"Apa menurutmu kalau kita pindah?"Pertanyaan itu diajukan tiba-tiba tepat ketika Avram baru masuk ke kamar. Lelaki itu membawa tablet pintar sambil menghampiri Laisa yang menghadap ponsel pintar di pinggir ranjang. Kalimat yang tentu membuatnya sontak mendongak, memandang Avram hingga mereka berhadapan."Pindah? Meninggalkan rumah utama?" mata Laisa membola, keningnya mengernyit heran.Sementara Avram hanya mengangguk singkat. Sudah lama sejak terakhir kali mereka membicarakan masalah rumah tangga. Satu bulan terakhir, kegiatan mereka padat merayap mengurus perusahaan. Jadi, tentu, masalah ini layak untuk lekas dibicarakan."Kau kepala keluarga Salomon, Avram, bagaimana mungkin meninggalkan bangunan ini begitu saja?"Avram mengambil duduknya, lantas meraih tangan Laisa, "Ada Ayah dan Nyonya Kim, kan? Atau kau lebih suka aku mengusir mereka?""Kau sudah berjanji tak akan melakukannya."Jawaban dari Laisa membuat Avram tersenyum hangat, ia membelai lembut rambut sang istri perlahan, "A
"Demi Tuhan, Leon, aku tidak tahu keberadaan Reina," rintih Laisa memelas, ia terus menggeliat supaya bisa membebaskan diri dari tali yang mengikat tangan dan tubuhnya."Kalian bertemu, Laisa," sinis Leon dari kejauhan, lelaki itu berselancar pada telpon genggam Laisa , berusaha keras mencari suatu pertanda."Lepaskan aku, Leon, atau aku...""Apa?!" teriak Leon kesal, lantas melempar ponsel Laisa sembarangan. Ia mendekat perlahan-lahan, "Atau apa? Suamimu tidak akan bisa menemukanmu, Laisa, kecuali aku yang membebaskan."Jarak mereka kian terpangkas, membuat napas Leon yang memburu itu menyapu wajah Laisa. Kemudian jari tunjuknya bergerak lembut seraya menuntun dagu Laisa mendongak. "Dan tak perlu repot soal mengugurkan kandungan, kau bisa terus diam dan bermalam di sini untuk menghapus jejak bayi itu selamanya," bisik Leon tajam membuat Laisa langsung berpaling geram."Kau memilih musuh yang salah, Leon," dingin suara Laisa menggema. Ia sama sekali tidak takut dengan ancaman Leon.Al
Pesan perpisahan terakhir kali yang ditujukan kepada mendiang telah dihaturkan. Tangisan haru Kim Sarang terdengar paling nyaring dan menusuk relung jiwa. Tak ada yang bisa Laisa lakukan kecuali membelai lembut pundak wanita itu perlahan-lahan. Henry Salomon telah meninggalkan dunia. Avram mengantarkan satu per satu tamu yang pamit pulang. Sementara Nada tetap tenang berada di dekat Laisa sambil memperhatikan hilir mudik sekitar. Tentu tak ada sebutir air mata pun jatuh ke pipinya, sebab Nada tak pernah mengenal Henry Salomon dengan baik dan benar. Pria itu tak pernah menganggap Nada ada, terlebih keterbatasan kesehatan yang memaksanya untuk selalu berada di dalam kamar. Kematian Henry tak berpengaruh apapun di kehidupan Nada. Satu-satunya yang terpukul dalam situasi ini hanyalah Kim Sarang. Wanita itu tak berhenti meraungkan nama belahan hidupnya. Tentu Avram tak sampai hati melihatnya. Walau ia tidak terlalu peduli pada Kim Sarang, detik itu dia menyadari bahwa wanita itu tulus me
Usaha terakhir yang bisa Laisa lakukan hanyalah memejamkan mata. Meningkatkan volume lagu yang ia putar, dan fokus menepis suara-suara mesra di luar headphone-nya. Ia sudah hampir gila, hilang logika terhadap jalan pikiran sahabat karibnya yang terang-terangan mempertontonkan cumbu lewat pantulan kaca. Ia bahkan berani bersumpah kalau adegan itu sama sekali tak mengundang gairah. Laisa malah dibuat jijik, muak dan tidak berselera. Reina dan Leon sang pacar sukses membuat nafsu manusiawinya raib seketika. "Apa tidak bisa pesan hotel ya?" ketus Laisa berkomentar. Dia sudah mencapai taraf jengah, tidak tahan lagi mendengar tawa girang dari sepasang kekasih yang masih bermanja-manja di ruang uji coba pakaian. Entah sejak kapan mulainya mereka menjadikan toko baju ini sebagai markas pelepasan hasrat. Yang jelas, sebagai penjaga toko di sana, Laisa merasa dirugikan. Dia tidak bisa terus-terusan diam dan menjadi penonton setia, kan? Dan lagi, mau digaji dengan apa kalau toko ini tutup se
