Share

Tujuh

Disebuah apartement.

Sementara itu, disebuah apartement seorang wanita cantik terlihat gelisah. Beberapa kali dia mengambil ponsel, kemudian meletakkannya kembali. Digesernya layar ponsel mencari nama seseorang yang sudah dua tahun terakhir ini berstatus sebagai kekasihnya, Arjuna.

Junaku

Itulah tulisan yang terpampang pada layar ponselnya. Wanita itu tidak lain adalah Cantika, seseorang yang baru saja diputuskan oleh kekasih sekaligus pohon uangnya itu. Akhirnya jemarinya mulai merangkai kata, dikirimkannya sebuah pesan, setelah semua panggilannya diabaikan. Mungkin kini lelaki itu benar-benar telah membencinya. Namun setidaknya dia akan berusaha sejauh yang dia bisa.

Ridho, baginya hanya selingan ketika bosan dan sendirian karena Arjuna sering sekali sibuk dengan pekerjaannya. Wanita itu mencari pelampiasan karena selama ini Arjuna tidak pernah mau terlalu jauh menjamahnya. Mereka dekat seperti orang berpacaran biasanya, sementara wanita itu membutuhkan lebih. Dia sudah ketagihan candunya surga dunia yang harusnya hanya dilakukan dengan pasangan halal, namun dia sudah terbiasa melakukannya sejak duduk dibangku kuliah.

[Sayang, angkat dong teleponnya!] Tulisnya. Menunggu beberapa menit namun tidak ada balasan.

[Aku mau menjelaskan sesuatu, aku mau bicara, angkat, please!] Masih tidak ada balasan.

[Junaku, please, kasih aku kesempatan!] Dikirimnya lengkap dengan emoticon mengiba. Namun kembali tidak diacuhkan.

Cantika menghela napas. Dia mengacak rambutnya kesal, merutuki kebodohannya tidak mengunci manual pintu apartementnya malam itu.

Tring

Sebuah pesan masuk. Segera dibukanya layar chat. Namun bukan pesan dari Arjuna yang datang, melainkan Ridho, teman tidurnya selama ini.

[Cin, ada di apartemen?] Tanyanya. Cantika merenung sejenak, bagaimanapun dia butuh teman untuk curhat tentang kegelisahannya.

[Yes.] Jawaban singkat terkirim. Beberapa detik kemudian.

[Aku datang ya.] Tulisnya. Cantika membalasnya.

[Ok.] Pesan terkirim.

Tiga puluh menit kemudian Ridho datang. Cantika menyambutnya dengan wajah yang masih ditekuk. Dibukanya pintu apartemennya.

“Kok cemberut aja?” ucap Ridho sambil mencubit pipi Cantika. Gadis itu mendengus.

“Juna nggak mau angkat telepon aku, dikirim pesan juga nggak dibaca,” ucapnya sambil merengut.

“Ya udah sih, kan ada aku,” ucapnya sambil mengusap pipi gadis itu. Cantika menepisnya, hatinya masih diselimuti kegalauan.

“Apaan, nawarin diri kalo nggak bisa dimiliki,” ucap Cantika cemberut.

“Perjodohan itu masih beberapa bulan lagi, aku juga nggak tau, suka atau enggak, kalo bukan karena ancaman nyokap, males dah, enakan gini,” ucapnya sambil duduk di sofa dan menyandarkan tubuhnya. Cantika membawakan minum untuk kekasih simpanannya.

“Kita jalan yuk, daripada cemberut mulu, ntar cantiknya ilang,” ucap Ridho.

“Nggak tau nih, aku dibikin bad mood banget, Juna beneran marah kali ini, kamu sih, biasanya juga kita nggak di sini.” Cantika menyalahkan Ridho kali ini.

“Udah ah, nggak usah bahas itu lagi, cepetan ganti baju, kita jalan,” ucap Ridho sambil meneguk minuman cola yang dibawakan Cantika.

Gadis itu berpikir sejenak. Kemudian dia bergegas menuju ruang tidurnya dan berganti pakaian. Cantika terlihat cantik mengenakan minidress berwarna marun dengan rambut digerai. Tas kecil bermerek pastinya, diselempangkan di bahu kirinya. Dia menggandeng lengan Ridho menuju mobil yang terparkir di base. Kemudian mereka memasuki mobil tersebut dan menuju salah satu tempat karaoke malam.

***

Di Perusahaan Bagaskara group.

Arjuna masih menatap tidak suka. Sikap supel dan cuek dari sektertarisnya terkadang dirasa berlebihan. Kenapa juga harus melambai-lambaikan tangan pada orang yang setiap hari juga bertemu. Srikandi memang mudah akrab dengan siapa saja, tidak hanya perempuan, namun dengan kaum lelaki pun sama. Hanya dengan Arjuna saja Srikandi selalu berseteru. Wajahnya masih ditekuk, ketika Srikandi berlalu meninggalkan ruangan dengan membawa tas make-up kecil. Sementara orang yang sedang dirutukinya sama sekali tidak tahu menahu dan tidak peduli.

