Pada akhirnya, Lily menuntaskan acara bersama dengan teman-teman sekampusnya yang lain.
Di lain sisi, Edhie dan Cassandra, menjadi tamu undangan dari pihak orang tua Jane.Sejauh itulah jarak di antara mereka."Apa yang paman Edhie katakan kepadamu?" tanya Elliot dengan segelas wine di tangan kanannya.Pria itu dengan setianya terus mendampingi Lily, untuk memperjelas status bohongan mereka di hadapan teman-teman Lily. Hal itu memang sudah mereka lakukan semenjak Lily merasa jengah karena diganggu oleh beberapa teman pria di kampusnya."Kita bicarakan nanti di rumah," jawab Lily."Hey, Elliot. Apa kau tidak pernah bosan dengan Lily? Aku bisa menggantikan mu jika kau bosan."Goda Kayle, salah seorang teman satu jurusan Lily. Pria dengan rambut cepak itu memang sudah lama tertarik pada Lily. Sayangnya, Lily selalu berdrama jika Elliot lah kekasihnya.Gadis itu, sama sekali tidak tertarik untuk menjalin hubungan dengan pria lain yang sama sekali tidak dikenalnya.Elliot semakin melingkarkan lengannya di pinggang rampung Lily. Ia merapatkan tubuh Lily agar mendekat ke arahnya."Mana mungkin aku bosan dengannya," ucapnya dengan manik mata menatap lurus tepat di mata hazel Lily. Lily sampai dibuatnya terpaku untuk sepersekian detik."Bahkan, jika suatu saat Lily yang bosan terhadapku… aku akan tetap di sisinya hingga gadisku ini mau kembali lagi kepadaku," lanjutnya yang membuat para gadis selain Lily memekik tertahan ketika mendengar ucapan Elliot.Meski sekilas, ada semburat merah terbit di rona pipi Lily. Gadis itu mencondongkan tubuhnya untuk mendekat ke arah Elliot."Kau selalu bisa diandalkan," bisik Lily tepat di telinga kiri Elliot."Kau tidak akan pernah tahu seberapa seriusnya aku terhadapmu, Lily. Aku akan membuatmu tenggelam, hingga kamu melupakan paman Edhie tercintamu itu," balas Elliot tak kalah berbisik.Lily diam. Netranya menangkap kembali ekspresi yang ditampakkan Elliot.Pria dengan garis wajah tampan itu tersenyum lembut dengan mata menyipit membentuk lengkungan bulan sabit. Ia lalu mengusap lembut puncak kepala Lily."Kate, sepertinya aku harus mengantar gadisku pulang. Dia sudah terlalu banyak minum." Elliot meminta izin kepada Kate, yang merupakan teman dari Lily.Ia lalu menoleh ke arah Lily. "Pulang sekarang?"Lily mengangguk. "Sampaikan maafku kepada Jane karena tidak bisa menunggu hingga acara selesai," sambung Lily kepada Kate."Baiklah, Lily. El, tolong jaga teman kami," pinta Kate seraya melambai ke arah pasangan yang mulai meninggalkan ruangan.Elliot mengangguk lalu menggenggam tangan Lily untuk keluar.Sedangkan, di sudut lain, Edhie hanya menatap kepergian Lily bersama Elliot."Lily sudah dewasa," ucap Cassandra menyadari tatapan Edhie."Hm, aku tidak menyangka si bocah tumbuh sebesar itu sekarang. Baru kemarin dia merengek ingin menikahiku, sekarang dia sudah membawa pria lain." Edhie menyesap minumannya tanpa mengalihkan pandangannya dari Lily."Kau cemburu?"Pertanyaan Cassandra membuat Edhie menoleh ke arah wanita dengan balutan dress berwarna hitam itu. "Ayolah, Cassie. Jangan konyol. Aku hanya khawatir karena selama ini merasa telah membesarkannya.""Iya, sampai kau tidak sadar jika Lily sudah bukan anak kecil lagi, Ed.""Jangan memulai perdebatan yang tidak perlu. Bagiku, Lily adalah bagian dari keluarga. Kau yang paling tahu itu," jelas Edhie mengusap lembut pipi Cassandra.Cassandra menghela napas perlahan lalu melingkarkan lengannya untuk memeluk tubuh Edhie. Ia sandarkan kepalanya di dada bidang Edhie. "Aku tahu, Ed. Aku hanya cemburu."Tidak ada jawaban dari Edhie selain membalas pelukan dari Cassandra.