Laisa memang tidak tertarik dengan pernikahan bisnis yang Reina tawarkan, tapi kalau soal naik gaji mungkin bisa dibicarakan. Bagaimanapun ia tak bisa melewatkan kesempatan emas. Naik gaji tiga kali lipat bukan angka yang murah.
"Aku tidak mungkin menghianati Leon hanya demi acara tidak penting itu, Laisa, dan terus terang aku tidak mau Papa tahu kalau aku tidak datang. Tamu acara ini sudah seperti reservasi rumah makan mewah, perlu konfirmasi wali yang bersangkutan kalau ada kandidat yang berhalangan."
Laisa terdiam sejenak. Ia mengelola kalimat itu di kepala dengan cermat. Agar tak melewatkan sedikitpun permainan kata yang Reina buat.
Intinya, Laisa hanya perlu datang, kan?
Ia bertugas memerankan tokoh Reina sepanjang acara. Berpura-pura menjadi putri tunggal keluarga Lesmana, lantas mendapat untung naik gaji sampai tiga kali lipat. Apalagi yang perlu Laisa pertimbangkan? Tawaran itu sangat menggiurkan.
Namun, "Apa kau yakin tidak ada yang curiga?" selintas saja pikiran itu mengganggu Laisa.
Andai kata acara itu memang dibuat sangat ketat, tidakkah mereka memiliki data profil lengkap yang mencatat masing-masing kandidat? Bagaimana kalau ketahuan di tengah acara? Apakah itu artinya dia gagal mendapatkan kenaikan gaji ekstra?
"Mereka tidak meminta foto, Laisa," tukas Reina seolah telah tuntas memprediksi segala kemungkinan. "Itu adalah bukti dari konsistensi mereka yang menyatakan 'tidak memandang fisik dan latar belakang keluarga.' Mereka hanya mengandalkan kode barcode sebagai bukti pendaftaran."
Sekali lagi, Laisa bungkam. Semua ini terasa mengganjal baginya. Seperti ada sesuatu yang tidak benar, hal yang salah dan tidak seharusnya ia sepakati dengan Reina.
"Dengar, aku menaikkan gajimu tanpa sepengetahuan Papa, Laisa. Itu artinya aku serius dengan penawaran barusan!" desak Reina tidak sabar dengan sesi tawar-menawar yang mereka lakukan. Membuat Laisa mendengus panjang, membuang tatapan kosong ke arah dirinya.
"Lalu apa yang aku lakukan? Maksudku, selama di sana, setelah menjadi dirimu, aku harus apa?" keluhnya. Kalau boleh jujur, Laisa sangat tergoda untuk sepakat. Ayolah... lagipula siapa yang mau mengeluarkan upah bulanan sebesar itu kecuali Reina?
Reina yang sudah mencapai batas sabarnya pun memutar bola mata kesal, "Terserah! Mau kau buat mereka ilfeel atau muak! Kau mau datang atau tidak?!"
Pada dasarnya, Laisa sudah tidak punya harga diri sejak keluarganya bangkrut total. Ia tidak peduli bahkan jika dalam beberapa kasus Reina terkesan memanfaatkan kelemahan dirinya dan semena-mena terhadap uang. Tidak perlu dipusingkan selama kebutuhan hidupnya tercukupi dengan mudah.
Cukup satu malam. Hanya datang ke pesta besar yang dihadiri ratusan orang. Tidak mungkin ketahuan, apalagi sampai terjadi hal buruk yang tidak diharapkan.
"Ya..." gumam Laisa di ambang keraguan, "Maksudku, oke... baiklah, aku sepakat."
Detik itu juga Reina bersorak tanpa suara. Ia mendeklarasikan kemenangan dirinya lewat senyum semringah. "Great! Love you... besok langsung ke rumahku aja. Kau harus tampil cantik dan menawan sebagai Reina."
Tentu saja, sebagai Reina.
Bahkan hanya dengan meminjam namanya, Laisa bisa merasakan kehidupan mewah yang telah raib sekian lama. Dia akan menjadi Cinderella dalam satu malam. Merasakan hidup bagai tuan putri tunggal yang kaya raya.
