kira-kira siapa yang harus maju?
"Keya?"Seseorang memanggilnya. Suaranya tak asing walau sekarang terdengar lebih ramah. Keya menoleh perlahan.Wanita itu tersenyum, bahkan melambaikan tangan sebelum mendekat. Langkahnya mantap, seperti tak membawa beban apa pun."Alhamdulillah ketemu juga," ujar Dania dengan ramah. Lalu merangkul Keya dengan hangat, seolah semuanya terkesan tulus. "Aku tadi di bangku pojok, duduk bareng ibu-ibu yayasan."Dania llau mengedarkan pandangannya. " Kamu sendirian, Keya?"Keya mengangguk kecil. Seolah tak percaya dengan apa yang ditampakkan wanita yang kini sejengkal di depannya. "Saya bareng guru-guru PAUD.""Ohh, iya, ya,.." Dania memandang ke arah Bu Siti dan yang lain, lalu tersenyum. "Kalau gitu duduk di sebelahku aja, yuk?"Keya mengerutkan kening halus. "Makasih, Kak. Saya di sini aja, bareng teman-teman sekolah.""Oh... iya, nggak apa-apa," jawab Dania, senyumnya tetap terjaga walau tatapannya sekilas meredup. "Mungkin nanti kita bisa ngobrol, ya?"Keya hanya membalas dengan angguk
“Ayo sini, Sayang... Sheryn mandi dulu, ya?” suara Keya pelan dan lembut sambol membelai rambutnya dengan mata yang mengaca. Bahkan buliran itu sudah luruh satu-satu di pipi putihnya.Pagi itu, Keya masih mengenakan celana jeans biru tua dan kaos pres badan warna abu-abu yang sudah lama tak dia pakai. Dulu baju itu pas, sekarang sedikit sempit karena tubuhnya lebih berisi usai melahirkan. Tapi ia tak peduli. Ia hanya ingin merasa hidup. Seperti dulu. Seperti dirinya yang belum penuh luka.Air di bak kecil sudah hangat. Ia perlahan meletakkan Sheryn ke dalamnya, lalu menyiramkan air dengan gayung kecil. Jemarinya lincah, penuh kasih saat membasuh tubuh mungil anaknya. Sheryn mengedip, lalu mengoceh kecil.“Au… buu… au…”“Eh? Kamu bilang apa, Sayang?”Sheryn memandangnya, lalu tiba-tiba mengangkat tangan mungilnya, menyentuh pipi Keya.“Buu... angis?”Keya terdiam. Matanya berkaca lagi. Air mata jatuh begitu saja. Ia tersenyum sambil mengecup jemari mungil itu.“Maaf ya, Nak... semalam
"Aku nggak ngerti... Kenapa kamu diam aja, Ey?" suara Liam terdengar dari speaker ponsel yang tergeletak di meja.Keya tidak menjawab. Ia menatap layar ponsel itu, lalu memalingkan wajahnya ke jendela. Langit malam tak bersuara, seperti hatinya yang membatu."Aku nggak tahu kenapa kamu marah. Tapi dengar aku dulu, ya. Sekali ini aja..."Ponsel tetap menyala. Liam bicara lagi."Kamu bisa maki aku nanti. Tapi kumohon, jangan cukin aku. Aku... aku cuma takut kehilangan kamu."Keya mencengkeram ujung selimut. Suaranya tercekat. Matanya memanas. Tapi tidak satu kata pun keluar. Ia mematikan panggilan itu tanpa suara.Di kamar hotel, Liam menatap ponsel yang kembali sunyi. Ia menunduk, menggenggam rambutnya sendiri.Sementara itu, Keya duduk terpaku. Pikirannya berputar seperti angin ribut yang tak punya tujuan. Tubuhnya kaku. Tapi di antara amarah dan kecewa, sesuatu yang lebih halus menyelinap... kerinduan.Ia benci mengakuinya, tapi ruang di dadanya seperti kosong. Malam-malam tanpa sua
