Share

STATUS ALVIN

Lesung pipi di sebelah kanan itu tercetak, saat sebuah senyum lega tampak di wajah cantik, yang baru beberapa bulan lalu menginjak usia duapuluhlima tahun. Ada beban yang seolah terangkat dari pundaknya, setelah segala kerumitan yang beberapa hari ini mengganggu pikirannya terpecahkan.

‘Din, saya tunggu di depan.’

Adinda Larisa, nama wanita dengan rambut sepunggung itu segera memasukkan ponsel ke dalam tas. Ia bersiap untuk membayar konsekuensi dari segala yang sudah ia dapat. Adinda tidak tahu jalan seperti apa yang akan ia hadapi di depan sana nanti. Namun, yang pasti satu masalah sudah terselesaikan, dan ia akan menjalankan garis takdir yang sudah Tuhan tulis untuk hidupnya.

“Al, aku pergi dulu,” ujarnya kepada laki-laki yang kini terbaring dengan berbagai alat terpasang di tubuh. “Mungkin setelah ini aku bakalan jarang nemenin kamu. Tapi aku janji bakal usahain untuk datang setiap hari kok.” Bibir tanpa pulasan lipstick itu tersenyum, meski lawan bicaranya tidak pernah memberi tanggapan. Mata itu masih tertutup rapat seperti biasa.

“Kamu baik-baik, ya.” Setelah mengatakan itu Adinda segera bangkit, merapikan rambut keunguan laki-laki yang masih menjadi kekasihnya itu, lalu pergi sebelum wanita baik yang menunggunya di luar sana kembali mengirimkan pesan.

*

“Dulu dia nggak seperti itu,” ujar Marlina dengan sorot sedih yang begitu kentara. “Dia selalu tersenyum ramah pada semua orang,” lanjutnya sembari menoleh ke arah samping.

Adinda yang sejak tadi fokus pada laki-laki jangkung di depan sana sontak menggerakkan kepalanya ke arah Marlina yang kini menatapnya. Memberikan senyum lembut sebagai penguat bagi ibu dari laki-laki yang sejak tadi mereka perhatikan.

“Sekarang sikapnya dingin sekali. Hanya bisa ramah saat sedang berhadapan dengan klien saja.” Marlina menghela napas, membetulkan kaca mata hitam yang bertengger di pangkal hidung bangirnya. Tanpa harus melihat langsung pun, Adinda tahu kini mata itu tengah berkaca-kaca.

“Beberapa kandidat yang selama ini Tante sodorkan, selalu saja gagal,” ujar Marlina kembali. Adinda hanya diam mendengarkan, sembari menyimpan semua informasi penting itu ke dalam kepalanya.

“Selama ini, wanita-wanita itu silau pada jumlah uang yang Alvin tawarkan. Atau, mereka tidak akan tahan dengan sikap dingin Alvin yang sudah mengarah ke kasar.”

Kali ini Adinda yang menghela napasnya, ada setitik rasa takut yang mulai menyusup. Namun, saat tangan Marlina menggenggamnya, seolah tahu keresahan yang ada di hatinya kini, wanita itu berusaha untuk menunjukkan senyum penuh keyakinan.

“Kamu, akan bertahan kan, Dinda?” Marlina menurunkan kaca mata hitamnya, dan tampaklah sorot putus asa seorang ibu yang tengah mencari secerca kebahagiaan untuk anak laki-lakinya.

Adinda menghela napas, lalu membalas remasan tangan Marlina dengan senyum tenang yang akan membuat siapapun menyukainya.

“Dinda akan berusaha Tante. Dinda sudah punya gambaran, dan Dinda harap Dinda akan tahan banting nanti.” Wanita itu tersenyum lebar, berusaha memberi keyakinan bahwa dirinya tidak akan menyerah begitu saja.

“Tante yakin Tuhan mempertemukan kita bukan tanpa alasan. Tante yakin kamu adalah wanita tepat yang akan bisa menolong Alvin.” Secercah harap tampak tersorot di mata Marlina. Sejak dipertemukan dengan Adinda hari itu, Marlina yakin wanita ini berbeda.

“Dinda akan berusaha untuk nggak mengecewakan Tante,” bisik wanita itu dengan senyum yang semakin tampak manis, saat satu lekukan tercetak di pipi sebelah kanannya.

“Tante percaya kamu bisa. Dan, apa boleh Tante minta sesuatu?”

Senyum Adinda menghilang, ada sedikit rasa khawatir tentang permintaan yang belum tersebut itu. “Apa itu?” Adinda menunjukkan senyum tipis, agar keresahannya tidak terbaca oleh mata Marlina.

