Tak berapa lama, Anwar sang IT datang ke ruangan mereka. Srikandi mempersilakan Anwar untuk mengerjakan tugasnya. Dia berdiri tak jauh dari sana. Hanya butuh waktu lima menit buat IT handal itu mereset ulang username dan password komputernya.
“Sri, masukin password barunya,” ucap Anwar setelah selesai. Dia bergeser dari tempat duduk Srikandi.
“Pak Juna, mari Pak,” Anwar berpamitan pada Arjuna yang tengah duduk tanpa memperhatikan keberadaannya. Namun lelaki itu hanya berdehem tanpa meliriknya.
“Makasih ya, Mas, maaf ngerepotin pagi-pagi,” ucap Srikandi sambil tersenyum. Anwar mengangguk.
“Besok aku beliin sarapan deh, ya, buat ucapan terima kasihnya,” ucap Srikandi.
“Aku yang seperti biasa aja kalo mau beliin,” ucap Anwar menghentikan langkahnya yang sudah hendak meninggalkan ruangan. Kemudian dia merogoh saku dan mengeluarkan dompetnya. Diambilnya uang lima puluh ribuan satu lembar.
“Nih, tapi jangan kesiangan ya!” Dia memberikan lembaran itu pada Srikandi. Gadis itu tersenyum dan menerimanya. Anwar terus berjalan meninggalkan ruangan itu. Srikandi kembali duduk di meja yang berseberangan dengan bosnya.
“Kamu kenapa ambil duitnya, si Anwar?” Ternyata Arjuna memperhatikannya.
“Emmh ... iya, Pak, kenapa?” Srikandi yang belum fokus menoleh pada bosnya. Arjuna membuang napas kasar sambil melirik sekilas pada sekretarisnya.
“Itu, duitnya si Anwar kenapa kamu ambil?” tanyanya lagi.
“Buat beli sarapan besok, Pak,” ucapnya ringan tanpa menoleh. Dia tengah fokus membetulkan dua slide presentasi yang kemarin Arjuna minta perbaiki.
“Bukannya kamu yang ditolongin dia, kenapa kamu malah ngambil duitnya dia?” Arjuna mengerutkan dahi tidak mengerti dengan pola pikir Srikandi.
“Iya, kan besok saya gantian nolongin dia beliin sarapan Pak, beliin bukan berarti harus bayarin lho, Pak,” ucap Srikandi lagi ringan, sambil tetap fokus pada laptopnya.
“Jadinya kamu dibayarin ‘kan sama Anwar?” Arjuna kembali bertanya.
“Yang bayarin kan, Mas Anwar, kenapa Bapak yang sewot sih?” Srikandi mengerucutkan bibirnya. Arjuna menghela napas panjang.
“Pak, saya siapkan meeting room dulu ya.” Srikandi berdiri sambil membawa laptopnya menuju ruang meeting. Arjuna diam tidak menyahut. Srikandi hanya mengedik tidak peduli, kemudian berlalu.
Baru saja keluar pintu ruangan, dia bertemu seseorang yang sangat dihormatinya di sana. Tuan Bagaskara, tiba-tiba datang tanpa pemberitahuan.
“Pagi Pak Bagas!” Srikandi mengangguk sopan pada sang pemilik perusahaan tersebut.
“Pagi Sri, gimana, lancar kerjaannya?” Sang pemilik perusahaan tersenyum dan menyapa ramah.
“Alhamdulilah lancar, saya permisi dulu Pak, mau menyiapkan ruangan meeting.” Sementara itu Tuan Bagaskara masuk ke ruangan menemui putranya, Arjuna. Pembicaraan keduanya terlihat serius, dari raut wajahnya Arjuna terlihat kesal dengan kedatangan ayahnya.
Sementara itu Srikandi bergegas ke meeting room. Dia menyiapkan layar presentasi dan dihubungkan pada layar televisi 110 inchl, yang memang disediakan untuk meeting. Layar tersebut biasanya dipakai untuk teleconference dengan customer, baik lokal maupun luar negeri yang tidak bisa bertatap muka. Sebuah perangkat logitech group keluaran terbaru juga terpasang di sana.
Srikandi menelpon bagian general cleaning dan meminta disiapkan minuman dan beberapa jenis camilan yang biasanya disajikan dalam toples beling bening dan elegan. Tempat tertutup dan bagus itu ternyata cukup efektif membuat makanan yang disajikan bertahan cukup lama, karena tamu merasa segan untuk mengambilnya.
