Share

PROSES PENDEKATAN

“Maaf, Dinda. Tante nggak bermaksud untuk bohongin kamu. Tante hanya lupa untuk memberikan informasi penting tersebut.”

Adinda yang memang langsung menemui Marlina selepas pertemuannya dengan Alvin hanya bisa tersenyum kecut. Lupa? Hal sepenting itu bisa Marlina lupakan? Namun, sayangnya Adinda bukan tipe wanita yang mudah meledakkan emosi. Sejak kecil ia dididik dengan cara lembut oleh mama dan papanya. Kedua orangtua yang akan selalu menjadi panutannya sepanjang sisa hidup yang Tuhan beri untuknya. Namun, rasa kecewa dan penyesalan ini tentu saja masih terus membuat Adinda ingin menarik waktu ke belakang. Seharusnya ia usahakan rumahnya terjual bagaimana pun caranya. Bukan malah menerima tawaran yang akhirnya membuatnya terjerat pada hal rumit semacam ini.

Menjadi madu bagi wanita lain tentu saja bukan hal yang bisa ia bayangkan akan terjadi pada hidupnya. Apakah ia memiliki dosa di masa lalu yang begitu besar? Sehingga terjebak pada situasi di mana ia tidak bisa mundur meski jika maju jalannya akan menjadi salah.

“Tapi semua yang terjadi tidak seperti yang kamu pikirkan, Sayang. Tante tidak mungkin mengambil keputusan tanpa memikirkan konsekuensinya.” Marlina terlihat takut jika Adinda akan mundur setelah mendengar cerita yang terucap dari bibir Alvin.

“Sekarang kamu ikut Tante!” Marlina berdiri, dan segera berjalan ke arah mobil yang terparkir di pinggir jalan. Dan tanpa mengatakan apapun, Adinda mengekor langkah Marlina yang entah akan mengajaknya ke mana.

*

Adinda mamandang sosok Alvaro yang masih terbaring koma di tempat tidurnya. Kilasan kalimat yang Marlina ceritakan tadi terus berdengung di telinganya. Nyatanya, apa yang akan Adinda hadapi di sana jauh lebih pelik dari apa yang ia bayangkan.

Adinda kira, ia hanya akan menghadapi seorang laki-laki dingin yang enggan mengenal wanita. Namun, ternyata sosok Alvin bersikap dingin karena ingin mempertahankan cinta yang ia jaga untuk istrinya.

Tentu saja itu akan lebih sulit karena hati Alvin sudah dipenuhi oleh nama Sofia. Dan siapapun wanita yang mendekat, akan dianggap sebagai ancaman bagi istri yang sangat ia cintai itu. Laki-laki itu tidak sedang menjaga hatinya, tetapi menjaga hati lain agar tidak terluka jika dia menggeser tempatnya.

“Sofia adalah cinta pertama Alvin. Mereka sangat lama berpacaran hingga akhirnya memutuskan untuk menikah. Tapi, kecelakaan itu merenggut semua hal yang Alvin rancang untuk masa depannya dengan Sofia.”

Adinda menghela napas, Alvin sebenarnya hanyalah pribadi yang terluka. Pribadi yang sangat rapuh, dan menutupi kerapuhannya melalui sikap dinginnya itu. Jika dipikirkan lagi, sebenarnya mereka berdua tidak jauh berbeda. Alvin melindungi Sofia dengan sikap dinginnya itu. Dan Adinda melakukan segala cara untuk bisa mempertahankan Alvaro agar tetap hidup. Mereka hanya dua manusia biasa yang sedang mempertahankan apa yang mereka anggap penting.

“Tolong Tante, Adinda. Buat mata Alvin terbuka agar mau melanjutkan hidup dengan cara yang benar.”

Andai saja permohonan itu tidak pernah ia dengar. Dan andai saja pertolongan itu tidak pernah ia terima. Tentu saja Adinda akan memilih untuk tidak mengusik dunia yang sudah Alvin bangun bersama Sofia. Namun, bagaimana mungkin ia bisa menolak permohonan wanita baik yang sudah mau mengulurkan tangan untuknya? Bagaimana ia bisa abai pada keinginan seorang ibu yang ingin melihat anak laki-lakinya bahagia? Walaupun Adinda sendiri ragu, apakah ia benar-benar bisa membawa kebahagiaan bagi Alvin?

Entah sudah berapa kali Adinda menghela napas untuk hari ini. dan ia terus mengulang itu seolah beban berat di dadanya bisa berkurang dengan cara itu.

“Al, jangan kecewa dengan apa yang aku lakukan sekarang, karena aku benar-benar nggak punya pilihan lain. Aku melakukan ini untuk mempertahankan jantung kamu agar tetap berdetak.” Satu bulir menetes, Adinda tidak tahu apa yang akan ia jelaskan nanti jika Alvaro tiba-tiba bangun.

“Aku janji akan segera menyelesaikan ini, dan akan kita bahas semuanya dengan pikiran tenang jika kamu bangun nanti.” Wanita itu mengusap air matanya, lalu memasang senyum manis yang selalu menjadi favorit Alvaro.

“Kamu cepet bangun, ya. Aku kangen banget kamu jailin. Aku kangen banget sama masakan asin kamu.” Adinda terkekeh dengan bulir yang kian menetes. Tidak tahu apakah tangisan itu memang untuk kerinduannya untuk Alvaro, atau sebagai bentuk lain dari pelarian kebingungan yang kini melandanya. Ia sudah memutuskan untuk melangkah maju karena memang tidak memiliki jalan mundur.

