“Yess, gue tahu Pak Toni pasti nunjuk gue untuk mimpin pertandingan kali ini.”
Suara itu menggema riang membuat suasana kelas menjadi sangat hidup. Andra terlihat bahagia bisa menjadi kapten tim basket sekolah kami dalam pertandingan antar sekolah di tingkat wilayah Jakarta Utara.
Sebenarnya Andra adalah kapten dari tim basket di sekolah ketika kami duduk di kelas satu SMA tahun lalu. Tetapi entah mengapa di kelas dua, dia mengundurkan diri, walau masih aktif latihan. Dan seingatku, dia menjuarai banyak pertandingan saat itu, baik tingkat nasional atau pertandingan antar sekolah biasa.
“Ya! Dan jangan lupa di SMA Cakrawala pasti banyak cewek-cewek bohay dan cantik, kita bisa dapet cem-cem’an baru, guys.”
Kali ini suara Dani tidak kalah heboh. Sahabat Andra yang satu itu memang mata keranjang, tidak bisa melihat perempuan cantik sedikit saja.
“Bahasa loe, Dan. Cem-ceman. Muka pas-pasan kaya loe, jangan ngarep. Ha Ha Ha,” sahut Angga sahabat Andra yang gendut sambil memakan ayam goreng.
“Kampret loe,” sergah Dani tidak terima sambil melemparkan pulpen ke arah Angga, dan tepat mengenai kening Angga.
“Kurang ajar loe,” teriak Angga sambil mengusap keningnya yang memerah.
Tidak seperti biasanya, hanya Dimas yang diam, tidak menyahut perbincangan yang terjadi di antara sahabatnya. Andra memperhatikan itu semua sejak tadi.
“Kenapa loe banyak ngelamun hari ini? Belom sarapan?” tanya Andra
“Kalau ujung-ujungnya loe ikut pertandingan ini, untuk apa loe undur diri jadi kapten basket waktu itu?” tanya Dimas menatap Andra yang duduk di atas meja yang ada di depannya.
“Kenapa? Loe gak setuju gue ikut pertandingan ini?” tanya Andra perlahan sambil tersenyum lembut.
“Gue khawatir,” jawab Dimas menggelengkan kepala.
“Apa yang loe khawatirin?” tanya Dani bingung, tidak paham arah pembicaraan Dimas.
“Jelas, gue khawatir loe bikin Andra jadi mata keranjang macam loe, Dan,” kata Dimas kepada Dani.
“Setan loe,” jawab Dani sambil menjambak rambut Dimas.
Angga? Dia masih sibuk memakan ayam gorengnya sambil melihat tingkah Dimas dan Dani. Seketika Andra tertawa karena ulah sahabat-sahabatnya itu.
Kejadian dan suasana seperti ini hampir setiap hari terjadi di kelas. Kelakuan mereka sering mendominasi keadaan kelas, tetapi murid-murid tidak merasa terganggu. Justru, terkadang beberapa dari murid lain ikut bergabung untuk ikut mengobrol dengan genk Andra.
***
Perpustakaan sekolah yang terletak di lantai dua, bukan hanya sebagai tempat para siswa membaca atau belajar, tapi juga dikenal sebagai tempat mengobrol yang asyik dan strategis. Jangan harap mendapatkan keheningan dan ketenangan di sana. Walaupun ada tulisan berisi instruksi yang melarang siswa untuk mengobrol ditempel besar-besar di dinding, bisikan-bisikan kecil kadang masih terdengar jelas ditelinga.
Seperti siang ini, di jam istirahat kedua, ketika aku pergi ke perpustakaan untuk membaca buku kesehatan yang baru disumbangkan oleh dinas pendidikan, aku mendengar dua anak perempuan bergosip tentang Andra, alih-alih membaca buku.
“Gue heran deh, sama kak Andra. Dia itu makan garam beryodium merk apaan, sih? Bisa-bisanya hebat dalam banyak hal. Bikin gue makin jatuh cinta,” kata Alsha anak kelas satu IPA 1 sambil menutup sebagian wajahnya dengan buku,
“Gila, loe. Apa hubungannya garam beryodium sama anak yang emang terlahir udah pinter macam dia?” sahut Ayla, temannya yang sibuk membaca buku kesehatan. Sepertinya dia punya minat yang sama denganku.
“Kenapa sih loe, Ay. Sensi banget kalau gue bahas kak Andra?” sambung Alsha memanyunkan bibirnya.
“Ya, loe calon anak kesehatan gak tahu manfaat yodium itu buat penderita gondok. Bukan ngefek sama tingkat IQ seseorang.”
“Ah, loe aja sotoy. Loe sensi, kan karena kak Andra pernah nolak loe,” cerca Alsha sambil melirik temannya yang masih fokus dengan buku ditangannya.
“Hah? Sensi? Untuk apa? Loe tau cowok yang loe idola-idolakan itu sakit. S-A-K-I-T,” jawab Ayla menatap Alsha tajam.