Srikandi masih mengenakan setelan blezer yang pagi tadi dikenakan. Dia mematut diri di depan cermin. Gadis itu mencuci mukanya yang sudah terlihat sedikit kusam, kemudian memakai polesan make-up tipis minimalis. Eyeshadow dan blush on berwarna peach kesukaannya senada dengan lip cream yang dia pakai membuat rona wajahnya terlihat segar. Alis dan bulu matanya memang sudah cantik bawaan dari lahir. Dia tidak usah merombaknya.

Setelah dirasa penampilannya maksimal, gadis itu berjalan kembali ke ruangan.

“Habis dari mana?” Arjuna bertanya, seperti biasa terkadang tanpa menatapnya. 

“Toilet Pak,” ucapnya Srikandi sambil duduk dan menyimpan tas make-upnya ke dalam tas yang akan dibawanya. Lelaki itu terdiam, tak memberikan respon apapun.

 “Hmm, Bapak nyetir sendiri atau ikut mobil kantor?” tanya Srikandi sambil bersiap untuk berangkat.

“Nyetir sendiri, kirimkan ke saya nomor ruangannya?” ucap Arjuna sambil menenteng tas laptop dan menyampirkan jas pada lengannya.

“VIP room nomor empat di lantai dua Pak,” ucap Srikandi sambil berjalan mendahuluinya. Laptopnya sudah dimatikan sejak tadi, dia biarkan saja di atas meja. Tidak perlu dibawa, karena untuk email dan reservasi apa-apa dia bisa akses di ponsel pintarnya.

Arjuna melangkah meninggalkan ruangan. Berjalan cepat melewati sekretarisnya. Seperti biasa tidak ada basa-basi. Srikandi yang tersalip, mengikutinya dari belakang dengan langkah cepat. Seperti biasa juga, dia tidak berani sendirian melewati lorong itu kalau menjelang malam.

Arjuna mengambil mobilnya di parkiran belakang. Sementara Srikandi langsung naik ke mobil operasional perusahaan. Pak Slamet sudah menunggunya di sana.

“Sore Mbak, mari!” ucapnya dengan sopan sambil membukakan pintu belakang. Srikandi mengangguk kemudian masuk ke mobil.

“Ke mana kita Mbak?” tanya Pak Slamet.

“Ke Hotel XXX Pak, hapal ‘kan Pak Slamet jalannya?” Srikandi memastikan. Pak Slamet terlihat mengangguk tanda mengerti. Srikandi menyandarkan tubuhnya. Mobil melaju pelan melewati gerbang. Terlihat dari spion, mobil bosnya mengikuti dari belakang.

Perjalanan ramai lancar. Hanya butuh waktu setengah jam untuk mereka tiba di tempat tujuan. Srikandi turun di lobi, sementara mobil Pak Slamet diikuti oleh mobil Arjuna menuju parkiran. Wanita itu berjalan duluan, memastikan ruangan yang sudah dibookingnya pada resepsionis. Setelah mendapatkan konfirmasi, dia segera menuju lift. Ada sepasang lelaki dan perempuan juga yang sedang berdiri menunggu lift terbuka.

Tring

Setelah menunggu  beberapa menit, pintu lift terbuka. Kedua orang itu masuk. Srikandi mengikutinya dari belakang. Memang nasib apes, di dalam lift dia hanya menyaksikan kemesraan dua orang itu. Mereka mengobrol berbisik-bisik, sementara si wanita menggelayuti tangan lelaki itu dengan manja. Lelaki bertubuh tinggi itu memijit angka dua. Dia melirik ke arah Srikandi yang baru saja masuk dan bertanya.

“Lantai berapa Mbak?” tanyanya.

“Lantai dua, Mas.” Srikandi tersenyum dan mengangguk dengan sopan. Lelaki itu mengerutkan dahi, ketika sekilas melihat wajah wanita itu.

“Ok, sama ya,” ujarnya sambil kembali fokus pada wanitanya.

“Cin, ruangan VIP ‘kan?” bisik lelaki itu. Si wanita mengangguk.

“Aku mau nyanyi sepuasnya, biar kekesalanku ilang,” ucap si wanita. Terlihat wanita itu memasang gaya kesal.

“Dia lagi ngapain, ya? Kok pesan aku sama sekali nggak dibalesnya.” Wanita itu melepaskan gelayutan tangannya dan memeriksa ponselnya.

Tring

 Pintu lift terbuka. Mereka bertiga keluar. Srikandi bergegas menuju ruangan yang telah dipesannya. Sekilas sudut mata lelaki itu memperhatikan jalannya dengan kening yang masih berkerut.

“Kok mirip, ya?” gumam lelaki itu, menatap sebuah foto dalam layar ponselnya. Foto yang dikirimkan ibunya beberapa minggu lalu. Foto calon tunangannya.

“Dho, ayo!” Wanita itu menarik lengan lelakinya. Lelaki bertubuh tinggi itu mengikuti wanitanya dengan mini dress marun yang sudah menggelayuti lengannya. Mereka memasuki VIP room di jhvseberang ruangan yang Srikandi masuki.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status