Share

UCAPAN TERIMA KASIH

     Oh ya, sebelum aku lanjutkan ceritaku, perkenalkan, namaku Keisya. Aku adalah anak yang pendiam dan sulit bergaul sehingga aku  tidak memiliki teman. Aku menutup diri karena aku tidak ingin menceritakannya kalau sebenarnya, ketidakpercayaan diriku membuatku sangat kesulitan. Sudah hampir dua tahun duduk di bangku SMA dan sebentar lagi naik kelas tiga, tetapi aku masih tidak memiliki seorang teman.

     Aku sering dimarahi guru perihal nilai kalau sudah berurusan dengan kerja kelompok, bukan karena aku bodoh. Justru sebaliknya, aku bisa dikatakan anak cerdas. Banyak guru yang juga mengatakan hal itu, bahkan salah satu dari guru matematika di sekolahku pernah mengatakan

     “Keisya, kamu ini cerdas, nilai ulanganmu selalu paling tinggi di kelas, tetapi kenapa kamu tidak bisa beradaptasi dengan temanmu?”

     Dan aku menjawabnya hanya dengan menangis. Ya, nilaiku selalu rendah saat harus bekerja kelompok atau pada saat guru menyuruh aku maju ke depan kelas untuk menjelaskan suatu hal.  Aku tidak bisa,dan jika sudah tidak bisa, aku akan menangis.

     Teman-teman sering kesal dengan sikapku, mereka bilang aku “anak aneh”. Sudah berulang kali aku masuk ruang BK untuk konseling, tetapi tetap saja aku hanya bisa menangis. Lagi, jangan tanya aku, mengapa seperti itu, aku tidak ingin menceritakannya.

                                                                   ***

     Pagi ini kelasku disibukkan dengan tugas biologi yang untungnya adalah tugas individu, bukan tugas kelompok. Aku mengerjakannya dengan tenang tanpa peduli dengan teman-teman sebelah kanan dan kiriku. Ini tugas yang mudah, dan aku tidak harus mengerjakannya dengan yang lain. Tentu saja aku senang sekali.

     “Kau punya pulpen?”

     Seseorang bertanya Aku mendongak. Di dalam hati aku berkata, tumben ada yang mengajakku berbicara? Laki-laki itu berdiri disamping mejaku sambil memainkan pulpen yang sepertinya kehabisan tinta.

    Aku menatap manik matanya lalu menjawab dengan gelengan pelan. Bola mata itu berwarna hitam pekat, membuatku bisa melihat bayangan diriku sendiri dengan jelas.

     “Andra! Kenapa cari pulpen jauh-jauh? Nimaz punya stock banyak, tuh.”

     Seseorang berseru dan aku terperanjat karena asyiknya memandang mata itu. Seketika aku tergagap dan menunduk, mengembalikan pandanganku kearah buku catatan biologiku. Melanjutkan pekerjaanku.

     Yang disebutkan namanya segera menoleh kepada siswa yang duduk paling depan. Dia Dimas Adiputra sahabat Andra, ya Andradika Putra, pria yang aku kagumi dari jauh selama ini. Laki-laki yang kuceritakan dari tadi kepadamu.

     “Oh, oke,” jawabnya tersenyum kepada Dimas, lalu berkata kepadaku,

      “Makasih.” Aku terkesiap, berusaha mengangkat kepalaku, melihatnya menghampiri Nimaz yang duduk dibangku paling depan, di sebelah Dimas, hanya berbeda barisan.

     “Iya,” jawabku berbisik.

     Dasar bodoh! Mana mungkin terdengar? Kenapa tidak kau jawab saat dia didepanmu, Keisya? Huh! Bodoh. Aku merutuk dalam hati, lalu menghembuskan napasku pelan.

                                                                   ***

     Kriiinnggggg.

     Bel istirahat berbunyi. Biasanya, pada jam istirahat aku selalu pergi ke perpustakaan untuk membaca buku kesehatan, karena aku bercita-cita menjadi seorang perawat kesehatan. Entahlah, apakah anak yang jarang bicara sepertiku bisa atau tidak menjadi perawat, aku tidak tahu. Tetapi hanya untuk sekedar teori tentang kesehatan,aku sudah pasti memahaminya.

     Dan istirahat kali ini, aku memutuskan untuk ke kantin dengan terpaksa. Tadi pagi, aku buru-buru berangkat ke sekolah karena bangun kesiangan sehingga aku tidak sempat membawa bekal ke sekolah. Padahal,  aku selalu berusaha membawanya untuk menghindari keramaian di kantin.   

