Share

05. Es Krim

"Ini punyaku!"

Laisa yang sejak tadi tertawan pada hidangan penutup dan mengabaikan para perempuan berebut bocah langsung melingak. Tentu bukan hanya Laisa, suara melengking nan nyaring itu berhasil mencuri seluruh perhatian. Salah seorang bocah berwajah pucat tengah berusaha merebut es krim dari anak yang sepanjang malam ini menjadi primadona.

Dari tampilannya, anak itu memang lebih cocok memegang peran sebagai Nada. Berpakaian modis dengan garis muka perpaduan Indonesia-Eropa. Melihat dari garis keturunan Avram, kemungkinan besar dialah anak yang seharusnya menjadi pemeran utama, penting untuk ditaklukkan oleh seluruh kandidat.

"Ini es krimku!" anak berpakaian modis menolak, meski sebetulnya mudah saja bagi dia mendapatkan es krim yang baru. Hanya perlu sedikit merengek, dan perempuan-perempuan yang sejak tadi mengitarinya pasti langsung lari mewujudkan keinginan itu.

Namun, bagaimanapun anak-anak secara alami memang suka bertengkar merebutkan sesuatu. Dia ingin menunjukkan kekuasaannya terhadap es krim itu.

Dan benar saja, tidak terima dengan penolakan, anak berwajah pucat menepis es krim dari genggaman lawan. Dalam hitungan detik, anak yang sok berkuasa langsung mengeluarkan jurus tangisan. Membuat perempuan-perempuan di sekitarnya panik mencari jalan keluar.

"Lain kali jangan nakal!" tegur salah satu di antara mereka pada anak pucat yang hanya memasang wajah datar. Sebagian yang lain sudah memeluk tokoh utama, menenangkan tangis yang meramaikan seisi halaman belakang.

"Minta maaf!" imbuh perempuan lain setengah memaksa.

"Es krim ini bukan punyamu, kan? Ayo sekarang minta maaf," yang lain ikut menyudutkan.

Di sekitar Laisa, perempuan-perempuan lain berbisik ria. Komentarnya kurang lebih sama. Menyalahkan anak pucat yang tak tergerak sedikitpun untuk minta maaf. Dia juga tidak tampak bersalah. Membuat para perempuan mempertanyakan latar belakang keluarga bocah itu sampai tidak punya tatakrama.

Sampai ketika tangis anak modis itu makin meraung bagai lolongan serigala, salah seorang perempuan membentak sambil menarik paksa tangan bocah pucat, "Ayo buruan minta maaf!"

Sontak saja Laisa yang sejak awal tidak banyak tingkah akhirnya ikut andil dalam pertikaian. Ia menyambar tangan perempuan itu agar menyingkir dari sang bocah, "Malu loh dilihat anak-anak, lagian yang suka nyerobot antrian es krim siapa?" sinisnya.

Sebagai orang yang tak beranjak dari makanan, Laisa tentu hafal dengan rupa-rupa orang yang mondar-mandir mengambil hidangan. Dan yah... anak ini memang primadona. Oleh karenanya ia mendapat semua menu yang diajikan hanya dengan sekali ucap.

"Itu sudah cup ke berapa dia makan?" tanya Laisa mempertegas. Perempuan di hadapannya ini bahkan sempat menyerobot antrian daging panggang miliknya, jadi ada kemungkinan kalau es krim itu bukan yang pertama.

"Lagipula tong es krimnya sudah kosong, Nona, apa sulitnya sih mengajarkan berbagi dengan sesama? Toh anak-anak ini juga bagian dari tamu undangan," sambung Laisa kesal.

"Jadi menurutmu merebut hak orang lain itu benar?" timpal perempuan itu tidak terima.

"Lalu menyerobot antrian orang lain itu bukan bagian dari merebut hak?" tukas Laisa.

Mereka adu pandang sejenak, Laisa yakin perempuan itu menanggung malu yang luar biasa. Lewat wajahnya yang mulai memerah, Laisa tahu bahwa dirinya harus pergi dari sana sebelum pertengkaran mereka mempermalukan dirinya juga.

Laisa menggandeng tangan bocah pucat itu dan menggiringnya beranjak. Tanpa sepatah kata, mereka raib dari pandangan puluhan pasang mata. Tujuan Laisa hanyalah meja resepsionis yang langsung sigap menghambat. Mereka tidak merestui gagasan Laisa pergi dari sana.

"Hanya mengantarnya beli es krim sebentar! Nih, saya tinggalkan semua harta berharga ini kalau kalian tidak percaya!"

Mereka saling adu pandang, kemudian menyaksikan Laisa dan bocah itu bergantian. Tampak jelas kebimbangan menyelimuti wajah mereka. Setidaknya sampai Laisa membuang napas kasar, "Kalian punya alat deteksi lokasi, kan? Atau mau tempelkan alat penyadap juga? Silahkan," keluhnya.

"Atau kalian lebih suka lihat dia pingsan dulu baru memberi kami ijin keluar?"

