Kringgg Kringgg Kringgg
Jam weker di atas nakas berbunyi. Tak berapa lama nada alarm dari ponselnya menyusul membangunkannya. Srikandi berusaha membuka matanya yang masih terasa berat. Bagaimanapun dia tidur cukup larut malam tadi. Dia mencoba membujuk kelopak matanya untuk terbuka. Mengingat-ingat sesuatu yang menarik.
“Ahh, sarapan Mas Anwar,” gumamnya sambil mencoba mendorong kelopak mata yang begitu lengket.
“Aku nggak boleh kesiangan, demi membalas budi baiknya,” gumamnya sambil melempar selimut yang membuatnya enggan bergerak.
Diambilnya remote AC dan segera dimatikan. Memeriksa ponsel, melihat pesan namun sepi. Dilihatnnya bayangan dirinya dalam cermin. Bangun tidur, kecantikan natural pikirnya. Gadis itu tersenyum sendiri melihat pantulan dirinya. Mata panda, rambut kusut, dia membayangkan ke kantor dengan tampilan seperti itu. Ah, sudahlah Sri jangan menghayal dipagi buta. Bergegaslah mandi.
Bilasan air memang ampuh mengusir kantuk, menyegarkan. Setelah selesai membersihkan diri, dia memoles mukanya. Akhirnya dia sudah rapi sebelum pukul tujuh. Berangkat seperti biasa bersama ojek langganan. Mampir membeli sarapan. Hari yang damai.
“Pagi Mas Anwar!” Srikandi sudah berdiri diambang pintu ruangan IT. Lelaki itu tersenyum, menoleh ke arahnya. Srikandi menyodorkan sarapan dan uang kembaliannya.
“Pagi Sri,” ucapnya sambil menerima kantong plastik.
“Eh, tumben ini ada kembalian?” tanya Anwar sambil menerima beberapa lembar uang receh.
“Aku beli pake uang sendiri Mas, nggak enak dikomenin mulu sama Pak Juna,” jawab Srikandi. Kemudian dia berjalan menuju ruangannya.
“Sri, sarapan di mana?” Langkah panjang Anwar berhasil mengejarnya.
“Di pantry aja kayaknya Mas, tapi mau nyimpen tas dulu, moga dia belum dateng,” ucap Srikandi. Tak berapa lama dia tiba di ruangannya.
Kursinya masih kosong, aman. Eh tunggu, tapi itu laptopnya sudah ada. Srikandi mengedarkan pandangan. Dia segera menyimpan tasnya dan membawa tentengan sarapan nasi kuning kesukaannya. Baru saja dua langkah, pintu terbuka.
“Pagi Pak,” Srikandi memasang senyuman termanisnya. Namun mental, hanya dijawab dengan deheman.
“Kamu mau ke mana?” tanyanya sambil berjalan menuju kursinya. Wajah dingin itu sudah menghiasi paginya.
“Sarapan Pak, di pantry,” jawab Srikandi sambil hendak melanjutkan langkah kembali.
“Buatkan saya kopi!” perintahnya.
“Baik Pak,” ucap Srikandi, dia menyimpan kembali plastik keresek nasi kuning di mejanya.
Gadis itu berjalan menuju pantry dengan kesal. Tidak biasanya juga bosnya itu ngopi sepagi ini. Dia tidak sadar tatapan mata Arjuna mengikuti langkahnya. Salah satu sudut bibirnya terangkat.
Di pantry.
“Ayo Sri sarapan bareng,” ujar Anwar ketika gadis itu memasuki pantry, wajahnya ditekuk.
“Duluan aja Mas, aku ngurusin dulu BG,” tukas Srikandi sambil mengambil set cangkir dari dalam lemari kecil.
“BG apaan?” tanya Anwar sambil tetap fokus pada sarapannya.
“Bayi Gede,” jawabnya singkat.
“Eh, siapa bayi gede?” tiba-tiba terdengar suara Bisma muncul dari pintu.
“Au ah.” Srikandi malas menjelaskan, dia menuang air panas pada kopi yang sudah diletakkan di cangkirnya. Anwar terkekeh melihat wajah kesal gadis itu.
“Cepet tua lho Sri, pagi-pagi muka udah ditekuk,” celoteh Anwar sambil sesekali menyesap teh hangat teman sarapannya.
“Malem jadi nggak?” Bisma berdiri di dekat Srikandi yang sedang mengaduk kopi untuk bosnya. Tangannya sibuk menuang racikan kopi untuk menemani sarapan paginya.
“Hmmm ... kalo nggak ada jadwal dadakan lagi, jadilah,” tukas Srikandi sambil mengambil dua sachet cream dan gula. Disimpannya dalam tatakan terpisah. Dia ambil juga sendok baru yang masih bersih, kemudian ujungnya dibalut dengan lipatan tisu.