***Sesampainya di apartemen milik Lily, Lily melempar heels yang ia kenakan tadi secara asal. Sofa menjadi tujuan utamanya untuk mendaratkan bobotnya yang sangat lelah saat ini. Kepalanya pun mendadak berdenyut pening."Kau terlalu banya minum, Lily." ujar Elliot seraya merapikan heels milik Lily lalu meletakkannya di rak sepatu.Pria itu melepaskan jas yang ia kenakan, melonggarkan kancing kemeja bagian atas lalu melipat lengannya hingga sebatas siku.Ketika malam, para bodyguard dan asisten rumah tangga sudah pulang, menyisakan dua orang yang berjaga di luar gedung apartemen—sesuai permintaan Lily untuk menjaga privasinya.Elliot merogoh sesuatu di saku celananya. "Minumlah," pinta Elliot yang berjongkok di samping Lily menyodorkan sebotol minuman pereda pengar.Lily yang merebahkan tubuhnya di sofa pun berusaha untuk duduk sambil memegangi kepalanya. "Kapan kau membelinya?"Ia meraih sebotol kecil ramuan tersebut, lalu menenggaknya hingga tandas."Kau bahkan tidak sadar ketika aku menghentikan mobil di minimarket." Elliot merapikan dress Lily yang tersingkap di bagian kaki. "Gantilah pakaianmu agar lebih nyaman."Lily mengangguk, ia berusaha berdiri dengan masih menahan kepalanya yang berdenyut. Gadis itu berbalik membelakangi Elliot. "Bisa bantu lepaskan resletingnya?"Yang benar saja Lily? Batin Elliot memberontak, pria itu terdiam sepersekian detik dengan berulang kali menelan salivanya sendiri. Kerongkongannya teras kering."El, cepat! Rasanya sesak sekali mengenakan dress seperti ini."Sekali lagi Elliot menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Pria itu lantas berdiri meraih jas yang tadi ia letakkan di sisi sofa. Ia kenakan jas itu untuk menutupi punggung Lily. Tangan Elliot menelusup di balik jas hitam miliknya, dengan perlahan ia membuka resleting bagian belakang dress Lily.Tanpa bisa dihindari, tangan Elliot menyentuh kulit punggung Lily yang membuat pria tersebut sedkit tersentak."Cepatlah berganti baju!" Elliot semakin merapatkan jas di tubuh Lily lalu mendorong pelan tubuh mungil itu agar segera menjauh darinya.Lily menahan bagian depan dress nya menggunakan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya merapatkan jas milik Elliot."Jangan pulang dulu, ada yang harus kita bicarakan," pinta Lily setengah berbalik lalu berjalan menuju kamarnya."Oh, shit!" Elliot terduduk lemas di sofa, ia menagkupkan telapak tangannya di wajah lalu mengusap wajah tampannya dengan gusar.Berulang kali pria itu menghembuskan napas berat serta mengacak rambutnya frustasi. "Kau membuatku gila, Lily!" lirihnya tertahan.Setelah beberapa menit, Lily kembali duduk di sisi Elliot.Elliot bisa bernapas lega setelah Lily mengenakan pakaian yang senormalnya.Elliot menyandarkan punggungnya