"Bagaimana keadaan Lily?" tanya Edhie kepada Jovan yang saat ini berjalan di sisinya.
"Sangat baik, Bos."Derap langkah sepatu saling bersahutan, menimbulkan suara gema ketika memasuki mansion yang tampak sunyi itu. Edhie melonggarkan sedikit kerah bajunya, untuk meraup oksigen secara bebas.Seharian tadi, dirinya disibukkan dengan menghadiri pertemuan yang diadakan para petinggi yang mengharuskan ia untuk mengenakan pakaian formal.Hela napas terdengar ketika Edhie sampai di ruangan kerjanya. Ia kemudian duduk di kursi berlengan kayu lalu menyandarkan punggungnya di bantalan empuk sandaran kursi. Kepalanya menengadah dengan mata terpejam."Sepertinya bocah itu sedang menikmati masa kuliahnya."Jovan yang berdiri berseberangan dengan sang tuan tidak memberikan tanggapan."Apa dia membenciku?" tanya Edhie dengan mata yang sudah terbuka, menatap ke arah Jovan."Nona…" Jovan menunduk, menenggelamkan wajahnya.Namun, ia tidak bisa menutupi getar di bahunya ketika mengingat perkataan sang Nona tadi pagi.Hal tersebut membuat Edhie menautkan kedua alisnya dan membenarkan posisi duduknya menjadi tegak.Jovan berdehem sebentar, lalu berkata dengan menatap Edhie, "Nona masih bertekad untuk menikahi Anda, Bos," lanjutnya dengan bersusah payah agar tidak menyemburkan tawanya."Setelah sekian tahun?" Edhie membelalak tak percaya."Sampai sekarang dia masih menggunakan pernikahan sebagai bahan candaan. Ya, Tuhan… Lily!" Edhie mengurut pelipisnya yang semakin pening."Kembalilah! Jangan pernah katakan pada Lily kalau aku sering menanyakan kabarnya!""Baik, Bos!" jawab Jovan seraya menunduk. Pria itu kemudian berbalik meninggalkan ruangan Edhie.***"Bagaimana?" tanya Lily yang menyambut kedatangan Jovan."Bos sama sekali tidak menanyakan keadaan Anda, Nona," bohong Jovan tanpa berani menatap Lily.Merasa mendapat jawaban tidak memuaskan, gadis itu melipat kedua tangannya di depan dada. Bibirnya berdecak kesal."Edhie benar-benar keterlaluan! Apa susahnya menanyakan kabarku?! Jangan-jangan apa yang dikatakan Elliot benar bahwa selama ini aku hanya dijadikan sebagai sandra," gerutunya.Pria yang lebih tinggi dari Lily itu menaikkan sebelah alisnya. "Maksud, Nona?"Lily tak acuh, ia memilih mengibaskan tangannya kemudian berlalu, meninggalkan Jovan yang masih berdiam di tempat."Nona Lily! Apa maksud perkataan Anda baru saja?" desak Jovan menyusul Lily yang melangkah ke arah dapur."Tidak penting, Paman. Elliot hanya khawatir berlebihan.""Tuan Elliot berkata seperti itu?"Lily mengangguk seraya meminum secangkir air mineral untuk membasahi kerongkongannya yang mendadak kering."Lily! Kau di rumah?" terdengar teriakan dari balik pintu utama."Panjang umur! Beruntung kau Elliot, di lantai ini hanya ada dua kamar. Jika tidak, sudah pasti orang-orang akan mengusirmu karena membuat keributan," kesal Lily.Lily meletakkan cangkir miliknya di kitchen bar. Gadis itu gegas menuju ke arah pintu utama."Kenapa baru datang?!" protes Lily setelah melihat pria yang dulu dibencinya dan entah bagaimana sekarang berakhir menjadi tetangga sekaligus sahabat