Share

SEBUAH ANCAMAN

“Kamu bersedia untuk dimadu?” Adinda hanya diam mendengar kalimat dengan nada mencemooh itu ditujukan untuk dirinya. Marlina sudah memperingatkannya untuk tidak memasukkan apa yang anak laki-lakinya katakan ke dalam hati.

“Wanita baik mana yang mau dijadikan istri kedua?” Lagi, Adinda masih diam. Ia tahu Alvin hanya sedang menggoyahkan pendiriannya. Maka tugasnya hanya diam, dan mendengarkan.

“Sofia memang tidak lagi sempurna. Tapi itu tidak berarti saya akan meninggalkannya begitu saja. Apalagi menduakannya, sungguh saya tidak pernah berpikir ataupun sekadar membayangkannya.” Alvin menatap sengit Adinda, yang hanya diam tanpa merespon ucapannya. Namun, laki-laki itu tahu wanita ini akan berakhir sama dengan yang lainnya. Kabur saat sudah tidak tahan saat harus mendapat sikap dingin darinya.

“Apalagi pada wanita mata duitan kayak kamu.” Alvin tersenyum miring, ada dengusan sinis yang terdengar, saat melihat tangan Adinda mencengkeram ponsel yang wanita itu genggam dengan begitu keras. Sedikit lagi, ia akan berhasil menggagalkan rencana ibunya.

“Berapa yang Ibu saya tawarkan? Saya akan memberi lebih,” ujar Alvin langsung pada intinya, ia yakin ibunya memberi wanita ini banyak uang untuk merayunya. Dan Alvin yakin dengan jumlah yang lebih banyak, wanita ini akan mundur secara sukarela. Seperti yang terjadi beberapa waktu kemarin. Wanita-wanita itu, langsung mundur saat ia beri sikap dingin, dan kadang ia perlu menambahkan sedikit nominal di atas yang  ibunya beri.

“Tulis berapa pun nominal yang kamu mau, saya akan kasih.” Alvin melempar cek ke hadapan Adinda, dan merasa semuanya akan selesai begitu saja. Namun, sepertinya kali ini tidak akan berjalan seperti biasa, karena wanita di depannya hanya diam. Bahkan masih terlihat tenang, tidak gentar sedikitpun dengan sikapnya.

“Maaf Mas Alvin, kamu salah menilai saya.” Gerakan Alvin pun terhenti, dan laki-laki itu memicingkan mata pada Adinda yang kini tersenyum ke arahnya.

“Saya akan tetap membantu ibu Mas Alvin.” Adinda berusaha untuk tetap tenang walaupun kini Alvin menunjukkan emosinya akan meledak.

“Ibu Mas Alvin sangat baik. Saya nggak mungkin mengecewakan beliau.”

Alvin mendengus kasar, merasa muak dengan wajah lemah lembut yang kini Adinda tunjukkan.

“Sepertinya Ibu saya memberi harga yang teramat tinggi.”

Adinda menggeleng, “Bukan tinggi, tapi apa yang ibu Mas Alvin berikan pada saya sangat berharga.”

Alvin hanya mendengus, dalam hati terus mencari cara untuk bisa membuat wanita ini mundur.

“Maka apapun yang terjadi, saya akan tetap maju.”

“Apa kamu tidak pernah berpikir bagaimana perasaan istri saya?” Alvin menoleh dan mendapati wajah Adinda tetap tenang. Bahkan ada senyum tipis yang membayang di sana, wanita macam apa yang ibunya kirim ini?

“Bagaimana kalau kamu ada di posisinya?”

“Saya akan merelakan Mas Alvin bahagia dengan yang lain,” jawab Adinda cepat, dan wajah Alvin seolah tercekat saat itu juga.

“Saya yakin istri Mas Alvin pasti wanita berhati mulia, hingga Mas Alvin tidak mau menyakitinya.”

Alvin hanya diam, bahkan matanya terlempar ke arah lain. Enggan menyaksikan kemunafikan yang sedang Adinda pertontonkan.