Ada secuplik gembira menyusupi relungnya. Apalagi ketika memikirkan upah bulanan yang akan menjadi berlipat-lipat. Mungkin (sebagai balasan) setelah ini Laisa tidak perlu ikut campur lagi soal Leon dan Reina. Sudah seharusnya ia cukup tahu diri dan mendukung sahabat karibnya itu sepenuh jiwa.
Tetapi belum sempat Laisa menunjukkan reaksinya, lelaki itu lebih dulu memeluk Reina dari belakang. Sosok Leon yang baru mencapai 60% kesadaran dirinya bergelayut manja. Berbisik sendu seraya mengigit kecil telinga Reina, "Miss you, Beb..."
Tak butuh waktu lama bagi Reina menjadi salah tingkah. Laisa bisa melihat gurat pipi perempuan itu kian memerah. "Astaga, pakai celanamu, Leon," sahutnya lebih menggoda. Mereka sama sekali tak tahu malu di hadapan Laisa.
Dan sebelum adegan sejoli itu semakin liar, Laisa buru-buru bersuara, "Kalian mau di sini atau pindah?"
Mereka kompak tertawa menanggapinya.
"Kau boleh pulang, Laisa, dan jangan lupakan kesepakatan kita," sahut Reina berusaha keras mengabaikan sentuhan-sentuhan Leon yang sudah tidak sabar.
Sementara Leon yang tak merasa terganggu malah melirik Laisa dengan mata sayunya. Memincingkan senyum jahil yang paling menyebalkan di dunia, "Atau tetap di sini juga bukan masalah, Laisa. Kau punya hak istimewa menonton kami berdua."
Laisa hanya menanggapi lelaki itu dengan tatapan setajam bilah. Tak menunjukkan ekspresi apapun selain menyambar tas dan beranjak dari sana. Dunia memang mau kiamat, Laisa bahkan tak melihat sedikitpun rasa malu menyelimuti Leon dan Reina.
Mereka bercinta di setiap sudut toko baju tanpa memusingkan keberadaan Laisa. Seolah percintaan semacam itu normal dan wajar disaksikan oleh seseorang. Memang gila! Seisi alam semesta sudah tidak lagi berakal.
Bahkan andai boleh mengaku, Laisa yang tak pernah pacaran itu semakin tidak ingin menjalin hubungan romansa sejak tiga tahun lalu. Konfliknya sederhana, ia takut mendapatkan pasangan bernafsu tinggi seperti Leon atau Reina.
Kembali pada sejarah hidup Laisa, keinganan dia sebetulnya amat sederhana. Bertemu dengan lelaki yang biasa saja, normal, tidak perlu terlalu kaya. Ia ingin mencinta dan dicintai dengan cara yang natural. Menghabiskan waktu ke tempat-tempat umum sambil bercengkrama, atau makan di warung pinggir jalan sembari mendengar bisingnya lalu-lalang.
Mungkin dalam tahap pacaran, Laisa cukup menikmati sentuhan-sentuhan lembut di puncak kepala. Bukan masalah kalau sebatas cubit kecil, atau kecup tipis di pipinya. Laisa ingin menikmati sensasi malu-malu kucing saat tangannya digenggam.
Baginya, romansa seperti itu adalah kisah manis yang wajib dimiliki sekali dalam hidupnya.
Meski nyatanya kehidupan seperti itu nyaris tidak mungkin Laisa dapatkan. Di usia yang menginjak dua puluh enam, ia masih perlu dua tahun lagi untuk melunasi segala hutang. Masa muda Laisa tergadaikan. Semua keinginan-keinginan itu ibarat mimpi yang mustahil terlaksana.
Sialnya, bicara soal kepedihan hidup selalu berhasil membuat air mata Laisa merebak. Ia gagal mengendalikan diri jika berkaiatan soal masa depan. Laisa tidak punya banyak harapan, satu-satunya tujuan hidupnya adalah uang.
Entah sampai kapan ia harus merelakan harga diri demi uang? Sampai titik mana ia menjual dirinya demi pundi-pundi rupiah? Bahkan sejujurnya Laisa benci kenyataan bahwa ia merasa senang bisa berkesempatan menjadi Reina guna mencicipi kemewahan.
