Saat itu adalah masa dimana aku masih menjadi seorang remaja polos tanpa polesan bedak atau lipgloss di wajahku. Seragamku pun masih kelonggaran, rambut kukuncir kuda agar tidak mengganggu penglihatan mataku yang minus. Ya, saat itu mataku sudah minus tetapi aku tidak ingin memakai kaca mata. Jangan tanya apa sebabnya. Jawabannya sangat jelas. TIDAK PERCAYA DIRI. Aku merasa diriku semakin jelek jika harus memakai kacamata.
Pagi itu, aku memasuki kelas yang sudah terlihat sangat ramai, menaruh tasku di atas meja, kemudian meletakkan kepalaku di atas tas itu. Bel jam pertama sebentar lagi berbunyi tapi aku tidak peduli.
“Hmmm” gumamku pelan.
Rasanya sedikit kesal mengingat kejadian di koridor tadi. Siapa lagi kalau bukan sekelompok anak sok ganteng yang cuma bisa bersiul menggoda anak-anak perempuan yang berjalan didepan mereka. Menurutku, mereka seperti preman pasar yang biasa aku temui dii gang sekolah. Kenapa aku menyamakan mereka dengan preman-preman itu? Ya, karena mereka setiap pagi dan setiap istirahat hanya bisa duduk disepanjang koridor sekolah, membuat akses untuk siswa berjalan menjadi sempit, dan menggoda prempuan yang menurut mereka cantik.Belum lagi suara ledekan atau siulan mereka, bisa membuat semangat untuk belajar di pagi hari menurun drastis.
“Selamat pagi,” sapa Pak Toni guru olahraga memasuki kelasku.
Hey, apa ini? Aku bahkan tidak mendengar suara bel berbunyi. Aku ketiduran karena kesal dengan kejadian itu.
Lalu aku bangun dan kulihat teman-teman kelasku sudah memakai baju olahraga, hanya aku sendiri yang masih memakai seragam putih abu-abu.
“Keisya, kenapa belum mengganti pakaian? Kamu bangun tidur, ya?” tanya Pak Toni.
“Anu, Pak. Saya… .”
Jawabanku menggantung karena belum memikirkan alasan yang akan kukatakan.
“Sakit?” Tanya pak Toni lagi.
“Iya, Pak,” jawabku sambiltersenyumkikuk.
Aku melirik teman-teman sekelasku. Mereka melihatku dengan tatapan aneh, membuatku segera menundukan kepala. Tapi tunggu, ada satu siswa yang memberikan senyum mendengar alasan yang kuberikan kepada Pak Toni.
Iya, pria itu,. Dia tersenyum kepadaku.
***
Karena alasan sakit, Pak Toni memberikanku ijin untuk istirahat sehingga aku tidak mengikuti mata pelajaran olahraga pagi ini, tetapi aku tidak pergi ke UKS karena aku tidak sakit. Setelah mencuci muka di kamar mandi untuk menghilangkan rasa kantuk dan muka bantalku, kuputuskan untuk pergi ke lapangan melihat teman-teman kelasku melakukan praktek olahraga.
Aku duduk di bangku yang terbuat dari semen di ujung lapangan, memperhatikan siswa laki-laki bermain basket, dikelilingi oleh siswa perempuan duduk di pinggir lapangan jauh dari tempatku duduk. Sungguh, aku baru tahu kalau ternyata materi olahraga pagi ini adalah basket.
“Huh!”
Aku menghembuskan nafas dengan kasar. Suara anak-anak perempuan bertepuk tangan dan bersorak-sorak membuatku sedikit bosan. Apa sih, yang mereka ributkan?, pikirku sambil memperhatikan mereka. Yah, tentu saja aku tahu, mereka bersorak untuk laki-laki yang tersenyum padaku di kelas tadi.
Dan jujur saja, aku pun bertahan duduk di ujung lapangan ini karena ingin melihat dia juga. Melihat dia bermain basket seperti ini membuat perasaanku senang. Sayangnya, aku tidak memiliki keberanian seperti anak-anak perempuan lainnya yang duduk di depan sana, melihatnya dari dekat sambil meneriakkan namanya. Aku hanya berani seperti ini, duduk di barisan paling belakang sambil melihatnya dari jauh.
Biarlah. Biarkan saja seperti ini. Jika seperti ini saja bisa membuatku merasa senang, biarkan saja. Selamanya .
