Share

Sembilan

Kringgg Kringgg Kringgg

Jam weker di atas nakas berbunyi. Tak berapa lama nada alarm dari ponselnya menyusul membangunkannya. Srikandi berusaha membuka matanya yang masih terasa berat. Bagaimanapun dia tidur cukup larut malam tadi. Dia mencoba membujuk kelopak matanya untuk terbuka. Mengingat-ingat sesuatu yang menarik.

“Ahh, sarapan Mas Anwar,” gumamnya sambil mencoba mendorong kelopak mata yang begitu lengket.

“Aku nggak boleh kesiangan, demi membalas budi baiknya,” gumamnya sambil melempar selimut yang membuatnya enggan bergerak.

Diambilnya remote AC dan segera dimatikan. Memeriksa ponsel, melihat pesan namun sepi. Dilihatnnya bayangan dirinya dalam cermin. Bangun tidur, kecantikan natural pikirnya. Gadis itu tersenyum sendiri melihat pantulan dirinya. Mata panda, rambut kusut, dia membayangkan ke kantor dengan tampilan seperti itu. Ah, sudahlah Sri jangan menghayal dipagi buta. Bergegaslah mandi.

Bilasan air memang ampuh mengusir kantuk, menyegarkan. Setelah selesai membersihkan diri, dia memoles mukanya. Akhirnya dia sudah rapi sebelum pukul tujuh. Berangkat seperti biasa bersama ojek langganan. Mampir membeli sarapan. Hari yang damai.

“Pagi Mas Anwar!” Srikandi sudah berdiri diambang pintu ruangan IT. Lelaki itu tersenyum, menoleh ke arahnya. Srikandi menyodorkan sarapan dan uang kembaliannya.

“Pagi Sri,” ucapnya sambil menerima kantong plastik.

“Eh, tumben ini ada kembalian?” tanya Anwar sambil menerima beberapa lembar uang receh.

“Aku beli pake uang sendiri Mas, nggak enak dikomenin mulu sama Pak Juna,” jawab Srikandi. Kemudian dia berjalan menuju ruangannya.

“Sri, sarapan di mana?” Langkah panjang Anwar berhasil mengejarnya.

“Di pantry aja kayaknya Mas, tapi mau nyimpen tas dulu, moga dia belum dateng,” ucap Srikandi. Tak berapa lama dia tiba di ruangannya.

Kursinya masih kosong, aman. Eh tunggu, tapi itu laptopnya sudah ada. Srikandi mengedarkan pandangan. Dia segera menyimpan tasnya dan membawa tentengan sarapan nasi kuning kesukaannya. Baru saja dua langkah, pintu terbuka.

“Pagi Pak,” Srikandi memasang senyuman termanisnya. Namun mental, hanya dijawab dengan deheman.

“Kamu mau ke mana?” tanyanya sambil berjalan menuju kursinya. Wajah dingin  itu sudah menghiasi paginya.

“Sarapan Pak, di pantry,” jawab Srikandi sambil hendak melanjutkan langkah kembali.

“Buatkan saya kopi!” perintahnya.

“Baik Pak,” ucap Srikandi, dia menyimpan kembali plastik keresek nasi kuning di mejanya.

Gadis itu berjalan menuju pantry dengan kesal. Tidak biasanya juga bosnya itu ngopi sepagi ini. Dia tidak sadar tatapan mata Arjuna mengikuti langkahnya. Salah satu sudut bibirnya terangkat.

Di pantry.

“Ayo Sri sarapan bareng,” ujar Anwar ketika gadis itu memasuki pantry, wajahnya ditekuk.

“Duluan aja Mas, aku ngurusin dulu BG,” tukas Srikandi sambil mengambil set cangkir dari dalam lemari kecil.

“BG apaan?” tanya Anwar sambil tetap fokus pada sarapannya.

“Bayi Gede,” jawabnya singkat.

“Eh, siapa bayi gede?” tiba-tiba terdengar suara Bisma muncul dari pintu.

“Au ah.” Srikandi malas menjelaskan, dia menuang air panas pada kopi yang sudah diletakkan di cangkirnya. Anwar terkekeh melihat wajah kesal gadis itu.

“Cepet tua lho Sri, pagi-pagi muka udah ditekuk,” celoteh Anwar sambil sesekali menyesap teh hangat teman sarapannya.

“Malem jadi nggak?” Bisma berdiri di dekat Srikandi yang sedang mengaduk kopi untuk bosnya. Tangannya sibuk menuang racikan kopi untuk menemani sarapan paginya.

“Hmmm ... kalo nggak ada jadwal dadakan lagi, jadilah,” tukas Srikandi sambil mengambil dua sachet cream dan gula. Disimpannya dalam tatakan terpisah. Dia ambil juga sendok baru yang masih bersih, kemudian ujungnya dibalut dengan lipatan tisu.

“Ke mana?” Anwar nimbrung.

“Yuk, Mas Anwar join aja, kita mau nyari makan di luar.” Srikandi mengajak Anwar turut serta, dia tidak memperhatikan raut wajah Bisma yang berubah.

“Ya udah, lagian jomblo mah bebas nggak ada acara, gue join ya, Bis,” ucapnya tertuju pada Bisma yang membelakanginya.