Lily."Aku sudah berkata akan pulang ke Northland untuk beberapa hari. Kamu terus menerus mendesakku untuk kembali!" gerutu Elliot menjejakkan kakinya untuk memasuki apartemen milik Lily.Tanpa permisi, pria itu menerobos masuk ke dapur dan membuka isi kulkas."Hai, Paman Jovan!" sapa Elliot ketika menyadari keberadaan Jovan yang masih berdiri di sisi kitchen bar."Selamat malam, Tuan.""Ck! Aku tidak suka Paman memanggilku dengan sebutan 'Tuan'. Panggil aku Elliot, Paman. Berapa kali aku harus mengucapkannya!" protesnya.Jovan terkekeh. Bagi Jovan yang merupakan bodyguard dari Lily, ia menganggap semua teman-teman Lily harus diperlakukan dengan hormat."Kenapa menyuruhku pulang, Lily?" Satu buah apel yang berasal dari dalam kulkas Lily sudah berada di tangan Elliot. Pria itu menyusul Lily yang duduk di ruang tengah."Mau?" tawar Elliot yang kini duduk di sisi Lily.Lily menggeleng. "Besok aku harus hadir di acara pertunangan Jane.""Lalu?"Mata Lily menyipit ke arah Elliot. "Apa lagi? Kau tega membiarkanku menghadiri acara tanpa pasangan?""Baiklah, aku mengerti. Kenapa tidak sekalian saja memintaku menjadi kekasihmu, Lily?""Ehem!" Jovan yang masih mendengarkan obrolan kedua muda mudi itu memecah suasana."Maaf, Paman," ujar Elliot menoleh ke tempat dimana Jovan berada dengan cengiran tanpa rasa bersalah.***Besoknya, Lily benar-benar menghadiri acara pertunangan Jane—teman sekampusnya— bersama dengan Elliot."Kau sangat cantik, Lily," puji Elliot. Netranya terus menatap Lily yang berjalan di sisinya dengan tangan yang mengalung di lengan Elliot.Hari ini Lily tampak elegan mengenakan dress berwarna lavender sepanjang mata kaki, serta wajah yang dipoles make up tipis."Kau tidak perlu berpura-pura ketika hanya kita berdua yang mendengar obrolan kita, El," jawab Lily tak acuh sembari mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan teman-teman Lily yang lain.Akan tetapi, langkah kaki Lily yang terhenti tiba-tiba membuat Elliot turut terdiam. "Ada apa?" tanya Elliot dengan kening berkerut.Lily menaikkan sebelah sudut bibirnya. Kakinya yang terhenti, kini mengayun pasti ke satu tujuan.Sedangkan Elliot hanya mengikuti permainan dari Lily."Hai, Ed. Bagaimana kabarmu?" tanya Lily kepada seseorang yang tidak lain adalah Edhie.Tepat di sisi Edhie, ada Cassandra yang mengamit lengan Edhie."Lily? Bagaimana bisa?" tanya Cassandra dengan ekspresi terkejut."Jane. Perempuan yang bertunangan hari ini teman kuliahku," jelas Lily dengan sesekali melirik ke arah Edhie yang sedang meneguk segelas wine."Kau tidak menjawab pertanyaanku, Ed?""Harusnya kau sudah tahu kabarku dari Jovan," jawab Edhie tak acuh.Sial! Edhie sama sekali tidak peduli dengan Lily."Lalu, siapa pria manis ini Lily?" Cassandra mendekat ke arah Lily dan Elliot."Elliot, kekasihku."Jawaban dari Lily membuat Edhie melayangkan tatapan tajam ke arah gadis itu.Lily yang menyadarinya berbalik bersikap tak acuh dengan mengalihkan pandangannya dari Edhie."Hei, bocah! Ikut denganku sekarang juga!" Edhie menurunkan tangan Cassandra yang berada di lengannya.Lelaki