Share

05. Es Krim

Penulis: Nafish Fn
last update Terakhir Diperbarui: 2023-04-25 18:22:10

"Ini punyaku!"

Laisa yang sejak tadi tertawan pada hidangan penutup dan mengabaikan para perempuan berebut bocah langsung melingak. Tentu bukan hanya Laisa, suara melengking nan nyaring itu berhasil mencuri seluruh perhatian. Salah seorang bocah berwajah pucat tengah berusaha merebut es krim dari anak yang sepanjang malam ini menjadi primadona.

Dari tampilannya, anak itu memang lebih cocok memegang peran sebagai Nada. Berpakaian modis dengan garis muka perpaduan Indonesia-Eropa. Melihat dari garis keturunan Avram, kemungkinan besar dialah anak yang seharusnya menjadi pemeran utama, penting untuk ditaklukkan oleh seluruh kandidat.

"Ini es krimku!" anak berpakaian modis menolak, meski sebetulnya mudah saja bagi dia mendapatkan es krim yang baru. Hanya perlu sedikit merengek, dan perempuan-perempuan yang sejak tadi mengitarinya pasti langsung lari mewujudkan keinginan itu.

Namun, bagaimanapun anak-anak secara alami memang suka bertengkar merebutkan sesuatu. Dia ingin menunjukkan kekuasaannya terhadap es krim itu.

Dan benar saja, tidak terima dengan penolakan, anak berwajah pucat menepis es krim dari genggaman lawan. Dalam hitungan detik, anak yang sok berkuasa langsung mengeluarkan jurus tangisan. Membuat perempuan-perempuan di sekitarnya panik mencari jalan keluar.

"Lain kali jangan nakal!" tegur salah satu di antara mereka pada anak pucat yang hanya memasang wajah datar. Sebagian yang lain sudah memeluk tokoh utama, menenangkan tangis yang meramaikan seisi halaman belakang.

"Minta maaf!" imbuh perempuan lain setengah memaksa.

"Es krim ini bukan punyamu, kan? Ayo sekarang minta maaf," yang lain ikut menyudutkan.

Di sekitar Laisa, perempuan-perempuan lain berbisik ria. Komentarnya kurang lebih sama. Menyalahkan anak pucat yang tak tergerak sedikitpun untuk minta maaf. Dia juga tidak tampak bersalah. Membuat para perempuan mempertanyakan latar belakang keluarga bocah itu sampai tidak punya tatakrama.

Sampai ketika tangis anak modis itu makin meraung bagai lolongan serigala, salah seorang perempuan membentak sambil menarik paksa tangan bocah pucat, "Ayo buruan minta maaf!"

Sontak saja Laisa yang sejak awal tidak banyak tingkah akhirnya ikut andil dalam pertikaian. Ia menyambar tangan perempuan itu agar menyingkir dari sang bocah, "Malu loh dilihat anak-anak, lagian yang suka nyerobot antrian es krim siapa?" sinisnya.

Sebagai orang yang tak beranjak dari makanan, Laisa tentu hafal dengan rupa-rupa orang yang mondar-mandir mengambil hidangan. Dan yah... anak ini memang primadona. Oleh karenanya ia mendapat semua menu yang diajikan hanya dengan sekali ucap.

"Itu sudah cup ke berapa dia makan?" tanya Laisa mempertegas. Perempuan di hadapannya ini bahkan sempat menyerobot antrian daging panggang miliknya, jadi ada kemungkinan kalau es krim itu bukan yang pertama.

"Lagipula tong es krimnya sudah kosong, Nona, apa sulitnya sih mengajarkan berbagi dengan sesama? Toh anak-anak ini juga bagian dari tamu undangan," sambung Laisa kesal.

"Jadi menurutmu merebut hak orang lain itu benar?" timpal perempuan itu tidak terima.

"Lalu menyerobot antrian orang lain itu bukan bagian dari merebut hak?" tukas Laisa.

Mereka adu pandang sejenak, Laisa yakin perempuan itu menanggung malu yang luar biasa. Lewat wajahnya yang mulai memerah, Laisa tahu bahwa dirinya harus pergi dari sana sebelum pertengkaran mereka mempermalukan dirinya juga.

Laisa menggandeng tangan bocah pucat itu dan menggiringnya beranjak. Tanpa sepatah kata, mereka raib dari pandangan puluhan pasang mata. Tujuan Laisa hanyalah meja resepsionis yang langsung sigap menghambat. Mereka tidak merestui gagasan Laisa pergi dari sana.

