Kak Umriyah Purnawati masih lihat novelku nggak? Salam kenal juga. Saya memang orang Gresik. Tepatnya kecamatan Dukun
"Diangkat, Keya," suruh Maryam saat mendengar handphone Keya berbunyi berkali-kali. Keya yang merasa enggan karena pasti Liam yang hanya tahu nomor itu. Hanya satu-satunya dia yang ada di kontak Keya. Untuk apa menelpon setelah tadi pergi pagi sekali? bathinnya. Dia sudah jengkel sama Luam, kapan hari ke Gresik, seolah terlalu mengatur Keya, kemarin sore bahkan menertawai Keya yang katanya lucu berlumuran lumpur karena kecebur empang pas ambil telor bebek di dekat tanaman padi."Assalamualaikum, Keya!" Keya kaget. Terdengar dari jauh Neyna menelpon. Kali ini Keya makin jengkel pada Liam, bisa-bisanya dia ngasih nomer Keya itu ke maminya Siapa lagi kalau bukan Liam yang kapan hari memberi nomornya ke Mami, pikir Keya."Waalaikumussalam, Mi," kata Keya malas. "Tumben Mami telpon Keya?""Kenapa Keya ngomong gitu, Sayang?""Bukankah Keya bagi Mami–Papi, sudah mati?""Keya!" terdengar suara Neyna meninggi. "Kenapa kamu berpikir seperti itu?""Keya sudah bilang berkali-kali, bukan sa
"Kamu kenapa ini, Keya?" tanya Maryam yang melihat pakaian Keya basah kuyup."Dia kecebur di empang, Bu," jawab Liam yang baru datang dan langsung menjelaskan, bahkan sambil cekikian, sementara Keya menatapnya dengan jengkel. Sejak di sawah belakang tadi, Liam sudah tertawa, padahal dia justru jijik belepotan lumpur."Biar Ibu ambilkan baju di kamar. Kamu mandi di kamar mandi belakang," kata Maryam sambil beranjak menuju kamar yang ditempati Keya. Dipilihnya baju milik Ratna dengan warna yang mirip yang tadi dikenakan Keya."Terima kasih, Bu," kata Keya sambil menerima baju dari Maryam. Keya masuk ke kamar mandi, dan cukup lama ia di sana. Jangankan membersihkan lumpur yang baru pertama kali ia alami selama 18 tahun hidupnya, mandi biasa saja dia memang selalu lama. Sampai Liam yang menunggu di luar hampir kehilangan kesabaran denganb berkali-kali menggedor pintu"Keya, kalau kelamaan mandinya, aku masuk lho, ya," ancamnya membuat Keya bergidik. Di belakang memang hanya ada satu kamar
Melihat sikap maminya yang seolah lunak, Keya ingin mengurungkan pernikahan itu. Namun, saat melihat mata papinya, hatinya menjadi ciut.Sebelum pulang, Keya mengajak Liam berhenti sebentar di sebuah butik busana muslim yang sering dijadikan langganan oleh mamanya jika ada acara-acara keagamaan, termasuk saat lebaran dan harus memakai busana muslim. Setahu Keya, di butik ini juga menjual baju muslim untuk remaja.Keya melangkah masuk dengan menyuruh Liam menunggu di luar. Bagaimanapun Keya mengerti jika Liam ikut masuk, dia akan merasa tidak enak hati kalau tidak membayar pembelian Keya. Sedangkan kalau mau, pakai uang apa coba? Gajinya yang mengajar di sekolah desa itu bahkan dua bulan pun tak yakin bisa membayar baju yang akan dibeli Keya. Dia memang ingin membeli baju yang berkualitas agar tidak kepanasan kalau memakainya nanti. Bagaimanapun juga dia belum terbiasa memakai baju yang tertutup. Tentunya kalau tak benar-benar memilih bahan yang berkualitas, akan terasa gerah. Hanya ka
Keya mengamati baju di almari, baju Ratna yang pernah ditawarkan Maryam. Dipilih-pilihnya baju itu, yang semua nampak pas di badannya yang tak terlalu tinggi. Keya sedikit heran, katanya keluarga ini hidup dalam pas-pasan tapi baju yang dikenakan Ratna sewaktu remaja bukanlah baju sembarangan, semuanya adem, terkesan baju mahal walau Keya tak tahu apa itu baju bermerk, karena dia tak mengenal merk baju muslim.Setelah sekian lama, dari belum subuh, dia memilih dan mencoba, akhirnya dia mengambil baju yang biru tua dengan kerudung instan. Keya tak tahu apa kerudung itu kini sudah tertinggal zaman atau tidak mengingat Ratna kini sudah berumur. Yang jelas yang namanya baju muslim terusan ya, begini-begini, dari tahun ke tahun, pikirnya.Keya keluar dari kamar sudah rapi berbusana muslim. Maryam yang memandangnya segera merangkulnya."Cantik sekali kamu, Dhuk," kata Maryam, bertepatan dengan Liam yang keluar sudah rapi. Dia juga nampak terhanyut dengan kecantikan Keya yang baru memakai hij