dengan setelan jas hitam itu menarik Lily untuk turut bersamanya, membiarkan Elliot dan juga Cassandra yang saling pandang lalu mengedikkan bahunya."Ed, apa yang kau lakukan?" Lily hanya menurut begitu saja ketika Edhie membawanya menjauh dari kerumunan para tamu undangan.Setelah dirasa agak sepi, Edhie menghentikan langkahnya lalu berbalik menatap Lily."Sudah aku katakan berulang kali, Lily. Berhati-hatilah terhadap laki-laki," omel Edhie dengan berkacak pinggang.Bibir Lily mengerucut. "Aku tidak sembarangan memilih laki-laki, Ed. Paman Jovan mengenalnya, tanyakan saja padanya!" jelas Lily tanpa berani menatap Edhie."Jovan tahu?""Lagipula apa urusanmu, Ed? Kau bahkan tidak pernah menanyakan kabarku!""Aku percaya Jovan akan menjagamu dengan baik. Tapi, melihat kau datang bersama pria asing tadi, aku rasa aku harus mendisiplinkan Jovan."Seketika Lily menelan ludahnya. "E—Ed, jangan salahkan paman Jovan. Hey! Aku sudah dewasa. Usiaku sudah dua puluh lima tahun, kau tahu?"Edhie sama sekali tidak mengendurkan bahunya. "Baiklah. Ajak pria asing itu untuk datang menemuiku besok di rumah!""Namanya Elliot!" ralat Lily. "Dan untuk apa, Ed?""Untuk memastikan bahwa pria itu tidak kau gunakan sebagai mainanmu, Lily!"Oh, God! Sepertinya pria di depan Lily ini sangat tahu bahwa gadis itu sedang bermain-main dengannya.Pada akhirnya, Lily menuntaskan acara bersama dengan teman-teman sekampusnya yang lain. Di lain sisi, Edhie dan Cassandra, menjadi tamu undangan dari pihak orang tua Jane.Sejauh itulah jarak di antara mereka."Apa yang paman Edhie katakan kepadamu?" tanya Elliot dengan segelas wine di tangan kanannya.Pria itu dengan setianya terus mendampingi Lily, untuk memperjelas status bohongan mereka di hadapan teman-teman Lily. Hal itu memang sudah mereka lakukan semenjak Lily merasa jengah karena diganggu oleh beberapa teman pria di kampusnya."Kita bicarakan nanti di rumah," jawab Lily."Hey, Elliot. Apa kau tidak pernah bosan dengan Lily? Aku bisa menggantikan mu jika kau bosan."Goda Kayle, salah seorang teman satu jurusan Lily. Pria dengan rambut cepak itu memang sudah lama tertarik pada Lily. Sayangnya, Lily selalu berdrama jika Elliot lah kekasihnya.Gadis itu, sama sekali tidak tertarik untuk menjalin hubungan dengan pria lain yang sama sekali tidak dikenalnya.Elliot semakin melingka
BRAK!Napas Zion terengah ketika Edhie mendorong tubuh pria itu hingga punggungnya menabrak pintu kayu yang tertutup. Zion sedikit lengah ketika Edhie berhasil meninju rahangnya.“E—Ed?! Dengarkan aku!”Dengan satu hentakan, lengan kekar Edhie menghimpit leher Zion untuk menahan pergerakannya. Tidak ada kesempatan bagi Zion untuk terbebas dari amukan Edhie saat ini.Wajah Zion mulai kemarahan, sangat kesulitan untuk meraup oksigen. Pun juga dengan kemeja putihnya yang sudah tak berbentuk, dihiasi dengan bercak darah. Peluh bercampur darah mengucur dari kening dan pelipis Zion, serta luka lebam di bagian rahang dan perut.“K—kau gila….” desis Zion bersusah payah. Matanya menyipit sayu.Zion melirik ke arah empat pengawalnya yang ditahan oleh bodyguard milik Edhie. Tidak ada satupun dari mereka yang berhasil lolos.Sedangkan di hadapannya, ada mata tajam Edhie yang siap menguliti setiap inci tubuhnya. “Ini hukuman karena kau telah bekerjasama dengan Oliver,” desis Edhie tepat di depan
