Home / Romansa / BIDADARI BUTA SANG PRESDIR / Bab 3. Istri Paman Marah

Share

Bab 3. Istri Paman Marah

Author: Mblee Duos
last update Last Updated: 2022-08-07 08:32:56

"Juaaaaaang!!!"

Mendengar teriakan Sani, Juang hampir saja tersedak saat sedang asik asiknya mengunyah karna kaget.

"Kenapa lagi perempuan itu, kenapa dia hobi sekali berteriak?" gerutu Juang kesal. Ia pun segera berjalan menyusul istrinya ke luar rumah.

"Juang, apa kamu tahu siapa bocah ini? Sepertinya dia adalah seorang penyusup di kampung ini. Aku tidak tahu apa tujuan dia ke sini, tapi yang jelas dia lah pasti orang yang telah merusak dan menginjak injak hasil kerja kerasmu hari ini!" Seperti laju kereta api, Sani merepet begitu cepat dan panjang menumpahkan kekesalannya.

Juang yang belum menyadari apa yang sebenarnya tengah terjadi, sempat melongo beberapa detik mendengar rentetan panjang ucapan sang istri. Dan baru ia menyadari semuanya, tatkala kedua bola matanya mengikuti arah tatapan Sani.

"An - anak nakal? Astaga.....!" Juang menepuk keras jidatnya sendiri. Bagaimana dia bisa lupa telah membawa bocah itu sampai ke rumahnya?

"Paman Juang...!" Sasya memekik girang saat mendengar suara lelaki yang  baru beberapa saat dikenalnya itu.

Sani mengkerutkan keningnya.

"Juang, apa kau mengenal bocah ini?" Sani mulai mengintrogasi suaminya. Ia terheran, bocah itu menyebut nama suaminya dengan sebutan "paman".

"Ehm...ehm...di - dia tadi kutemukan di tepi jalan saat perjalanan dari hutan. Tadinya aku tidak berniat membawanya kesini, tapi...." Sejenak ucapan Juang terhenti, dengan ragu ia melihat wajah Sani sebelum menyelesaikan kalimatnya, "Tapi aku pun tak tega meninggalkannya, bagaimanapun tempat itu sangat berbahaya di malam hari. Apalagi untuk bocah seusianya yang sepantar Elena, putri kita."

Sani hanya diam mendengar penjelasan suaminya, namun tatapannya begitu dingin seperti lautan es. Menakutkan...! Membuat Juang semakin membeku dan salah tingkah.

"Eh...eh...Istriku, jangan marah! Aku hanya berniat sedikit menolongnya. Siapa tahu dia akan berguna untuk kita suatu hari nanti!" Juang begitu gugup berupaya meredakan kemarahan Sani. Entah kenapa pria yang berperawakan tinggi besar dan terlihat sangar itu selalu ciut nyalinya tiap kali menghadapi kemurkaan sang istri.

"Baah....Kau bilang berguna? Baru menginjakkan kakinya di sini saja dia telah membuat kerusakan dan kita merugi. Lagipula apa yang bisa diharapkan dari seorang buta sepertinya?" Sani menunjuk kerusakan di dalam gerobak. Ia begitu gemas dengan apa yang telah di lakukan bocah itu, terlebih suaminya telah membawanya ke rumahnya. Padahal hidup mereka begitu pas pasan bahkan seringkali berkekurangan. Dia pasti tak akan sanggup untuk berbagi kebutuhan dengan anak itu.

"Kruuuukkk...!" Sasya meringis memegangi perutnya. Rasa lapar tak dapat lagi ia sembunyikan. Tapi kenapa perutnya justru tak bisa berkompromi di saat suasana sedang begitu tegang?

Sani melirik Sasya yang hanya berdiri termangu sedari tadi. Wajah kecilnya menunduk dalam seperti sedang menahan ketakutan.

"Huuufff....!" Sani menarik napas panjang.

"Baiklah aku akan berbaik hati sekali ini. Dia boleh makan dengan sisa kuah sup malam ini. Kasih dia tidur di ruang tamu, dan ingat besok pagi kamu bawa bocah itu ke pasar. Dan setelahnya dia bukan lagi urusan kita!" 

Sani menghentakkan kakinya lalu dengan langkah gusar ia pun masuk ke dalam rumah, meninggalkan Sasya dan Juang yang masih saja terbengong. Lelaki itu menyerah dengan perintah istrinya, tak ada pilihan lain selain menuruti kata kata Sani atau hari hari ke depannya akan sangat buruk bagi dirinya.

