Teti membawa Kartika ke sebuah hotel berbintang bersama dengan dua orang bodyguard Mami Sania. Donny dan Wahyu bertubuh tinggi besar dengan wajah yang garang. Wajah Wahyu memiliki bekas sayatan dari pelipis hingga ke pipi sebelah kanan, sehingga keliatan tambah seram. Kartika hanya mampu terisak sedih, hatinya benar-benar sakit. Hanya demi hutang, Ibu kandungnya dengan tega menjualnya.
"Nggak usah nangis, kamu mau disiksa sama Mami Sania?!" hardik Wahyu sambil menyetir mobil. Teti langsung menyambar tissue dan merapikan make up Kartika yang tampak belepotan karena air mata.
"Mending diem deh, eike nggak tanggung jawab ya, kalau sampai tamu nggak puas trus ngadu sama Mami," kata Teti.
"Tolong lepasin saya, saya nggak tau kalau Ibu saya udah jual saya. Saya masih mau sekolah."
"Kamu pikir, Mami Sania mau lepasin kamu begitu aja? Kalau kamu mau bebas, kembaliin dulu uang yang sudah diberikan Mami Sania sebesar 50 juta plus dana untuk baju dan sepatu yang kamu pakai, juga make up dan tenaga saya itu pake uang!" bentak Teti.
Kartika hanya bisa diam dan pasrah. Ia sudah tak sanggup lagi untuk menangis. Sampai akhirnya mereka tiba di lobby Hotel Savoy Homan, Hotel yang cukup terkenal di kota Bandung. Hanya pejabat, orang penting dan orang-orang kaya yang biasa menginap di hotel yang terletak di jantung kota Bandung ini. Wahyu dan Teti langsung menuju ke resepsionis dan menanyakan tamu atas nama Bapak Abidin. Sementara, Donny menjaga Kartika supaya tidak bisa lari kemana-mana.
Resepsionis pun segera menelepon ke kamar terlebih dahulu setelah itu baru memberitahu nomor kamar kepada Teti dan Wahyu. Setelah itu, mereka langsung membawa Kartika ke kamar Abidin.
Abidin ternyata adalah seorang pengusaha yang cukup kaya di kota Bandung. Dia sudah biasa untuk memesan wanita-wanita cantik yang masih perawan tentunya kepada Mami Sania. Dan, saat ia melihat Kartika senyuman langsung mengembang di wajahnya. Teti langsung mendorong tubuh Kartika perlahan untuk masuk ke kamar bersama Abidin, sementara ia dan Wahyu kembali turun ke lobby untuk menunggu Kartika di sana. Tentu saja setelah menerima amplop dari Abidin sebagai pembayaran Kartika.
Kartika hanya bisa menunduk ketakutan saat Abidin menggandeng tangannya untuk masuk.
"Ayo, sini duduk jangan takut. Siapa nama kamu, anak cantik?" tanya Abidin.
"Ka-Kartika, pak."
"Duh, jangan panggil bapak dong. Panggil saja akang atau mas, gitu. Memangnya, saya udah kelihatan tua banget?"
Kartika menggelengkan kepalanya. Abidin mengambil sekaleng minuman dari minibar dan, dengan senyuman licik ia membubuhkan sesuatu ke dalam minuman tersebut. Ia tau bahwa Kartika tentu masih perawan. Belum pernah tersentuh oleh lelaki manapun. Karena itu, Abidin memberikan sedikit obat untuk membuat Kartika sedikit liar saat melayaninya.
"Ini,ayo diminum dulu. Ini hanya minuman ringan kok, bukan alkohol," kata Abidin. Kartika yang memang gugup langsung menerima minuman yang di sodorkan oleh Abidin tanpa rasa curiga. Bahkan ia menghabiskan hampir setengah kaleng.
Abidin hanya menyeringai melihat mangsanya sudah masuk ke dalam jebakannya. Abidin tidak mau rugi, ia sudah menghabiskan uang sebanyak 15 juta rupiah hanya untuk membeli keperawanan Kartika. Ia tidak mau Kartika hanya bersikap pasif apalagi sambil memohon- mohon untuk tidak menyentuhnya. Abidin memang sudah sering menghadapi gadis- gadis yang baru saja masuk ke sarang harimau.
"Masih sekolah?" tanya Abidin mencoba basa basi. Kartika mengangguk, "Masih, kelas 2 SMA," jawab Kartika.