Laisa ingin marah pada dirinya yang rela melakukan apapun demi kenaikan gaji tiga kali lipat. Ia bahkan sukarela memasang topeng selama menyaksikan tindakan bejat Leon dan Reina hanya karena pekerjaannya sebagai penjaga toko pakaian. Mendadak segala kalut di kepalanya bermunculan.
Dilema dalam diri Laisa berkecamuk membentuk isak. Sesak dadanya menjelma raung pilu yang menyayat telinga. Tanpa berpikir panjang, Laisa berjongkok meluapkan tangisan. Bermodalkan telapak tangan yang menangkup seluruh wajah, ia merayakan air mata.
Dalam situasi seperti ini, siapa yang peduli soal lalu lalang? Sekalipun ia mejadi pusat perhatian dari pejalan kaki di trotoar, bukan masalah. Lagipula, Laisa sudah tidak punya harga diri yang perlu dipertahankan.
Akan tetapi di antara tangis itu, Laisa mendengar suara lembut nan berat di hadapannya. Bayangan hitamnya melindungi Laisa dari paparan sinar matahari yang menyengat. Seorang lelaki yang langsung tersenyum begitu Laisa mengintipnya dari sela jemari tangan.
"Sorry... bukan bermaksud mengganggu, tapi..." katanya menggantung, kemudian ikut berjongkok selagi menyodorkan sapu tangan bermotif batik dari balik saku, "Ini. Barangkali butuh."
Satu detik, dua detik, Laisa mendiamkan lelaki itu. Ia ragu. Apakah lelaki ini tengah mempraktikkan modus penipuan terbaru? Namun lelaki itu hanya menyuguhkan seulas senyum.
"Bad day, right? Hanya sapu tangan biasa. Kebetulan belum aku pakai apa-apa," imbuhnya memperjelas.
Laisa pun memutuskan untuk menerima. Meraih sapu tangan lalu menutup area hidung sampai mulutnya. Membuat manik mata mereka lebih leluasa untuk saling berjumpa. Memangkas habis jarak yang hanya tersisa dua jengkal.
Lelaki berwajah oriental Khas Asia Timur itu sekali lagi tersenyum ramah. Kali ini ia menyodorkan air mineral dingin kepada Laisa, "Just it, berharap bisa sedikit memperbaiki your feeling."
Dan seakan tak memberi kesempatan bagi Laisa untuk menolak, lelaki itu meraih tangannya dan meletakkan air mineral itu di sana. Detik berikutnya ia bangkit sambil menepuk-nepuk pundak Laisa. "Hati-hati di jalan ya..." ujarnya tepat sebelum raib dari jangkauan pandang.
Laisa yang tak beranjak hanya bisa memandangi air mineral dan sapu tangan itu bergantian. Merasakan gelora degup jantungnya yang tidak karuan. Apakah lelaki itu adalah takdir hidupnya?
Entahlah...
Liasa tidak cukup berani untuk berharap.
"Bagian mana diskusinya?"Lelaki itu melamatkan pandang, menyisir satu per satu orang yang berperan dalam acara perjodohan. Sudah amat terlambat kalau mereka mencabut berita itu sekarang. Lebih dari 200 perempuan mulai dari gadis hingga janda dari berbagai usia terlanjur mendaftar untuk berpartisipasi sebagai kandidat."Memangnya kau setuju kalau kita bicarakan dulu sebelum acara? Sekali-kali coba pikirkan perasaan Nada, dia butuh sosok ibu yang mendampingi tumbuh kembangnya," sahut wanita itu lembut. Ia tak merasa bersalah sedikitpun. Lagipula keputusannya bulat, ia akan membuat Avram menikah."Itu bukan urusan Anda, Nyonya Kim," Avram menyahut sinis. Tidak peduli sebesar apapun wanita itu berusaha mendekatkan diri, Avram tak akan pernah membuka hati. Ya, ia tak bisa melupakan pengkhianatan paling menyakitkan yang dilakukan Ayah-nya sebulan setelah sang Bunda meninggal dunia. Bagaimana bisa pria yang mengaku cinta setengah mati pada sang Bunda itu langsung jatuh cinta pada perawan c