Edhie menatap tajam Lily yang kini berdiri di hadapannya. “Apa kau paham situasinya, Lily?”“Aku hanya mengkhawatirkanmu, Ed!”“Jovan!”“Tidak, Ed! Jangan salahkan Paman Jovan. Dia tidak bersalah!”Jovan berlari kecil menghampiri sang Bos. “Maaf, saya bersalah, Bos,” sesalnya tanpa berani melihat ke arah Edhie.“Mulai sekarang, Aaron yang akan menggantikanmu mengawasi Lily.”Mata Lily membulat sempurna. Jovan akan digantikan dengan Aaron? Yang benar saja, Edhie?Aaroon, pengawal Edhie yang menurut Lily paling beringas. Selama berada di rumah Edhie, Lily hampir tidak pernah berbicara dengannya. “Aku tidak mau!” sanggah Lily.“Ini perintah, bukan permintaan, Lily!”“Kau menganggapku apa, Ed? Jangan-jangan benar, selama ini kamu memperlakukanku sebagai tahanan?”Lily menaikkan sudut bibirnya, mata gadis itu tampak terluka dengan senyum yang ia paksakan.“Kau bicara apa, Lily?” E
“El, apa yang harus aku lakukan sekarang?” Lily terduduk lesu, pandangannya sarat akan kesedihan setelah Edhie sengaja membiarkannya sendiri tanpa pengawasan.“Kau tidak perlu melakukan apa-apa, Lily. Memang apa yang kau harapkan dari paman Edhie? Menikahimu?” ejek Elliot.“Elliot McClain! Aku sedang tidak ingin bercanda.”Elliot menaikkan sebelah alisnya, bibirnya tersungging. “Jadi selama ini kau berteriak ingin menikahi Edhie itu hanya bercanda? Ya, aku akan senang jika memang—”“Aku serius, El!”“Katakan yang jelas, Lily… kau serius atau bercanda?”Bibir Lily berdecak kesal. Gadis itu lalu mengacak rambut panjangnya dengan frustasi. Posisinya saat ini sedang duduk bersisian dengan Elliot. Sofa yang harusnya mereka duduki justru dialih fungsikan sebagai sandaran.Dalam sesaat, ruangan dengan lampu yang Lily biarkan temaram itu dibalut keheningan. Hanya suara detik jam yang tertangkap di indera pendengaran mereka.“Paman Edhie berbohong," ucap Elliot memecah keheningan.Lily yang ba
Perselisihan antara Edhie dan Oliver dimulai sejak Edhie secara resmi dinyatakan sebagai pewaris dari keluarga Caldwell. Meskipun usianya baru menginjak dua puluh satu tahun, Edhie dengan terpaksa harus menerima keputusan itu.“Sungguh ironis. Tepat setelah pemakaman ayah dan ibu, aku harus menerima semua peninggalan kalian. Jika disuruh memilih, akan lebih baik kalian tetap hidup tanpa memberiku apa-apa.” Edhie berucap dengan senyum getir di dua gundukan tanah yang bertuliskan Edward Caldwell dan Selena Moore.“Ya. Setidaknya aku tahu kalian tidak ingin terpisah satu sama lain,” lanjutnya.“Tuan, Anda harus segera kembali ke mansion. Tuan Frederick sudah menunggu.”Deg!Mendengar nama sang kakek disebut membuat Edhie mengepalkan tangannya. Perlahan, pemuda itu lantas berdiri. “Kita kembali sekarang!” perintahnya kepada Robert, pelayan setia Edward.“Baik, Tuan.”***“Jangan membuang waktumu di pemakaman Edward dan Selena. Mereka tidak akan pernah kembali,” ujar seorang pria berkacama