"SMA mana?" tanya Abidin. Kartika pun menyebutkan nama sekolahnya. "Oh, sekolah di sana? Keponakan saya sekolah di sana juga kelas 3,tapinya," kata Abidin. Kartika hanya mengangguk takut-takut. Ia menatap Abidin, lelaki itu mungkin sebaya dengan almarhum ayahnya.
Tiba-tiba, Kartika merasakan tubuhnya panas. Ia mulai gelisah, dan entah mengapa tiba-tiba ia merasa ingin disentuh dan dimanja. Abidin yang melihat hal itu tentu saja tidak membuang- buang waktu. Ia segera membawa Kartika ke atas ranjang. "Saya kenapa, duh kenapa rasanya panas sekali," keluh Kartika.
"Ya sudah, kamu baring di tempat tidur saja, biar langsung kena AC, jadi adem."
Kartika pun hanya bisa menuruti langkah Abidin. Dan, saat tangan Abidin mulai menyentuh dan meraba- raba tubuhnya Kartika mulai sedikit berontak. "Jangan pak, saya..."
Abidin hanya menyeringai tak peduli, ia tetap melancarkan serangan. Karena, meskipun Kartika sedikit meronta dan berkata tidak namun, reaksi tubuhnya berkata lain. Gadis itu menikmati setiap sentuhan tangan Abidin. Dan, pada akhirnya mahkota kesucian yang seharusnya dipersembahkan kepada lelaki yang kelak akan menjadi suaminya hilang ditangan Abidin. Malam pertama yang tidak seharusnya, Kartika hanya mampu diam dan pasrah, bahkan secara tidak sadar mengimbangi setiap gerakan Abidin.
Sampai saat semuanya telah selesai, Kartika hanya bisa menangis pedih. Terlebih saat ia melihat noda darah di atas ranjang tanda bahwa keperawanannya telah hilang. Gadis itu meraung pedih, Abidin tak peduli pada tangisan gadis berusia 16 tahun itu, ia bahkan kembali menyentuh dan menidurinya kembali. Selama hampir 2 jam Abidin melampiaskan nafsunya pada gadis belia itu. Setelah merasa puas ia langsung masuk ke kamar mandi dan membersihkan dirinya.
Kartika hanya bisa menangis, dan mengenakan pakaiannya kembali. Tepat setelah ia membersihkan diri dan memakai kembali pakaiannya, bel kamar berbunyi. Abidin yang tau bahwa waktunya telah habis mengeluatkan dompet dan mengeluarkan beberapa lembar uang sepuluh ribuan dan menjejalkannya ke tangan Kartika.
"Ini untuk uang tips. Itu pasti Teti yang ada di depan pintu, kamu keluar sana. Lain waktu kita akan bersenang-senang lagi."
Dan, benar saja saat pintu dibuka Teti dan Wahyu sudah berdiri menanti.
"Gimana pak bos? Puas? Masih perawan kan?" tanya Teti dengan gaya kemayunya. Abidin hanya tertawa, "Bilang sama Mami, kang Abidin puas. Kalau ada barang baru yang orisinil lagi, Akang mau ya. Yang cantik kaya dia ini, biar enak mainnya, hahahah..."
"Ah, si Om paling bisa. Nanti, Teti bilangin sama Mami ya, kalau ada yang baru lagi biar langsung dikasi spesial buat Om," jawab Teti. Abidin kembali membuka dompetnya dan menyerahkan uang sebesar seratus ribu rupiah pada Teti.
"Bagi-bagi ... lumayan kan buat beli bakso," kata Abidin. Teti pun langsung menerima uang yang disodorkan Abidin, lalu menarik tangan Kartika untuk segera kembali pulang ke rumah Sania.
Kartika hanya menangis dalam diam sepanjang perjalanan. Hilang sudah masa depannya. Pupus sudah cita- citanya untuk menjadi seorang Guru.
"Udah sih, Kartika. Nggak usah nangis, terima nasib aja. Lagian, kamu kerja juga enak, tinggal layanin om- om senang itu dengan baik. Dikasi tips juga kan? Sampai uang Mami 50 juta itu balik modal, kamu nggak akan dapat gaji. Tapi, kamu bisa simpen uang tips yang dikasi sama tamu kamu," kata Teti dengan santai.
Sementara Kartika hanya bisa terdiam dan menahan sesak dalam dadanya. Sakit rasanya.