*

“Alvin itu paling suka sama masakan pedas dan berkuah. Apalagi yang ala rumahan. Dulu Sofia pinter masak soalnya,” jelas Marlina suatu hari. Dan hari ini, Adinda pun membuat masakan untuk laki-laki itu.

Adinda sendiri sudah tidak asing dengan kegiatan memasak seperti ini, karena memang sudah terbiasa hidup sendiri. Biasanya ia akan menikmati hasil masakannya bersama Alvaro, dan selama ini lidah laki-laki itu sangat cocok dengan masakan yang ia buat. Sementara kali ini, Adinda ragu Alvin akan menyukai masakannya. Apalagi setelah ia tahu jika Sofia adalah seorang chef yang begitu handal. Dan bahkan, setelah menikah Alvin berencana ingin membuka restoran dengan nama istrinya tapi tidak terealisasi sampai sekarang.

“Enak loh, ini mirip banget sama yang Sofia bikin,” ujar Marlina saat Adinda meminta pendapatnya tentang makanan yang ia buat. Wanita itu tentu saja tidak akan nekad memberikan masakan itu langsung kepada Alvin.

“Tante yakin?” Adinda takut Marlina hanya sedang membesarkan hatinya dengan memuji masakannya seperti itu.

“Sangat yakin, Alvin pasti akan terkejut saat mencicipinya nanti.”

Adinda tersenyum senang, dan berharap memang begitu adanya. Maka, setelah menemui Marlina, ia pun menuju ke kantor di mana Alvin bekerja. Ia tidak memiliki kesulitan karena Marlina memberinya akses masuk dengan mudah.

Perusahaan yang Alvin kelola memang milik keluarga, yang sekarang menjadi tanggung jawabnya untuk terus dikembangkan setelah ayahnya meninggal dunia. Dia anak sulung dari dua bersaudara, dan tidak mungkin meminta bantuan atau malah menyerahkan tanggung jawab besar ini pada Almira, adik perempuannya itu lebih berminat pada dunia traveling.

*

Alvin memandang kotak makanan di depannya dengan alis berkerut. Merasa janggal dengan kotak berwarna biru itu yang tiba-tiba saja ada di tempatnya. Padahal ibunya sama sekali tidak memberi kabar akan mengirim makan siang.

“Tari, ini makanan dari siapa?” tanya laki-laki itu pada sekretarisnya melalui interkom.

“Nggak nyebutin nama yang kasih, Pak. Katanya Pak Alvin bakalan tahu.”

Alvin berdecak malas, “Lain kali kalau nggak mau nyebutin nama, jangan kamu terima! Langsung buang kalau perlu!” sentak laki-laki itu dengan nada pedas, lalu memutus sambungan tanpa menunggu jawaban dari seberang.

Tidak perlu menduga, ini pasti ulah wanita baru yang mamanya bayar untuk mendekatinya. Nyatanya ibunya masih belum menyerah untuk menjodohkannya dengan wanita itu.

“Ibu kan juga pengin nimang cucu dari kamu, Vin.”

Alvin mendengus kesal saat mengingat perkataan yang ibunya ucapkan tempo hari. Hal yang pasti akan membuat Sofia sedih jika sampai mendengar itu.

“Aku harap Ibu nggak pernah mengatakan itu di depan Sofia,” balasnya yang langsung pergi ke kamar tanpa mau mendengar kalimat ceramah yang pasti akan keluar jika ia masih tetap duduk dengan ibunya.

Tangan Alvin sudah berniat untuk memberikan makanan itu pada sekretarisnya, tetapi matanya menangkap satu kertas terselip di sana.

‘Kalau dibuang, berarti Mas Alvin takut jatuh cinta sama masakan saya.’

Degusan sinis kembali terdengar saat kalimat itu terbaca olehnya. Mana mungkin Alvin akan terpancing oleh jebakan konyol semacam itu? Maka laki-laki itupun segera bangkit, dan menyerahkan kotak makan itu pada Tari yang tentu saja langsung menerimanya dengan senang hati.

“Ini baunya enak sekali loh, Pak. Bapak yakin mau kasih ke saya?” tanya Tari yang tidak sedang mengada-ada. Aroma masakan di dalam kotak itu memang langsung tercium tanpa harus membuka tutupnya.

“Saya alergi sama daging,” ketus laki-laki itu sembari melirik ke arah tembok pembatas. Di mana seseorang yang kini bersembunyi di sana ia yakini akan kecewa melihat apa yang ia lakukan.

Alvin pikir wanita itu akan berhenti setelah ia tolak. Namun, sepertinya ia harus bersikap lebih kasar dari ini. Atau, dengan cara lembut berbentuk uang dengan nilai banyak? Alvin tersenyum miring, nyatanya cara itu memang selalu berhasil.

Maka, saat keesokan harinya makanan itu kembali ada di mejanya, Alvin segera menemui wanita yang sedang berjalan ke arah lift itu untuk membuat sebuah kesepakatan.

“Sepertinya kita perlu bicara agar kamu mau mundur tanpa perlu saya kasari,” ujar Alvin pada wanita berwajah manis yang— Alvin menggeleng, lalu segera memutar langkah.

“Ikut ke ruangan saya.” Laki-laki itu tidak perlu mengulang kata-katanya, karena bisa ia dengar langkah kaki yang mengikutinya kini.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status