“Belajar lah untuk mencintai Alvin. Tante rasa, itu cara mudah untuk meluluhkan hatinya.” Marlina kembali menunjukkan binar harap di matanya. “Mungkin, dengan sebuah ketulusan, anak Tante akan luluh sama kamu.”

Mulut Adinda hanya bisa membuka dan menutup tanpa bisa mengatakan apapun. Belajar mencintai? Adinda tidak memikirkan hal ini sampai detik ia menandatangani surat kesepakatan mereka tadi. Sebelum akhirnya Marlina membayar semua tagihan rumah sakit, bahkan perawatan untuk Alvaro beberapa bulan ke depan, sudah wanita itu bayarkan.

“Tidak perlu terburu-buru, dengan berjalannya waktu, Tante yakin kamu bisa mengambil hatinya.”

Ini, tugasnya sebenarnya apa? Kenapa Adinda baru menyadari jika hatinya harus diserahkan juga di sini. Ia harus membuat Alvin jatuh cinta kepadanya, demi melupakan sosok istri bernama Sofia. Lalu? Lalu setelah itu? Kenapa Adinda tidak memikirkan semua ini? Setelah Alvin jatuh cinta kepadanya, tidak mungkin bukan ia tinggalkan begitu saja?

“Kamu, mulai ragu, ya?” Marlina sepertinya membaca keraguan dan kegamangan yang kini memenuhi kepala Adinda. Namun, wanita itu malah menggeleng untuk menyanggah tebakan Marlina.

“Aku sudah menerima uangnya, dan aku sudah siap dengan konsekuensinya, Tante,” ujar Adinda dengan senyum yang tampak dipaksakan. Bukankah seharusnya seperti itu? Ia sudah menerima uang yang Marlina janjikan, dan tugasnya adalah membayar itu semua dengan syarat yang sudah Marlina berikan. Tidak ada lagi jalan mundur, dan apapun resiko di depan nanti yang menghadangnya, Adinda harus bersiap sepenuh hati untuk menyambutnya.

“Tante menaruh harapan besar sama kamu, Din.”

Adinda kembali memaksakan senyumnya untuk muncul. Yah, dia tidak mungkin mundur karena segalanya sudah dimulai.

“Jalan, Pak,” ujar Marlina pada supirnya, lalu mobil itupun melaju membelah keramaian.

Mata Adinda lantas bergerak ke arah di mana Alvin masih tampak serius di kafe seberang sana. Sosok itu terlihat ramah saat sedang berbicara dengan laki-laki yang tadi Marlina sebut klien perusahaan mereka. Mungkin, laki-laki itu pada kenyataannya tidak semenyeramkan yang ia bayangkan.

*

Agenda Adinda selama beberapa hari ini adalah mengikuti Alvin. Dia harus tahu keseharian laki-laki itu. Meski Marlina sudah menyebutkan daftar kegiatan anak laki-lakinya yang sebenarnya hanya berurusan dengan pekerjaan, tapi Adinda ingin tahu lebih banyak tentang laki-laki itu secara langsung.

“Kegiatan Alvin setiap harinya selalu sama. Kalau nggak kerja ya paling dia di rumah. Tapi, beberapa hari ini dia lagi lembur terus soalnya ada kerja sama dengan perusahaan baru."

Informasi tersebut menjawab pertanyaan yang tidak sempat muncul di kepala Adinda, tentang kenapa Alvin selalu pulang tengah malam.

Sebenarnya sampai detik ini Adinda masih bingung, kenapa laki-laki seperti Alvin harus dijodohkan. Alvin yang ada di bayangannya dengan Alvin yang ia kenal sekarang, tentu saja berbeda. Awalnya Adinda pikir Alvin adalah laki-laki kolot yang mungkin susah dekat dengan lawan jenis, maka Alvin yang terlihat di mata Adinda adalah sosok yang akan dengan mudah menarik lawan jenis. 

Marlina tidak menjelaskan apa alasan Alvin dan Sofia bisa berpisah. Wanita itu hanya bercerita, jika Alvin berubah menjadi dingin terhadap lawan jenis, semenjak Sofia pergi begitu saja. Yang Adinda tangkap dari cerita tersebut adalah, Alvin trauma pada lawan jenis, mungkin karena mantan istrinya itu mengkhianati Alvin. Dan Alvin menganggap semua wanita sama saja. Yah, Adinda tahu sebenarnya bisa saja ia menanyakan cerita utuhnya pada Marlina. Namun, hutang budi yang sudah ia terima, membuat Adinda sungkan untuk bersikap kepo seperti itu. Dia hanya perlu menjalankan tugas, dan jika sudah berhasil, maka akan ia pikirkan nanti jalan apa yang selanjutnya perlu ia ambil.