“Loe serius kak Andra sakit ?” kata Alsha menatap Ayla panik.
“Ya! Sakit ini!” jawab Alya sambil menunjukkan sampul di tangannya
“Kampret loe! Masa Kak Andra yang ganteng sakit skyzo?” teriak Alsha.
Ayla tertawa melihat seisi perpustakaan melihat Alsha.
Yah, begitulah memang keadaannya. Yang aku tahu banyak anak perempuan di sekolah kami yang menyukai Andradika Putra. Mereka selalu memuji Andra seperti seorang bintang; sering menjuarai pertandingan basket, sibuk di organisasi sekolah, dan menjadi siswa berperstasi dengan nilai terbaik di angkatannya.
Jangankan siswa, guru-guru pun banyak yang memuji kehebatannya. Tapi siswa perempuan yang nekat menyatakan cinta lalu ditolak, tidak jarang mencela dan mejelekan dia. Mereka menganggap Andra hanya cowok bajingan yang dengan mudah dekat dan menyakiti hati seorang perempuan.
Buatku, dia memang seperti bintang yang bersinar. Aku yakin banyak yang menatapnya diam-diam, bersembunyi dibalik dinding, menundukkan mata saat berhadapan dengannya. Aku yakin bukan hanya aku, orang yang berada dalam posisi seperti ini.
“Loe lihat? Gue berhasil dapat medali emas di pertandingan kemarin. Gue masih kompeten bermain basket.” Andra dan Dimas berjalan di koridor sekolah. Tangan kanan Andra merangkul pundak Dimas dan tangan kirinya menyanggah tas ransel dipundaknya “Terserah loe. Semerdeka loe aja, dah,” jawab Dimas memanyunkan bibirnya mendengar celoteh Andra tentang kemenangannya di pertandingan basket melawan SMA Cakrawala kemarin. “Kenapa sih loe gak happy gitu dengarnya ?” kata Andra melirik Dimas dengan sinis. Dimas menghentikan langkahnya lalu menatap Andra yang juga ikut menghentikan langkahnya. “Andra! Gimana? Loe dapat nomer cewek-cewek cantik SMA Cakrawala, nggak?” teriak Dani dari ujung koridor sambil berjalan mendekat, mengagetkan Andra dan Dimas.
Hari ini sekolahku libur. Yah, hari Sabtu dan Minggu memang jatah semua siswa untuk beristirahat, dan pilihan terbaikku adalah tidur di kamar. Aku tidak seperti gadis lain yang sebaya denganku yang akan mempersiapkan diri untuk kencan malam minggu. Semenjak memasuki masa remaja, aku belum pernah merasakan bagaimana berkencan di malam minggu. Bukan karena tidak ada yang mengajak, tetapi aku takut melakukannya. Dan jangan bilang aku bodoh, aku memiliki alasan untuk tidak melakukannya. Seperti yang terjadi hari ini di rumahku, menjadi salah satu alasan, kenapa aku tidak ingin melakukan kencan di malam minggu. “Dasar bodoh!” Suara teriakan ayah tiriku terdengar dari ruang tamu di lantai satu, yang jaraknya cukup jauh dari kamarku, kemudian disambung dengan kata-kata kasar lainnya. Hampir setiap hari aku mendengarnya dan aku tahu ini akan berlangsung lama.&
Pagi ini, aku tiba di sekolah agak pagi. Kelas sudah ramai dengan berbagai macam kegiatan anak-anak. Ada yang ngobrol di sudut kelas, ada yang mempersiapkan diri untuk pelajaran olahraga. Andra memasuki ruang kelas dengan wajah kuyu dan mengantuk. “Hey, semalam loe kemana aja? Kenapa gak balik ke arena?” Suara Angga menggema setelah Andra menaruh tas sekolahnya di atas meja. “Lupa kalo lagi tanding,” kata Andra tersenyum sekilas. Angga hanya mengangguk sambil mengupas kuacinya yang diletakkan di atas meja milik Dani. “Semalem ada yang kesel gara-gara loe gak balik,” kata Dani melirik Andra sekilas dengan wajah bantalnya. Sepertinya mereka kurang tidur karena semalam. “Kenapa?” Andra menaikan alisnya menatap Dani “Tahu, dah. Udah kaya perempuan aje temen loe,
“Keisya, cepat turun. Anak-anak kelas masih nunggu loe di kantin.” Itu sudah ketiga kalinya Keanu memanggilku ke dalam kelas. Aku masih duduk di bangku ku, di pojok kelas sendirian. Ini aneh, tidak biasanya mereka begitu cerewet kepadaku, aku masih memikirkan ada apa dengan hari ini. Aku belum selesai dengan lamunanku yang tak berujung, ketika Ara datang menghampiriku dengan riang. Dia menarik pergelangan tanganku dan bodohnya, aku hanya diam mengikuti langkah Ara. “Ayo, cepat. Dimas sama yang lain nungguin loe dari tadi,” kata Ara menarikku dengan tidak sabar ke kantin. Satu minggu ini sekolah kami menyelenggarakan classmeeting, beberapa pertandingan kecil antara adik kelas melawan kakak kelas diadakan. Aku mendapat kabar Andra dan kawan-kawannya memenangkan pertandingan basket, itu berarti kelasku s