***
“Kenapa yah, Andra itu ganteng banget,”
Suara yang terdengar seperti berbisik mampu menembus gendang telingaku, aku menarik napas dalam-dalam mencoba menetralisir perasaanku yang mendadak kesal karena mendengar pembicaraan yang tidak seharusnya aku dengar di ruangan khusus membaca, alias perpustakaan.
“Tapi dengar-dengar Andra itu susah dapat pacar loh, kemarin ada adik kelas yang dia tolak,”
“Serius, siapa ?”
“Ayla, namanya Ayla, tapi anehnya dia nempel terus sama Andra dan genk nya itu.”
“Bahasa loe gak enak di dengar, genk-genk, genk apa.”
Bruuk
Aku tidak sengaja menjatuhkan buku-buku yang sedang aku pilih pada rak-rak buku, dua siswa perempuan yang sejak tadi membicarakan Andra menoleh padaku dan menatapku tidak suka, aku paham maksud tatapan itu, tanpa banyak bicara aku segera merapihkan buku-buku yang terjatuh dan menatanya kembali pada rak-rak buku itu, merasa tempat itu sudah rapih aku segera menyingkir dari mereka.
Yah, di sekolahku ada siswa laki-laki yang sangat di sukai oleh banyak penghuni sekolah, dia Andradika Putra.
Andra anak laki-laki yang sejak tadi aku ceritakan pada kalian, anak laki-laki yang tadi pagi memberikan senyuman padaku, anak laki-laki yang membuatku bertahan duduk di pinggir lapangan hanya untuk melihatnya bermain basket.
Andra anak laki-laki yang selalu membuatku merasa senang walaupun hanya sekedar melihatnya dari jarak jauh, menatapnya dengan cara bersembunyi di balik tembok. Aku akan memperkenalkannya pada kalian, agar kalian juga tahu bagaimana dia bisa membuat banyak orang jatuh cinta kepadanya.
Hari ini aku menunggu seseorang sejak tadi. Dia berjanji menemuiku jam tiga sore sepulang kerja tapi sudah hampir jam empat, wajahnya belum juga terlihat. Padahal aku terburu-buru datang ke sini masih menggunakan seragam perawat hanya untuk bertemu dengannya hari ini.Aku baru sadar, kalau temanku yang tadi berjanji menemuiku selalu terlambat dari waktu yang ditentukan.Toko buku ini terlihat sangat ramai, Aku menyusuri rak buku berisi novel remaja. Berbagai macam judul buku berjejer rapi di sana. Meskipun minat baca di Negara ini tidak terlalu besar, akan tetapi penulis-penulis masih saja optimis menuliskan dan menerbitkan buku-buku mereka. Di rak paling atas, buku yang kutulis. Tanganku bergerak, cover sampul berwarna hitam dengan gambar setangkai bunga mawar merah mewakili isi hatiku yang tertuang dalam buku ini. Aku tersenyum sendiri.Sayang sekali dia belum sempat membaca buku itu. Suara seorang laki-laki yang kutunggu dari tadi mengejutkanku. Aku menoleh ke belakang, dia ters
Aku memandang sepasang seragam basket yang tergantung di kamarku. Seragam basket warna merah hadiah Dian untuk Andra.Saat itu, setelah Dimas berkunjung ke rumah sakit, dia mengajakku menemani Dian, adiknya ke salah satu mall untuk membeli seragam ini seperti yang dijanjikannya ke pada Andra."Kak Dimas! Kak Kei! Coba lihat yang itu dan yang itu, bagus gak?", tanya Dian menunjuk dua kaus yang tergantung, saat kami berada di mall yang dia inginkan."Yang mana, Dian?" tanyaku."Itu, Kak. Yang merah dan yang kuning", sahut Kei."Bagus. Bagus banget", sahut Dimas"Aku beli itu saja", kata Dian lalu meminta pelayan di mall itu mengambil bajunya, kemudian membawanya ke kasir. Dian terlihat gembira, tak ada raut wajah keberatan ketika kasir menunjukkan harga yang harus dibayar. Aku dan Dimas menunggunya di belakang, membiarkannya menikmati kegembiraan atas usaha yang dia lakukan. Setelah itu, kami bertiga langsung pulang, karena rencananya Dian dan Dimas akan mengantarkan hadiah itu kepada
