatan. Menurutnya sambal itu musuh terbesar penderita asam lambung, dan Ibuku menderita penyakit itu. Menjadi perawat adalah satu-satunya hal yang membuatnya bahagia sebagai seorang perempuan saat ini.

     “Jangan sering-sering makan bakso. Katanya mau jadi perawat,” kata Ibu disela-sela makan kami.

     “ Loh, bakso bisa menambah imun endrofin dalam tubuh kita loh, Bu. Dan bisa menyebabkan perasaan bahagia,” jawabku asal, Ibu hanya tertawa melihat tingkahku.

     “Kita harus selalu bahagia, Bu. Walau kehidupan ini kejam tapi kita harus selalu bahagia. Itu salah satu cara hidup sehat yang sangat murah, kan?” lanjutku menatap Ibu dengan dalam.

     Ibu hanya mengangguk dan tersenyum. Entahlah, apakah Ibu mendengar perkataanku, yang jelas, sepertinya Ibu lebih pintar dariku mengenai kesehatan. Dan aku seperti orang bodoh yang sedang memberi wejangan untuk diriku sendiri.

                                                             ***

     “Hey, Keisya? Kamu makan di sini?” Tiba-tiba terdengar suara yang sangat aku kenal.

     Aku menoleh ke arah suara bariton laki-laki yang menggema di sampingku, menatap netra hitam pekat itu. Aku terhenyak kaget tapi aku berusaha menutupinya dengan baik seperti biasanya.

     Dia Andra, sudah berdiri di sebelah mejaku. Matanya menatap ke sekitar, melihat kursi-kursi tempat makan sudah penuh. Hanya tinggal dua kursi kosong di meja tempat  aku dan Ibuku makan.

      Aku hanya diam tidak menjawab. Kebiasaan burukku tiba-tiba muncul. Gagal fokus jika berhadapan dengan Andra, apalagi di situasi seperti ini.

     Ada apa dengan malam minggu ini? Aku bisa bertemu dengannya ditempat seperti ini? Aku bingung harus bersikap seperti apa.

     “Boleh gue gabung di meja loe? Gue lapar banget, tapi kursinya penuh semua,” pinta Andra sopan memperlihatkan wajah memelas.

     Aku masih diam bergeming, menatap wajah laparnya yang terlihat sangat menarik di mataku.

     “Oh, boleh, Nak. Ayo gabung dengan kita. Ayo, duduk di sebelah Keisya.”

     Suara Ibu yang menyambut kehadiran Andra dengan baik membuat aku terkesiap. Aku merasa malu sendiri karena bengong.

     “Eh, ada Tante. Maaf, Tante,” jawab Andra dan tanpa persetujuan dariku Andra segera bergabung dan memesan ketoprak.

     Oh, Tuhan. Suasana seperti ini membuatku merasa seperti di kutub utara. Sangat dingin sehingga aku hanya diam membeku.

                                                               ***

     Selama kami makan, aku hanya diam dan sesekali tersenyum canggung ke arah Andra yang bisa dengan cepat  akrab dengan Ibuku. Mereka menikmati makanan dengan bercerita tak tentu arah. Sesekali Andra menertawakan kejadian-kejadian di sekolah yang menurutnya lucu, dan diceritakan kepada Ibuku.

     Aku memperhatikan keduanya. Tiba-tiba aku tersenyum samar, aku bisa melihat wajah Ibu yang bahagia mendengar cerita Andra tentang sekolah. Mungkin Ibu menginginkan aku seperti itu kepadanya, menceritakan kejadian-kejadian di sekolah yang menurutku menarik, tapi sayangnya aku tidak bisa memberikannya. Bagaimana mungkin aku menceritakan kehidupanku di sekolah yang tidak memiliki banyak teman seperti Andra.

                                                             ***

      Di tengah acara yang tidak terduga itu, Ibu mendadak pamit pulang. Tadinya aku ingin ikut tapi Ibu melarangku. Ibu mengatakan kalau dia bisa pulang sendiri karena jarak pasar malam dengan rumahku sangat dekat, bisa ditempuh dengan jalan kaki.

     Sepertinya caraku untuk menyenangkan Ibu berhasil, bukan karena bisa menikmati pasar malam yang diadakan setiap malam minggu, tetapi karena bertemu Andra dan berbincang-bincang dengan pria itu. Selain itu, Ibu bisa melihatku dekat dengan seorang teman, meskipun aku tak yakin, hal ini bisa dikatakan dekat atau tidak. Tapi yang jelas, aku melihat wajah senang dari Ibu malam ini.

                                                            ***

     “Rumahmu dekat sini?” tanya Andra dalam perjalanan mengitari pasar malam hanya untuk menghilangkan rasa canggung, setelah kami terdiam beberapa lama.

     “Iya. Sangat dekat, malah bisa jalan kaki,” jawabku sekilas menoleh kearahnya, lalu aku diam lagi.

     Jujur, aku seperti kehilangan akal. Ini pertama kalinya aku bersama dengan seorang pria di pasar malam. Aku hanya menundukan kepala selama berjalan berdampingan dengannya. Sumpah, suasana pasar malam yang meriah tidak bisa menghilangkan rasa gugupku.