Kejadian semalam membuatku sekujur tubuhku terasa kaku bahkan untuk sekedar bangun dari tempat tidur. Rasanya ingin sekali bolos sekolah, rasanya sangat berat bertemu Andra di kelas. Dia pasti bertanya-tanya apa yang terjadi saat dia mengantarku pulang semalam. Lagipula aku masih sangat mengantuk, aku tidak bisa tidur semalaman. Suara tangisan Ibu terus saja terdengar di telingaku membuatku sulit terpejam. Tapi jika aku melewatkan hari ini tanpa sekolah, Ayah pasti akan semakin marah. Bukan. Bukan omelan Ayah yang kutakutkan, tapi jika aku terus di rumah justru akan membuatku semakin sedih melihat kesedihan Ibu atau melihat kemarahan Ayah terus-menerus. Jadi, kuputuskan untuk pergi sekolah meskipun kakiku sangat berat untuk turun dari tempat tidurku. &
Waktu terus berlalu, semua berjalan seperti biasa. Aku bangun di pagi hari lalu berangkat ke sekolah, duduk sendirian di kursiku atau meletakkan kepala di atas mejaku lalu tidur menunggu jam berikutnya. Tak ada yang berarti. Aku sudah terbiasa menjalani kehidupanku sebagai siswa tak kasat mata atau siswa yang terabaikan di lingkungan sekolah dan sudah sejak SMP aku memiliki kehidupan di rumah yang tidak menyenangkan. Semua seolah terlihat biasa saja, tapi sebenarnya tidak seperti itu. Pembicaraanku dengan Andra di taman sekolah membuat hatiku gelisah. Aku tak pernah memiliki perasaan segelisah ini. Apakah seperti ini rasanya menyakiti hati seseorang yang diam-diam kita sukai? Sakit, seperti menyakiti diri kita sendiri. Andra memenuhi permintaanku untuk tidak menemui Ibu lagi walaupun Ibu sering kali bertanya tentang Andra kepadaku. Menanyakan mengapa Andra tak pernah lagi datang ke rumah. Aku berharap, Ibu akan terbiasa.Meskipun aku merasa Andra benar. Kedatangan Andra menemui Ibu
Aku berjalan perlahan-lahan di jalanan yang sudah mulai sepi, langit berwarna jingga sedikit mendung. Sebentar lagi rumahku akan terlihat tapi aku masih saja meniman-nimang diary yang dikembalikan Dimas kepadaku ketika akan pulang tadi. Aku memang sudah jatuh cinta kepada Andra sejak kami duduk di kelas satu. Meski pun pada waktu itu, kami tidak sekelas, kepopuleran sejak menjadi siswa baru membuatku dengan mudah mengenalnya. Hanya aku yang mengenalnya, dia belum mengenalku. Aku sering mendengar teman-teman perempuan bergosip tentangnya, berbagai macam gosip, mulai dari gosip Andra suka mempermainkan perasaan perempuan hingga gosip sekelompok anak-anak perempuan lainnya memuji-muji dirinya. Sejak mendengar semua itu aku mulai memperhatikan Andra diam-diam. Saat dia berjalan dihadapanku atau ketika aku melihat dia berjalan bersama kawan-kawannya sambil bersenda gurau, dunia seperti berhenti berputar. Aku menyukai wajahnya yang sendu, matanya begitu bening, dan gayanya yang santai. T
Malam ini mataku sulit terpejam. Pelukan Andra yang begitu erat masih terasa sakit. Aku mengaguminya sejak lama, harusnya pelukan itu meninggalkan jejak bahagia di hatiku, tapi kenapa ini justru menyakitkan seperti sebuah rintihan? Cengkeraman tangannya di tubuhku seolah mengajakku untuk ikut merasakan sakitnya.Aku membuka diaryku lagi, menulis kembali tentang dia, tetapi kali ini aku tidak akan menulis tentang kekagumanku. Aku ingin menuliskan sebuah harapan yang akan selalu kuselipkan dalam doaku sebelum tidur, aku ingin ...Dia tetap hidup.Hidup sebagai bintang yang tetap berpijar. Tetaplah hidup,Andra.Teruslah hidup dan selamanya akan selalu hidup.Aku teringat kembali cerita Dimas tentang keputusasaan Andra dan harapan orang-orang yang mencintai dia darinya. Kisah yang membuat hatiku semakin terasa sakit dan berharap ada yang bisa aku lakukan untuk Andra saat ini.Aku menuliskan cerita itu di lembaran diaryku, mengabadikannya sehingga aku akan selalu bisa mengulangnya lagi jik