"Harga naik dua ratus per strip. Kalau nggak suka, cari yang lain."Suara pria itu serak, dengan tatapan mencurigakan dan tangan yang tak pernah berhenti bergerak di bawah meja. Daru—dengan hoodie abu-abu pudar, celana jeans belel, dan kumis palsu tipis—menyodorkan segepok uang tunai tanpa banyak bicara.Matanya tak berkedip, memperhatikan sekitar warung kopi semi-terbuka yang jadi titik pertemuan di gang sempit belakang Stasiun Kota."Gue bukan nyari harga murah. Gue nyari akses langsung ke yang ngatur jalur tengah," kata Daru, suaranya serak dibuat-buat. "Gue bukan pemula. Orang dalam bilang, lo bisa bawa gue ke orang yang bisa atur pengiriman."Pria itu—dikenal di lapangan sebagai Jalu—mengangkat alis. "Siapa orang dalam lo?""Bayu."Jalu langsung diam. Wajahnya menegang. Ia menyipitkan mata, menilai Daru dari ujung kaki hingga kepala. "Bayu udah mati.""Justru itu. Gue nyari tahu kenapa dia mati. Dan siapa
Malam itu, Jakarta diguyur hujan tanpa jeda, seolah langit sedang menyembunyikan sesuatu yang tak sanggup lagi ditahan. Di sebuah kafe tua yang sudah tak beroperasi sejak pandemi, Daru duduk di sudut ruangan gelap bersama Yudistira.Bau lembap dan kayu lapuk bercampur dengan aroma kopi basi dari mesin tua di pojok bar. Lampu neon menggantung rendah, berkedip pelan seperti bernapas berat."Kau yakin tempat ini aman?" bisik Yudistira, matanya tak lepas dari jendela berdebu."Kalau pun disadap, kita nggak bicara lewat saluran resmi," jawab Daru. Suaranya pelan tapi tegas. "Mulai malam ini, kita bergerak di luar sistem."Yudistira mengangguk pelan. Tak ada seragam. Tak ada badge. Hanya dua penyidik yang menolak tunduk pada kenyataan yang dipelintir kekuasaan.Daru membuka tas ranselnya, mengeluarkan map lusuh yang berisi sketsa, foto korban, dan cetakan potongan laporan forensik. Di tengahnya, peta koneksi."Setiap korban ini punya jejak ke satu
Ruang rapat lantai empat kantor Kepolisian Daerah Jakarta itu dingin, terlalu dingin untuk ruangan penuh orang. Di tengah ruangan bundar, tujuh pejabat tinggi kepolisian duduk berjajar. Setiap mata memancarkan tekanan, setiap diam memuat banyak pesan.Daru berdiri di depan proyektor. Tubuhnya tegap, tapi sorot matanya menyimpan bara. Di layar belakangnya, terbuka lembaran laporan visual peta pengiriman narkoba tahun 2018—jalur Marunda ke Tanjung Priok. Di bagian bawah ada foto si kurir, wajahnya tersorot dari rekaman dashcam yang diperoleh Reza."Lima tahun lalu," suara Daru terdengar jelas, meski tenang, "operasi penggerebekan ini menghasilkan dua puluh satu penangkapan dan barang bukti bernilai miliaran. Tapi ada satu nama yang menghilang dari laporan resmi. Bayu Darmawan, kurir freelance yang diduga bagian dari jaringan, tapi tidak pernah diadili. Ia tewas dalam pengejaran."Beberapa kepala mulai menoleh. Daru melihatnya, tapi tetap tenang.
Suara logam beradu dengan pintu besi menggema di lorong bawah tanah kantor kepolisian. Lampu neon yang menggantung dari langit-langit berpendar dingin, menciptakan bayangan panjang di dinding. Lorong itu bukan tempat yang biasa digunakan, tapi hari itu, Daru sengaja memilihnya.Ia membawa seseorang yang tidak boleh diketahui terlalu banyak orang. Reza, mantan peretas yang kini menghuni sel isolasi karena keterlibatannya dalam kejahatan siber lintas negara.“Ini bukan bagian dari protokol, Komandan,” bisik Yudistira, yang mengikuti di belakang dengan langkah berat.“Kalau kita ikuti semua protokol, kita akan kehilangan semuanya,” balas Daru singkat.Mereka berhenti di depan pintu dengan stiker usang bertuliskan “Server Maintenance Room.” Di dalam ruangan yang pengap itu, Reza sudah menunggu. Kedua tangannya masih diborgol, tapi wajahnya terlihat antusias, seperti anak kecil yang akan diberi mainan baru.“File-nya rusak parah. Tapi ... aku suka tantangan,” katanya sambil menunjuk layar
BAB 17. ANCAMAN DARI ATASHujan tak kunjung reda sejak siang. Di luar jendela, kilatan petir menyambar langit malam, menyibak awan hitam seperti luka lama yang dipaksa terbuka. Suara rintik hujan beradu dengan genting markas kepolisian, menciptakan irama yang tak nyaman seperti detak jantung yang dipercepat rasa curiga.Daru berdiri di depan pintu kayu bertuliskan “KAPOLDA”. Jemarinya mengepal, menggenggam erat sisa-sisa kepercayaan dirinya yang terkikis. Panggilan mendadak dari IRJEN Gunawan datang tanpa aba-aba, hanya sepucuk memo rahasia dengan cap merah. PRIORITAS TINGGI.Ia mengetuk dua kali. Suara berat dari dalam menjawab, "Masuk."Ruangan itu gelap, hanya diterangi satu lampu meja yang nyalanya diredupkan. Aroma tembakau mengendap di udara, bercampur bau kayu tua dan kertas basah. IRJEN Gunawan duduk di balik meja, tubuhnya tegap seperti patung batu. Matanya tajam mengawasi Daru, tak menyembunyikan kesan bahwa pertemuan ini bukan sekadar tegur sapa antar atasan dan bawahan.“D
BAB 16. SORAYA DAN BELLAPagi itu langit mendung, seperti menggantungkan awan kelabu tepat di atas atap rumah mereka. Udara terasa lembap dan dingin, menyusup ke tulang-tulang, membuat suasana semakin muram.Kalina berdiri di depan kamar Soraya dengan segelas susu hangat di tangan. Ia baru saja selesai merapikan dapur ketika suara pelan seperti gumaman menyelinap keluar dari balik pintu yang sedikit terbuka.“.... Aké selowé .... anem-laa .... kuré .... kuré ....”Kalina menegang. Suara itu terdengar lirih, seperti nyanyian atau bisikan. Tapi bukan suara lagu anak-anak, bukan pula bahasa yang pernah ia ajarkan pada Soraya. Langkahnya pelan saat ia mendekat, menempelkan telinga ke daun pintu.“Bella, bilangin Om Kurir jangan marah ya, nanti Soraya takut.”Kalina menggenggam gelas lebih erat. Tangannya gemetar. Ia mendorong pintu dengan perlahan. Engsel tua itu mengeluarkan bunyi berderit samar.Soraya duduk di lantai dengan posisi bersila, menghadap boneka Bella yang ia letakkan di ata