"Atas nama Laisa Putri Senja?"Suara Laisa tercekat di tenggorokan usai petugas resempsionis membacakan data dirinya.Mencoba peruntungan dengan nama sendiri, katanya?! Sialan, itu semua hanya sandirwara. Skenario tentang menggantikan dirinya yang dipaksa datang oleh Tuan Lesmana adalah bual. Reina memang mendaftarkan Laisa untuk berpartisipasi dalam acara perjodohan.Kalau sudah terlanjur begini Laisa harus bagaimana? Pulang dan memarahi Reina? Yang benar saja! Perempuan itu tak akan merasa bersalah. "Nona?" petugas resepsionis menuntut jawaban, "Apakah Anda Laisa Putri Senja?" ulangnya.Antrian panjang di belakang Laisa mulai bersungut kesal. Di sisi lain tiga orang petugas keamanan bertubuh kekar mulai mendekat. Dengan segenap ragu, ia menganggukkan kepala, "I-iya.""Ada masalah apa?" salah satu petugas keamanan bersuara garang, membuat Laisa terkesiap."Tolong antarkan Nona Laisa ke kursi nomor 39," petugas resepsionis menjawab tenang latas menatap lagi kepada Laisa, "Setelah sam
"Ini punyaku!"Laisa yang sejak tadi tertawan pada hidangan penutup dan mengabaikan para perempuan berebut bocah langsung melingak. Tentu bukan hanya Laisa, suara melengking nan nyaring itu berhasil mencuri seluruh perhatian. Salah seorang bocah berwajah pucat tengah berusaha merebut es krim dari anak yang sepanjang malam ini menjadi primadona.Dari tampilannya, anak itu memang lebih cocok memegang peran sebagai Nada. Berpakaian modis dengan garis muka perpaduan Indonesia-Eropa. Melihat dari garis keturunan Avram, kemungkinan besar dialah anak yang seharusnya menjadi pemeran utama, penting untuk ditaklukkan oleh seluruh kandidat."Ini es krimku!" anak berpakaian modis menolak, meski sebetulnya mudah saja bagi dia mendapatkan es krim yang baru. Hanya perlu sedikit merengek, dan perempuan-perempuan yang sejak tadi mengitarinya pasti langsung lari mewujudkan keinginan itu.Namun, bagaimanapun anak-anak secara alami memang suka bertengkar merebutkan sesuatu. Dia ingin menunjukkan kekuasaa
Namun, di luar dugaannya, dua jam terakhir itu terasa bagai neraka. Begitu memasuki ruangan pesta, Laisa menjadi pusat perhatian seluruh tamu undangan. Ratusan pasang mata itu tertuju padanya. Menyuguhkan tatapan sinis disertai cibir tajam. Entahlah, Laisa pribadi tidak mengerti alasan situasi ini terjadi. Dia mencoba tidak peduli. Mengalihkan perhatian pada ikan-ikan hias yang giat bermain di bawah ubin. Sampai ketika sepasang kaki berhenti tepat di hadapannya. Pantofel mengkilap yang membuat Laisa terpaksa menyeret ekor mata. "Tidak baca aturan acara, ya?" lelaki dengan garis wajah tegas itu dingin bersuara. Tatapannya datar, gigih menatap lekat iris mata Laisa. Tepat berada di tengah ruangan, Laisa resmi menjadi tontonan. Perempuan-perempuan itu secara naluriah melingkari mereka. Membuat Laisa meringis canggung demi mencairkan suasana. "Maaf, tapi... apa karena saya bawa anak tadi keluar? Saya sudah ijin pihak keamanan..." "Dan kau belikan dia es krim sembarangan?" tukas lela
"Halo?" Laisa sigap mengangkat dering ponselnya yang nyaring di dalam laju kendaraan. Perempuan itu baru bisa bernapas sedikit lebih lega. Keluar dari halaman mansion mewah milik keluarga Salomon dan mengamati penorama jalanan yang lengang. Akan tetapi ketentraman sesaat itu musnah begitu mendengar suara dari balik telpon genggam. Mata Laisa membulat sempurna. "Bu Laisa, saya hampir setengah jam di titik lokasi penjemputan. Mohon maaf ibu di sebelah mana, ya? Ramai sekali, Bu, di sini. Bisa tolong kasih saya tanda?" Sontak Laisa bangkit dari sandaran mobil guna mengamati sekitar. Ia panik bukan main kala lelaki yang memegang kendali kendaraan meliriknya dari spion atas. "Maafkan aku, Nona. Kau terlihat buru-buru dan aku tidak bisa menolak." Mata Laisa menyipit setengah ragu. Mengamati dengan saksama perpaduan antara suara dan sepasang manik mata itu. Tunggu dulu, Laisa tahu. Alih-alih berteriak dan mencari cara turun dari kendaraan, Laisa merangkak ke sela-sela kursi depan. Ia me