Pukul sembilan kurang sepuluh menit, semua settingan ruang meeting sudah selesai. Arjuna sudah duduk di sana dengan mengenakan jas dan dasi yang senada. Terlihat gagah dan tidak membosankan jika dipandang. Namun sayang, tidak ada senyuman yang melintas di wajahnya, sepertinya suasana hatinya bertambah tidak baik semenjak kedatangan Tuan Bagaskara tadi ke ruangannya.
Akhirnya tamu mereka datang. Setelah berbasa-basi, mereka melanjutkan meeting. Arjuna mempresentasikan slide demi slide dengan gamblang, jelas, tegas dan penuh kepercayaan diri. Memang aura leadership dan kemampuan public speaking Arjuna patut diacungi jempol. Dia menjadi orang yang 180 derajat berbeda dengan Arjuna yang selalu memasang wajah dingin dan jutek terhadap sekretarisnya. Arjuna yang di depan sana terlihat memukau dan elegan.
Srikandi terpana menatapnya. Sejenak dia lupa jika manusia yang kini tengah menjadi pusat perhatian itu adalah bos yang menyebalkan. Pada awal dia menjadi sekretaris, wanita itu sering sekali menangis seorang diri, menumpahkan kekesalan yang terpendam pada perlakuan manusia beku yang selalu membandingkannya dengan Cantika, mantan sekretaris sekaligus kekasihnya.
Lamunan Srikandi buyar. Arjuna menutup presentasi dan memanggilnya untuk menyiapkan akomodasi untuk tamunya. Wanita itu segera memesan mobil ke bagian general affair untuk mengantar tamunya makan siang. Dengan ekspresi yang sudah kembali dingin, Arjuna meminta Srikandi membawakan laptop dan berkas meeting miliknya, kembali ke ruangan. Sementara dia menemani tamunya untuk mencari udara segar di smoking area yang masih sepi.
[Sri, makan siangnya cancel, mereka minta entertain di hotel XXX untuk malam ini, sama bookingkan juga karaoke room VIP.] Chat diterima Srikandi. Wanita itu yang baru saja keluar dari ruangan GA memutar tubuhnya kembali. Dia menghampiri lagi mbka Isnawati untuk membatalkan pesanan.
“Mbak Isna, driver operasionalnya cancel, siang ini, pindah ke sore,” ucap Srikandi. Wanita yang dipanggil Isna itu menoleh.
“Lho, kenapa? Kebiasaan,” gerutunya sambil menoleh pada gadis yang baru saja tiba kembali ke tempatnya.
“Pindah ke malam Mbak, jadinya makan malam di hotel XXX, standby satu supir aja, mereka berangkat sendiri biasanya,” ucap Srikandi sambil tersenyum.
Kemudian dia berlalu menuju ruangannya kembali. Jam dinding sudah menunjukkan pukul 11.45, berarti lima belas menit akan istirahat. Srikandi menata meja dan membereskan file-file yang berserakan. Sesekali dia menatap wajah dingin bosnya yang terlihat sangat tidak bersemangat.
Akhirnya pekerjaan kantor hari itu selesai. Sri mengirimkan pesan pada Bisma yang terlihat sudah bersiap-siap untuk pulang.
[Mas Bisma, aku ada acara entertain dengan bos-bos jepang PT Sakura. Makan malamnya digeser aja ya, tapi aku tetep tagih ya nanti.] Tulis Srikandi. Terlihat Bisma memeriksa ponselnya dari ruangan sebelah.
[Oh gitu, baiklah.] Tulisannya dilengkapi emoticon kecewa.
[Aneh.] Balas Srikandi.
[Kenapa?] Balas Bisma cepat.
[Orang ga jadi dipalakin kok malah ngasih emot kecewa.] Tulis Srikandi.
[Soalnya kalo ngasih emot seneng, nanti malakinnya bisa nambah, hahahaha.] Balas Bisma.
Srikandi menatap Bisma di ruangan sebelah yang sudah memasukan ponselnya dan berjalan meinggalkan ruangan. Dia melambaikan tangan sambil tersenyum.
“Hati – hati,” ucapnya tanpa suara karena ada seseorang yang wajahnya ditekuk sedari tadi di depannya. Bisma membalas lambaian tangannya dan tersenyum juga ke arahnya. Entah mulutnya berucap apa, karena sama tanpa suara. Srikandi hanya mengangguk saja walau dia tidak mengerti. Dia tidak sadar, sudut mata Arjuna menatapnya tidak suka.