“Sepertinya Anda sangat dekat dengan kakek, Tuan.” Edhie berkata tak acuh.Hal itu membuat Rafferty tersenyum jumawa. “Kau akan tahu setelah kami bertemu.”Kening Edhie berkerut, dengan telunjuk yang mengusap dagunya. “Sedikit informasi, jika Anda ingin bertemu dengan kakek, Anda harus bergegas.”“Apa maksudmu?”Edhi mengangkat kedua bahunya. “Pagi tadi, aku telah mengirim kakek untuk kembali ke Northland.”“Apa?!” Baik Rafferty maupun Oliver mengucapkan kata itu secara bersamaan . Keduanya pun saling pandang dengan wajah sama bingungnya. “Apa maksudmu?” tanya Rafferty, pandangan pria itu terarah kembali kepada Edhie. “Silahkan melakukan perjalanan ke Northland, saya bisa memastikan… apa yang Anda inginkan tidak akan terjadi.” Edhie menaikkan sebelah sudut bibirnya lalu melangkahkan kaki meninggalkan ruangan.“Sial!” Rafferty benar-benar kehabisan akal menghadapi Edhie.Mau tidak mau Rafferty dan Oliver meninggalkan kediaman keluarga Caldwell itu tanpa menghasilkan apa-apa.Edhie berj
”Hai, Nona.”Lily yang baru saja turun tangga keluar dari gedung fakultas dikejutkan oleh kehadiran pria berkacamata hitam yang tiba-tiba menghadangnya.“M—maaf?” Lily yang merasa asing pun mengerutkan keningnya.Pria itu lantas membuka kacamatanya, memperlihatkan manik mata kecoklatan miliknya.Deg! Paman yang di gedung itu?Refleks Lily sedikit termundur dengan tangan yang mengepal erat tali tas selempangnya—yang sialnya pergerakan itu tidak luput dari penglihatan Oliver.“Apa kita saling mengenal?” Usaha Lily untuk bersikap biasa saja sepertinya gagal ketika nada suaranya sedikit bergetar. Perkataan Elliot terlintas di benaknya, untuk berhati-hati kepada siapapun yang berpeluang menjadi musuh Edhie.Lily tidak bodoh, besar kemungkinan dirinya bisa terlibat dalam bahaya, bukan? Terlebih lagi mengingat ekspresi Edhie kala itu.“Aku cukup yakin kamu masih mengingatku, Nona.” Seringai tajam tercetak jelas di wajah tegas Oliver. “Tenang, aku berjanji tidak akan menyakitimu. Aku hanya in
“Hei, bocah! Baru ku biarkan sebentar, sudah ada bahaya yang menyerangmu,” lirih Edhie yang masih mendekap erat gadis kecilnya.Ya, tidak pernah Lily duga sebelumnya jika Edhie akan datang menghampirinya. Jika tahu akan seperti itu, bukankah lebih baik Lily terlibat dalam bahaya agar Edhie kembali memperdulikannya?Ah, tidak! Itu alasan yang konyol. Berhadapan dengan paman tadi saja membuat tubuh Lily gemetar ketakutan, apa mungkin dirinya akan rela menggantungkan nyawanya begitu saja demi menarik perhatian paman kesayangannya? Lily masih berpikian rasional, setidaknya untuk saat ini.“Kenapa kau diam saja?” Edhie mengurai pelukannya. Ia perhatikan wajah gadis kecilnya dengan seksama. “Apa dia menyakitimu?”Kening Lily bekerut. “Dia siapa yang kau maksud? Dan bagaimana kau tahu password apartemenku, Ed?” Lily yakin setelah apartemen itu di-serah terima-kan kepadanya, ia sudah mengganti password apartemen yang sudah menjadi miliknya saat ini.“Aku yang memberitahunya.” Elliot tiba-tiba