"Mau pergi ke mana kamu, Dhuk,.. kamu tidak tau arah sekarang," kata Maryam meraih tangan Keya. Air mata pun jatuh di pipi keriputnya.Melihat keakraban yang tampak di depannya, Dania kemudian berpikir, ternyata calon ibu mertuanya begitu dekat dengan Keya. Dialah selama ini yang menjadi alasan Dania masih mengulur rencana perkawinan mereka, Dania tidak siap jika ibu Liam jatuh sakit. Maryam memang sudah tua dan sakit-sakitan. Jika kebetulan sakit, bahkan kadang sebulan tak sembuh, apa-apa harus dirawat. Bisanya tidur, susah untuk bangun, sampai-sampai kencing dan berak pun di tempat. Dan itu yang membuat Dania merasa jijik.Kapan dulu bahkan hampir dua bulan Maryam tak bangun. Di pikiran Dania, Maryam tak berumur panjang sehingga dia bisa segera menikah dengan Liam yang dari kecil dia cintai hingga meminta bapaknya menagih janji ke ayah Liam agar mereka ditunangkan. Ternyata, tak lama dia sembuh lagi.Entah sampai kapan wanita tua ini hidup, gerutu Dania. Bagaimanapun, selain karena
Terlihat Keya diam; Keya yang duduk dengan menutupi kakinya yang terlihat dengan kain Bali lebar yang dipakainya selimut waktu tidur. Memandangi Maryam dan Liam."Dengan pengorbanan kakak seperti ini, apa tidak akan menyesal di kemudian hari?" tanya Keya. "Bagaimanapun juga, nantinya seteah kita resmi bercerai, Kakak akan menyandang status duda. Dan itu ngak enak didengernya."Liam mendekat sambil terkekeh, duduk di hamparan karpet yang terhampar di ruang keluarga. "Emang duda nggak enak ya, kalau didenger?""Tentu saja, Kak.""Tapi duda yang keren, enak aja didenger.""Kak, aku nggak lagi bercanda. Ini serius!""Ok, ok! Insyaallah Kakak tidak menyesal, Keya. Kakak hanya ingin melindungimu dan anakmu. Tapi kamu tahu sendiri, penghidupan Kakak dan Ibu hanya seperti ini. Makan seadanya di sekitar kita. Kemarin saja yang kamu makan itu ikan mujaer dari empang. Tadi juga ambil sayur di belakang. Yang kita makan nanti ikannya juga ikan telor bebek di belakang sana." Liam mencoba menerangka
"Keya, kamu mau bikin sayur apa, dhuk... kok motongnya begitu?" Maryam geleng-geleng.Keya menghentikan pisaunya. "Salah ya, Bu?" tanyanya malu."Memang kamu ghak pernah masak?"Keya teringat Bu Ira, pembantunya. Ternyata untuk membuat masakan sampai di perutnya juga ada ilmunya. Pelan Keya menggeleng."Ghak pernah bantuin Ibu sewaktu memasak?"Lagi-lagi Keya menggeleng. "Mami ghak pernah memasak, Bu. Yang masak Bu Ira. Mami mengajar di SMA, sore baru pulang, yang mengurus keperluan rumah ya Bu Ira."Maryam memperhatikan jemari Keya. "Pantas kamu ghak ngerti memasak, Dhuk."Maryam kemudian ikut duduk di dipan kecil tempat mereka meracik masakan."Lalu sekarang kamu kok ikut ibu memasak, apa ghak berat?" candanya."Tidur-tidur saja juga ghak enak, Bu," katanya kemudian. "lagi pula, Keya nantinya juga harus bisa memasak juga."Sejenak Maryam menatap Keya. Dari kemarin dia ingin menanyakan itu tapi ragu. dari "Maaf, Dhuk. Apa ayah dari bayi kamu menolak mengakui bayinya?"Sejenak Keya te
Diam-diam Aisyah menyimpan handphone yang ditemukannya di lantai itu di laci pakaian, tempat yang hanya dia sendiri yang menggunakan. Tak mungkin ketahuan Aba dan Nabil, pikirnya. Saat tangannya menyentuh kulit casing handphone Keya yang lucu, ada perasaan aneh mengalir dalam hatinya. Perasaan bersalah, perasaan takut, dan sesuatu yang sulit dijelaskan. Ia menatap layar yang sudah mati itu sesaat, seolah melihat wajah Keya yang pucat, matanya yang penuh air, saat ia datang dan memohon di depan pintu rumah mereka."Maafkan Ummi, Nak... Ummi juga tidak tahu harus bagaimana," gumam Aisyah perlahan, menutup laci dengan pelan dan duduk di atas ranjang, menekan dadanya yang sesak. Nafasnya berat, seperti menyimpan beban yang lama tak dikeluarkan.Aisyah tahu, suaminya keras kepala. Namun ia juga tahu betapa hati kecilnya tak sanggup melihat seorang gadis menderita dalam diam. Ia mengelap air matanya diam-diam. Ia ingin bicara pada Nabil, namun dia takut. Ia ingin menelepon nomer yang ada di
Nabil sudah menyelesaikan ospeknya. Pagi sekali dia bermaksud pulang ke desanya.Dia menatap layar handphonenya. Wajah ceria Keya yang duduk dengannya masih menjadi wallpapernya. Kali ini kerinduan yang sangat membuat dia mencoba menelpon handphone Keya, ternyata berdering."Alhamduuulillah, tidak diblokir lagi."Nabil kembali teringat masa-masa SMA-nya bersama Keya. Walau dia tak pernah satu tim dengan Keya, dia sering bersama Keya mewakili sekolah mereka sebagai duta anak-anak yang gemar lomba karya ilmiah. Dari sanalah akhirnya cinta itu tumbuh. Kebersamaan yang kerap mengundang kagum, bahkan mengundang iri yang menimbulkan bencana. Nabil sendiri sampai sekarang tidak dapat memastikan, di antara dua puluh temannya yang mengajak mereka ke puncak, apakah semua terlibat memberi dia dan Keya obat itu. Yang jelas setelah kejadian itu, dia tak ingin lagi mengenal nama anak-anak itu, apalagi berhubungan dengan mereka—yang rata-rata juga murid berprestasi sekaligus anak orang tajir.SMA ya