"Hanya mengantarnya beli es krim sebentar! Nih, saya tinggalkan semua harta berharga ini kalau kalian tidak percaya!"

Mereka saling adu pandang, kemudian menyaksikan Laisa dan bocah itu bergantian. Tampak jelas kebimbangan menyelimuti wajah mereka. Setidaknya sampai Laisa membuang napas kasar, "Kalian punya alat deteksi lokasi, kan? Atau mau tempelkan alat penyadap juga? Silahkan," keluhnya.

"Atau kalian lebih suka lihat dia pingsan dulu baru memberi kami ijin keluar?"

***

Beruntungnya, karena masih berada dalam rangkaian sesi acara pencarian calon istri untuk Avram, Laisa dan anak perempuan itu mendapatkan fasilitas kendaraan menuju mini market terdekat. Mereka baru percaya kalau diantarkan langsung oleh sopir keluarga Salomon. Dengan alibi takut dibawa Laisa kabur.

Memang sulit dipungkiri, mengingat latar belakang keluarga Laisa yang tertera jelas pada data diri. Ia hanya bisa menyetujui. Selama anak itu bisa mendapatkan es krim, Laisa tidak merasa perlu memperdebatkan masalah ini.

"Mau apa lagi selain es krim?" Laisa berusaha mengajak anak perempuan itu berinteraksi, "Kau sudah makan? Kenapa pucat begitu mukanya?"

Namun tidak ada jawaban. Anak itu diam seribu bahasa sejak adegan pertengkaran. Dia mengabaikan Laisa seraya memilih es krim yang mencuri minatnya. Memilih satu di antara sekian banyak yang tersedia.

"Ambil dua atau tiga, atau mau susu buat isi perut mungkin?"

Anak itu menoleh pada Laisa sekilas, "Boleh lebih dari satu?" tanyanya kemudian.

"Boleh. Boleh ambil lima juga asal mau makan roti atau ayam krispi yang ada di meja kasir itu, bagaimana?"

Ia tampak bimbang sejenak. Memandang Laisa dan jajaran ayam bergantian. Penawaran itu jelas membuatnya bergejolak. Syarat yang sangat mudah untuk ia laksanakan, bukan?

"Boleh meski aku beli yang besar?" ia meyakinkan sekali lagi demi menghitung peruntungan.

Laisa hanya mengangkat kedua bahunya singkat, "Selama perutmu kuat menghabiskan semua ya silahkan."

Kini anak itu membuang pandangan kepada es krim yang terpajang rapi di hadapannya. Dari binar matanya, dia seperti yakin mampu melelehkan semuanya dalam sekali telan. Kini tatapannya yang penuh keteguhan memandang Laisa, dia menganggukkan kepala.

"Baiklah anak manis, kalau begitu... supaya tidak cair, kau ambil satu dulu, nanti setelah makannya selesai... ambil empat sisanya untuk dibawa pulang. Oke?"

Tak banyak protes, ia sekali lagi mengangguk.

"Mau nasi ayam atau roti?" Laisa membuka penawaran yang paling penting untuk kelangsungan hidup anak itu. 

"Mi seduh, boleh?"

Giliran Laisa yang mengangguk, "Sama ayam ya biar enak, mau?"

Ia langsung setuju.

Di bawah pengawasan ketat dari sopir keluarga Salomon, mereka duduk di halaman mini market. Benar saja, anak itu lahap menghabiskan es krim pertamanya dan mi seduh lengkap beserta ayam. Wajah yang semula pucat pasi berangsur cerah. Ia terlihat sedikit lebih bertenaga.

Dan tentu tidak butuh waktu lama baginya untuk menagih janji Laisa. Anak itu mengambil empat box es krim berukuran 700ml tanpa berpikir panjang. Laisa tambahkan susu dan minuman untuk sopir yang sejak tadi berdiri kaku mendampingi mereka.

Yah, meski niat hati ingin menikmati kemewahan satu malam urung dan malah membelanjakan anak kelaparan, Laisa senang. Ia tidak perlu repot-repot menjadi perempuan keren sambil mempertontonkan kepeduliannya agar bisa mencuri hati sang sultan andara.

Lebih-lebih ketika ia melihat anak itu mulai bisa tertawa semringah. Bocah empat tahun itu senang bukan main ketika diijinkan membopong sendiri hasil belanjanya yang setara dengan jatah makan mingguan Laisa. Sekalipun belanja es krim ini adalah pengeluaran tidak terduga, Laisa gembira bisa melakukannya.