Disebuah apartement.Sementara itu, disebuah apartement seorang wanita cantik terlihat gelisah. Beberapa kali dia mengambil ponsel, kemudian meletakkannya kembali. Digesernya layar ponsel mencari nama seseorang yang sudah dua tahun terakhir ini berstatus sebagai kekasihnya, Arjuna.Junaku Itulah tulisan yang terpampang pada layar ponselnya. Wanita itu tidak lain adalah Cantika, seseorang yang baru saja diputuskan oleh kekasih sekaligus pohon uangnya itu. Akhirnya jemarinya mulai merangkai kata, dikirimkannya sebuah pesan, setelah semua panggilannya diabaikan. Mungkin kini lelaki itu benar-benar telah membencinya. Namun setidaknya dia akan berusaha sejauh yang dia bisa.Ridho, baginya hanya selingan ketika bosan dan sendirian karena Arjuna sering sekali sibuk dengan pekerjaannya. Wanita itu mencari pelampiasan karena selama ini Arjuna tidak pernah mau terlalu jauh menjamahnya. Mereka dekat seperti orang berpacaran biasanya,
“Dho, ayo!” wanita itu menarik lengan lelakinya. Lelaki bertubuh tinggi itu mengikuti wanita dengan mini dress marun yang sudah menggelayuti lengannya dengan manja. Mereka memasuki VIP room di seberang ruangan yang Srikandi masuki.Tak berapa lama, Arjuna bersama tiga orang berkewarganegaraan Jepang berjalan dari arah lift. Mereka terlihat mengobrol santai. Arjuna terlihat lebih keren, ketika dasi dan jasnya dia lepas, style lebih terlihat casual. Beruntung dia melihat tamunya mengenakan pakaian casual, ketika baru saja tiba di parkiran. Disimpannya jas miliknya, satu kancing kemeja bagian atas dia buka, lengan kemeja panjangnya dilipat sedikit.Dua jam lebih mereka mengurung diri dalam ruangan karaoke. Pastinya ditemani oleh beberapa singer yang khusus dipesan oleh tamunya. Srikandi tetap stay tune bersama mereka. Sesekali sudut matanya melirik wajah bosnya yang tampak mencoba bersikap ramah.Waktu mereka
Kringgg Kringgg KringggJam weker di atas nakas berbunyi. Tak berapa lama nada alarm dari ponselnya menyusul membangunkannya. Srikandi berusaha membuka matanya yang masih terasa berat. Bagaimanapun dia tidur cukup larut malam tadi. Dia mencoba membujuk kelopak matanya untuk terbuka. Mengingat-ingat sesuatu yang menarik.“Ahh, sarapan Mas Anwar,” gumamnya sambil mencoba mendorong kelopak mata yang begitu lengket.“Aku nggak boleh kesiangan, demi membalas budi baiknya,” gumamnya sambil melempar selimut yang membuatnya enggan bergerak.Diambilnya remote AC dan segera dimatikan. Memeriksa ponsel, melihat pesan namun sepi. Dilihatnnya bayangan dirinya dalam cermin. Bangun tidur, kecantikan natural pikirnya. Gadis itu tersenyum sendiri melihat pantulan dirinya. Mata panda, rambut kusut, dia membayangkan ke kantor dengan tampilan seperti itu. Ah, sudahlah Sri jangan menghayal dipagi buta. Bergegaslah mandi.Bilasan air mem
“Kalau bukan karena ayah menggantikanmu dengannya, mungkin hari ini kita masih berbahagia.” Arjuna bersandar pada kursi kebesarannya. Matanya beralih menatap seisi ruangan. Masih selalu terbayang bagaimana kehangatan yang tercipta setiap hari di ruangan itu. Suasana yang sungguh jauh berbeda dengan sekarang.“Apa lagi rencana gilanya, seenaknya mau menjodohkanku dengan orang yang tidak dikenal, huh!” Arjuna mengacak rambutnya tanpa sadar, mengingat perkataan Tuan Bagaskara tempo hari tentang rencana memperkenalkannya dengan anak kolega bisnisnya.Tuan Bagaskara sebenarnya merasa bersalah, ketika malam itu melihat putranya pulang dengan wajah berantakan. Akhirnya dia menghubungi kolega bisnisnya untuk memperkanalkan putra-putri mereka. Tuan Arnold setuju, begitupun putrinya yang baru saja kembali dari kuliah di luar negeri. Pak Bagaskara pastinya memiliki alasan kuat kenapa dia bersikeras tidak merestui hubungan putra sematawayangnya dengan Canti
Srikandi, Bisma dan Anwar akhirnya sampai di tempat yang mereka pesan. Hari itu sang sekretaris mengurusi reservasi untuk kepentingan dirinya. Tempat makan yang dipilihnya bukan yang tergolong mahal, namun tetap berkelas dan nyaman. Mereka mengambil tempat di lantai dua, di paling pojok, sengaja Srikandi memilih tempat makan outdoor, sehingga mereka bisa menikmati taburan bintang gemintang di langit lepas.Ketiga orang itu sudah melepaskan alas kaki. Balai-balai bambu yang didominasi dengan hiasan tradisional begitu tepat, menjadikan suasana menjadi romantis. Srikandi memilih duduk di pinggir, sehingga bisa bersandar pada dinding anyaman bambu yang menjadi pembatas setiap gazebo.“Sri.” Bisma dan Anwar berbarengan. Keduanya saling menatap dan tertawa.“Lo duluan Mas,” ucap Anwar yang memang usianya lebih muda beberapa bulan daripada Bisma.“Ya, iyalah, gue kan lebih senior daripada elo,” ucap Bisma sambil menepuk dada.
