Share

BUKAN KISAH CINDERELLA
BUKAN KISAH CINDERELLA
Penulis: Nafish Fn

01. Penjaga Toko Baju

Usaha terakhir yang bisa Laisa lakukan hanyalah memejamkan mata. Meningkatkan volume lagu yang ia putar, dan fokus menepis suara-suara mesra di luar headphone-nya. Ia sudah hampir gila, hilang logika terhadap jalan pikiran sahabat karibnya yang terang-terangan mempertontonkan cumbu lewat pantulan kaca.

Ia bahkan berani bersumpah kalau adegan itu sama sekali tak mengundang gairah. Laisa malah dibuat jijik, muak dan tidak berselera. Reina dan Leon sang pacar sukses membuat nafsu manusiawinya raib seketika.

"Apa tidak bisa pesan hotel ya?" ketus Laisa berkomentar. Dia sudah mencapai taraf jengah, tidak tahan lagi mendengar tawa girang dari sepasang kekasih yang masih bermanja-manja di ruang uji coba pakaian.

Entah sejak kapan mulainya mereka menjadikan toko baju ini sebagai markas pelepasan hasrat. Yang jelas, sebagai penjaga toko di sana, Laisa merasa dirugikan. Dia tidak bisa terus-terusan diam dan menjadi penonton setia, kan?

Dan lagi, mau digaji dengan apa kalau toko ini tutup sesuai jadwal kasmaran dua insan? Yang benar saja! Tidak munafik, Laisa butuh uang. Menjadi penjaga toko baju merupakan satu-satunya pemasukan yang ia punya.

"Laporan bulan lalu sudah meleset jauh dari target penjualan loh, Rei. Mau lapor apa ke Papamu kalau bulan ini rugi lagi?" imbuh Laisa tanpa air muka. Dia sengaja menciptakan atmosfer serius agar Reina tidak meremehkan ucapannya.

Yah, bagaimanapun, meski secara teknis toko baju ini adalah milik Reina, Laisa juga memegang peran penting sebagai pengelola sekaligus penanggung jawabnya. Setiap rinci bisnis ini wajib Laisa laporkan pada puncak dari segala puncak Grup Lesmana. Ia tidak boleh membuka-tutup toko sembarangan.

"Aku tahu, Laisa," sahut Reina terpaksa bangkit dari posisinya. Tidak perlu banyak penjelasan, perempuan itu selalu tahu maksud dari ekspresi Laisa. Belasan tahun menjadi sahabat, Reina paham betul arah pembicaraan Laisa bermuara.

"Kau juga tahu kalau aku tidak bisa ke hotel, kan?" sambung Reina seraya berjalan ke arah Laisa, meninggalkan Leon yang masih terlunglai lemah, "Papa mengawasi hubunganku dan Leon sangat ketat. Aku tidak mau dia kena masalah, apalagi kalau Papa sudah nekat." 

Itulah rumitnya menjadi Reina. Hidup sudah kaya raya, ekonomi terjamin, masa depan cerah, malah jatuh cinta pada lelaki yang salah. Leon hanyalah yatim piatu yang bekerja di toko pembuat tato pinggir jalan. Mereka langsung klop satu sama lain cukup dengan tiga kali pertemuan.

Tentu Laisa ikut senang melihat sahabat karibnya berhasil menemukan belahan jiwa. Namun percintaan mereka ditolak mentah-mentah. Jangankan restu, Leon bahkan tak pernah diijinkan menginjak halaman rumah keluarga Lesmana.

Kalau dipikir-pikir memang mau ditaruh mana harga diri Tuan Lesmana? Putri tunggalnya yang paling dibanggakan malah kepincut lelaki kelas rendah. Apa kata sanak saudara? Bagaimana pandangan rekan bisnis kalau tahu kekacauan hidup anaknya? Bisa malu tujuh turunan!

Fakta bahwa Reina nekat berteman dengan Laisa saja sempat membuat pertikaian. Apalagi kalau Reina sampai menikahi lelaki yang tidak jelas asal usulnya? Tuan Lesmana tidak mungkin lengah, pria itu bisa menghalalkan segala cara demi mengawasi Reina.

"Dan kau lebih suka aku disalahkan atas kelakukan kalian?" 

Ya, Laisa sendiri bukan datang dari keluarga kaya. Salahnya pergaulan Reina acap kali disangkut pautkan dengan keberadaan Laisa di sisinya. Sekalipun semua murni keputusan Reina, status sosial Laisa selalu dinilai sebagai penyebab utama.

"Kalau di sini aku jamin tidak akan ketahuan. Kecuali kau yang melaporkan," ujarnya telah berada persis di hadapan Laisa yang hanya terhalang meja kasir, mereka bisa saling menatap satu sama lain. 

