Sudah bermenit-menit berlalu, tapi mata ini tak juga kunjung terpejam. Sialnya aku malah merasa nyaman bergelung dalam dekapan bayi besar ini.
Jangan, Silvana. Kamu tidak boleh terlena oleh pria berbahaya ini. Dia bisa saja memangsamu kapanpun dia mau. Tuan Max itu lebih berbahaya dari singa jantan yang kehilangan betinanya.
Aku tiba-tiba kembali merasa sesak saat mengingat malam itu, saat pertama kali ia menyentuhku dengan penuh rasa sakit yang mendalam. Aku tahu ia terluka, dan aku pun sama.
Wanita mana yang baik-baik saja
Aku duduk cemberut di atas ranjang yang kini melayang di angkasa. Bagaimana tidak melayang jika saat ini kami sedang berada dalam jet pribadi milik pria tua mesum itu.Sementara dirinya yang sangat bersemangat kemarin sedang duduk tenang di atas sofa sambil mengamati tablet di tangannya, sesekali wajah pria itu terlihat mengeras dan ia juga mengumpat, sungguh sangat tidak sopan.Aku heran sekali, pria ini kasar dan berprilaku buruk, selalu mengancam dan mengekangku ini itu, tapi sialnya aku malah jatuh hati dan memaafkan kesalahannya begitu saja. Aku bodoh dan aku kesal menyadari hal itu.Kini, aku sudah sah menjadi istrinya. Sungguh sampai detik ini pun aku masih belum percaya sepenuhnya, tapi bukti kongkrit tentang video serta kesaksian Jo dan Miama yang sudah kutanya langsung membuatku tak bisa berkata apa-apa.Sebelum kami berangkat, Tuan Max sempat memberiku lembaran surat yang harus kutandatangani agar pernikahan kami resmi di mata negara.Tangank
Aku membuka mata perlahan, menikmati udara sejuk yang menenangkan pikiran. Pandanganku bergerak ke kiri dan kanan, lalu menyadari bahwa kini aku sedang berada di kamar luas bernuansa putih dan abu-abu.Terakhir kali kuingat adalah kami menaiki yacht setelah terbang berpuluh jam. Sekarang aku sadar, bahwa aku sudah sangat jauh dari keluargaku.Aku menurunkan kaki menginjak lantai marmer yang terlihat mengkilap, pandanganku tertuju pada tirai berwarna abu-abu yang memberi sedikit celah pemandangan diluar sana. Jantungku berdetak kencang, bersama riak gembira yang serempak datang.Kusibak tirai dengan perlahan, dan sontak aku menahan napas. Pemandangan di luar sana begitu menakjubkan. Pepohonan hijau dengan pasir putih terhampar indah memanjakan mata, riak gelombang dari kejauhan terdengar bersahut-sahutan.Aku menggeser pintu balkon dan segera menghirup udara segar yang memanjakan paru-paru. Segala rasa penat akibat perjalanan jauh yang kami tempuh seolah sirna
Tuan Max benar-benar mewujudkan keinginannya tempo hari. Jika kemarin ia memaksa melakukannya di atas pasir putih, kini ia mulai melancarkan aksi di bebatuan besar yang terletak di dekat tebing di pinggiran pantai. Ombak kecil menyapu lembut kakiku yang mulai bergetar akibat ulahnya yang menggerayangi tubuhku dengan lihai. Aku melirik kanan dan kiri, tetap saja merasa was-was meski ini pulau pribadi yang katanya dijaga ketat oleh bodyguard Tuan Max di pintu masuk pulau. “Sejak kedatanganmu aku merasa menjadi pria cabul karena selalu ingin menerkammu hanya karena suarumu saja,” ucapnya parau. Aku mencebik sinis. “Anda memang cabul,” sahutku kesal mengingat tangan gatalnya yang dulu sesuka hati menyentuhku di mana-mana. Dia terkekeh di ceruk leherku. “Harummu terla
Aku tiba di Jakarta dengan pengawalan ketat dari Jo dan para bodyguard suruhan Tuan Max. Meski aku tahu, mereka memberi jarak agar tak terlalu menarik perhatian banyak orang.Sebuah mobil berhenti dan Jo membukakan pintu untukku. Aku masuk tanpa bicara, mengabaikan Jo yang duduk di samping supir. Mobil mulai membelah jalan raya, aku berusaha memejamkan mata untuk mengurangi rasa penat dan sesak di dada.Tapi tiba-tiba suara dering ponsel Jo membuatku waspada, apalagi ketika pria itu menggeram kesal dengan nada khawatir terselip di dalamnya."Dasar pria keras kepala!" umpatnya, "Berhenti di depan!" perintah Jo kemudian."Ada apa, Jo?" tanyaku was-was.Dia menoleh ke belakang dengan wajah menegang. "Anda pulanglah ke rumah, saya harus segera pergi!" ujarnya datar."Tuan Max dalam bahaya?" bisikku waspada."Tidak ada waktu, Nyonya. Anda harus segera pulang dan mematuhi perintah Tuan Max. Sementara saya akan menyusul ke Inggris.""Inggris?