“Untuk itu, izinkan saya untuk meringankan bebannya. Istri Mas Alvin pasti akan bahagia melihat suaminya bahagia.” Kalimat itu berhenti bersamaan dengan satu gelas yang melayang ke arah tembok. Adinda hanya bisa memejamkan mata, mencoba meredam ketakutan yang tiba-tiba hadir. Dia harus kuat, dia harus kuat.

“Bahagianya adalah saat cintanya tidak terbagi dengan siapapun!” teriak Alvin dengan mata menyala marah. “Kamu hanya wanita munafik, merasa tahu apa yang istri saya inginkan! Bagaimana kamu bisa yakin keputusan ini bisa membuatnya bahagia, kalau kamu sendiri tidak pernah mengenalnya,” geram Alvin dengan emosi yang tidak bisa lagi terkontrol.

Adinda sendiri menelan ludah, menjaga senyum tenangnya tetap nampak. Dia tidak boleh mundur karena Marlina sudah sangat baik.

“Kalau begitu, izinkan saya untuk mengenalnya,” kata Adinda dengan senyum mengembang. Berharap ketakutan tidak terpancar di matanya kini.

*

“Alvin, Ibu mau bicara sama kamu.” Marlina sengaja menunggu di depan kamar Alvin, karena anak laki-lakinya itu sejak beberapa hari ini terus menghindarinya. Tepatnya sejak Adinda menemui Alvin, dan wanita itu tidak mau mundur seperti wanita lain sebelum ini.

“Apalagi? Alvin kan udah bilang sama Ibu, sampai kapanpun Alvin nggak mau menduakan Sofia.” Laki-laki itu berusaha untuk tidak bersikap kasar pada wanita yang melahirkannya ini.

“Sofia pasti akan bahagia dengan keputusan Ibu ini, Nak.”

Alvin tertawa miris. “Hanya karena Sofia nggak lagi bisa menjadi wanita normal, Ibu menyingkirkannya?”

“Alvin sadarlah, Nak. Ini yang terbaik buat kamu.”

 Alvin menggeleng tegas. “Alvin nggak mau!”

“Apa kamu mau melihat Ibu mati dulu baru kamu akan menuruti kata-kata Ibu?” Kalimat itu menghentikan langkah Alvin, dan laki-laki itu menoleh dengan wajah terkejut.

“Ibu jangan mengancam Alvin,” ujar laki-laki itu dengan sorot takut.

“Ibu nggak mengancam, tapi Ibu bisa mati menderita melihat kamu yang seperti ini.”

Alvin menghela napas pelan, lalu mendekati sang ibu. “Minta yang lain, tapi tolong jangan yang satu ini. Alvin nggak bisa menduakan Sofia, di saat dia nggak bisa melakukan apapun seperti sekarang, Bu.”

Marlina ikut menghela napas, “Percaya sama Ibu, Nak. Sofia akan bahagia jika kamu mau menuruti Ibu.”

Alvin memejamkan matanya, mencoba menahan emosi yang selalu tersulut jika kata-kata seperti ini selalu saja keluar. Orang-orang mendadak menjadi peramal, yang seolah tahu apa yang terbaik bagi istrinya.

*

“Alvin.” Laki-laki yang baru saja pulang dari tempat kerja itu pun segera menghampiri ibu mertuanya yang terlihat duduk berhadapan dengan sang ibu. Mencium punggung tangannya, lalu ikut duduk.

“Mama mau menjenguk Sofia?” tanya Alvin dengan senyum mengembang.

Wanita yang telah melahirkan cinta pertamanya itu tampak tersenyum lembut, lalu mengusap lengan Alvin dengan penuh sayang. “Sudah, Mama sudah bicara banyak sama dia.”

Alvin mengernyitkan kening, merasa ada yang janggal “Bicara banyak?”

Wanita itu mengangguk, “Dan satu pesan yang Sofia beri ke Mama.”

Wajah Alvin berubah penuh waspada, ia merasa seperti ada konspirasi di sini.