“Ke mana?” Anwar nimbrung.
“Yuk, Mas Anwar join aja, kita mau nyari makan di luar.” Srikandi mengajak Anwar turut serta, dia tidak memperhatikan raut wajah Bisma yang berubah.
“Ya udah, lagian jomblo mah bebas nggak ada acara, gue join ya, Bis,” ucapnya tertuju pada Bisma yang membelakanginya.
“Hmmm ....” Hanya itulah yang keluar dari mulut Bisma.
“Duluan ya, mau ngasih umpan BG dulu.” Srikandi berlalu sambil membawa secangkir kopi dalam nampan untuk bosnya.
Setibanya diruangan, dia letakkan kopinya di atas meja. Lelaki itu sudah fokus mantengin layar laptopnya.
“Silakan Pak,” ucap Srikandi dengan sopan. Kemudian dia berbalik untuk kembali ke pantry.
“Hmmm ... kok pait?” pertanyaan macam apa itu. Srikandi memutar tubuhnya kembali.
“Ya, kan gula ama creamernya dipisah Pak,” ujar Srikandi dengan memasang wajah ramah. Matanya membulat ke atas pertanda jengah.
“Kamu nyuruh saya bikin kopi sendiri?” tukas Arjuna tanpa menatap ke arahnya. Srikandi menghela napas, kemudian mendekat dan menuangkan creamer dan gula pada cangkir bosnya.
Biasanya juga campurin sendiri.
“Udah Pak, silakan.” Kali ini dia masih berdiri sekitar dua langkah dari meja Arjuna. Gadis itu menunggu bosnya mengomentari kopi racikannya.
“Kemanisan, saya nggak suka, buat baru,” ucapnya setelah meneguk sedikit kopinya.
“Jangan dua gula satu creamer, tapi satu gula dua creamer, ngerti?” tukas Arjuna sambil melirik sekilas pada wajah sekretarisnya.
“Kenapa nggak bilang dari tadi sih, Pak?” Srikandi melempar protes secara spontan. Mulutnya memang seringkali bergerak lebih cepat daripada otaknya.
“Kamu nggak nanya,” ucapnya dengan wajah dingin tanpa ekspresi yang membuatnya segan untuk berdebat kembali.
“Bos gilaaaaa,” umpatnya sambil mengomeli cangkir kopi yang dibawanya. Pastinya setelah dia berbalik dan berjalan memunggungi bosnya.
Srikandi membawa kembali kopi ke pantry. Wajahnya semakin ditekuk. Anwar baru saja selesai sarapan dan berjalan keluar. Mereka berpapasan di depan pintu pantry.
“Kok dibawa balik lagi kopinya Sri?” tanya Anwar heran.
“Kemanisan Mas,” jawabnya sambil berlalu. Anwar meneruskan langkahnya menuju ruangan IT yang terpisah dari ruangan lainnya.
“Kok dibawa lagi Sri kopinya?” pertanyaan kedua yang sama terlontar dari Bisma yang masih duduk di sana.
“Aku udah jawab Mas Anwar tadi, pertanyaannya sama, Mas Bisma tanya Mas Anwar aja jawabannya,” Srikandi masih cemberut. Ditumpahkannya kopi itu ke wastafel. Bisma hanya menggeleng-geleng kepala.
Dia mengambil cangkir baru kemudian meracik kembali kopi sesuai arahan dari atasannya. Satu gula dan dua creamer. Setelah jadi dia membawanya ke ruangan diiringi langkah Bisma yang sudah selesai sarapan.
“Sore jangan lupa ya!” ucapnya sambil membantu mendorong pintu kaca ruangan Srikandi. Dia tidak tega melihat gadis itu kesusahan.
“Iya Mas, makasih ya,” Srikandi tersenyum tulus. Sebuah perhatian kecil mampu membuat mood-nya sedikit membaik.
Arjuna melirik sekilas, mendengar obrolan di depan pintu. Srikandi mendekat ke arahnya dan meletakkan kopi di atas mejanya.
“Gimana Pak, rasanya?” Srikandi masih berdiri menunggu Arjuna mencobanya. Cacing diperutnya sudah berteriak meminta makan.
“Kamu nggal lihat ini kopi masih ada asapnya?” tanya Arjuna tanpa menoleh.
“Lihat Pak,” jawab Srikandi bingung. Apa hubungannya rasa kopi dengan asap.
“Jadi kesimpulannya?” Arjuna malah memberinya tebak-tebakan.
“Hmm, masih panas Pak, kalo gitu saya tinggal dulu ya,” ucap Srikandi setelah berpikir sejenak. Kemudian dia meraih kantong plastiknya. Gadis itu berjalan tergesa-gesa, khawatir atasannya itu memanggilnya kembali. Sementara Arjuna masih duduk terpaku ditempatnya, hanya melirik sekilas punggung sekretarisnya. Kemudian dia mengambil cangkir itu dan menyesapnya.