di sandaran sofa, diikuti oleh Lily. Keduanya menatap langit-langit rumah yang berwarna putih tulang."Hey, sejak kapan kita sedekat ini?" tanya Elliot memecah keheningan."Entahlah. Semenjak kita sekampus mungkin?""Tidak, sebelum itu aku sudah menjadi tetanggamu."Lily menoleh ke arah Elliot yang berada tepat di samping kanannya."Lagipula, di antara sejuta manusia yang berada di kota ini, kenapa harus kamu yang menjadi tetanggaku?"Elliot turut menatap ke arah Lily. "Itu lebih baik daripada kamu mendapat tetangga yang mesum!" cibir Elliot yang membuat Lily mendengus kesal lalu mengalihkan pandangannya."Tuhan sedang berada di pihakku waktu itu. Nyatanya sekarang kau dekat denganku."Lily terdiam, mengingat betapa bencinya dirinya kala itu kepada Elliot. Akan tetapi ketika Lily kesulitan di sekolah maupun saat kuliah, hanya Elliot yang terus berada disisinya. Memang benar, selang seminggu setelah Lily pindah ke apartemen, Elliot juga pindah menjadi tetangga Lily. Seolah takdir ingin mengatakan kepada Lily bahwa Elliot pantas menjadi temannya."Sadarlah, Lily. Aku tulus menyayangimu. Bahkan sebelum aku bertemu denganmu, aku sudah mengenalmu."Lily menolehkan kembali pandangannya ke arah Elliot. "Dari dulu aku masih penasaran, bagaimana kamu mengenalku, El?""Kau akan tahu sendiri jika sudah waktunya.""Jawaban yang selalu sama!" protes Lily menepuk gemas pundak Elliot.Elliot justru terkekeh dibuatnta. Lihatlah wajah Lily dengan bibir yang mengerucut itu, bukankah sangat menggemaskan?"Ah! Aku hampir lupa." Lily menegakkan tubuhnya ketika tersadar."Besok kita harus ke rumah Edhie.""Apa?" Elliot yang mengusap pundaknya sedikit tersentak."Edhie meminta ku untuk mengajakmu kesana. Mungkin kamu akan di interogasi olehnya karena sudah menjadi kekasihku!" ujar Lily dengan tergelak. Gadis itu sama sekali tidak merasa bersalah telah menyeret Elliot ke dalam masalahnya."Baguslah, aku jadi tahu seperti apa paman Edhie mu itu. Dari dulu kau sama sekali tidak pernah mengenalkanku.""Itu semua salah Edhie karena tidak pernah menanyakan kabarku! Sekarang setelah melihat aku bersama seoarang pria, dia pasti panik!" Lily kembali tergelak membayangkan ekspresi kesal Edhie."Hey, aku rasa paman Edhie sudah tahu, mengingat paman Jovan yang selalu mengawasimu?""Sudah aku katakan, Edhie tidak pernah menanyakanku, El!""Itu tidak mungkin, Lily. Aku yakin paman Edhie terus mengawasimu." Lily terdiam sejenak untuk berpikir. Pupil matanya terarah ke atas dengan kening yang berkerut. "Kau benar.""Mengingat kau adalah sandera-nya."Lily berdecak memberengut ke arah Elliot. "Kau masih berpikir seperti itu?"Pria itu hanya mengedikkan bahunya tak acuh. "Kalau kau tak percaya, coba besok kau tanyakan kepada paman Edhie tentang keluargamu. Apa kau yakin keluargamu tidak ada yang tersisa? Saudara? Sepupu? Saudara jauh mungkin?"Lily kembali terdiam seolah pikirannya baru terbuka sekarang."Apa kau yakin tidak memiliki kekhawatiran terhadap paman Edhie? Dia itu telah membunuh orang tuamu, Lily. Itu fakta dan dia telah mengakuinya. Kau sama sekali tidak menaruh dendam terhadapnya?" Elliot memandang lekat Lily, pria itu berucap dengan serius