Share

8. Rasional

Pada akhirnya, Lily menuntaskan acara bersama dengan teman-teman sekampusnya yang lain. 

Di lain sisi, Edhie dan Cassandra, menjadi tamu undangan dari pihak orang tua Jane.

Sejauh itulah jarak di antara mereka.

"Apa yang paman Edhie katakan kepadamu?" tanya Elliot dengan segelas wine di tangan kanannya.

Pria itu dengan setianya terus mendampingi Lily, untuk memperjelas status bohongan mereka di hadapan teman-teman Lily. Hal itu memang sudah mereka lakukan semenjak Lily merasa jengah karena diganggu oleh beberapa teman pria di kampusnya.

"Kita bicarakan nanti di rumah," jawab Lily.

"Hey, Elliot. Apa kau tidak pernah bosan dengan Lily? Aku bisa menggantikan mu jika kau bosan."

Goda Kayle, salah seorang teman satu jurusan Lily. Pria dengan rambut cepak itu memang sudah lama tertarik pada Lily. Sayangnya, Lily selalu berdrama jika Elliot lah kekasihnya.

Gadis itu, sama sekali tidak tertarik untuk menjalin hubungan dengan pria lain yang sama sekali tidak dikenalnya.

Elliot semakin melingkarkan lengannya di pinggang rampung Lily. Ia merapatkan tubuh Lily agar mendekat ke arahnya.

"Mana mungkin aku bosan dengannya," ucapnya dengan manik mata menatap lurus tepat di mata hazel Lily. 

Lily sampai dibuatnya terpaku untuk sepersekian detik.

"Bahkan, jika suatu saat Lily yang bosan terhadapku… aku akan tetap di sisinya hingga gadisku ini mau kembali lagi kepadaku," lanjutnya yang membuat para gadis selain Lily memekik tertahan ketika mendengar ucapan Elliot.

Meski sekilas, ada semburat merah terbit di rona pipi Lily. Gadis itu mencondongkan tubuhnya untuk mendekat ke arah Elliot.

"Kau selalu bisa diandalkan," bisik Lily tepat di telinga kiri Elliot.

"Kau tidak akan pernah tahu seberapa seriusnya aku terhadapmu, Lily. Aku akan membuatmu tenggelam, hingga kamu melupakan paman Edhie tercintamu itu," balas Elliot tak kalah berbisik.

Lily diam. Netranya menangkap kembali ekspresi yang ditampakkan Elliot.

Pria dengan garis wajah tampan itu tersenyum lembut dengan mata menyipit membentuk lengkungan bulan sabit. Ia lalu mengusap lembut puncak kepala Lily.

"Kate, sepertinya aku harus mengantar gadisku pulang. Dia sudah terlalu banyak minum." Elliot meminta izin kepada Kate, yang merupakan teman dari Lily.

Ia lalu menoleh ke arah Lily. "Pulang sekarang?"

Lily mengangguk. "Sampaikan maafku kepada Jane karena tidak bisa menunggu hingga acara selesai," sambung Lily kepada Kate.

"Baiklah, Lily. El, tolong jaga teman kami," pinta Kate seraya melambai ke arah pasangan yang mulai meninggalkan ruangan.

Elliot mengangguk lalu menggenggam tangan Lily untuk keluar.

Sedangkan, di sudut lain, Edhie hanya menatap kepergian Lily bersama Elliot.

"Lily sudah dewasa," ucap Cassandra menyadari tatapan Edhie.

"Hm, aku tidak menyangka si bocah tumbuh sebesar itu sekarang. Baru kemarin dia merengek ingin menikahiku, sekarang dia sudah membawa pria lain." Edhie menyesap minumannya tanpa mengalihkan pandangannya dari Lily.

"Kau cemburu?"

Pertanyaan Cassandra membuat Edhie menoleh ke arah wanita dengan balutan dress berwarna hitam itu. "Ayolah, Cassie. Jangan konyol. Aku hanya khawatir karena selama ini merasa telah membesarkannya."

"Iya, sampai kau tidak sadar jika Lily sudah bukan anak kecil lagi, Ed."