“Cantika, dulu kamu yang selalu buatin kopi seperti ini.” Matanya berkaca-kaca memandang cangkir yang kini kembali ditaruhnya. Berkali-kali dia menghela napas panjang. Bagaimanapun satu sisi hatinya benar-benar merasa kehilangan.
“Kalau bukan karena ayah menggantikanmu dengannya, mungkin hari ini kita masih berbahagia.” Arjuna bersandar pada kursi kebesarannya. Matanya beralih menatap seisi ruangan. Masih selalu terbayang bagaimana kehangatan yang tercipta setiap hari di ruangan itu. Suasana yang sungguh jauh berbeda dengan sekarang.
“Kalau bukan karena ayah menggantikanmu dengannya, mungkin hari ini kita masih berbahagia.” Arjuna bersandar pada kursi kebesarannya. Matanya beralih menatap seisi ruangan. Masih selalu terbayang bagaimana kehangatan yang tercipta setiap hari di ruangan itu. Suasana yang sungguh jauh berbeda dengan sekarang.“Apa lagi rencana gilanya, seenaknya mau menjodohkanku dengan orang yang tidak dikenal, huh!” Arjuna mengacak rambutnya tanpa sadar, mengingat perkataan Tuan Bagaskara tempo hari tentang rencana memperkenalkannya dengan anak kolega bisnisnya.Tuan Bagaskara sebenarnya merasa bersalah, ketika malam itu melihat putranya pulang dengan wajah berantakan. Akhirnya dia menghubungi kolega bisnisnya untuk memperkanalkan putra-putri mereka. Tuan Arnold setuju, begitupun putrinya yang baru saja kembali dari kuliah di luar negeri. Pak Bagaskara pastinya memiliki alasan kuat kenapa dia bersikeras tidak merestui hubungan putra sematawayangnya dengan Canti
Srikandi, Bisma dan Anwar akhirnya sampai di tempat yang mereka pesan. Hari itu sang sekretaris mengurusi reservasi untuk kepentingan dirinya. Tempat makan yang dipilihnya bukan yang tergolong mahal, namun tetap berkelas dan nyaman. Mereka mengambil tempat di lantai dua, di paling pojok, sengaja Srikandi memilih tempat makan outdoor, sehingga mereka bisa menikmati taburan bintang gemintang di langit lepas.Ketiga orang itu sudah melepaskan alas kaki. Balai-balai bambu yang didominasi dengan hiasan tradisional begitu tepat, menjadikan suasana menjadi romantis. Srikandi memilih duduk di pinggir, sehingga bisa bersandar pada dinding anyaman bambu yang menjadi pembatas setiap gazebo.“Sri.” Bisma dan Anwar berbarengan. Keduanya saling menatap dan tertawa.“Lo duluan Mas,” ucap Anwar yang memang usianya lebih muda beberapa bulan daripada Bisma.“Ya, iyalah, gue kan lebih senior daripada elo,” ucap Bisma sambil menepuk dada.
Sementara itu, Srikandi segera menuju resepsionis untuk melakukan reservasi. Dia memilih ruangan tertutup mengingat tamunya ingin karaoke lagi. Kali ini dia sudah memikirkan sebuah lagu jika pada akhirnya harus tetap menyanyi.Beruntung di tempat seperti itu ada juga ruangan premium meskipun tidak sebagus di hotel berbintang. Lagipula salah mereka sendiri, kenapa membuat acara seperti membuat sambel, dadakan. Srikandi memang masih mengenakan pakaian kantor, mengingat tadi langsung berangkat tanpa pulang dulu ke kost paviliunnya.Srikandi tengah duduk dan bersantai di ruangan itu. Dia sengaja memesan ruangan large untuk meminimalisir kesan sumpek, karena dinding ruangan ini didesain tidak terlalu tinggi. Sebuah notifikasi pesan masuk berbunyi.Tring[Ruangan mana?] Pesan dari Arjuna.[Room D75 Pak.] Ucap Srikandi.[Large?] rupanya dia sudah hapal.
Mobil yang dikendarai Bisma membelah keramaian. Waktu belum terlalu malam, jalanan masih ramai lancar. Lelaki itu memutar lagu untuk menemani perjalanan mereka. Lampu jalanan yang terang berbaris, berpendar menyala menambah hangatnya rasa. Perasaan lelaki itu menghangat setiap dia melihat raut bahagia wanita yang tengah asyik sendiri dengan pemikirannya. Srikandi duduk nyaman pada kursi di sebelahnya, pandangannya terlempar keluar jendela.“Sri.” Bisma memulai kembali obrolan yang terhenti begitu saja.“Ya, Mas.” Wanita itu menoleh sekilas ke arahnya. Kemudian berpaling kembali menatap dunia luar yang terlihat indah.Namun belum sempat obrolan berlanjut, ponsel milik wanita itu berdering. Srikandi melihatnya sekilas kemudian mengabaikannya. Berdering lagi, didiamkan lagi. Berulang kali, hingga pada deringan kelima akhirnya Srikandi mengangkat telepon itu.“Hallo!” Akhirnya wanita itu menjawab telepon dengan malas.