"Itu artinya, esok aku harus kembali membuang bocah ini ke pasar." Sekilas Juang melirik Sasya. "Aaah...tapi paling tidak di pasar banyak orang berlalu lalang, pasti di antara mereka akan ada yang bersedia memungutnya nanti," batin Juang bermonolog menjawab keraguan dalam pikirannya. Ia berpikir keras tentang apa yang harus ia perbuat selanjutnya untuk "Si anak nakal" tersebut.

"Tok... Tok.. Tok...!" terdengar pintu rumah diketuk. Sani yang sedang sibuk berkutat dengan cucian piring, bergegas berjalan untuk membukanya. 

"Cekleeek...!" Begitu pintu terbuka, suaminya pun telah berdiri di depannya. 

"Bagaimana, Kau sudah mencampakkan bocah itu tentunya kan?" tanya Sani  langsung memberondong suaminya.

"Eh istriku, eh itu..." Juang bicara dengan begitu gugup. Bagaimana dia harus menjelaskan semuanya kepada istrinya?  Alasan apa yang harus dia berikan?Juang menggaruk kepalanya yang tak gatal, ia bingung. "Istriku, soal itu aku..., emm..."

"Jangan katakan kalau kau tidak melakukannya!" Sani menyambar cepat ucapan Juang yang belum selesai, ia menyadari gelagat aneh suaminya hingga nampak begitu gugup.

Di tengah suasana yang ambigu, tiba tiba saja tubuh kecil Sasya menyembul keluar dari arah belakang Juang. Rupanya, sejak awal ia telah bersembunyi di balik tubuh tegap tersebut. Dengan takut takut, Sasya pun coba menyapa, "Bibi Sani..!"

Tentu saja kemunculan Sasya kembali membuat emosi Sani tersulut. Matanya mendelik  tak suka. Ia begitu gemas, merasa telah dipermainkan oleh dua makhluk didepannya. "Bagus sekali, suamiku!" ujarnya ketus menatap Juang. 

"Bibi, tolong jangan salahkan Paman Juang. Dia sudah berulangkali merepotkan dirinya karna aku. Ini semua salahku," tutur Sasya menghiba. 

"Braaaakkk....!" Pintu dibanting dengan sangat keras. Jantung Juang hampir saja copot dibuatnya. Ia meraup wajah frustasi sebelum akirnya mengejar sang istri masuk ke rumah.

"Istriku...Istriku dengar penjelasanku dulu!"

Sani pun membalik badan. 

"Praaang....!" Satu piring terbang dari tangan Sani mendarat sempurna dan menjadi berkeping keping  setelah membentur tembok di sisi kanan Juang.

"Istriku, jangan begitu!"

"Praaaang....!" Satu lagi gelas terbanting. Kali ini jatuh tepat di sisi kiri Juang. 

Ternyata pertunjukan sepertinya belum usai. Dengan mata yang merah menyala Sani menyiapkan serangannya kembali. Tangan kanannya terangkat tinggi ke atas memegang sebuah kuali. Persis seperti seorang prajurit yang hendak melempar sebuah dinamit.

"Istriku..., coba lihat ini! Lihatlah uang uang ini!" Juang berteriak keras tepat saat lengan istrinya mengayun siap melemparkan kuali. Kedua mata Juang terpejam erat menahan kepanikannya akan amukan istrinya.

"Haa...?" Gerakan Sani seketika terkunci. Ia tertegun  melihat banyak lembaran uang kertas melambai lambai di tangan Juang. 

Dengan gerakan yang cepat, Sani segera maju dan menyambar semua uang dari tangan Juang. "Darimana Kau mendapatkan semua uang ini?" cecarnya.

"Ee - itu - eee..., itu semua uang dari hasil menjual rumput dan bunga bunga kita yang masih selamat. Seperti yang kamu ketahui, tadi aku sudah sangat kesiangan berangkat ke pangkalan berjualan. Jadi aku memutuskan akan membawa anak itu selepas berjualan saja. Tapi..." Juang menggantung kalimatnya.

"Tapi apa, hah?"

"Tapi aku tidak menyangka saat anak itu duduk di dekat barang dagangan kita, banyak orang yang datang menghampirinya. Mereka bilang paras bocah itu sangatlah cantik, dan mereka mengaguminya. Dan begitu mereka tahu kenyataannya bahwa dia buta, merekapun akhirnya membeli dagangan kita, bahkan sampai ada yang memborongnya. Belum lagi uang cuma cuma yang di berikan mereka pada bocah itu karna rasa kasihan."

