Share

02. Demi Gaji 3 Kali Lipat

Laisa memang tidak tertarik dengan pernikahan bisnis yang Reina tawarkan, tapi kalau soal naik gaji mungkin bisa dibicarakan. Bagaimanapun ia tak bisa melewatkan kesempatan emas. Naik gaji tiga kali lipat bukan angka yang murah.

"Aku tidak mungkin menghianati Leon hanya demi acara tidak penting itu, Laisa, dan terus terang aku tidak mau Papa tahu kalau aku tidak datang. Tamu acara ini sudah seperti reservasi rumah makan mewah, perlu konfirmasi wali yang bersangkutan kalau ada kandidat yang berhalangan."

Laisa terdiam sejenak. Ia mengelola kalimat itu di kepala dengan cermat. Agar tak melewatkan sedikitpun permainan kata yang Reina buat.

Intinya, Laisa hanya perlu datang, kan?

Ia bertugas memerankan tokoh Reina sepanjang acara. Berpura-pura menjadi putri tunggal keluarga Lesmana, lantas mendapat untung naik gaji sampai tiga kali lipat. Apalagi yang perlu Laisa pertimbangkan? Tawaran itu sangat menggiurkan.

Namun, "Apa kau yakin tidak ada yang curiga?" selintas saja pikiran itu mengganggu Laisa. 

Andai kata acara itu memang dibuat sangat ketat, tidakkah mereka memiliki data profil lengkap yang mencatat masing-masing kandidat? Bagaimana kalau ketahuan di tengah acara? Apakah itu artinya dia gagal mendapatkan kenaikan gaji ekstra?

"Mereka tidak meminta foto, Laisa," tukas Reina seolah telah tuntas memprediksi segala kemungkinan. "Itu adalah bukti dari konsistensi mereka yang menyatakan 'tidak memandang fisik dan latar belakang keluarga.' Mereka hanya mengandalkan kode barcode sebagai bukti pendaftaran."

Sekali lagi, Laisa bungkam. Semua ini terasa mengganjal baginya. Seperti ada sesuatu yang tidak benar, hal yang salah dan tidak seharusnya ia sepakati dengan Reina.

"Dengar, aku menaikkan gajimu tanpa sepengetahuan Papa, Laisa. Itu artinya aku serius dengan penawaran barusan!" desak Reina tidak sabar dengan sesi tawar-menawar yang mereka lakukan. Membuat Laisa mendengus panjang, membuang tatapan kosong ke arah dirinya.

"Lalu apa yang aku lakukan? Maksudku, selama di sana, setelah menjadi dirimu, aku harus apa?" keluhnya. Kalau boleh jujur, Laisa sangat tergoda untuk sepakat. Ayolah... lagipula siapa yang mau mengeluarkan upah bulanan sebesar itu kecuali Reina?

Reina yang sudah mencapai batas sabarnya pun memutar bola mata kesal, "Terserah! Mau kau buat mereka ilfeel atau muak! Kau mau datang atau tidak?!"

Pada dasarnya, Laisa sudah tidak punya harga diri sejak keluarganya bangkrut total. Ia tidak peduli bahkan jika dalam beberapa kasus Reina terkesan memanfaatkan kelemahan dirinya dan semena-mena terhadap uang. Tidak perlu dipusingkan selama kebutuhan hidupnya tercukupi dengan mudah.

Cukup satu malam. Hanya datang ke pesta besar yang dihadiri ratusan orang. Tidak mungkin ketahuan, apalagi sampai terjadi hal buruk yang tidak diharapkan.

"Ya..." gumam Laisa di ambang keraguan, "Maksudku, oke... baiklah, aku sepakat."

Detik itu juga Reina bersorak tanpa suara. Ia mendeklarasikan kemenangan dirinya lewat senyum semringah. "Great! Love you... besok langsung ke rumahku aja. Kau harus tampil cantik dan menawan sebagai Reina."

Tentu saja, sebagai Reina.

Bahkan hanya dengan meminjam namanya, Laisa bisa merasakan kehidupan mewah yang telah raib sekian lama. Dia akan menjadi Cinderella dalam satu malam. Merasakan hidup bagai tuan putri tunggal yang kaya raya.

Ada secuplik gembira menyusupi relungnya. Apalagi ketika memikirkan upah bulanan yang akan menjadi berlipat-lipat. Mungkin (sebagai balasan) setelah ini Laisa tidak perlu ikut campur lagi soal Leon dan Reina. Sudah seharusnya ia cukup tahu diri dan mendukung sahabat karibnya itu sepenuh jiwa.

Tetapi belum sempat Laisa menunjukkan reaksinya, lelaki itu lebih dulu memeluk Reina dari belakang. Sosok Leon yang baru mencapai 60% kesadaran dirinya bergelayut manja. Berbisik sendu seraya mengigit kecil telinga Reina, "Miss you, Beb..."

Tak butuh waktu lama bagi Reina menjadi salah tingkah. Laisa bisa melihat gurat pipi perempuan itu kian memerah. "Astaga, pakai celanamu, Leon," sahutnya lebih menggoda. Mereka sama sekali tak tahu malu di hadapan Laisa.

Dan sebelum adegan sejoli itu semakin liar, Laisa buru-buru bersuara, "Kalian mau di sini atau pindah?"

Mereka kompak tertawa menanggapinya.

"Kau boleh pulang, Laisa, dan jangan lupakan kesepakatan kita," sahut Reina berusaha keras mengabaikan sentuhan-sentuhan Leon yang sudah tidak sabar.

