"Atas nama Laisa Putri Senja?"
Suara Laisa tercekat di tenggorokan usai petugas resempsionis membacakan data dirinya.
Mencoba peruntungan dengan nama sendiri, katanya?! Sialan, itu semua hanya sandirwara. Skenario tentang menggantikan dirinya yang dipaksa datang oleh Tuan Lesmana adalah bual. Reina memang mendaftarkan Laisa untuk berpartisipasi dalam acara perjodohan.
Kalau sudah terlanjur begini Laisa harus bagaimana? Pulang dan memarahi Reina? Yang benar saja! Perempuan itu tak akan merasa bersalah.
"Nona?" petugas resepsionis menuntut jawaban, "Apakah Anda Laisa Putri Senja?" ulangnya.
Antrian panjang di belakang Laisa mulai bersungut kesal. Di sisi lain tiga orang petugas keamanan bertubuh kekar mulai mendekat. Dengan segenap ragu, ia menganggukkan kepala, "I-iya."
"Ada masalah apa?" salah satu petugas keamanan bersuara garang, membuat Laisa terkesiap.
"Tolong antarkan Nona Laisa ke kursi nomor 39," petugas resepsionis menjawab tenang latas menatap lagi kepada Laisa, "Setelah sambutan baru boleh berkeliling menikmati pesta," jelasnya sambil memberi kertas berisi tata tertib acara.
Laisa langsung diarahkan lekas pergi agar tidak semakin menumpuk antrian, ia dikelilingi tiga petugas keamanan menuju tempat duduknya.
Dari meja resepsionis, Laisa diajak masuk ke ruang utama mansion milik keluarga Salomon. Bangunan klasik dengan arsitektur nuansa Eropa tahun 1800-an. Dilengkapi pilar-pilar raksasa berlapiskan marmer dengan corak emas.
Laisa tidak habis dibuat terpana ketika ubin-ubin kaca yang ia pijak ternyata memuat berbagai jenis ikan hias. Meliuk ke sana kemari menyombongkan harganya yang bisa mencapai puluhan juta rupiah. Dan andai boleh dijabarkan, tiap-tiap atribut yang ada di dalam bangunan ini bisa lima atau enam kali lebih mahal dari kamar kosnya.
Bayangkan saja jika benar-benar ada satu perempuan yang berhasil menaklukkan hati bocah bernama Nada, bukan main imbalannya. Laisa bahkan sudah sujud syukur meski terpilih sebagai pembantu saja, apalagi sampai jadi istrinya Tuan Muda(?). Pantas saja sejak tadi para perempuan saling sinis dan adu pesona.
Reina benar, pesta pencarian calon istri ini tinggi peminat. Apalagi dengan iming-iming tanpa memandang bibit, bebet, dan bobot dari pihak perempuan. Tentu ini menjadi kesempatan emas bagi para guru dan janda yang sudah tamat mengurus anak-anak. Siapa yang tidak ingin kaya raya dalam satu malam?
Laisa dipersilahkan duduk ketika sang pembawa acara mulai meraih mikrophonenya, "Hadirin yang berbahagia. Terima kasih banyak atas antusiasme dan minat yang sangat tinggi terhadap pesta pencarian calon istri yang digelar oleh keluarga Salomon. Tepuk tangan yang meriah untuk kita semua..."
Gegap gempita tepuk tangan sontak bersahutan. Tidak seperti Laisa yang serba mendadak, agaknya perempuan-perempuan itu sudah sangat siap menyambut susunan acara. Bahkan beberapa di antaranya tampak tidak sabaran.
"Baiklah, selagi jam masih menunjukkan pukul delapan belas, langsung saja kita sambut Nyonya besar keluarga Salomon, Kim Sarang. Waktu dan tempat kami persilahkan."
Wanita dengan pakaian Hanbok naik ke atas panggung. Bahkan tanpa menjelaskan identitas kebangsaannya sekalipun, mereka semua tahu kebudayaan yang ia junjung. Dengan wajah berseri dibumbui senyum, wanita itu naik ke atas panggung.
"Selamat petang semua," sapanya lugas, rupanya wanita itu lebih dari mahir berbahasa Indonesia, "Saya yakin nona-nona sekalian sempat membaca sekilas tentang tata tertib pesta, tapi pada kesempatan ini saya akan memaparkannya sekali lagi agar tidak terjadi kesalahan makna."
Suaranya yang lembut itu mendiamkan seisi ruangan, membuat semua orang langsung membaca maksud dari selembar kertas yang mereka terima.