meskipun nada bicaranya tidak meninggi. "Coba pikirkan baik-baik, Lily. Kau sudah dewasa untuk berpikir secara rasional," lanjut Elliot lagi.Degup jantung Lily berdetak semakin kencang memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi."Apa benar aku tidak pernah menaruh dendam kepada Edhie?" batin Lily yang mulai meragukan pikirannya sendiri.Setelah dipersilahkan masuk ke ruangan dominus, Edhie lantas menghadap lelaki tua yang sepertinya sudah menunggu kedatanganya.“Bagaimana rencamu selanjutnya? Kamu sudah menaikkan harga transaski.”Edhie tidak goyah mendengar tuduhan dari sang dominus. Ia jelas sudah tahu jika ini semua merupakan siasat dari Oliver yang bekerja sama dengan Tuan Oswald.“Saya akan berusaha agar kerugian itu tidak terjadi—”“—dan jika terjadi?”“Saya akan membayar kerugian itu.”“Jangan terlalu naif Caldwell, kau pasti tahu apa yang aku inginkan.”Rahang Edhie mengeras, ia menarik napas dalam sebelum menjawab, “Saya akan mengakui ketidakmampuan saya di hadapan seluruh keluarga besar di rapat tahunan nanti.”Senyum Oswald terbit seketika.Ya. Bukan harta yang Oliver dan dominus inginkan, melainkan harga diri Edhie yang jatuh serta krisis kepercayaan dari para anggota keluarga besar terhadap kelurga Caldwell.Tidak mudah bagi Edhie membangun kepercayaan dari keluarga besar lain, terlebih dengan sikap ideal
“Karena di sini cukup berbahaya, saya sebagai perwakilan dari Tuan Gunther, ingin meminta bayaran lebih dari pihak Landville.”Tepat seperti dugaan Aaron dan Joe, semua yang terjadi di sini hanya sebuah jebakan untuk merugikan keluarga Caldwell.***“... Baiklah, tidak masalah. Besok aku akan menemui Tuan Oswald. ... Ya. Kau tempatkan saja Tuan Kaiser di hotel dekat dermaga. ... Hm. Perketat penjagaan di sana. Kalian harus bergantian, jangan sampai ada yang kelelahan. Terutama Aaron, jangan biarkan dia terjaga semalaman. ... Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Joe. Aku serahkan urusan di sana padamu.”Edhie menutup panggilan dengan seringai tipis. “Ganti rugi, eh?”“Kita harus ke istana dominus besok ... tunggu ...,” sejenak setelah Edhie mengucapkan hal tersebut pada Jovan, ia pun lantas menggumam, “bagaimana dengan Lily?”“Ada apa, Bos?”“Aku sedang memikirkan, apa aku harus meninggalkan Lily di mansion atau membawanya bersamaku.”Jovan turut terdiam.“Sepertinya membiarkan nona Li
Lily berdiri membelakangi Elliot.“Jadi, seperti ini, ya, rasanya menjadi Edhie,” ucapnya sebelum meninggalkan Elliot sendirian.Gadis itu keluar ruangan dengan perasaan berkecamuk. Tidak biasanya Elliot bersikap seperti itu. Sesaat sebelum dirinya menuju ke lantai dua, ia berpapasan dengan Edhie.“Hai, Ed.”“Hai, Lily.” Edhie menghentikan langkahnya. “Apa kau ada kelas tiga hari ke depan?”Kening Lily berkerut. “Hanya persiapan ujian, ada apa?”“Baguslah. Sebaiknya kau tetap berada di dalam rumah selama tiga hari ini.”Lily bisa menangkap raut kecemasan dari wajah Edhie, tentu saja hal itu mengganggu pikiran Lily. “Apa terjadi sesuatu?”Edhie menggulung lengan kemejanya sebelum menjawab, “Aku hanya tidak mau kejadian tempo hari terulang kembali.”Tidak perlu dijelaskan lagi. Kejadian yang Edhie maksud sudah pasti kejadian dimana Oliver Halberd nekat menemui Lily di kampusnya.Lily hanya bisa mengangguk menurut. “Hanya tiga hari, bukan? Minggu depan aku ada ujian.”“Ya. Hanya tiga har