“Menikah lah dengan wanita pilihan ibu kamu. Itu yang Sofia inginkan.”

Alvin segera bangkit, menatap dua wanita seusia itu dengan tatapan tidak mengerti. Lalu tanpa mengatakan apapun, ia bangkit untuk menemui sang istri.

Laki-laki itu menelan ludah, menarik napas sepelan mungkin, lalu saat berhasil menetralkan emosi yang menguasainya, ia pun masuk ke dalam kamar yang selalu temaram itu.

“Hai,” sapanya pada wanita yang masih saja terlihat cantik, meski harus terbaring tidak berdaya karena sebuah kecelakaan yang menimpanya dulu.

“Maaf ya aku telat, tadi kerjaan di kantor banyak banget,” ujar laki-laki itu lagi dengan senyuman lembut. Hal yang sudah lama sekali tidak pernah ia tunjukkan pada siapapun termasuk ibu dan juga adiknya.

“Kamu pasti sudah tahu apa yang terjadi. Maaf, aku harus membuat hati kamu kembali terluka,” bisik Alvin seraya mengusap lembut rambut sang istri yang tetap lembut meski tidak pernah lagi terawat seperti dulu.

“Aku akan menyelesaikan ini dengan cepat.” Alvin tetap berbicara meski tidak ada jawaban. Itu tidak masalah baginya, yang terpenting sang istri masih terus bersamanya.

“Aku—“ kalimat Alvin terhenti saat jeritan sang mertua menggema dari luar.

*

Alvin memijat pangkal hidungnya yang terasa berdenyut, lalu berkacak pinggang. Merasa tertekan dengan kondisi yang ada sekarang. Meski dokter mengatakan sayatan di pergelangan tangan itu tidak dalam, tapi tetap saja melihat darah merembes dari tangan sang ibu nyaris membuatnya gila.

“Alvin!” Alvin segera menoleh, dan mendapati ibu mertuanya keluar dari kamar rawat sang ibu.

“Mama pulang dulu, ya, Nak. Jaga ibu kamu, jangan membuatnya tertekan,” ujar wanita itu, yang hanya dibalas anggukan oleh Alvin. Dan setelah mengantar ibu Sofia sampai ke parkiran mobil, laki-laki itu kembali ke dalam kamar rawat ibunya.

Sosok yang tidak ingin ia lihat ada di sana, dan Alvin memutuskan untuk berdiri di pintu. Dari sini, Alvin masih bisa mendengarkan percakapan sang ibu dengan Adinda.

“Tapi tindakan Tante ini sangat ekstrim, Dinda takut banget pas denger kabar Tante masuk rumak sakit tadi.” Adinda menggenggam tangan Marlina dengan ketakutan yang begitu nyata.

“Habisnya Ibu sudah kehilangan akal. Biarin Ibu mati aja kalau Alvin nggak mau menuruti permintaan Ibu.”

“Bu!” Alvin sontak masuk saat mendengar kalimat itu, dan kedua wanita yang ada di dalam pun menoleh bersamaan.

Alvin menelan ludah, lalu berjalan masuk untuk mendekati sang ibu. “Jangan lagi kayak gini,” ujarnya dengan raut putus asa yang begitu nyata. “Ibu benar-benar membuat Alvin ketakutan,” bisik laki-laki itu seraya menjatuhkan kepalanya di pinggir tempat tidur.

Adinda yang menyaksikan itu merasa tidak tega. Namun, ia memilih diam karena ini bukan ranahnya.

“Kalau begitu turuti permintaan Ibu.” Marlina menggunakan kesempatan ini untuk menekan Alvin. Ia yakin rencananya akan berhasil.

Alvin mendongak, menatap wajah sang ibu, lalu berganti menatap Adinda yang langsung melempar pandang ke arah lain.

“Baik, aku akan menikahi dia.” Alvin masih menatap Adinda dengan sorot yang menakutkan di mata wanita itu. Seolah, banyak ancaman tak terucap yang keluar dari sana.