Aturan pertama, Reina tahu kalau Laisa tidak mungkin lapor kepada Papanya. Kedua, perempuan itu sadar betul jika Laisa menggantungkan hidup pada dirinya. Dan seharusnya tidak perlu alasan lain untuk curiga, sebab Reina percaya pada Laisa lebih dari yang orang pikirkan.

Mereka sudah sangat dekat sejak bertemu di Sekolah Menengah Pertama. Reina tahu betul jatuh bangunnya hidup Laisa. Dari yang semula kaya raya, sampai bangkrut terlilit hutang. Reina juga selalu ada di sisi Laisa. Dia selalu menjadi orang pertama yang menemani Laisa menghantarkan kedua orang tuanya ke pemakaman.

Tak heran, segala kesialan hidup Reina selalu dikaitkan dengan keputusannya menjadi sahabat karib Laisa. Bagi Tuan Lesmana, Laisa adalah gadis paling tidak beruntung di dunia. Bahkan nyamuk pun enggan mengisap darahnya dan rela kelaparan (karena takut tertular sial).

Walau terkesan tidak masuk akal, tapi kadang-kadang Laisa juga sepakat. Bagaimanapun juga, Tuan Lesmana hanya mengambil kesimpulan dari intisari perjalanan hidup Laisa. Dan selama ia masih bisa mengais rejeki tanpa hambatan lewat keluarga Lesmana, ia sama sekali tidak keberatan dikatai demikian.

"Bulan ini aku pastikan tidak rugi, jadi jangan terlalu serius menghadapi Papa yang perfeksionis. I Love him, Laisa, So pleasee..."

"Ya. Aku tahu," tukas Laisa setengah tidak peduli, "Tapi apa iya dia cinta sejati yang kau cari? Tolong sedikit lebih realistis, Rei. Bukan tidak mungkin dia cuma suka badanmu yang seksi."

Mungil, kecil, tapi montok sana sini, siapa yang tidak suka sih? Laisa mencoba membuka pandangan sahabatnya yang lagi-lagi hanya tertawa usil. "Aku baru tahu kau suka badanku, Laisa," godanya diikuti senyum memincing.

Memang susah bicara dengan orang yang sedang kasmaran lahir batin. "Itu hanya sudut pandangku, Rei,"sahut Laisa seraya membuang napas kecil.

Reina tergerlak tipis, "Ya, aku paham maksudmu. Leon memang bisa saja bukan cinta sejati yang selama ini aku mau. Tapi saat ini kita sama-sama mau, butuh, dan candu. Jadi apakah penting aku memikirkan semua itu?"

"Tiga tahun yang lalu kau juga bilang begitu."

"Aku pasti bisa meyakinkan Ayah, Laisa. Meski itu harus menghabiskan seribu tahun!"

"Rei..."

"Sudahlah. Aku juga bosan bahas perkara itu terus-menerus. Ada masalah yang lebih serius dibanding kekhawatiranmu itu."

Laisa menyerah tanpa perlawanana apapun, "Apa?"

"Kau tahu kan keluarga kaya raya Salomon? Yang bisnisnya mengular kemana-mana, pasti kau pernah dengar. Mereka juga baru menggelar pameran fashion di Singapura," Reina membulatkan mata antusias. Ekspresinya berubah total.

Tentu Laisa mengenalnya. Sebagai penggiat fashion sejak mengambil sekolah kejuruan, ia tak mungkin melewatkan keluarga sultan andara Salomon dengan fashion trendinya. Meski tak bisa mengoleksi produk mereka, Laisa bisa dikatakan fans berat. Namun ia yakin bukan ke sana arah pembicaraan Reina.

"Ya, kenapa?"

"Mereka mengumumkan seleksi terbuka untuk menjadi calon istri Avram. Ini kesempatan emas Laisa, kau bisa saja jadi bagian dari keluarga mereka hanya dengan menaklukkan hati bocah empat tahunan!"

"Gila! Aku tidak ada niat ikut yang begitu. Bisa kerja di tokomu saja sudah bersyukur."

Sudah Laisa duga. Arah percakapan Reina tidak mungkin berkaitan dengan pameran atau strategi pengembangan bisnis toko bajunya. Selalu ada ide di luar nalar yang ia paparkan. Hal yang tentu tidak menarik minat Laisa yang hidupnya didedikasikan habis untuk hutang, kerja, dan uang.

Lagipula Laisa tak pernah tertarik dengan strategi mengangkat derajat lewat pernikahan. Sama seperti Reina, ia juga terobsesi menemukan cinta yang natural dan tulus. Akan tetapi, rupanya akal bulus Reina tidak berhenti sampai di situ. Perempuan itu tersenyum menang sambil mendekatkan diri pada Laisa yang masih termangu.

"Kalau begitu gantikan aku," ujarnya lebih terdengar seperti perintah dibanding penawaran, "Hanya satu malam, aku naikkan gajimu tiga kali lipat. Bagaimana? Sepekat?"

Laisa terdiam seribu bahasa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status