Edhie bersiap untuk memerintahkan beberapa pengawal pilihannya. Joe dan juga Aaron, dua orang kepercayaan Edhie ditugaskan untuk memimpin pasukan.“Bos, aku ingin ikut dengan mereka,” pinta Jovan kepada Edhie.“Kau tetap bersamaku menjaga Lily. Kita harus mengawasinya penuh tiga hari ini.” Edhie bersedekap memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi.“Entahlah, ada dua hal yang aku pikirkan, Jovan. Aku harap kau mau bekerja sama.”Jovan tidak berani membantah lagi, ia kemudian mundur sejajar kembali dengan barisannya.“Aku tidak peduli jika pada akhirnya kalian ada yang berkhianat, yang perlu kalian ingat… ada harga sepadan yang harus kalian bayar jika berani melakukannya.” Edhie menatap tegas satu persatu barisan berjas hitam yang berjumlah dua puluh orang itu. Permintaan Dominus kali ini memang cukup banyak, bahkan Edhie harus mengerahkan dua orang kepercayaannya.“Loyal atau tidak, itu pilihan kalian.”Berkaca pada kasus sebelumnya, Edhie merasa jika kali ini siasat
“Lily, banyak hal yang ingin aku katakan,” ujar Edhie yang kini mengambil kesempatan mencuri waktu sebelum melaksanakan mandat dari sang Dominus.“Hm? Apa ini akan memakan waktu lama?”Lily yang duduk di balkon ruang tengah, menoleh ke arah Edhie yang baru saja tiba di rumah.Edhie melepas kancing atas kemejanya, ia gulung lengan tangannya hingga sebatas siku. Rambutnya sudah tidak serapi keberangkatannya tadi. “Apa kau ada urusan?”“Tidak. Kau yang memintaku untuk langsung pulang, aku kira ada sesuatu yang penting.”“Memang. Aku hanya ingin menjelaskan siapa kamu sebenarnya.”“Ed? Apa kau yakin?”Edhie melangkah untuk mendekat ke arah Lily. Ia memilih duduk di kursi panjang, tempat dimana Lily duduk.“Tidak. Sungguh, jika boleh jujur, aku ingin kamu menjadi Lily seperti ini saja yang tidak tahu apa-apa soal keluargamu.” Sorot mata Edhie menerawang lurus ke depan. Hamparan taman yang asri, serta kemilau cahaya matahari yang mulai terbias dengan warna senja, merubah suasana yang awaln
“Siapa tahu, bukan?”Telapak tangan Edhie mengepal. “Saya hanya berusaha menebus dosa masa lalu.”Dominus melihat Edhie dengan ekor matanya. Entah apa yang dipikirkannya, ada rasa tidak suka yang tersirat dalam pandangannya. Edhie sangat tahu, ada sesuatu yang Dominus rencanakan terhadap dirinya. Feelingnya berkata, sesuatu itu adalah hal yang mengancam keluarga Caldwell. Sederhananya, Edhie pernah melapor tentang perbuatan Halberd yang mendistribusikan barang haram dari kepulauan seberang untuk di edarkan di kepulauan Landville. Akan tetapi, Dominus sama sekali tidak mengambil tindakan. “Jika tidak ada hal penting lain, saya pamit undur diri,” ujar Edhie berpamitan.“Tunggu, aku butuh tambahan pengawal di pelabuhan St. Marina. Tenang saja, kali ini aku tidak meminta secara cuma-cuma. Akan ada bayaran lebih, karena pekerjaan ini cukup berat.”“Apa boleh saya mengetahui, pekerjaan apa kali ini?”Kecurigaan Edhie semakin menguat. Pelabuhan St. Marina adalah pelabuhan yang menjadi temp