Sesampai di rumah Mami Sania, Kartika di bawa ke sebuah kamar yang berada di lantai atas. Ternyata, di dalam kamar itu ada dua orang gadis lain yang sebaya dengannya. Mereka menatap Kartika penuh rasa ingin tau."Kau tidur bersama mereka, ingat jangan coba berbuat hal yang aneh-aneh," kata Teti sebelum meninggalkan kamar itu. Kartika melangkah perlahan, ia melihat tas yang ia bawa ketika datang ada di sudut ruangan. Kedua gadis itu bangkit dan menghampiri Kartika. Lalu mereka mengajak Kartika untuk duduk."Sakit ya?" tanya salah seorang gadis itu. Kartika mengangguk, ia memang merasakan sakit. Tidak hanya karena malam pertama yang terpaksa ia lakukan. Tapi, karena sakit yang ia rasakan di hatinya juga."Namaku Wendah dan ini Ayu. Namamu siapa?""Kartika, Teh.""Jangan panggil teteh, kita seumuran kayanya. Panggil saja aku Wendah, kenapa kau bisa sampai ke sini?"
Hampir 3 bulan Kartika berada di rumah Sania. Entah sudah berapa banyak pria yang Kartika layani di kamar hotel. Hampir setiap malam dia dipaksa untuk melayani tamu- tamu. Tamu- tamu yang ia layani adalah tamu- tamu pilihan. Bukan orang sembaranga. Begitu juga dengan Wendah dan Ayu , nasib mereka setali tiga uang dengan Kartika. Ketiganya saat ini hanya bisa pasrah dengan keadaan yang mereka jalani saat ini. Kartika sudah tidak pernah menangis lagi sekarang. Ia hanya bisa pasrah dan menahan sakit hatinya. Dari uang tips yang ia kumpulkan, Kartika mulai belajar memakai make up dari Teti. Sania tidak pernah meminta uang tips yang diberikan oleh para tamu. Bagi Sania, ketiga gadis itu masih sangat menguntungkan. Hingga tiba di bulan ke 4 saat tamu mulai bosan dengan ketiga gadis itu. Sania pun memutuskan untuk memindahkan ketiga gadis itu ke Mess nya untuk bergabung bersama para gadis yang lain. Seumur h
Kartika tersentak saat mendengar bentakan dari seseorang. Begitu juga dengan Wendah dan Ayu.Mereka langsung melepaskan pelukan dan menatap gadis yang berdiri di depan pintu kamar mereka."Kalian ini nggak tau diri ya! Baru datang udah bikin keributan. Kalau siang begini, jam nya istirahat! Emang dulu di rumah Mami Sania kalian kerja kantoran! Sama aja, kerja kaya kami, jangan sok ya karena kemarin-kemarin kalian dapat tamu pejabat dan bos berduit kalian mau sombong!""Maaf ya, Mbak. Kami nggak bermaksud untuk buat Mbak nggak nyaman. Maaf kalau suara kami ganggu Mbak," kata Ayu dengan sedikit gemetar ketakutan. Gadis itu mencebik dan menatap Ayu dengan tajam. "Bilang sama kedua temen kamu ya, terutama yang pakai baju biru," katanya sambil menuding ke arah Kartika. "Jangan sok cantik di sini!" Setelah puas meluapkan emosinya, gadis itu pun segera pergi meninggalkan mereka bertiga. Ayu langsung bangkit lalu menutup pint
Air mata Kartika tak terbendung lagi, ia pun menangis di pelukan Sundari."Terimakasih, bu.""Ibu akan mengurus KTP mu ya nak. Oya, kau harus belajar untuk menabung, nak. Sedapat mungkin Ibu akan memberimu tamu yang baik dan tidak kasar juga royal dalam memberikan uang tips. Sehingga kau bisa cepat keluar dari sini. Ibu nggak mau kau bernasib sama seperti Ibu. Sampai tua di tempat seperti ini. Jangan berlama-lama di tempat ini, nak. Kau masih terlalu muda dan, kau masih berhak untuk merasakan kehidupan yang jauh lebih baik. Nah, sekarang kau bergabung dengan yang lain. Kalian akan segera diantar ke klub. Berdandanlah yang cantik. Biasanya tamu-tamu datang pukul 11 malam. Ibu akan memilih tamu yang baik untukmu ya, nak. Ada kok, tamu yang hanya booking untuk menemani karaoke. Tidak selalu harus menemani di atas ranjang.""Sekali lagi, terimakasih bu.""Sama-sama, nak." Kartika pun beranjak keluar ruangan d