"Tante, terima kasih yaaa..." anak itu legit bersuara sambil menikmati suap demi suap es krim dalam peluknya, "Ayah, Oma, Opa, dan Om panggil aku Dedek. Kalau tante dipanggil siapa?"

Laisa yang gemas melihat kecerewatan anak itu tergerlak renyah, dia langsung bisa mengambil kesimpulan kalau diamnya anak itu diakibatkan oleh rasa lapar. "Belum ada yang panggil tante sih, biasanya cuma Laisa," sahutnya.

"Laisa mau es krim juga?"

Laisa semakin tertawa. Bahkan sopir yang sejak tadi menyimak percakapan dan melirik dari kaca spion atas ikut melengkungkan senyuman.

"Tidak, terima kasih. Dedek habiskan saja semua."

"Kalau begitu Laisa bawa satu ya... Dedek sudah kenyang. Nanti biar om sopir juga bawa satu. Terus nanti sisanya dibagikan ke teman-teman lain di pesta. Boleh, kan?"

"Iya... boleh."

Tanpa tergoda rasa ingin tahu, Laisa membiarkan anak itu menghilang begitu sampai di lokasi pesta. Jam baru menunjukkan pukul sepuluh malam. Masih ada waktu dua jam sebelum mereka semua diijinkan pulang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • BUKAN KISAH CINDERELLA    51. Akhir dari Segalanya

    Pesan perpisahan terakhir kali yang ditujukan kepada mendiang telah dihaturkan. Tangisan haru Kim Sarang terdengar paling nyaring dan menusuk relung jiwa. Tak ada yang bisa Laisa lakukan kecuali membelai lembut pundak wanita itu perlahan-lahan. Henry Salomon telah meninggalkan dunia. Avram mengantarkan satu per satu tamu yang pamit pulang. Sementara Nada tetap tenang berada di dekat Laisa sambil memperhatikan hilir mudik sekitar. Tentu tak ada sebutir air mata pun jatuh ke pipinya, sebab Nada tak pernah mengenal Henry Salomon dengan baik dan benar. Pria itu tak pernah menganggap Nada ada, terlebih keterbatasan kesehatan yang memaksanya untuk selalu berada di dalam kamar. Kematian Henry tak berpengaruh apapun di kehidupan Nada. Satu-satunya yang terpukul dalam situasi ini hanyalah Kim Sarang. Wanita itu tak berhenti meraungkan nama belahan hidupnya. Tentu Avram tak sampai hati melihatnya. Walau ia tidak terlalu peduli pada Kim Sarang, detik itu dia menyadari bahwa wanita itu tulus me

  • BUKAN KISAH CINDERELLA    50. Tabiat Buruk dan Penangkal

    "Demi Tuhan, Leon, aku tidak tahu keberadaan Reina," rintih Laisa memelas, ia terus menggeliat supaya bisa membebaskan diri dari tali yang mengikat tangan dan tubuhnya."Kalian bertemu, Laisa," sinis Leon dari kejauhan, lelaki itu berselancar pada telpon genggam Laisa , berusaha keras mencari suatu pertanda."Lepaskan aku, Leon, atau aku...""Apa?!" teriak Leon kesal, lantas melempar ponsel Laisa sembarangan. Ia mendekat perlahan-lahan, "Atau apa? Suamimu tidak akan bisa menemukanmu, Laisa, kecuali aku yang membebaskan."Jarak mereka kian terpangkas, membuat napas Leon yang memburu itu menyapu wajah Laisa. Kemudian jari tunjuknya bergerak lembut seraya menuntun dagu Laisa mendongak. "Dan tak perlu repot soal mengugurkan kandungan, kau bisa terus diam dan bermalam di sini untuk menghapus jejak bayi itu selamanya," bisik Leon tajam membuat Laisa langsung berpaling geram."Kau memilih musuh yang salah, Leon," dingin suara Laisa menggema. Ia sama sekali tidak takut dengan ancaman Leon.Al

  • BUKAN KISAH CINDERELLA    49. Tidak Ada Yang Sempurna

    "Apa menurutmu kalau kita pindah?"Pertanyaan itu diajukan tiba-tiba tepat ketika Avram baru masuk ke kamar. Lelaki itu membawa tablet pintar sambil menghampiri Laisa yang menghadap ponsel pintar di pinggir ranjang. Kalimat yang tentu membuatnya sontak mendongak, memandang Avram hingga mereka berhadapan."Pindah? Meninggalkan rumah utama?" mata Laisa membola, keningnya mengernyit heran.Sementara Avram hanya mengangguk singkat. Sudah lama sejak terakhir kali mereka membicarakan masalah rumah tangga. Satu bulan terakhir, kegiatan mereka padat merayap mengurus perusahaan. Jadi, tentu, masalah ini layak untuk lekas dibicarakan."Kau kepala keluarga Salomon, Avram, bagaimana mungkin meninggalkan bangunan ini begitu saja?"Avram mengambil duduknya, lantas meraih tangan Laisa, "Ada Ayah dan Nyonya Kim, kan? Atau kau lebih suka aku mengusir mereka?""Kau sudah berjanji tak akan melakukannya."Jawaban dari Laisa membuat Avram tersenyum hangat, ia membelai lembut rambut sang istri perlahan, "A