"Kami menggelar acara ini sampai pukul dua belas malam, dan melibatkan lima puluh anak perempuan. Mereka secara alami dan natural membaur di tengah pesta, oleh karenanya kami tidak menyediakan minuman keras dan hanya menyajikan makanan khas anak-anak," jelasnya.
"Dan kami harap nona-nona sekalian tidak mengumpat atau mengeluarkan kata-kata kasar lainnya, sebab sebagaimana yang sudah kami tuliskan juga... pesta ini merekam seluruh aktifitas fisik maupun suara. Apakah ada pertanyaan?"
Perempuan dengan pakaian modis yang duduk paling depan langsung mengacungkan tangan, "Boleh tanya nama?" dia langsung bertanya tanpa basa-basi panjang.
Wanita itu menanggapi dengan senyum teduhnya. Menunjukkan kelas sosial yang memang berada jauh di atas sana, "Tentu saja. Tapi kami tidak bisa menjamin kebenarannya. Bagaimanapun mereka hanya anak-anak."
Intinya, menemukan satu Nada di antara lima puluh anak perempuan tidaklah mudah. Wanita bernama Kim Sarang itu pasti mempertimbangkan segala kemungkinan. Tidak ada yang tahu meski Nada yang asli ternyata tidak keluar.
Mereka boleh jadi tidak berniat menemukan calon istri sungguhan, kan? Siapa yang tahu kalau ternyata acara ini hanya bagian dari strategi marketing belaka?
Boleh jadi (ini hanya dugaan Laisa), mereka hendak mengeluarkan produk fashion baru dengan taget market perempuan dan anak-anak. Acara perjodohan macam ini bisa menjadi headline bombastis yang menarik minat masyarakat. Cukup dengan modal pesta dan makan-makan, untungnya bisa kembali milyaran.
"Bagaimana kalau malam ini tidak ada yang berhasil merebut hati si anak? Apa itu berarti semua kandidat gugur begitu saja? Bagaimana bisa kita merebut hati mereka hanya dengan waktu beberapa jam?" perempuan lain di bagian tengah ikut mengajukan pertanyaan.
Kim Sarang selalu memberikan respon senyuman sebelum menjawab, "Menarik. Tentu kami mempertimbangkan untuk mengadakan pesta lagi. Secara resmi, kami sendiri yang akan mengirim undangan kepada wali yang bertanggung jawab atas nona-nona yang hadir malam ini."
"Dan bagaimana kami bisa tahu kalau acara ini bukan settingan? Bisa saja kalian sudah menyiapkan satu perempuan paling potensial untuk menang, kan?" timpal perempuan lain tanpa perlu mengacungkan tangan.
"Kami merekam seluruh aktifitas, Nona. Kandidat yang lolos akan kami umumkan secara terbuka, dan dipublikasikan secara resmi alasannya terpilih sebagai istri Tuan Muda Salomon. Apa ada pertanyaan lagi?"
Hening. Para perempuan sepertinya tidak perlu khawatir akan adanya kecurangan dalam proses seleksi. Sekali lagi Kim Sarang tersenyum tipis, "Baiklah, kalau begitu... selamat menikmati."
Dalam hitungan menit, dua ratus lebih tamu undangan berpencar ke sana kemari. Mereka berebut menghampiri anak-anak kecil yang asik bermain. Bersikap ramah sambil melengkungkan senyum semanis mungkin.
Sementara Laisa, apa yang perempuan itu lakukan pasca menyadari ia dijebak mengikuti acara ini?
Tidak ada pilihan lain. Ia mengatur rencana sambil memandangi ikan-ikan yang bermain di bawah ubin. Kalau mau dipikir lebih jernih, tujuannya datang ke pesta hanya untuk menikmati kemewahan, kan? Yangmana artinya, dia bisa hanya berkeliling dan menikmati sekitar.
Mengambil beberapa gambar, mencoba camilan, dan pulang. Itu adalah rencana terbaik alih-alih memikirkan amarahnya pada Reina. Paling tidak, dengan begitu ia bisa menikmati pesta sebagai Cinderella dalam satu malam.
