Share

Bab. 2 Paman Galak?

Lelaki itu mengamati wajah Sasya dengan seksama dan sepertinya gadis itu tidak berbohong. Seketika, dia tersadar sesuatu.

"Hahaha...." Tawa pria itu terlihat puas sebelum kembali berkata, "ternyata kau buta, ya! Bocah nakal, kau pasti dibuang oleh kedua orang tuamu karna tidak berguna!"

"Tidak! Aku tidak nakal. Aku juga tidak dibuang orang tuaku karena mereka sudah meninggal," ucap Sasya lirih.

"Haa...?" Seketika lelaki itu berhenti tertawa. Diamatinya wajah Sasya dalam dalam kemudian, seperti sedang mencari satu kebenaran di sana.

"Anak nakal, ketahuilah bila jalan ini sangat jarang sekali dilalui manusia. Apalagi, saat malam. Kau harus secepatnya pergi dari sini!" titah lelaki itu sembari membuang pandang dari wajah Sasya.

"Jangan panggil aku anak nakal, Paman. Namaku Syadilla, atau Paman bisa memanggilku Sasya."

"Hmmm ... siapa yang peduli namamu!" katanya dengan senyum menyeringai.

Sekilas si lelaki menatap wajah lugu bocah di depannya. Entah kenapa, tiba-tiba terselip rasa iba di hatinya. "Tapi, baiklah, kau bisa memanggilku Paman Juang!" Lelaki itu akhirnya ikut menyebutkan namanya.

"Paman Juang!" Sasya mengulang.

"Ya! Huuh....maaf aku harus segera pulang. Meski aku ingin membawamu, tapi istriku pasti tidak akan mengijinkan hal itu. Semoga nasibmu beruntung, Anak nakal!" Juang pun membalikkan badannya serta melangkah pergi meninggalkan Sasya seorang diri.

"Pamaaan....Paman...aku.." ucapan Sasya terputus karna menyadari lelaki itu pun juga telah menjauh pergi darinya.

Kembali Sasya terpekur memikirkan nasibnya. Dalam benak bocah polos itu tak henti bertanya: Kenapa orang dewasa sangat rumit? Tantenya membawanya jauh-jauh ke sini hanya untuk membuangnya. Dan, paman itu menanyakan banyak hal padanya, namun akhirnya berlalu begitu saja."

"Hey Anak nakal, cepat naik!"

"Haaa?" Sasya terperangah mendengar suara seseorang yang sukses membuyarkan lamunannya.

"Paman Juang? Ia kembali?" batin Sasya meragu.

"Hey, cepat naik ke atas gerobakku! Atau, kau akan mati kedinginan di sini dan lalu menjadi santapan binatang buas!"

Sasya terkesiap, namun secepatnya ia sadar apa yang harus dilakukan. Segera, ia melangkah maju dengan kedua tangannya terulur untuk meraba sesuatu di depannya. Tak lama tangannya pun menangkap sebuah balok kayu yang melintang. Benda itu juga dirakit dengan beberapa papan dan roda di bagian bawahnya.

"Benar, Paman ini benar-benar membawa sebuah gerobak!" batin Sasya. Ia pun segera memanjat serta mengangkat bobot tubuhnya dengan kedua tangan bertumpu pada balok tersebut.

"Uuups...!" Tubuh kecil Sasya terhempas masuk ke dalam gerobak. Seperti permadani nan empuk tapi terasa sedikit gatal, itulah yang ia rasakan pertama kali saat tubuhnya berhasil mendarat di atas kereta kayu itu.

"Rupanya, gerobak ini mengangkut rerumputan," pikir Sasya. Dia dapat mengetahuinya dari aroma yang khas, serta guratan daun yang memanjang ketika ia meraba dari tumbuhan liar tersebut.

Tunggu, hidung Sasya kembali bergerak gerak seperti kucing yang tengah mengendus. Ia mencium aroma lainnya. Baunya sangat wangi, dan sepertinya bukan hanya berasal dari satu macam tanaman atau bunga. Berkali kali Sasya menarik napas dalam dalam untuk menghirup aroma wanginya. Senyum cerah tersungging di bibirnya, tanda ia begitu menyukainya.

"Paman, kenapa kau membawa begitu banyak rumput juga bunga bunga?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir mungil Sasya. Sepertinya, ia sudah tidak takut lagi dengan lelaki itu seperti awal pertemuan mereka.

"Haha....anak nakal, hidung kecilmu itu ternyata cukup pintar!" puji Juang. Kedua kakinya masih terus sibuk mengayuh gerobak. "Tentu saja, rumput rumput dan bunga bunga itu akan ku tukar dengan beberapa lembar uang," lanjutnya menjelaskan. Hening tak ada lagi tanggapan dari dalam gerobak setelahnya.