Sementara itu, Srikandi segera menuju resepsionis untuk melakukan reservasi. Dia memilih ruangan tertutup mengingat tamunya ingin karaoke lagi. Kali ini dia sudah memikirkan sebuah lagu jika pada akhirnya harus tetap menyanyi.Beruntung di tempat seperti itu ada juga ruangan premium meskipun tidak sebagus di hotel berbintang. Lagipula salah mereka sendiri, kenapa membuat acara seperti membuat sambel, dadakan. Srikandi memang masih mengenakan pakaian kantor, mengingat tadi langsung berangkat tanpa pulang dulu ke kost paviliunnya.Srikandi tengah duduk dan bersantai di ruangan itu. Dia sengaja memesan ruangan large untuk meminimalisir kesan sumpek, karena dinding ruangan ini didesain tidak terlalu tinggi. Sebuah notifikasi pesan masuk berbunyi.Tring[Ruangan mana?] Pesan dari Arjuna.[Room D75 Pak.] Ucap Srikandi.[Large?] rupanya dia sudah hapal.
Mobil yang dikendarai Bisma membelah keramaian. Waktu belum terlalu malam, jalanan masih ramai lancar. Lelaki itu memutar lagu untuk menemani perjalanan mereka. Lampu jalanan yang terang berbaris, berpendar menyala menambah hangatnya rasa. Perasaan lelaki itu menghangat setiap dia melihat raut bahagia wanita yang tengah asyik sendiri dengan pemikirannya. Srikandi duduk nyaman pada kursi di sebelahnya, pandangannya terlempar keluar jendela.“Sri.” Bisma memulai kembali obrolan yang terhenti begitu saja.“Ya, Mas.” Wanita itu menoleh sekilas ke arahnya. Kemudian berpaling kembali menatap dunia luar yang terlihat indah.Namun belum sempat obrolan berlanjut, ponsel milik wanita itu berdering. Srikandi melihatnya sekilas kemudian mengabaikannya. Berdering lagi, didiamkan lagi. Berulang kali, hingga pada deringan kelima akhirnya Srikandi mengangkat telepon itu.“Hallo!” Akhirnya wanita itu menjawab telepon dengan malas.
“Hmm hmm hmm hmm hmm hmm.” Srikandi berjalan sambil bersenandung. Entah apa yang membuat paginya begitu riang.“Pagi Pak!” Gadis itu menyapa security.“Pagi Bu!” Security mengangguk. Srikandi terus berjalan sambil melanjutkan senandungnya.“Hmm hmm hmm hmm hmm hmm...” Srikandi meneruskan lagu kebangsaannya cold play. Entah kenapa wanita karir dari generasi millenial itu, begitu menyukai alunan lagu cold play. Sementara itu pandangannya fokus pada layar ponsel yang dipegangnya.BrukkTubuhnya sedikit terhuyung karena membentur sesuatu. Ponselnya hampir terjatuh. Beruntung masih bisa diselamatkan.“M-maaf,” tukasnya sambil menyeimbangkan kembali badannnya.“Jalan tuh, pake mata!” Ah ternyata yang dia tabrak adalah manusia besi.“Pak, di mana-mana jalan tuh, pakai kaki, mana ada jalan pake mata?” Srikandi menimpali ucapan