***

Beruntungnya, karena masih berada dalam rangkaian sesi acara pencarian calon istri untuk Avram, Laisa dan anak perempuan itu mendapatkan fasilitas kendaraan menuju mini market terdekat. Mereka baru percaya kalau diantarkan langsung oleh sopir keluarga Salomon. Dengan alibi takut dibawa Laisa kabur.

Memang sulit dipungkiri, mengingat latar belakang keluarga Laisa yang tertera jelas pada data diri. Ia hanya bisa menyetujui. Selama anak itu bisa mendapatkan es krim, Laisa tidak merasa perlu memperdebatkan masalah ini.

"Mau apa lagi selain es krim?" Laisa berusaha mengajak anak perempuan itu berinteraksi, "Kau sudah makan? Kenapa pucat begitu mukanya?"

Namun tidak ada jawaban. Anak itu diam seribu bahasa sejak adegan pertengkaran. Dia mengabaikan Laisa seraya memilih es krim yang mencuri minatnya. Memilih satu di antara sekian banyak yang tersedia.

"Ambil dua atau tiga, atau mau susu buat isi perut mungkin?"

Anak itu menoleh pada Laisa sekilas, "Boleh lebih dari satu?" tanyanya kemudian.

"Boleh. Boleh ambil lima juga asal mau makan roti atau ayam krispi yang ada di meja kasir itu, bagaimana?"

Ia tampak bimbang sejenak. Memandang Laisa dan jajaran ayam bergantian. Penawaran itu jelas membuatnya bergejolak. Syarat yang sangat mudah untuk ia laksanakan, bukan?

"Boleh meski aku beli yang besar?" ia meyakinkan sekali lagi demi menghitung peruntungan.

Laisa hanya mengangkat kedua bahunya singkat, "Selama perutmu kuat menghabiskan semua ya silahkan."

Kini anak itu membuang pandangan kepada es krim yang terpajang rapi di hadapannya. Dari binar matanya, dia seperti yakin mampu melelehkan semuanya dalam sekali telan. Kini tatapannya yang penuh keteguhan memandang Laisa, dia menganggukkan kepala.

"Baiklah anak manis, kalau begitu... supaya tidak cair, kau ambil satu dulu, nanti setelah makannya selesai... ambil empat sisanya untuk dibawa pulang. Oke?"

Tak banyak protes, ia sekali lagi mengangguk.

"Mau nasi ayam atau roti?" Laisa membuka penawaran yang paling penting untuk kelangsungan hidup anak itu. 

"Mi seduh, boleh?"

Giliran Laisa yang mengangguk, "Sama ayam ya biar enak, mau?"

Ia langsung setuju.

Di bawah pengawasan ketat dari sopir keluarga Salomon, mereka duduk di halaman mini market. Benar saja, anak itu lahap menghabiskan es krim pertamanya dan mi seduh lengkap beserta ayam. Wajah yang semula pucat pasi berangsur cerah. Ia terlihat sedikit lebih bertenaga.

Dan tentu tidak butuh waktu lama baginya untuk menagih janji Laisa. Anak itu mengambil empat box es krim berukuran 700ml tanpa berpikir panjang. Laisa tambahkan susu dan minuman untuk sopir yang sejak tadi berdiri kaku mendampingi mereka.

Yah, meski niat hati ingin menikmati kemewahan satu malam urung dan malah membelanjakan anak kelaparan, Laisa senang. Ia tidak perlu repot-repot menjadi perempuan keren sambil mempertontonkan kepeduliannya agar bisa mencuri hati sang sultan andara.

Lebih-lebih ketika ia melihat anak itu mulai bisa tertawa semringah. Bocah empat tahun itu senang bukan main ketika diijinkan membopong sendiri hasil belanjanya yang setara dengan jatah makan mingguan Laisa. Sekalipun belanja es krim ini adalah pengeluaran tidak terduga, Laisa gembira bisa melakukannya.

"Tante, terima kasih yaaa..." anak itu legit bersuara sambil menikmati suap demi suap es krim dalam peluknya, "Ayah, Oma, Opa, dan Om panggil aku Dedek. Kalau tante dipanggil siapa?"

Laisa yang gemas melihat kecerewatan anak itu tergerlak renyah, dia langsung bisa mengambil kesimpulan kalau diamnya anak itu diakibatkan oleh rasa lapar. "Belum ada yang panggil tante sih, biasanya cuma Laisa," sahutnya.

"Laisa mau es krim juga?"

Laisa semakin tertawa. Bahkan sopir yang sejak tadi menyimak percakapan dan melirik dari kaca spion atas ikut melengkungkan senyuman.

"Tidak, terima kasih. Dedek habiskan saja semua."

"Kalau begitu Laisa bawa satu ya... Dedek sudah kenyang. Nanti biar om sopir juga bawa satu. Terus nanti sisanya dibagikan ke teman-teman lain di pesta. Boleh, kan?"

"Iya... boleh."

Tanpa tergoda rasa ingin tahu, Laisa membiarkan anak itu menghilang begitu sampai di lokasi pesta. Jam baru menunjukkan pukul sepuluh malam. Masih ada waktu dua jam sebelum mereka semua diijinkan pulang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status