"Kak, Kemarin kan udah, masak sekarang mau lagi?""Nggak tahu kenapa aku nggak bisa berhenti jika dekat kamu, Ey. Aku selalu ingin dan menginginkanmu.""Dia tak tahan tidak menyentuhku. Apa itu juga artinya dia tak mungkin tak menyentuh kembali Kak Dania?" Keya teramat gelisah. Bahkan kebiasaannya tidur siang, kini tidak bisa dia lakukan.Bayangan tubuh Dania yang menggiurkan saat tadi siang, entah disengaja atau tidak disengaja, menyingkap hijabnya lalu dia menunduk hinggah belahan kemejanya yang rendah menampakkan apa yang seharusnya dia tutupi walau itu sesama wanita. Lalu bayangan Liam yang berlutut minta maaf, bercampur aduk dengan bayangan dirinya yang bercanda menghindar dari Liam yang menginginkannya saat malam sebelum berangkat."Non... kenapa nangis?" suara Bi Ira terdengar pelan dari arah dapur kecil, membawa nampan berisi dua gelas teh hangat dan sepiring biskuit. Ia berhenti saat melihat Keya duduk sendirian di sofa ruang tengah, tubuhnya menunduk, bahu terguncang pelan
Pintu rumah bergemerincing ketika Dania mendorongnya masuk. Wangi semprotan ruangan yang terlalu menyengat menyambutnya. Dari dapur, Bu Marya muncul tergesa. Daster biru lautnya bermotif bunga besar-besar, rambut dikuncir seadanya."Nak, kamu dari mana saja? Kok lama banget? Sudah kamu ambil baju kamu?"Dania mendengus kecil. Dilemparkannya kontak sepedanya ke meja. "Nggak jadi aku bawa, kecuali aksesorisku.""Maksud kamu gimana? Itu baju kamu lumayan mahal, lho, sayang kalau nanti dipaki Keya.""Dia pakai?" Dania mencibir.. "Enggak mungkin la Bu, badannya aja beda banget sama aku, jelas kedodoran. Belum lagi selera dia jauh banget dengan seleraku. Dari yang aku tahu, dia pakai baju warna kalem terus. Sedangkan baju aku,.. Ibu tahu sendiri kan?"Wanita itu mengeryit, memegangi jidatnya. "Bener juga ya?""Tahu nggak, Bu. Mulanya aku jengkel banget. Keya itu taruh baju-bajuku di sudut lemari, sudah dipak sama koper. Seperti barang rongsokan."Bu Marya menaikkan suara. "Dia begitu? Engg
"Assalamu'alaikum," suara dari depan pintu membuat Bi Ira menghentikan kegiatan melipat kain. Ia bergegas menuju ruang tamu.Seorang perempuan dengan balutan gamis berwarna marun dan wajah datar berdiri di ambang pintu. Matanya menyapu ruangan, lalu berhenti menatap Bi Ira.“Siapa kamu?” tanya Dania dengan nada datar tapi matanya menyelidik tajam.Bi Ira yang membuka pintu menatap perempuan muda itu dari atas ke bawah. “Saya Ira. Saya yang mengasuh Non Keya sejak dia masih kecil.""O, jadi kamu pembantu wanita sialan itu!"Bi Ira langsung menajamkan matanya."Saya Dania." Dania mengangkat alis. “Saya istri sah Pak Liam. Mau ambil barang saya yang masih ada di kamar.”Bi Ira menegakkan tubuh. “Kamar yang mana?"Tapi Dania masih beranjak.. "Ei, tunggu. Kamu nggak bisa masuk sesukanya. Saya baru dengar kalau ada wanita lain selain Keya yang menjadi istri Liam. Tunggu saja Non Keya pulang, ya.”"Bisa Nggak, kalau kamu panggil Pak sama suami saya. Bagimanapun dia itu majikan kamu.""Tapi d