Laisa memang tidak tertarik dengan pernikahan bisnis yang Reina tawarkan, tapi kalau soal naik gaji mungkin bisa dibicarakan. Bagaimanapun ia tak bisa melewatkan kesempatan emas. Naik gaji tiga kali lipat bukan angka yang murah."Aku tidak mungkin menghianati Leon hanya demi acara tidak penting itu, Laisa, dan terus terang aku tidak mau Papa tahu kalau aku tidak datang. Tamu acara ini sudah seperti reservasi rumah makan mewah, perlu konfirmasi wali yang bersangkutan kalau ada kandidat yang berhalangan."Laisa terdiam sejenak. Ia mengelola kalimat itu di kepala dengan cermat. Agar tak melewatkan sedikitpun permainan kata yang Reina buat.Intinya, Laisa hanya perlu datang, kan?Ia bertugas memerankan tokoh Reina sepanjang acara. Berpura-pura menjadi putri tunggal keluarga Lesmana, lantas mendapat untung naik gaji sampai tiga kali lipat. Apalagi yang perlu Laisa pertimbangkan? Tawaran itu sangat menggiurkan.Namun, "Apa kau yakin tidak ada yang curiga?" selintas saja pikiran itu menggang
"Bagian mana diskusinya?"Lelaki itu melamatkan pandang, menyisir satu per satu orang yang berperan dalam acara perjodohan. Sudah amat terlambat kalau mereka mencabut berita itu sekarang. Lebih dari 200 perempuan mulai dari gadis hingga janda dari berbagai usia terlanjur mendaftar untuk berpartisipasi sebagai kandidat."Memangnya kau setuju kalau kita bicarakan dulu sebelum acara? Sekali-kali coba pikirkan perasaan Nada, dia butuh sosok ibu yang mendampingi tumbuh kembangnya," sahut wanita itu lembut. Ia tak merasa bersalah sedikitpun. Lagipula keputusannya bulat, ia akan membuat Avram menikah."Itu bukan urusan Anda, Nyonya Kim," Avram menyahut sinis. Tidak peduli sebesar apapun wanita itu berusaha mendekatkan diri, Avram tak akan pernah membuka hati. Ya, ia tak bisa melupakan pengkhianatan paling menyakitkan yang dilakukan Ayah-nya sebulan setelah sang Bunda meninggal dunia. Bagaimana bisa pria yang mengaku cinta setengah mati pada sang Bunda itu langsung jatuh cinta pada perawan c
"Atas nama Laisa Putri Senja?"Suara Laisa tercekat di tenggorokan usai petugas resempsionis membacakan data dirinya.Mencoba peruntungan dengan nama sendiri, katanya?! Sialan, itu semua hanya sandirwara. Skenario tentang menggantikan dirinya yang dipaksa datang oleh Tuan Lesmana adalah bual. Reina memang mendaftarkan Laisa untuk berpartisipasi dalam acara perjodohan.Kalau sudah terlanjur begini Laisa harus bagaimana? Pulang dan memarahi Reina? Yang benar saja! Perempuan itu tak akan merasa bersalah. "Nona?" petugas resepsionis menuntut jawaban, "Apakah Anda Laisa Putri Senja?" ulangnya.Antrian panjang di belakang Laisa mulai bersungut kesal. Di sisi lain tiga orang petugas keamanan bertubuh kekar mulai mendekat. Dengan segenap ragu, ia menganggukkan kepala, "I-iya.""Ada masalah apa?" salah satu petugas keamanan bersuara garang, membuat Laisa terkesiap."Tolong antarkan Nona Laisa ke kursi nomor 39," petugas resepsionis menjawab tenang latas menatap lagi kepada Laisa, "Setelah sam
"Ini punyaku!"Laisa yang sejak tadi tertawan pada hidangan penutup dan mengabaikan para perempuan berebut bocah langsung melingak. Tentu bukan hanya Laisa, suara melengking nan nyaring itu berhasil mencuri seluruh perhatian. Salah seorang bocah berwajah pucat tengah berusaha merebut es krim dari anak yang sepanjang malam ini menjadi primadona.Dari tampilannya, anak itu memang lebih cocok memegang peran sebagai Nada. Berpakaian modis dengan garis muka perpaduan Indonesia-Eropa. Melihat dari garis keturunan Avram, kemungkinan besar dialah anak yang seharusnya menjadi pemeran utama, penting untuk ditaklukkan oleh seluruh kandidat."Ini es krimku!" anak berpakaian modis menolak, meski sebetulnya mudah saja bagi dia mendapatkan es krim yang baru. Hanya perlu sedikit merengek, dan perempuan-perempuan yang sejak tadi mengitarinya pasti langsung lari mewujudkan keinginan itu.Namun, bagaimanapun anak-anak secara alami memang suka bertengkar merebutkan sesuatu. Dia ingin menunjukkan kekuasaa