     Sialnya aku mendapat meja kantin yang letaknya berhadapan dengan meja Andra dan kawan-kawannya. Jadilah aku gagal fokus, antara menikmati makanan atau harus menikmati pemandangan depan meja makanku saat ini.

     “Kenapa tidak loe terima saja, bodoh? Amanda itu cantik, dia most wanted di sekolahnya.” Suara Dani mendominasi kebisingan di meja itu.

     “Dia terlalu cerewet. Kepala gue bisa pusing melulu. Mimisan gue bisa kambuh kalo gue jadian sama dia”  jawab Andra santai sambil meminun ice coffe latte kesukaannya.

     Aku tahu minuman itu kesukaannya karena diam-diam aku sering memergokinya membeli ice coffe latte di saat jam kosong.

     “Parah, loe. Terus mau loe apain gebetan-gebetan loe itu, Boss?”

     Kali ini giliran Dimas yang bersuara, Andra hanya diam sambil menggidikkan bahunya. Ini yang tidak aku suka dari seorang Andra. Dia terlalu banyak bermain-main dengan hati perempuan, dan aku sendiri tidak tahu siapa sebenarnya perempuan yang disukai Andra.

                                                                 ***

     Hari ini, saat pulang sekolah, mendadak hujan turun lebat sekali, untungnya aku selalu membawa payung di dalam tasku. Aku sengaja menunggu jemputan di depan sebuah toko alat musik yang berada di depan gedung sekolah, agar supirku bisa melihat dengan mudah. Aku mengasingkan diri dari siswa-siswi yang berlarian karena hujan dan menunggu jemputan di bawah payung sepertiku. Sebagian dari mereka berteduh bersenda gurau dengan teman-temannya. Terlihat sangat gembira dan asyik, sayang sekali aku tidak punya teman.

     Sudah hampir satu jam aku menunggu, tapi sopirku belum datang.  Hujan masih deras, meskipun begitu sebagian dari siswa-siswi sudah pulang. Gedung sekolah jadi terlihat sepi  dari tempat aku berteduh.

      “Hey! Boleh nebeng payung sampai depan halte sekolah sana?”

     Suara bariton pria yang sepertinya kukenal mengagetkanku. Aku menoleh. Ternyata Dimas sudah ada tepat di sampingku berdiri sambil memegangi tubuhnya yang kedinginan. Aku diam tidak menjawab. Aku bahkan menundukan wajahku, tidak berani melihatnya.

     “Hey! Loe dengar gue, kan? Bisa nebeng payung loe sampai sana? Teman gue nanti jemput gue,” tanya Dimas lagi sambil memandangku dan menunjuk halte bus depan sekolah. Aku tetap diam.

     “Dimas! Cepet! Hujan, nih!”

     Terdengar suara pria dari seberang jalan. Aku dan Dimas menoleh bersamaan ke arah pria yang basah kuyup di atas motor itu.

     “Gila, loe naik motor?” teriak Dimas kaget sambil melototkan matanya.

     Dimas menatap kepadaku lagi.

     “Ayo, aku antar ke sana,” kataku pelan. Dimas mengangguk sumringah mendengar tawaranku.

     “Kenapa minta diantar? Sama aja. Loe bakal basah kuyup juga. Kita, kan naik motor, kata Andra saat kami sampai dihadapannya.

     “Yah, loe. Kenapa bawa motor? Kenapa gak bawa mobil ?” jawab Dimas ketus tak peduli pertanyaan Andra.

     “Masih mending gue jemput loe.  Udah ditolong pake nawar. Cepet naik  atau gue tinggal,’ ancam Andra.

     Dimas segera naik ke atas motornya Andra tanpa melihatku, sedangkan aku hanya memperhatikan perdebatan kecil di antara dua orang sahabat ini.

     “Hey! Terima kasih!” kata Andra menatapku.

     Dia tersenyum kepadaku sebelum menstater motornya. Aku mengangguk, kemudian mereka pergi dari hadapanku.

     Hey, tunggu dulu, ada apa dengan hari ini? Dia sudah dua kali mengucapkan terima kasih kepadaku untuk hal yang menurutku tidak berarti apa-apa sama sekali untuknya.

     Yang pertama, tadi pagi dia berterima kasih padaku, padahal aku tidak bisa meminjamkan pulpen kepadanya. Menjawab balasan terima kasihnya pun tidak, dan sore ini, dia berterima kasih kepadaku, hanya karena aku mengantarkan sahabatnya yang tetap saja akan basah kuyup saat naik motornya.  Bodohnya lagi,  kenapa aku mengantarkan Dimas? Padahal, aku melihat Andra naik motor.

     Dasar, Keisya. Kau memang selalu melakukan hal bodoh jika berhubungan dengan Andra, rutukku pada diriku sendiri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status