“Hmm hmm hmm hmm hmm hmm.” Srikandi berjalan sambil bersenandung. Entah apa yang membuat paginya begitu riang.“Pagi Pak!” Gadis itu menyapa security.“Pagi Bu!” Security mengangguk. Srikandi terus berjalan sambil melanjutkan senandungnya.“Hmm hmm hmm hmm hmm hmm...” Srikandi meneruskan lagu kebangsaannya cold play. Entah kenapa wanita karir dari generasi millenial itu, begitu menyukai alunan lagu cold play. Sementara itu pandangannya fokus pada layar ponsel yang dipegangnya.BrukkTubuhnya sedikit terhuyung karena membentur sesuatu. Ponselnya hampir terjatuh. Beruntung masih bisa diselamatkan.“M-maaf,” tukasnya sambil menyeimbangkan kembali badannnya.“Jalan tuh, pake mata!” Ah ternyata yang dia tabrak adalah manusia besi.“Pak, di mana-mana jalan tuh, pakai kaki, mana ada jalan pake mata?” Srikandi menimpali ucapan
Chevrolet Orlando summit white itu melaju sedang, menuju salah satu butik ternama. Srikandi sudah memesan satu dress seperti instruksi atasannya. Informasi dari Arjuna, pertemuan malam ini adalah pertemuan penting sehingga meminta sekretarisnya itu berdandan maksimal agar tidak mempermalukannya.Arjuna tidak menemani Srikandi masuk ke butik. Lelaki itu malah menunggu, duduk di luar sambil mengecek email pada gawainya. Tidak berapa lama, Srikandi sudah keluar dengan mengenakan gaun yang terlihat simple namun terkesan sopan dan elegan. Dress dengan rok di bawah lutut dan model lengan tertutup, hiasan puring yang berlapis terlihat manis.Sial, kenapa dia terlihat begitu manis. Kejujuran hatinya tidak bisa dipungkiri. Namun egonya tetap berusaha melawan.“Sekarang kita ke salon, wajah kamu yang standard itu terlihat kurang pas dengan gaun elegan ini.” Sebuah kalimat merendahkan yang terlontar. Srikand
“Papah akan membatalkan perjodohan kamu dengan anak om Arnold, kalau kamu memang bias mendapatkan dia jadi mantu papah, Srikandi. Ayo Mah!” Tuan Bagaskara menepuk bahu anaknya berkali-kali, kemudian pergi meninggalkannya. Arjuna termenung, semua terjadi di luar kendali dan rencananya. Setelah tersadar, lelaki itusegera berlari mengejar Srikandi yang sudah sampai halaman rumahnya.“Sri!”Namun gadis itu sudah berada di luar gerbang. Arjuna tinggal beberapa langkah lagi, tetapi ojek online sudah tiba di depan gadis itu. Srikandi menerima helm dan memakainya dengan tergesa.“Sri!”Suara Arjuna tak mengurungkan niat Srikandi untuk segera pergi dari rumah itu. Dia tidak menyangka, bosnya yang notabene berpendidikan dan lulusan magister, mau melakukan hal seperti itu. Sesuatu hal yang selama ini hanya dia baca dalam novel-novel atau film di layar kaca.Sebuah kebohongan hanya akan melahirkan keboho
Srikandi sebetulnya tidak tega melepas kepergian ibunya sendirian, namun hari itu ibunya akan tetap pulang. Beruntung lelaki yang baru dikenalnya kemarin malam, dengan semangat menawarkan jasa untuk mengantarnya. Ridho menawarkan diri untuk mengantar pulang bu Sartika, demi mengambil hati orang tua tersebut.Srikandi dan ibunya sudah berada di depan gerbang, karena orang yang ditunggunya sebentar lagi sampai. Tidak lama kemudian, sebuah toyota rush tersebut menepi. Ridho turun dari mobil, tubuh proporsionalnya terlihat bugar. Lelaki itu datang dan mencium tangan bu Sartika. Perilaku santun, senyum ramah, maka tidak akan ada yang menyangka jika sebetulnya lelaki itu adalah pemain wanita. Bukan hanya Cantika, namun beberapa wanita lain juga pernah merasakan satu ranjang dengannya.Sebetulnyha pada malam pertemuan kemarin, Srikandi merasa familier dengan wajah lelaki itu. Ya, lelaki itu ialah yang menyapanya ketika di lift, sewaktu hendak meeting dengan Mr. Hosoda.