     “Jangan takut pulang malam. Besok, kan hari Minggu. Lagipula Ibumu sudah mengijinkan,” kata Andra. Sepertinya dia tahu aku sedang gelisah, tetapi tidak tahu penyebab kenapa aku gelisah adalah karena memikirkan topik pembicaraan apa yang bisa aku mulai dengannya.

     “Kenapa bisa disini? Sendirian juga,” kataku. Akhirnya terlintas satu topik yang bisa kutanyakan pada Andra.

     “Ah, sebenarnya gue gak sendirian. Gue bareng Dimas, Dani, sama Angga,” katanya dengan wajah terlihat bete. “Tapi mereka tidak di sini, mereka ada di sirkuit balapan liar, tak jauh dari sini,” tambahnya lagi. Aku menganga mendengar jawaban Andra.

     “Apa? Balapan liar! Seram sekali,” jawabku bergidik.

     Andra tertawa melihat ekspresiku. Mungkin karena aku masih terlihat polos. Entahlah, polos atau malah terlihat bodoh, aku tidak peduli.

     “Jangan kaget begitu. Kami memang terkenal sebagai siswa nakal, kan? Paling berisik di kelas. Balapan liar hanya salah satu kegiatan kami untuk menunjang predikat kata anak nakal,” kata Andra sambil tertawa. Aku tidak tahu hal lucu apa yang dia tertawakan kali ini.

    “Kamu tidak nakal,” sergahku.

     Andra tiba-tiba menghentikan langkahnya mendengar perkataanku. Aku menatapnya, dia juga menatapku diam. Apa yang salah dari omonganku barusan? Benar, kan Andra tidak nakal? Dia siswa pintar, banyak guru yang mengatakan itu. Mungkin sudah banyak piala atau medali yang dia kumpulkan di kamarnya dari menjuarai berbagai pertandingan atau organisasi yang dia ikuti di sekolah.

     “Yang nakal itu Dani dan Angga. Dimas juga kadang- kadang nakal, walau lebih diam dari kalian,” lanjutku meyakinkan diri.

     “Hey, jangan membicarakan kawanku seperti itu,” kata Andra sambil tersenyum

     “Memang benar, kok. Dani selalu merayu perempuan cantik, Angga selalu diomeli guru karena ketahuan makan di kelas, Dimas juga terlihat gonta-ganti pacar,” kataku lagi sambil memanyunkan bibir bawahku.

     Ada apa denganku? Kenapa aku cerewet sekali hari ini? Hanya karena mendengar Andra menyebut dirinya nakal ? Kenapa jadi yang aku tidak terima?

    “Bukannya aku sama seperti Dani?” tanyanya melirik usil kepadaku.

    “Tidak” jawabku cepat.

    “Kau cantik,” katanya tiba-tiba sambil tersenyum kepadaku.

    Aku kaget dan malu. Kutundukan wajahku yang tiba-tiba terasa panas.

    “Aku tidak sedang merayumu? Kau cantik menurutku, tapi kenapa Dani tidak pernah menggodamu?” katanya lagi. Sangat pelan. Andra menunduk setelah mengatakan itu.

    Aku memberanikan diri meliriknya, tapi netra hitam pekat yang sering kulihat, kali ini tertunduk membuatku tidak bisa melihat jauh ke dalam. Aku tidak mengerti apa yang dia pikirkan sekarang.

    Lalu kami melanjutkan perjalanan dengan diam hingga malam melarut, kemudian Andra mengantarku pulang.

                                                                       ***

     Kami sudah sampai di depan rumahku. Sudah jam dua belas malam, ini adalah moment pertama aku merasakan udara malam sampai larut seperti ini.

    “Masuklah, aku tunggu kamu dari sini,” kata Andra.

     Aku mengangguk menatap dirinya yang sedang tersenyum. Aku ingin mengatakan sesuatu setiap kali melihatnya tersenyum, tapi kata-kata itu selalu tertahan di tenggorokanku. Jadi aku hanya diam.

     “Dan terima kasih karena malam ini kamu menemaniku lagi,” kata Andra lagi. Hey, lagi-lagi dia mengucapkan terima kasih yang ingin aku ucapkan sejak tadi.

     Tapi aku hanya mengangguk menanggapinya. Malam ini memang menjadi terasa sangat singkat. Terlalu singkat hingga rasanya hanya sekejap saja aku bersamanya. Aku ingin malam ini lebih panjang seperti lagu itu, malam minggu malam yang panjang.

    “Kamu harus bersyukur mempunyai Ibu yang hebat. Dia seorang perawat yang baik. Dia menyambutku ramah. Kalau saja aku punya Ibu perawat, pasti aku terawat dengan baik,” katanya lagi sambil tertawa.

     “Kau sudah sangat baik Andra,” sanggahku lagi. Dia hanya mengangguk dan membiarkanku masuk kedalam rumah.

     Oh, ya Tuhan. Lagi, dan lagi. Kehidupan yang kurasa sangat kejam tadi pagi terobati dengan malam ini. Dan  semoga hari-hari yang aku lewati nanti, menjadi indah  seperti malam ini selamanya.  Ya, selamanya

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status