Adinda menunduk pada buku menu saat sosok yang sejak tadi ia perhatikan itu menoleh ke arahnya. Jangan sampai ia memiliki kesan tidak baik di saat mereka bahkan belum saling mengenal. 

Alvin sejak tadi terlihat hanya duduk melamun di salah satu meja kafe sembari menatap kosong ke arah jalan. Laki-laki itu sesekali menyeruput kopi di hadapannya. Bisa Adinda lihat beberapa pelayan kafe yang sejak tadi mencuri pandang ke arah laki-laki itu. Yah, seperti yang tadi ia bilang, Alvin akan mudah menyedot perhatian lawan jenis dengan begitu mudah. Tidak hanya tampan, Alvin juga memiliki badan tegap dan tinggi seperti model yang sering muncul di televisi. Belum lagi garis ramah yang membuat wajah Alvin akan bertambah tampan andai saja mau tersenyum.

“Sepertinya dari tadi saya lihat kamu terus melihat ke arah saya.” Adinda sontak mendongak dengan mata melebar saat sosok jangkung itu tiba-tiba sudah berdiri menjulang di depannya. Tatapan dingin dan tajam itu langsung menghujam tepat di manik matanya.

“Atau, kamu wanita baru yang ibu saya kirim?” Seharusnya Adinda bisa menguasai diri, seharusnya ia tidak kembali melebarkan mata, karena dengan begitu Alvin akan dengan mudah menebak jika jawaban dari pertanyaan yang laki-laki lontarkan itu adalah ‘ya’.

Ada dengusan sinis yang bisa Adinda tangkap dari tempatnya. Terlalu terkejut membuat kerja syaraf otaknya seolah lumpuh saat itu juga. Tidak sepatah katapun bisa ia ucapkan. Apalagi Alvin terus menyerangnya dengan tatapan dingin yang begitu menakutkan.

“Jangan buang waktu kamu untuk hal yang tidak akan membuahkan hasil. Sebelum kamu membuang tenaga kamu itu, saya peringatkan untuk mundur.” Alvin terlihat masih tenang, dan kali ini melirik arlojinya. Setelah itu, ia pun segera pergi tanpa mengatakan apapun.

Adinda yang seolah baru menemukan fungsi tubuhnya dengan baik, segera berlari keluar mengejar sosok Alvin yang sudah berdiri di samping mobilnya.

“Mas Alvin tunggu!” Bisa Adinda lihat tangan laki-laki itu mengepal, sebelum akhirnya wajah itu bergerak ke arahnya.

“Kasih saya kesempatan,” ujar Adinda dengan senyum penuh percaya diri.

Alvin memberikan senyum, bukan jenis senyum yang akan orang sukai. Dari senyum yang ia berikan itu, berapa wanita langsung mundur teratur dari niat untuk mendekatinya.

“Kesempatan untuk melukai wanita lain?”

Kening Adinda tampak mengerut bingung. “Maksud Mas Alvin?”

“Jadi Ibu saya tidak cerita?”

“Cerita? Maksudnya?” Ada waswas yang kini menguasai hati Adinda.

“Jadi kamu nggak tahu status laki-laki yang akan kamu dekati?” Alvin tertawa dengan nada meremehkan.

"Tahu. Mas Alvin sudah pernah menikah." Adinda mengatakan itu dengan kepercayaan diri yang tinggi. 

Awalnya kening Alvin tampak berkerut, seperti tengah mencerna apa maksud dari kalimat yang Adinda lontarkan. Dan saat satu kesimpulan laki-laki itu dapat, sontak senyum kecut itu muncul begitu saja.

"Saya bukannya pernah menikah, tapi sampai sekarang saya masih menyandang status sebagai seorang suami," ujar Alvin dengan nada dingin.

Adinda yang bingung hanya mengedipkan mata. Jadi, ini maksudnya?

"Saya belum, dan tidak akan pernah bercerai dengan Sofia," jelas laki-laki itu lagi sebelum membuka pintu mobil. Namun, kepala itu kembali bergerak ke arah Adinda yang semakin tampak kebingungan.

"Dan kalau kamu mau tahu. Istri saya masih ada di rumah, dengan kondisi yang tidak memungkinkan untuk ke luar. Dia hanya bisa terbaring selepas kecelakaan yang terjadi satu tahun yang lalu."

Mata Adinda kembali melebar, tetapi tidak bisa memberikan respon lebih dari itu karena sosok Alvin sudah menjauh dengan mobil yang laki-laki itu kendarai. Jadi, ia ditipu?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status