"Ini punyaku!"Laisa yang sejak tadi tertawan pada hidangan penutup dan mengabaikan para perempuan berebut bocah langsung melingak. Tentu bukan hanya Laisa, suara melengking nan nyaring itu berhasil mencuri seluruh perhatian. Salah seorang bocah berwajah pucat tengah berusaha merebut es krim dari anak yang sepanjang malam ini menjadi primadona.Dari tampilannya, anak itu memang lebih cocok memegang peran sebagai Nada. Berpakaian modis dengan garis muka perpaduan Indonesia-Eropa. Melihat dari garis keturunan Avram, kemungkinan besar dialah anak yang seharusnya menjadi pemeran utama, penting untuk ditaklukkan oleh seluruh kandidat."Ini es krimku!" anak berpakaian modis menolak, meski sebetulnya mudah saja bagi dia mendapatkan es krim yang baru. Hanya perlu sedikit merengek, dan perempuan-perempuan yang sejak tadi mengitarinya pasti langsung lari mewujudkan keinginan itu.Namun, bagaimanapun anak-anak secara alami memang suka bertengkar merebutkan sesuatu. Dia ingin menunjukkan kekuasaa
Namun, di luar dugaannya, dua jam terakhir itu terasa bagai neraka. Begitu memasuki ruangan pesta, Laisa menjadi pusat perhatian seluruh tamu undangan. Ratusan pasang mata itu tertuju padanya. Menyuguhkan tatapan sinis disertai cibir tajam. Entahlah, Laisa pribadi tidak mengerti alasan situasi ini terjadi. Dia mencoba tidak peduli. Mengalihkan perhatian pada ikan-ikan hias yang giat bermain di bawah ubin. Sampai ketika sepasang kaki berhenti tepat di hadapannya. Pantofel mengkilap yang membuat Laisa terpaksa menyeret ekor mata. "Tidak baca aturan acara, ya?" lelaki dengan garis wajah tegas itu dingin bersuara. Tatapannya datar, gigih menatap lekat iris mata Laisa. Tepat berada di tengah ruangan, Laisa resmi menjadi tontonan. Perempuan-perempuan itu secara naluriah melingkari mereka. Membuat Laisa meringis canggung demi mencairkan suasana. "Maaf, tapi... apa karena saya bawa anak tadi keluar? Saya sudah ijin pihak keamanan..." "Dan kau belikan dia es krim sembarangan?" tukas lela
"Halo?" Laisa sigap mengangkat dering ponselnya yang nyaring di dalam laju kendaraan. Perempuan itu baru bisa bernapas sedikit lebih lega. Keluar dari halaman mansion mewah milik keluarga Salomon dan mengamati penorama jalanan yang lengang. Akan tetapi ketentraman sesaat itu musnah begitu mendengar suara dari balik telpon genggam. Mata Laisa membulat sempurna. "Bu Laisa, saya hampir setengah jam di titik lokasi penjemputan. Mohon maaf ibu di sebelah mana, ya? Ramai sekali, Bu, di sini. Bisa tolong kasih saya tanda?" Sontak Laisa bangkit dari sandaran mobil guna mengamati sekitar. Ia panik bukan main kala lelaki yang memegang kendali kendaraan meliriknya dari spion atas. "Maafkan aku, Nona. Kau terlihat buru-buru dan aku tidak bisa menolak." Mata Laisa menyipit setengah ragu. Mengamati dengan saksama perpaduan antara suara dan sepasang manik mata itu. Tunggu dulu, Laisa tahu. Alih-alih berteriak dan mencari cara turun dari kendaraan, Laisa merangkak ke sela-sela kursi depan. Ia me
"Apa ada kejadian seru di pesta?"Reina yang sejak tadi hanya berpangku tangan memandangi kesibukan Laisa akhirnya bersuara. Dia sudah tidak tahan. Bagaimana mungkin perempuan itu bersikap biasa saja pasca dijebak Reina untuk menghadiri acara perjodohan?Yang semakin membuat Reina semakin penasaran adalah raut wajah Laisa yang cerah semringah. Sosok yang biasanya gampang ngomel hanya karena pelanggan sekadar mampir tanpa membeli barang, bersikap ramah pada semua orang. Entahlah, bahkan wajah datarnya seolah ditanggalkan pada suatu tempat.Sementara Laisa yang tengah disibukkan dengan kegiatan menghitung stok pakaian tak bisa menyembunyikan senyum. Ingatan soal lelaki sapu tangan bernama Gazza itu membuatnya gembira sepanjang waktu. Ia telah dibuat candu."Bisa dibilang begitu," sahut Laisa tanpa menoleh.Masih dengan mode detektifnya, Reina bertanya gamang, "Aku dengar pestanya bubar lebih awal. Kenapa?"Dalam hitungan detik suasana hati Laisa teralih. Bayangan pertengkarannya dengan