Ekspresi Sani berangsur mulai tenang. Matanya terfokus pada banyaknya uang di tangannya. Jari jarinya begitu lincah menghitung lembar demi lembar uang tersebut. Bagaimanapun jumlah uang itu lumayan banyak. Sama seperti Juang, ia juga tidak menyangka  bocah buta yang dibawa suaminya itu mempu menyedot perhatian orang orang, hingga mendapat banyak uang dari mereka.

"Huuuff...." Juang menarik napas lega.

"Untung, tadi aku mengibarkan bendera damai tepat waktu," batinnya.

Setelah Sani mendengarkan panjang lebar penjelasan suaminya, otaknya pun berpikir cepat. Ia tahu kemana arah bicara Juang saat itu, termasuk alasannya membawa kembali bocah itu ke rumah. Sudut bibir Sani tiba tiba terangkat, tersenyum miring. Hatinya mendesis picik,

"Hmm, bocah itu bisa menjadi ladang uangku yang baru!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BIDADARI BUTA SANG PRESDIR   Bab. 20 Saat Syadilla Menghilang

    "Ke mana perginya gadis buta si*lan itu? Sudah dua hari tak pulang?" Sani berkata dengan geram pada dirinya sendiri sambil terus memasukkan pakaian ke dalam mesin cuci.Elena yang duduk di kursi makan tak jauh dari ibunya, pura pura saja tak mendengar cuitan cempreng sang ibu. Mulutnya sibuk mengunyah makanan. Sementara kedua matanya yang bulat tak lepas dari layar hp di tangan kirinya.Baginya pekerjaan rumah adalah sama sekali bukan urusannya. Jadi tidak penting apakah ibunya ataukah Syadilla yang mengerjakan semua itu."Istriku, kamu jangan ngomel terus! Pusing kepalaku mendengarnya," Juang yang baru masuk ke ruang makan memprotes. Dari pintu sekat di ruangan itu, ia melihat istrinya sibuk bekerja sekaligus mengomel. "Apa mulutmu itu tidak capek?" imbuhnya.Seperti halnya Elena, dari tadi Juang hanya diam mengabaikan repetan Sani yang terus saja melaju seperti kereta. Kalau bukan karena cacing di perutnya yang sudah ikut berteriak minta diisi, malas sekali dirinya berjalan ke dapu

  • BIDADARI BUTA SANG PRESDIR   Bab 19. Anda Tuan Morgan?

    Syadilla mengangkat kepalanya. Heran. Bagaimana lelaki ini tahu tentang keluarga angkatnya. "Kamu mengenal Paman Juang?" ia pun bertanya dengan ekspresi bingung memenuhi wajahnya.Lelaki di depan Syadilla sebenarnya tak lain adalah Morgan. Orang yang sama, yang telah menyelamatkan gadis itu saat terjadi razia pedagang kaki lima sebelumnya."Itu tidak penting. Sekarang baiknya kamu segera menghabiskan makananmu. Buka mulutmu!""A - aku bisa melakukannya sendiri," Syadilla masih menolak membuka mulutnya saat ujung sendok di tangan lelaki itu menyentuh bibirnya. "Tapi sebelumnya aku ingin mandi membersihkan badan. Tuan, bolehkah aku...""Berjalanlah sepuluh langkah ke kanan dari ranjangmu, kamu akan menemukan kamar mandi. Aku akan keluar. Setengah jam lagi aku kembali. Patuhlah, habiskan makananmu!" Morgan menyambar ucapan Syadilla yang belum selesai. Setelah kalimat tersebut selesai diucapkan, tak lama kemudian terdengar langkah sepatu yang berjalan keluar, diikuti suara pintu kamar ya

  • BIDADARI BUTA SANG PRESDIR   Bab 18. Tuan Penyelamat Misterius

    "Berhentiii...!" teriakan melengking terdengar tepat saat mereka akan benar benar menekan pistolnya.Seperti dikomando, seluruh mata segera menoleh ke sumber suara. Nampak berdiri dengan tubuh gemetar, seorang wanita yang menutupi kedua telinganya. Wajah putihnya nampak semakin putih seperti kapas saking pucatnya. Melihat wanita yang berdiri, lelaki pemimpin rombongan untuk sesaat membeku. Satu tangannya kemudian terangkat memberi kode. Dan secara serempak seluruh anggota menurunkan senjata mereka.Lelaki pemimpin langsung menghampiri wanita yang tak lain adalah Syadilla. Ia mendapati Syadilla dengan wajah yang sangat pucat dan dipenuhi air mata. "Nona, maaf kami datang terlambat!" "A - aku..." belum selesai kalimat yang diucapkan, Syadilla jatuh ambruk dikarenakan tubuhnya yang semakin lemah. Dengan sigap lelaki itu menangkapnya, sebelum tubuh Syadilla benar benar jatuh menyentuh tanah."Bawa Nona, dan tinggalkan dia!" perintah lelaki itu lagi sambil menatap tajam pada para bawahan