  • BUKAN KISAH CINDERELLA    48. Menyudahi Hubungan

    "Apa maksudnya?" Kim Sarang memijat pelipis sambil bersuara lemah, "Menghapus Gazza dari keluarga Salomon? Tidakkah itu keterlaluan?"Avram masih dalam diamnya. Ia menyisipkan jemari pada sela-sela jari Laisa guna menenangkan diri dari amarah. Sementara Laisa tertunduk dalam, berusaha keras menghindari tatapan Gazza."Apa ini kesepakatan yang kalian buat berdua?" Henry Salomon ikut bertanya. Ia mencoba mencerna situasi dengan sudut pandang yang jauh lebih luas, "Nak Laisa? Apa kau terlibat dalam keputusan Avram? Apakah menurutmu itu bijaksana?"Mata Laisa sontak berlarian, ia terkejut bukan main. Kim Sarang yang tampak berharap cemas, sementara Henry Salomon yang menuntut jawaban. Laisa semakin erat menggenggam tangan Avram. Ia tak mampu menemukan jawaban.Laisa tahu, ia paham betul betapa Gazza mengatinya sekarang."Laisa mungkin akan menempati posisi Nyonya Kim begitu saya menjabat, dan atas kesepakatan kami, jauh lebih baik jika Gazza tak terlibat pada lini bisnis Salomon begitu say

  • BUKAN KISAH CINDERELLA    47. Upacara Pelantikan Resmi

    "Aku akan memajukan hari pelantikan," Avram bersuara serak sembari membelai lembut rambut Laisa yang berbaring pada lengannya.Mereka menghabiskan hari yang panjang. Saling memuja, mendamba, serta menginginkan. Dan kalimat Avram yang terdengar menggantung di udara itu membuat Laisa mendongak."Setelah itu apa?" tanya Laisa, ia berusaha keras mencerna air muka Avram yang tegak lurus menatap ke depan."Menghapus Gazza dari garis keluarga."Sepersekian detik itu, Laisa tercekat. Sontak saja ia membuang pandang menjauh sambil bergerak bangkit dari tidurnya. Membicarakan Gazza dalam hubungan mereka tetaplah janggal, Laisa masih merasa getaran samar meski mulai melemah."Kau akan mengusirnya?" Laisa kembali bertanya, kali ini ia membungi Avram agar tak menyaksikan raut murka."Dia selalu ingin pergi, bukan?"Laisa berbalik, menatap manik mata Avram tidak mengerti. Mengapa tenang sekali? Sejak kapan Avram memiliki tabiat seperti ini?"Aku menyampaikannya sebagai bentuk percayaku, Laisa. Aku

  • BUKAN KISAH CINDERELLA    46. Lantai Dua

    Nyeri, begitulah satu kata yang bisa menggambarkan situasi Laisa saat ini. Perempuan itu terbaring lemah di atas ranjang dengan air mata yang terus mengalir. Pedih, menyerahkan diri kepada Avram selalu terasa begitu sakit.Padahal lelaki itu pernah sebegitu lembut padanya. Sempat juga membuat ia merasa seperti diperlakukan sebagaimana istri normal. Tapi tidakkah semua itu hanya tipu daya? Tabiat buruk Avram soal amarah tidak akan pernah berubah.Bahkan sekalipun semua ini disebabkan oleh kesalahannya yang berselingkuh dengan Gazza, Avram tak berhak bersikap demikian. Dengan tenaga yang tersisa, Laisa memaksa dirinya bangkit dari posisi terlentang. Mencoba duduk meski tulang selangkanya enggan diajak kerjasama. Laisa mendesis kala kakinya berhasil menggantung di pinggir ranjang, kemudian mengedarkan pandang guna mencari helai-helai kain yang bisa melindungi tubuh bugilnya.Namun sial, Avram seperti tidak Sudi mengijinkannya berbusana. Bahkan secarik selimut pun tak bisa Laisa temukan.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status