Habis sudah akalnya untuk merayu Laisa. Perempuan itu bersikeras mengulang-ulang jawaban yang sama. Sepatah alasan paling tidak logis yang pernah disampaikan Laisa sepanjang sejarah.Sambil sesekali memijat pelipisnya, Reina yang bersindekap dada itu membuang napas berat, "Sejak kapan kau percaya intuisi?""Aku tidak bisa, Rei," tukas Laisa menggeleng gigih."Kau hanya terbawa perasaan, Laisa. Situasinya terlalu mendukung, kau bertemu dengan dia pada titik terlemahmu, itu saja."Barangkali justru karena itu.Ia semakin sulit mengabaikan sosok Gazza yang begitu ramah dan lembut. Murah dalam tersenyum. Juga manis dalam bertutur.Segala komponen dalam diri Gazza berhasil memikat hati Laisa. Meski tanpa kepastian, walau dia sendiri tidak yakin kapan takdir mau mempertemukan, Laisa yakin keputusannya tepat. Ia tidak akan menikahi Avram."Mencintainya?" senyum memincing Reina mengembang, "Omong kosong, Laisa. Kau hanya kesepian dan dia ramah ke semua orang!""Apa yang membuatmu begitu marah
Belum sampai Laisa mengambil keputusan, kabar pernikahan Avram lebih dulu tersebar di penjuru Nusantara. Satu perempuan misterius yang identitasnya dijaga dengan ketat. Ia mendapat mobil jemputan beberapa menit kemudian. Persis seperti tahanan, Laisa diringkus tanpa sempat mengelak. Ucapan Kim Sarang soal 'berhak menolak' rupanya hanya omong kosong semata. Pernikahan itu memang telah disusun secara mutlak sejak pengumaman pencarian calon pengantin wanita resmi dibuat. Dan seolah sudah sepakat, Reina hanya memandangnya dari kejauhan. Tanpa melambaikan tangan perpisahan, atau kalimat lain yang mengakhiri perjumpaan mereka. Laisa hanya bisa terduduk pasrah. Meratapi jalan hidupnya yang kian kacau berantakan. Usai bangkrut, menghadapi kematian kedua orang tua, serta terlilit hutang hingga bertahun-tahun lamanya. Tinggal selangkah lagi menuju kebebasan. Kurang satu tahap untuk menjemput cinta sejatinya. Ia terjerumus dalam pernikahan paksa yang dirancang oleh orang-orang kaya. Entah ke
"Apa yang kau lakukan?" Dingin suara Avram mencengkeram nuansa pekat pada seisi ruangan. Lelaki itu berdiri di ambang pintu menatap punggung letih Laisa yang berbaring membelakanginya. Tiga per empat malam pesta itu dihabiskan olehnya sendiri di atas pelaminan. "Jawab, Laisa," tandas Avram penuh penekanan. Lelaki itu sudah mengepalkan dua telapan tangan erat-erat. Menahan amarahnya yang sudah sampai di puncak kepala. Kalau saja Laisa tidak menunjukkan pergerakan, entah bagaimana kalut Avram akan menghabisinya. "Kau melihatnya, Avram, jangan pura-pura buta," komentar Laisa tanpa menoleh. Matanya sudah sembab, habis untuk menangisi sosok Gazza. Tapi dia memanfaatkan masalah yang lebih masuk akal, yang juga ia pakai beralibi pada sang ibu mertua. "Lihat aku jika bicara." "Aku hanya ingin istirahat dengan tenang, bisakah..." "Lihat aku, Laisa!" gelegar suara Avram menyambar seisi kamar. Lelaki itu melempar salah satu perabot yang berada dalam jangkauannya hingga pecah belah. Membuat
Denting sendok yang beradu dengan piring terhenti. Suasana ruang makan membeku begitu sosok Avram berdiri di ambang pintu masuk. Hanya Nada yang tersenyum, bocah yang menempel pada Laisa itu melambaikan tangannya sebagai isyarat agar sang ayah ikut bergabung. "Berangkat sekarang, Nada, Daddy ada rapat sebelum jam delapan," ujarnya lembut meski tanpa senyuman. "Rapat?" Kim Sarang meletakkan alat makannya kesal, "Menikah baru kemarin sudah mau rapat? Nada tidak sekolah, jadi aku harap kalian menghabiskan waktu bertiga." Dengan sigap, Gazza yang duduk di samping kanan wanita itu menggenggam punggung tangannya. Ia berusaha meredahkan amarah. Sementara Laisa yang duduk di seberang Kim Sarang menyibukkan diri pada Nada. Ia tidak tertarik melirik Avram. "Itu bukan urusan Anda, Nyonya Kim," sahut Avram seraya mendekat. Membuat Nada yang semula duduk tenang terpaksa harus bersiap memenuhi panggilan. Akan tetapi, Gazza bangkit dari duduknya, "Nada denganku saja. Sepertinya kalian bertiga