"Ibuku bilang dia merindukanmu. Cepat sembuh dan segeralah mengunjunginya."Aku mengetikkan kata-kata itu di handphoneku lalu mengirimkannya kepada Andra. Malam minggu ini, aku bersama Ibu menikmati pasar malam seperti malam yang lalu. Kami duduk di food court tempat aku dan Ibu bertemu Andra pertama kali. Aku tersenyum mengenangnya. Tring.Handphoneku berbunyi, ada notifikasi masuk. Aku segera membukanya."Bilang pada Ibu aku sangat merindukannya. Bisakah Ibu datang mengunjungiku?"Aku tersenyum membaca chat singkat itu. Aku melihat jam tanganku sudah pukul sembilan malam tapi Andra belum tidur. Tapi benar juga, Ibu belum tahu keadaan Andra karena aku belum menceritakannya. Ibu pasti sangat merindukannya."Sudah malam, kamu belum tidur?""Ah, sate ini enak sekali. Kapan-kapan kita harus kesini lagi bersama Andra. Dia juga harus coba agar tubuhnya gemuk. Bilang sama Andra badannya kekurusan sekarang", kata Ibu sambil menikmati makanannya. aku tidak menghiraukan karena aku masih menu
"Aku sudah memiliki harapan di hidupku." Andra menatapku sambil tersenyum samar di bawah sinar terik matahari yang kekuningan. "Aku ingin tidak pernah pergi dari hidup kalian", katanya lagi."Kalau nanti kamu udah jadi perawat, Dimas jadi seorang dosen, Dani jadi pemain basket professional, Angga jadi pebisnis hebat, Dian jadi pelukis professional. Aku ingin tetap ada di hidup kalian".Ucapan Andra bukan seperti harapan untuk dirinya melainkan sebuah harapan untuk kami nanti di kemudian hari."Terus, kamu mau jadi apa nanti kalau kita udah dewasa?" tanyaku menatap matanya yang jernih. "Kan gak semua orang bisa merasakan masa tua dan dewasa", jawabnya sambil menatap langit yang semakin jingga. Sebentar lagi matahari akan tenggelam di ujung barat sana. "Kok, kamu ngomong gitu?", tanyaku, "Kita akan dewasa bareng-bareng, kan? Kuliah bareng, terus jadi apa yang kita mau ketika dewasa nanti", lanjutku."Kan, gak semua harus bareng-bareng". Andra memotong pembicaraanku, "Katanya kamu m
Semenjak kejadian itu, hubunganku dengan Andra semakin baik. Kami menjadi dekat. Dia selalu mengajakku bergabung dengan kawan-kawannya, aku juga menjadi akrab dengan Ayla dan Alsha, adik kelas yang dekat dengan Andra dan kawan-kawannya. Dimas juga menyambutku dengan baik, terlebih lagi dia mengetahui perasaanku kepada Andra sejak awal. Dia seperti seorang wing man walau pun hubunganku dengan Andra tidak lebih dari seorang teman. Dia tidak pernah mengatakan kalau dia mencintaiku. Dia hanya ingin menyembuhkan kesepianku karena aku memberikan dunia yang tidak pernah dimilikinya. Semua itu tidak masalah bagiku karena hanya begini saja aku sudah bahagia, paling tidak aku benar-benar merasakan dunia yang pernah hilang, atau aku sudah berhasil memiliki dunia baru yang normal? Keberadaan Andra dalam kehidupanku benar-benar menyembuhkanku. ***"Besok akhir pekan, aku ingin mengunjungi Ibumu." Andra menyamakan langkahny
"Kenapa bisa telat begini, sih? Loe habis ngapain semalam? Begadang? Udah kaya hansip loe." Baru saja aku memasuki kelas setelah dari perpustakaan, aku mendengar suara Dimas mengomeli Andra karena terlambat ke sekolah. Dia mendapat hukuman berdiri dilapangan sampai jam istirahat berakhir. Selama aku mengenal Andra, baru kali ini aku melihat dia terlambat datang ke sekolah. "Duh, bisa kagak mulut loe gak usah bawel gitu. Lama-lama loe mirip Dani. Nyebelin", jawab Andra mengaduh sambil memijit pelipisnya sepertinya dia pusing. Dua jam berdiri di lapangan bisa membuat badannya lemas, lebih lemas dari bermain basket dua babak final. "Kenapa nama gue dibawa-bawa?", seru Dani yang sedang asyik menyalin tugas Angga. "Gue begini karena gue peduli sama loe Andra", jawab Dimas sinis. Dimas atau Andra tidak menggubris sahutan Dani. "Kacang mahal!", seru Dani lagi merasa diacuhkan oleh kedua sahabatnya itu, sambil mencibir dan melanjutkan tugasnya. "Kacang gak mahal, Dan. Lima ribu bi