Sementara Leon yang tak merasa terganggu malah melirik Laisa dengan mata sayunya. Memincingkan senyum jahil yang paling menyebalkan di dunia, "Atau tetap di sini juga bukan masalah, Laisa. Kau punya hak istimewa menonton kami berdua."

Laisa hanya menanggapi lelaki itu dengan tatapan setajam bilah. Tak menunjukkan ekspresi apapun selain menyambar tas dan beranjak dari sana. Dunia memang mau kiamat, Laisa bahkan tak melihat sedikitpun rasa malu menyelimuti Leon dan Reina. 

Mereka bercinta di setiap sudut toko baju tanpa memusingkan keberadaan Laisa. Seolah percintaan semacam itu normal dan wajar disaksikan oleh seseorang. Memang gila! Seisi alam semesta sudah tidak lagi berakal. 

Bahkan andai boleh mengaku, Laisa yang tak pernah pacaran itu semakin tidak ingin menjalin hubungan romansa sejak tiga tahun lalu. Konfliknya sederhana, ia takut mendapatkan pasangan bernafsu tinggi seperti Leon atau Reina. 

Kembali pada sejarah hidup Laisa, keinganan dia sebetulnya amat sederhana. Bertemu dengan lelaki yang biasa saja, normal, tidak perlu terlalu kaya. Ia ingin mencinta dan dicintai dengan cara yang natural. Menghabiskan waktu ke tempat-tempat umum sambil bercengkrama, atau makan di warung pinggir jalan sembari mendengar bisingnya lalu-lalang.

Mungkin dalam tahap pacaran, Laisa cukup menikmati sentuhan-sentuhan lembut di puncak kepala. Bukan masalah kalau sebatas cubit kecil, atau kecup tipis di pipinya. Laisa ingin menikmati sensasi malu-malu kucing saat tangannya digenggam.

Baginya, romansa seperti itu adalah kisah manis yang wajib dimiliki sekali dalam hidupnya.

Meski nyatanya kehidupan seperti itu nyaris tidak mungkin Laisa dapatkan. Di usia yang menginjak dua puluh enam, ia masih perlu dua tahun lagi untuk melunasi segala hutang. Masa muda Laisa tergadaikan. Semua keinginan-keinginan itu ibarat mimpi yang mustahil terlaksana.

Sialnya, bicara soal kepedihan hidup selalu berhasil membuat air mata Laisa merebak. Ia gagal mengendalikan diri jika berkaiatan soal masa depan. Laisa tidak punya banyak harapan, satu-satunya tujuan hidupnya adalah uang.

Entah sampai kapan ia harus merelakan harga diri demi uang? Sampai titik mana ia menjual dirinya demi pundi-pundi rupiah? Bahkan sejujurnya Laisa benci kenyataan bahwa ia merasa senang bisa berkesempatan menjadi Reina guna mencicipi kemewahan.

Laisa ingin marah pada dirinya yang rela melakukan apapun demi kenaikan gaji tiga kali lipat. Ia bahkan sukarela memasang topeng selama menyaksikan tindakan bejat Leon dan Reina hanya karena pekerjaannya sebagai penjaga toko pakaian. Mendadak segala kalut di kepalanya bermunculan.

Dilema dalam diri Laisa berkecamuk membentuk isak. Sesak dadanya menjelma raung pilu yang menyayat telinga. Tanpa berpikir panjang, Laisa berjongkok meluapkan tangisan. Bermodalkan telapak tangan yang menangkup seluruh wajah, ia merayakan air mata.

Dalam situasi seperti ini, siapa yang peduli soal lalu lalang? Sekalipun ia mejadi pusat perhatian dari pejalan kaki di trotoar, bukan masalah. Lagipula, Laisa sudah tidak punya harga diri yang perlu dipertahankan.

Akan tetapi di antara tangis itu, Laisa mendengar suara lembut nan berat di hadapannya. Bayangan hitamnya melindungi Laisa dari paparan sinar matahari yang menyengat. Seorang lelaki yang langsung tersenyum begitu Laisa mengintipnya dari sela jemari tangan.

"Sorry... bukan bermaksud mengganggu, tapi..." katanya menggantung, kemudian ikut berjongkok selagi menyodorkan sapu tangan bermotif batik dari balik saku, "Ini. Barangkali butuh."

Satu detik, dua detik, Laisa mendiamkan lelaki itu. Ia ragu. Apakah lelaki ini tengah mempraktikkan modus penipuan terbaru? Namun lelaki itu hanya menyuguhkan seulas senyum.

"Bad day, right? Hanya sapu tangan biasa. Kebetulan belum aku pakai apa-apa," imbuhnya memperjelas.

Laisa pun memutuskan untuk menerima. Meraih sapu tangan lalu menutup area hidung sampai mulutnya. Membuat manik mata mereka lebih leluasa untuk saling berjumpa. Memangkas habis jarak yang hanya tersisa dua jengkal.

Lelaki berwajah oriental Khas Asia Timur itu sekali lagi tersenyum ramah. Kali ini ia menyodorkan air mineral dingin kepada Laisa, "Just it, berharap bisa sedikit memperbaiki your feeling."

Dan seakan tak memberi kesempatan bagi Laisa untuk menolak, lelaki itu meraih tangannya dan meletakkan air mineral itu di sana. Detik berikutnya ia bangkit sambil menepuk-nepuk pundak Laisa. "Hati-hati di jalan ya..." ujarnya tepat sebelum raib dari jangkauan pandang.

Laisa yang tak beranjak hanya bisa memandangi air mineral dan sapu tangan itu bergantian. Merasakan gelora degup jantungnya yang tidak karuan. Apakah lelaki itu adalah takdir hidupnya?

Entahlah...

Liasa tidak cukup berani untuk berharap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status