"Apa ada kejadian seru di pesta?"Reina yang sejak tadi hanya berpangku tangan memandangi kesibukan Laisa akhirnya bersuara. Dia sudah tidak tahan. Bagaimana mungkin perempuan itu bersikap biasa saja pasca dijebak Reina untuk menghadiri acara perjodohan?Yang semakin membuat Reina semakin penasaran adalah raut wajah Laisa yang cerah semringah. Sosok yang biasanya gampang ngomel hanya karena pelanggan sekadar mampir tanpa membeli barang, bersikap ramah pada semua orang. Entahlah, bahkan wajah datarnya seolah ditanggalkan pada suatu tempat.Sementara Laisa yang tengah disibukkan dengan kegiatan menghitung stok pakaian tak bisa menyembunyikan senyum. Ingatan soal lelaki sapu tangan bernama Gazza itu membuatnya gembira sepanjang waktu. Ia telah dibuat candu."Bisa dibilang begitu," sahut Laisa tanpa menoleh.Masih dengan mode detektifnya, Reina bertanya gamang, "Aku dengar pestanya bubar lebih awal. Kenapa?"Dalam hitungan detik suasana hati Laisa teralih. Bayangan pertengkarannya dengan
Habis sudah akalnya untuk merayu Laisa. Perempuan itu bersikeras mengulang-ulang jawaban yang sama. Sepatah alasan paling tidak logis yang pernah disampaikan Laisa sepanjang sejarah.Sambil sesekali memijat pelipisnya, Reina yang bersindekap dada itu membuang napas berat, "Sejak kapan kau percaya intuisi?""Aku tidak bisa, Rei," tukas Laisa menggeleng gigih."Kau hanya terbawa perasaan, Laisa. Situasinya terlalu mendukung, kau bertemu dengan dia pada titik terlemahmu, itu saja."Barangkali justru karena itu.Ia semakin sulit mengabaikan sosok Gazza yang begitu ramah dan lembut. Murah dalam tersenyum. Juga manis dalam bertutur.Segala komponen dalam diri Gazza berhasil memikat hati Laisa. Meski tanpa kepastian, walau dia sendiri tidak yakin kapan takdir mau mempertemukan, Laisa yakin keputusannya tepat. Ia tidak akan menikahi Avram."Mencintainya?" senyum memincing Reina mengembang, "Omong kosong, Laisa. Kau hanya kesepian dan dia ramah ke semua orang!""Apa yang membuatmu begitu marah
Belum sampai Laisa mengambil keputusan, kabar pernikahan Avram lebih dulu tersebar di penjuru Nusantara. Satu perempuan misterius yang identitasnya dijaga dengan ketat. Ia mendapat mobil jemputan beberapa menit kemudian. Persis seperti tahanan, Laisa diringkus tanpa sempat mengelak. Ucapan Kim Sarang soal 'berhak menolak' rupanya hanya omong kosong semata. Pernikahan itu memang telah disusun secara mutlak sejak pengumaman pencarian calon pengantin wanita resmi dibuat. Dan seolah sudah sepakat, Reina hanya memandangnya dari kejauhan. Tanpa melambaikan tangan perpisahan, atau kalimat lain yang mengakhiri perjumpaan mereka. Laisa hanya bisa terduduk pasrah. Meratapi jalan hidupnya yang kian kacau berantakan. Usai bangkrut, menghadapi kematian kedua orang tua, serta terlilit hutang hingga bertahun-tahun lamanya. Tinggal selangkah lagi menuju kebebasan. Kurang satu tahap untuk menjemput cinta sejatinya. Ia terjerumus dalam pernikahan paksa yang dirancang oleh orang-orang kaya. Entah ke