Setelah puas bermain-main dengan Kartika, Teddy pun mengantarkan Kartika pulang."Kita makan dulu, ya. Nanti baru Akang antar pulang, ya.""Iya, terserah akang aja." Teddy dan Kartika pun langsung keluar dari kamar untuk cek out. Sebelum mengantarkan Kartika pulang, Teddy pun mengajak Kartika untuk mampir ke rumah makan. Namun, tiba-tiba saat sedang makan, seseorang menepuk bahu Kartika."Kartika, kamu Kartika kan? Kemana aja, kok udah berapa bulan nggak masuk sekolah? Lagi apa di sini?"Kartika pucat pasi, ia menatap gadis dengan seragam SMU yang berdiri di hadapannya."Rengganis?""Iya, kamu ngapain di sini? Dua bulan lalu, bu Atin datang ke rumah kamu, kayanya kamu kabur dari rumah? Kamu kelewatan, nggak kasian sama Ibu dan adik kamu? Bukannya bantu orang tua, malah kabur jangan-jangan kamu jadi simpenan om-om, ya? Ih, amit-amit, ngga
Setelah puas bermain-main dengan Kartika, Teddy pun mengantarkan Kartika pulang."Kita makan dulu, ya. Nanti baru Akang antar pulang, ya.""Iya, terserah akang aja." Teddy dan Kartika pun langsung keluar dari kamar untuk cek out. Sebelum mengantarkan Kartika pulang, Teddy pun mengajak Kartika untuk mampir ke rumah makan. Namun, tiba-tiba saat sedang makan, seseorang menepuk bahu Kartika."Kartika, kamu Kartika kan? Kemana aja, kok udah berapa bulan nggak masuk sekolah? Lagi apa di sini?"Kartika pucat pasi, ia menatap gadis dengan seragam SMU yang berdiri di hadapannya."Rengganis?""Iya, kamu ngapain di sini? Dua bulan lalu, bu Atin datang ke rumah kamu, kayanya kamu kabur dari rumah? Kamu kelewatan, nggak kasian sama Ibu dan adik kamu? Bukannya bantu orang tua, malah kabur jangan-jangan kamu jadi simpenan om-om, ya? Ih, amit-amit, ngga
Siang itu Sundari mengajak Kartika untuk membuat pas foto. Kartika hanya bisa menurut meskipun merasa cemas dan was-was. Ia takut apabila harus bertemu dengan kawan-kawannya. Apalagi jika mereka memakinya seperti yang dilakukan oleh Rengganis kemarin. Setelah selesai foto, Sundari mengajak Kartika membeli beberapa potong pakaian dan juga sepatu di Matahari Department store yang memang ada di daerah Cicadas."Ini buat siapa, Bu?" tanya Kartika."Buatmu...""Tapi...""Sudah, bawa saja, tidak usah berkata apapun. Ingat perjanjian kita, di luar kau adalah anak angkatku. Jadi, aku boleh membelikan apa saja untuk anakku.". Kartika tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menuruti kemana Sundari mengajaknya."Kamu suka makan bakso?" tanya Sundari."Suka, bu.""Ya sudah, nanti kita makan bakso rudal di Padasuka saja.
Malam itu Aminah masih belum bisa lelap karena teringat Kartika. Sejak mengetahui kejadian yang menimpa Kartika, ia tidak mau bicara banyak pada Sulastri. Sebenarnya, ingin ia memecat saja Sulastri. Tapi, ia ingat pada Agung. Jika Sulastri tidak bekerja dengannya, bagaimana Agung bisa sekolah. Aminah masih punya hati untuk tidak memutus rezeki orang. Hanya saja, ia memang masih tidak habis pikir. Bagaimana mungkin seorang Ibu tega menjual anaknya sendiri untuk dijadikan wanita penghibur. Gelisah memikirkan Kartika, Aminah pun keluar dari kamarnya. Ia mendapati Denny sang anak sedang duduk di ruang tengah sambil melamun."Ada apa, Den?" tanya Aminah. Denny menoleh dan tersenyum pada sang Ibu."Tumben Ibu belum tidur, biasanya jam sembilan Ibu sudah tidur," kata Denny tak mengindahkan pertanyaan Aminah. Aminah melangkah dan duduk di samping Denny. Kemudian ia pun mengembuskan napasnya dengan bera