"Jangan memulai perdebatan yang tidak perlu. Bagiku, Lily adalah bagian dari keluarga. Kau yang paling tahu itu," jelas Edhie mengusap lembut pipi Cassandra.

Cassandra menghela napas perlahan lalu melingkarkan lengannya untuk memeluk tubuh Edhie. Ia sandarkan kepalanya di dada bidang Edhie. "Aku tahu, Ed. Aku hanya cemburu."

Tidak ada jawaban dari Edhie selain membalas pelukan dari Cassandra.

***

Sesampainya di apartemen milik Lily, Lily melempar heels yang ia kenakan tadi secara asal. Sofa menjadi tujuan utamanya untuk mendaratkan bobotnya yang sangat lelah saat ini. Kepalanya pun mendadak berdenyut pening.

"Kau terlalu banya minum, Lily." ujar Elliot seraya merapikan heels milik Lily lalu meletakkannya di rak sepatu.

Pria itu melepaskan jas yang ia kenakan, melonggarkan kancing kemeja bagian atas lalu melipat lengannya hingga sebatas siku.

Ketika malam, para bodyguard dan asisten rumah tangga sudah pulang, menyisakan dua orang yang berjaga di luar gedung apartemen—sesuai permintaan Lily untuk menjaga privasinya.

Elliot merogoh sesuatu di saku celananya. "Minumlah," pinta Elliot yang berjongkok di samping Lily menyodorkan sebotol minuman pereda pengar.

Lily yang merebahkan tubuhnya di sofa pun berusaha untuk duduk sambil memegangi kepalanya. "Kapan kau membelinya?"

Ia meraih sebotol kecil ramuan tersebut, lalu menenggaknya hingga tandas.

"Kau bahkan tidak sadar ketika aku menghentikan mobil di minimarket." Elliot merapikan dress Lily yang tersingkap di bagian kaki. "Gantilah pakaianmu agar lebih nyaman."

Lily mengangguk, ia berusaha berdiri dengan masih menahan kepalanya yang berdenyut. Gadis itu berbalik membelakangi Elliot. "Bisa bantu lepaskan resletingnya?"

Yang benar saja Lily? Batin Elliot memberontak, pria itu terdiam sepersekian detik dengan berulang kali menelan salivanya sendiri. Kerongkongannya teras kering.

"El, cepat! Rasanya sesak sekali mengenakan dress seperti ini."

Sekali lagi Elliot menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Pria itu lantas berdiri meraih jas yang tadi ia letakkan di sisi sofa. Ia kenakan jas itu untuk menutupi punggung Lily. 

Tangan Elliot menelusup di balik jas hitam miliknya, dengan perlahan ia membuka resleting bagian belakang dress Lily.

Tanpa bisa dihindari, tangan Elliot menyentuh kulit punggung Lily yang membuat pria tersebut sedkit tersentak.

"Cepatlah berganti baju!" Elliot semakin merapatkan jas di tubuh Lily lalu mendorong pelan tubuh mungil itu agar segera menjauh darinya.

Lily menahan bagian depan dress nya menggunakan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya merapatkan jas milik Elliot.

"Jangan pulang dulu, ada yang harus kita bicarakan," pinta Lily setengah berbalik lalu berjalan menuju kamarnya.

"Oh, shit!" Elliot terduduk lemas di sofa, ia menagkupkan telapak tangannya di wajah lalu mengusap wajah tampannya dengan gusar.

Berulang kali pria itu menghembuskan napas berat serta mengacak rambutnya frustasi. "Kau membuatku gila, Lily!" lirihnya tertahan.

Setelah beberapa menit, Lily kembali duduk di sisi Elliot.

Elliot bisa bernapas lega setelah Lily mengenakan pakaian yang senormalnya.

Elliot menyandarkan punggungnya di sandaran sofa, diikuti oleh Lily. Keduanya menatap langit-langit rumah yang berwarna putih tulang.

"Hey, sejak kapan kita sedekat ini?" tanya Elliot memecah keheningan.

"Entahlah. Semenjak kita sekampus mungkin?"

"Tidak, sebelum itu aku sudah menjadi tetanggamu."