Juang melongokkan kepalanya menilik apa yang sedang dilakukan "anak nakal"  di dalam sana. Sesaat, mata Juang terpana menyaksikan hal di depannya. Gadis kecil itu ternyata telah tertidur dengan pulasnya. Tubuh kecilnya terbaring di atas permadani hijau dengan bunga bunga segar yang tersusun di atas kepalanya. Wajahnya yang seputih salju kontras dengan rambut hitamnya membuatnya terlihat sangat cantik.

"Ia benar benar seperti peri kecil di antara bunga bunga," gumamnya.

****

"Krieeett....!" Pintu terbuka dari sebuah rumah kayu yang amat sederhana.

Tak lama, kepala seorang wanita pun tersembul keluar dari dalam bilik.

"Sudah pulang kau rupanya!" kata wanita itu begitu mengetahui suaminya telah kembali dari hutan mencari rumput.

"Ya, Sani! Cepat siapkan air hangat untuk ku mandi, tubuhku sudah sangat gatal rasanya."

Wanita bernama Sani itu pun hanya mengangguk paham. Detik selanjutnya,  kembali ia masuk ke dalam bilik. Langkah kakinya cepat menuju dapur, lalu segera menyalakan perapian tungku dengan kayu bakar yang telah ia siapkan sebelumnya. Sebuah periuk dari tanah liat yang berisi penuh air ia letakkan kemudian atas tungku tersebut. Ia mulai merebus air sesuai perintah suaminya.

Sambil menunggu air mandi suaminya mendidih, dengan sigap Sani pun menyiapkan makan malam untuk mereka. Satu bakul nasi, semangkuk sup dengan tiga potong daging di dalamnya, serta tiga cangkir teh hangat tak lamapun telah tersaji di meja makan kemudian. Setelah semua dirasa telah siap, ia pun gegas berjalan dan masuk ke sebuah kamar.

"Elena bangunlah, ayo kita makan malam!" Sani menepuk nepuk pelan pipi putrinya yang ternyata telah terlelap di kamarnya.

"Ibu, aku masih sangat mengantuk. Nanti saja aku makan," ucap gadis itu masih dengan mata terpejam. Ia nampak masih begitu enggan  terjaga dari tidurmya.

 "Huuuhh...!" Sani menghela napas melihat respon putrinya, sebelum akhirnya memutuskan pergi ke luar kamar.

Di meja makan, Juang yang telah selesai mandi rupanya telah duduk menunggu istri dan anaknya untuk makan bersama. "Elena tidur sangat nyenyak, biar nanti saja aku bangunkan lagi untuk makan." Sani segera menyendokkan nasi dan sup ke piring sang suami, baru ke piringnya sendiri setelahnya.

"Braaaaakkkk....!" Sebuah suara yang cukup keras, seperti benda yang jatuh tiba tiba mengagetkan Sani dan suaminya. Padahal mereka baru saja hendak menyuapkan nasi pertama ke dalam mulut. Gerakan mereka terhenti, suami istri itu pun sejurus saling bersitatap. 

"Biar aku saja yang melihat ke luar," kata Sani sembari beranjak dari tempat duduknya. Dengan langkah cepat Sani berjalan ke luar rumah untuk memastikan keadaan. 

"Astaga....!" jerit Sani. Matanya terbelalak lebar tatkala mendapati seorang anak perempuan dengan umur yang sepantar putrinya sedang tiarap di samping gerobak. Sementara di depan gadis itu telah berserak beberapa bilah kayu yang tadinya tertumpuk dengan rapi di halaman. Itu semua karna gadis itu tak sengaja menubruk tumpukan kayu bakar miliknya setelah berhasil melompat dari dalam gerobak.

"Aduuuuuh...!" rintih Sasya sambil berusaha bangkit. Dengan posisi masih setengah berdiri, kedua tangan kecilnya menyapu kedua lutut dan juga sikunya yang terasa perih akibat terjatuh. Padahal belum lagi kering luka karna jatuh sebelumnya, kini harus kembali berdarah lagi.

Sani merasa sangat penasaran, siapa gerangan bocah yang tengah menyelinap di pekarangan rumahnya itu.  Reflek kakinya seperti tertuntun melangkah maju, mendekati bocah tersebut. Namun sebelum jarak yang begitu dekat di antara keduanya, kembali mata Sani di kejutkan dengan pemandangan dari gerobak, tak jauh dari anak itu.

"Ya Tuhan....!" Sani memekik. Ia sungguh tak percaya melihat bunga bunga di dalam gerobak itu berserakan bahkan banyak yang tlah rusak seperti bekas terinjak injak. Hancur sudah hasil jerih payah suaminya.

Mata Sani bertambah melotot seperti hendak keluar, menatap sang bocah dan bunga bunga itu hatinya menjadi seperti mendidih. Wajahnya langsung bersemu merah dan hitam, ekspresi dia benar benar marah. Lalu dengan sangat keras mulutnya berteriak memanggil suaminya, "Juaaaaaang...!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status