“Tapi jangan sampai Sofia tahu. Alvin nggak mau nyakitin dia,” ujar laki-laki itu lagi, yang tentu saja langsung memunculkan senyum di bibir sang ibu.

“Baik, itu nggak masalah buat Ibu. Besok Ibu akan mengurus semuanya,” kata Marlina dengan mata berbinar.

Alvin mengangguk, “Nggak usah ada pesta. Alvin mau ke nemuin dokter dulu.” Setelah mengucapkan itu Alvinpun segera pergi.

“Din.” Adinda yang menatap kepergian Alvin dengan tatapan gamang, akhirnya menoleh ke arah Marlina.

“Coba kamu lihat Alvin masih ada di luar nggak.” Meski bingung dengan permintaan itu, Adinda memilih untuk menurutinya tanpa banyak bertanya. Wanita itu bangkit, lalu saat memastikan sosok Alvin sudah tidak ada, wanita itu kembali mendekat ke arah ranjang.

“Mas Alvinnya udah nggak ada, Tan,” ujar Adinda yang bertambah bingung saat Marlina langsung duduk tegak, seolah tidak merasakan sakit.

“Kamu itu, panggil Ibu dong, Din.” Adinda meringis sungkan, lalu mencoba untuk mengikuti permintaan wanita ini.

“Ibu nggak papa, kan?”

“Nggak papa, sehat banget malah.”

“Jadi, sebenarnya?”

Adinda menatap ngeri saat Marlina malah membuka perban di pergelangan tangan dengan begitu cepat. Namun, saat hanya ada sedikit luka gores, wanita itu melongo bingung.

“Ibu nggak seekstrim itu sampai menyayat nadi lah Dinda. Ini cuma luka kecil, darahnya juga sedikit.” Marlina terkikik saat dokter yang menanganinya tadi terlihat bingung, karena ia bisa pingsan hanya karena luka gores silet yang tidak mencapai satu senti.

“Ibu.” Dinda mengembus napas lega, dan ikut tersenyum geli saat sadar permainan macam apa yang wanita ini buat.

*

Pernikahan itu akhirnya digelar dengan sangat sederhana. Adinda tampak begitu cantik dengan kebaya putih dan make up yang terlihat natural. Namun, tidak ada kebahagiaan yang terpancar, karena ia tahu ini semua adalah palsu. Ia memiliki satu tujuan yang sebenarnya membutuhkan ketulusan.

“Buat dia melupakan Sofia. Dan menjadikan kamu satu-satunya.” Pesan yang Marlina berikan beberapa hari lalu. Hal yang membuat Adinda merasa seperti seorang penjahat. Bagaimana caranya ia bisa mendapatkan hati Alvin, sementara laki-laki itu terlihat begitu membencinya?

Seharusnya cara yang ia dan Marlina pakai tidak seperti ini. Namun, semuanya sudah terlanjur dan ia hanya bisa mengikuti alur. Berharap semua misi ini akan berjalan lancar. Dan tanpa sadar, Adinda tidak memikirkan bagaimana jika Alvaro tiba-tiba saja sadar. Apa yang harus ia jelaskan pada laki-laki itu nanti?

Ijab kabul berakhir lancar, meskipun Alvin harus dua kali mengulang, karena nama Sofia terus saja berdengung di kepalanya.

Tidak ada pesta, karena Alvin langsung mengajak keluarganya pulang setelah semua acara sakral itu selesai. Ada dengusan jengah, saat akhirnya ia tahu berapa jumlah yang telah ibunya bayar untuk wanita itu. Nilai yang cukup besar untuk dijadikan mahar. Pantas saja Adinda berjuang dengan begitu kekeh untuk bisa menjadi istrinya.

“Kamu memang menjadi istri saya sekarang, tapi jangan berpikir kamu akan pernah mendapatkan hati saya. Jadi jangan mencoba hal yang hanya akan berakhir dengan percuma,” ujar Alvin sebelum membanting pintu kamarnya tepat di depan wajah Adinda.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status