Lily menoleh ke arah Elliot yang berada tepat di samping kanannya.

"Lagipula, di antara sejuta manusia yang berada di kota ini, kenapa harus kamu yang menjadi tetanggaku?"

Elliot turut menatap ke arah Lily. "Itu lebih baik daripada kamu mendapat tetangga yang mesum!" cibir Elliot yang membuat Lily mendengus kesal lalu mengalihkan pandangannya.

"Tuhan sedang berada di pihakku waktu itu. Nyatanya sekarang kau dekat denganku."

Lily terdiam, mengingat betapa bencinya dirinya kala itu kepada Elliot. Akan tetapi ketika Lily kesulitan di sekolah maupun saat kuliah, hanya Elliot yang terus berada disisinya. 

Memang benar, selang seminggu setelah Lily pindah ke apartemen, Elliot juga pindah menjadi tetangga Lily. Seolah takdir ingin mengatakan kepada Lily bahwa Elliot pantas menjadi temannya.

"Sadarlah, Lily. Aku tulus menyayangimu. Bahkan sebelum aku bertemu denganmu, aku sudah mengenalmu."

Lily menolehkan kembali pandangannya ke arah Elliot. "Dari dulu aku masih penasaran, bagaimana kamu mengenalku, El?"

"Kau akan tahu sendiri jika sudah waktunya."

"Jawaban yang selalu sama!" protes Lily menepuk gemas pundak Elliot.

Elliot justru terkekeh dibuatnta. Lihatlah wajah Lily dengan bibir yang mengerucut itu, bukankah sangat menggemaskan?

"Ah! Aku hampir lupa." Lily menegakkan tubuhnya ketika tersadar.

"Besok kita harus ke rumah Edhie."

"Apa?" Elliot yang mengusap pundaknya sedikit tersentak.

"Edhie meminta ku untuk mengajakmu kesana. Mungkin kamu akan di interogasi olehnya karena sudah menjadi kekasihku!" ujar Lily dengan tergelak. Gadis itu sama sekali tidak merasa bersalah telah menyeret Elliot ke dalam masalahnya.

"Baguslah, aku jadi tahu seperti apa paman Edhie mu itu. Dari dulu kau sama sekali tidak pernah mengenalkanku."

"Itu semua salah Edhie karena tidak pernah menanyakan kabarku! Sekarang setelah melihat aku bersama seoarang pria, dia pasti panik!" Lily kembali tergelak membayangkan ekspresi kesal Edhie.

"Hey, aku rasa paman Edhie sudah tahu, mengingat paman Jovan yang selalu mengawasimu?"

"Sudah aku katakan, Edhie tidak pernah menanyakanku, El!"

"Itu tidak mungkin, Lily. Aku yakin paman Edhie terus mengawasimu." 

Lily terdiam sejenak untuk berpikir. Pupil matanya terarah ke atas dengan kening yang berkerut. "Kau benar."

"Mengingat kau adalah sandera-nya."

Lily berdecak memberengut ke arah Elliot. "Kau masih berpikir seperti itu?"

Pria itu hanya mengedikkan bahunya tak acuh. "Kalau kau tak percaya, coba besok kau tanyakan kepada paman Edhie tentang keluargamu. Apa kau yakin keluargamu tidak ada yang tersisa? Saudara? Sepupu? Saudara jauh mungkin?"

Lily kembali terdiam seolah pikirannya baru terbuka sekarang.

"Apa kau yakin tidak memiliki kekhawatiran terhadap paman Edhie? Dia itu telah membunuh orang tuamu, Lily. Itu fakta dan dia telah mengakuinya. Kau sama sekali tidak menaruh dendam terhadapnya?" 

Elliot memandang lekat Lily, pria itu berucap dengan serius meskipun nada bicaranya tidak meninggi. 

"Coba pikirkan baik-baik, Lily. Kau sudah dewasa untuk berpikir secara rasional," lanjut Elliot lagi.

Degup jantung Lily berdetak semakin kencang memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.

"Apa benar aku tidak pernah menaruh dendam kepada Edhie?" batin Lily yang mulai meragukan pikirannya sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status