  • BIDADARI BUTA SANG PRESDIR   Bab 17. Lelaki Penculik VS Rombongan Misterius

    "Permisi, Nona! Aku disuruh seseorang untuk menjemputmu pulang!" Syadilla segera menghentikan aktifitasnya mencopot spanduk dagangannya kala seseorang menghampiri dirinya."Apakah Pamanku yang telah menyuruhmu?" setelah sejenak tertegun, Syadilla pun bertanya kepada orang itu."Hmm, benar. Pamanmu lah yang telah menyuruhku. Ayo, segera kita berangkat!" sahut orang itu sambil mendorong sedikit lengan Syadilla, dengan maksud agar gadis itu mengikutinya.Syadilla yang didorong tubuhnya, refleks mengikuti saja saat lelaki itu mulai membawanya berjalan keluar dari area pasar malam. Setelah berjalan kira kira dua puluh meter dari area pasar, mereka pun berhenti. Tepat di sisi sebuah mobil yang telah terparkir sebelumnya di sana."Nona, masuklah!" lelaki itu membuka pintu mobil."Mobil?" Syadilla tercenung. "Nona, cepatlah!""Eh, Tuan, mungkin Anda salah orang! Siapa nama orang yang Anda maksud, yang telah menyuruh Anda menjemputku?" tanya Syadilla memastikan.Bukan tanpa alasan Syadilla m

  • BIDADARI BUTA SANG PRESDIR   Bab 16. Perhatian Dan Ancaman

    Syadilla terduduk di sebuah kursi yang berhadapan dengan meja panjangnya. Ia merasa sedikit letih setelah melayani banyaknya pembeli yang tak biasa seperti malam malam sebelumnya.Pengunjung hari ini memang membludak, dikerenakan adanya sebuah atraksi yang akan digelar. Mereka tampak antusias berbondong bondong untuk melihat atraksi tersebut. Dan banyaknya jumlah orang yang datang, ternyata berbanding lurus dengan meningkatnya pembeli. Dalam waktu singkat, banyak pedagang yang telah habis barang dagangan mereka. Termasuk Syadilla."Syadilla, aku lihat seluruh bungamu sudah habis, tapi kamu belum membereskan keranjangmu. Apa kamu tidak berniat untuk pulang lebih awal?" Syadilla merasakan satu tepukan di bahu kirinya saat suara itu menyapa."Bibi Sally?" Syadilla sedikit terkejut. "Aku masih harus menunggu Paman, Bibi. Dan sepertinya masih sedikit lama!"Orang yang dipanggil dengan Bibi Sally itu pun mengangguk. Tapi kemudian keningnya sedikit berkerut. Ia menangkap ekspresi yang tidak

  • BIDADARI BUTA SANG PRESDIR   Bab 15. Antara Penipu Dan Gadis Kecil Yang Polos

    Orang orang yang secara sengaja ataupun tidak, begitu mengetahui kejadian ini, mereka langsung berdiri menyaksikan drama penangkapan tersebut. Semakin lama bahkan semakin banyak orang yang menonton, seiring bertambahnya jumlah pengunjung yang datang ke pasar malam.Tentu saja, sebab rasa malu yang besar, Laura memilih meninggalkan Kevin dengan masalahnya. Dia tak ingin terseret dalam pusaran kasus yang bisa saja ikut menyeretnya bila tak secepatnya pergi. Toh, dia sama sekali tak ada urusan dengan uang palsu itu!"T - Tolong jangan bawa aku ke Kantor Polisi!" Mengabaikan rasa malunya ditonton banyak orang, Kevin menjatuhkan tubuhnya, hingga berlutut. Dengan bibir terbata dan hampir menangis, ia terus memohon, "Jangan bawa aku, atau Ibuku yang sedang sakit tidak akan ada yang mengurusnya!"Sekilas kedua petugas saling bertukar pandang. Lalu secara bersamaan, kompak mengendikkan bahu mereka.Kedua petugas hanya memicingkan sebelah mata mendengar rengekan dari lelaki yang kini telah ter

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status