Aku memutar kunci lalu mendorong pintu dengan perlahan, tak dapat kupungkiri jantungku berdetak begitu kencang. Ruangan ini terlihat berdebu meski barang-barang tetap tertata rapi.Langkahku semakin jauh ke dalam, aku mengamati sekitar dan tak menemukan sesuatu yang kucari. Entahlah, apa aku berharap menemukan bukti percintaan mereka di sini?"Tuan Max mengurung Nona Lydia dan pelayan-nya di sini selama seminggu." Miama bersuara di belakangku.Aku
Satu Minggu berlalu sejak perpisahan kami di bandara waktu itu. Aku kian murung saat tanda-tanda kepulangan Tuan Max tak kunjung menemukan titik terang. Aku rindu dan hanya dirinya yang bisa mengobati.Aku menghela napas panjang dan melangkah menuruni anak tangga. Pagi ini aku berniat ke kampus untuk mengurus syarat wisuda yang sempat terbengkalai karena Tuan Max cukup menyita waktuku."Anda tidak diizinkan keluar sendiri, Nyonya." Miama tergopoh-gopoh dari arah dapur menuju tempatku berdiri yang kini hampir mencapai pintu keluar.Aku menghela napas berat. "Ya, aku tahu. Kalian sudah mengingatkan itu seribu kali. Aku bahkan mematuhinya dengan tak pergi ke mana-mana selama seminggu ini," sahutku.Miama mengangguk pelan. "Anda mau ke mana, Nyonya?" tanyanya sopan."Aku harus mengurus masalah wisudaku, Miama.""Tuan sudah membereskannya untuk anda, bahkan tanggal wisuda anda sudah ditetapkan.""Apa? Jangan bercanda, Miama!" tegurku."Tent
Ibu meletakkan dua cangkir teh di atas meja untuk kedua tamu kami, lalu beliau ikut duduk di sebelahku yang berhadapan dengan Jerry dan papanya, sementara adikku duduk di sudut ruangan sambil memainkan ponsel, tapi aku tahu ia ikut mendengarkan."Jadi, Jerry apa kabar?" tanyaku lembut, membuatnya yang sejak tadi tertunduk merasa tersentak. Entahlah, daripada orang yang murung karena kehilangan, dia lebih terlihat seperti sedang ketakutan."Ba ... baik, Bu," sahut anak lelaki itu gugup.Aku berdehem pelan, memperhatikan mata anak itu yang tak mau menatap langsung padaku. Gerak tubuhnya juga terlihat sangat tidak nyaman.Aku tak tahu bagaimana cara menghibur anak ini. Dulu dia memang muridku, tapi sudah lama kami tak bertemu dan aku juga sedikit canggung karena papa Jerry terlihat sangat memperhatikanku."Bagaimana sekolahmu, Nak?" Kali ini ibu yang bertanya, mungkin dia menyadari kecanggunganku, untuk itu aku harus berterimakasih pada beliau."Baik
Dua hari berlalu sejak Tuan Max berbicara lewat telepon waktu itu, masih belum ada tanda-tanda ia akan kembali, bahkan mengabari juga tidak sama sekali. Ia datang dan pergi sesuka hati, mengatur kehidupanku seenaknya sendiri. Kali ini aku sudah tak mau memusingkan hal itu lagi, aku berusaha mencari kegiatan agar tak terus menerus ingat dengan pria kejam itu. Seperti hari ini, aku pergi ke pasar untuk berbelanja dengan Ibu, meski aku harus membiarkan para bodyguard mengikuti kami dari jarak yang tidak terlalu dekat. Aku sudah menolak, tapi mereka berkeras dan tak mengizinkan kami pergi tanpa penjagaan. Keranjang belanjaan Ibu sudah penuh, kami hanya tinggal membeli daging dan sayur saja. Saat aku sedang memilih sayuran, seseorang menyapa dengan antusias.