“Hmmm ....” Hanya itulah yang keluar dari mulut Bisma.

“Duluan ya, mau ngasih umpan BG dulu.” Srikandi berlalu sambil membawa secangkir kopi dalam nampan untuk bosnya.

Setibanya diruangan, dia letakkan kopinya di atas meja. Lelaki itu sudah fokus mantengin layar laptopnya.

“Silakan Pak,” ucap Srikandi dengan sopan. Kemudian dia berbalik untuk kembali ke pantry.

“Hmmm ... kok pait?” pertanyaan macam apa itu. Srikandi memutar tubuhnya kembali.

“Ya, kan gula ama creamernya dipisah Pak,” ujar Srikandi dengan memasang wajah ramah. Matanya membulat ke atas pertanda jengah.

“Kamu nyuruh saya bikin kopi sendiri?” tukas Arjuna tanpa menatap ke arahnya. Srikandi menghela napas, kemudian mendekat dan menuangkan creamer dan gula pada cangkir bosnya.

Biasanya juga campurin sendiri.

“Udah Pak, silakan.” Kali ini dia masih berdiri sekitar dua langkah dari meja Arjuna. Gadis itu menunggu bosnya mengomentari kopi racikannya.

“Kemanisan, saya nggak suka, buat baru,” ucapnya setelah meneguk sedikit kopinya.

“Jangan dua gula satu creamer, tapi satu gula dua creamer, ngerti?” tukas Arjuna sambil melirik sekilas pada wajah sekretarisnya.

“Kenapa nggak bilang dari tadi sih, Pak?” Srikandi melempar protes secara spontan. Mulutnya memang seringkali bergerak lebih cepat daripada otaknya.

“Kamu nggak nanya,” ucapnya dengan wajah dingin tanpa ekspresi yang membuatnya segan untuk berdebat kembali.

“Bos gilaaaaa,” umpatnya sambil mengomeli cangkir kopi yang dibawanya. Pastinya setelah dia berbalik dan berjalan memunggungi bosnya.

Srikandi membawa kembali kopi ke pantry. Wajahnya semakin ditekuk. Anwar baru saja selesai sarapan dan berjalan keluar. Mereka berpapasan di depan pintu pantry.

“Kok dibawa balik lagi kopinya Sri?” tanya Anwar heran.

“Kemanisan Mas,” jawabnya sambil berlalu. Anwar meneruskan langkahnya menuju ruangan IT yang terpisah dari ruangan lainnya.

“Kok dibawa lagi Sri kopinya?” pertanyaan kedua yang sama terlontar dari Bisma yang masih duduk di sana.

“Aku udah jawab Mas Anwar tadi, pertanyaannya sama, Mas Bisma tanya Mas Anwar aja jawabannya,” Srikandi masih cemberut. Ditumpahkannya kopi itu ke wastafel. Bisma hanya menggeleng-geleng kepala.

Dia mengambil cangkir baru kemudian meracik kembali kopi sesuai arahan dari atasannya. Satu gula dan dua creamer. Setelah jadi dia membawanya ke ruangan diiringi langkah Bisma yang sudah selesai sarapan.

“Sore jangan lupa ya!” ucapnya sambil membantu mendorong pintu kaca ruangan Srikandi. Dia tidak tega melihat gadis itu kesusahan.

“Iya Mas, makasih ya,” Srikandi tersenyum tulus. Sebuah perhatian kecil mampu membuat mood-nya sedikit membaik.

Arjuna melirik sekilas, mendengar obrolan di depan pintu. Srikandi mendekat ke arahnya dan meletakkan kopi di atas mejanya.

“Gimana Pak, rasanya?” Srikandi masih berdiri menunggu Arjuna mencobanya. Cacing diperutnya sudah berteriak meminta makan.

“Kamu nggal lihat ini kopi masih ada asapnya?” tanya Arjuna tanpa menoleh.

“Lihat Pak,” jawab Srikandi bingung. Apa hubungannya rasa kopi dengan asap.

“Jadi kesimpulannya?” Arjuna malah memberinya tebak-tebakan.

“Hmm, masih panas Pak, kalo gitu saya tinggal dulu ya,” ucap Srikandi setelah berpikir sejenak. Kemudian dia meraih kantong plastiknya. Gadis itu berjalan tergesa-gesa, khawatir atasannya itu memanggilnya kembali. Sementara Arjuna masih duduk terpaku ditempatnya, hanya melirik sekilas punggung sekretarisnya. Kemudian dia mengambil cangkir itu dan menyesapnya.

“Cantika, dulu kamu yang selalu buatin kopi seperti ini.” Matanya berkaca-kaca memandang cangkir yang kini kembali ditaruhnya. Berkali-kali dia menghela napas panjang. Bagaimanapun satu sisi hatinya benar-benar merasa kehilangan.

“Kalau bukan karena ayah menggantikanmu dengannya, mungkin hari ini kita masih berbahagia.” Arjuna bersandar pada kursi kebesarannya. Matanya beralih menatap seisi ruangan. Masih selalu terbayang bagaimana kehangatan yang tercipta setiap hari di ruangan itu. Suasana yang sungguh jauh berbeda dengan sekarang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status