Share

skak mat

"Ternyata memang bener-bener sombong ya, mantunya si Aisyah. Gak punya sopan santun pula sama orang tua," cibir Bu Dewi.

"Betul itu, Bu Dewi," sahut Bu Siti. "Memangnya dia anak orang kaya, ya? Kan kalau dari kota belum tentu kaya. Saudara saya saja tinggal di kota, tapi rumahnya cuma dua meter persegi, kok."

"Jelas itu, Bu Siti. Wong nikah sama Lana aja gak pakek ngadain acara, kok. Cuma ijab qobul doang di masjid."

"Gitu aja sok banget mau beli baju sekaligus tokonya. Cih!"

Aku membuang napas kesal. Kesabaranku benar-benar jadi setipis tisu menghadapi mulut-mulut julid mereka. Ibu berulang kali mengelus lenganku, melarangku menanggapi ucapan mereka. Tapi kali ini aku benar-benar ingin membuat mereka berdua m4ti kutu.

"Ada apa sih ini? Kenapa kalian ribut-ribut di depan toko saya?" Tiba-tiba wanita bermata sipit keluar dari dalam toko dan mendelik ke arah kami. Sepertinya dia adalah pemilik toko baju tersebut.

"Mereka berdua ini yang bikin ribut, Cik. Kalau kami berdua ke sini memang mau beli baju buat arisan RT besok," jawab Bu Siti sambil menunjuk ke arahku dan Ibu.

"Kalau mau beli, kenapa tidak masuk? Pelanggan lain bisa kabur melihat keributan kalian," ucap pemilik toko itu lagi.

Bu Siti dan Bu Dewi mencebik ke arahku dan Ibu, lalu mereka berdua pun masuk ke dalam.

"Cik, bisa tolong carikan set kebaya yang cocok untuk Ibu saya?" tanyaku kemudian pada pemilik toko itu.

Wanita bermata sipit itu menurunkan sedikit kaca matanya, lalu memperhatikan Ibu dari atas sampai bawah.

"Haiya, ibumu ini sebenarnya cantik loh. Kulitnya bersih. Coba bawa ke salon. Sini, saya carikan baju yang pas." Pemilik toko itu menuntun Ibu masuk ke dalam, dan aku mengikuti mereka.

Pemilik toko itu mengambil sebuah kebaya modern berbahan bruklat dan menempelkannya ke badan Ibu. Terlihat sangat pas sekali dengan badan Ibu yang kecil. Aku membelai kainnya, dan memang bagus, meskipun tak sebagus bahan dari butik langganan keluarga kami.

"Wah, ini pas sekali, Bu," ucapku sambil tersenyum.

"Tapi ini kelihatannya mahal, Nduk," jawab Ibu dengan wajah sungkan.

"Haiya, untuk kalian owa kasih murah saja lah." Pemilik toko itu tersenyum ramah.

"Eh, Cik. Yang itu buat kami saja." Tiba-tiba Bu Dewi muncul dan menyerobot di depan kami. "Mereka berdua ini pasti cuma melihat-lihat saja, tak mungkin mampu beli!"

"Iya, benar itu, Cik." Bu Siti langsung mengambil kebaya yang ada di tangan pemilik toko. "Biar kami saja yang beli!"

"Itu kebaya cuma sisa dua saja loh," jawab pemilik toko. "Ibu ini yang duluan pesan."

"Mereka gak akan mampu bayar," ucap Bu Dewi lagi. "Kasirnya di sana, kan? Buat kami saja."

Bu Dewi dan Bu Siti lagi-lagi mencebik ke arah kami, dan berjalan menuju kasir.

"Aduh, maaf ya?" Pemilik toko memasang wajah bersalah. "Bagaimana ini, ya?"

"Biarkan saja, Cik. Apa ada model yang lain?" tanyaku kemudian, karena dalam hati aku punya rencana untuk mengerjai Bu Dewi dan Bu Siti tanpa sepengetahuan Ibu.

"Ada, tapi agak mahal, loh," jawab pemilik toko.

"Gak apa-apa, Cik. Asal pas buat Ibu, pasti kami beli," jawabku.

Pemilik toko mengambilkan model kebaya yang lain, dan memang bahannya lebih bagus dari yang tadi. Dan ternyata juga lebih pas di badan Ibu.

"Aduh, Nduk. Yang ini kelihatannya kok jauh lebih mahal." Ibu lagi-lagi memasang wajah sungkan.

"Sudah, Ibu tenang saja." Aku langsung meyakinkan Ibu. "Tolong bungkuskan ya, Cik."

Kami berdua akhirnya sampai di depan kasir, dan ternyata Bu Dewi dan Bu Siti masih ada di sana.

"Masa harganya empat ratus lima puluh ribu sih, Mbak? Tadi saya dengar cuma seratus lima puluh perasaan," ucap Bu Dewi pada kasir.

"Iya ini, Mbak. Pasti salah. Tadi saya juga dengar harganya seratus lima puluh, kok," sahut Bu Siti.

"Maaf, Bu. Harganya dari dulu memang segitu," jawab kasir itu.

Aku tersenyum geli melihat wajah mereka berdua. Tadi diam-diam aku memang sengaja menyebut harga seratus lima puluh ribu saat melewati mereka berdua, karena aku yakin mereka pasti akan menyerobot kebaya itu dari Ibu. Dan ternyata memang benar.

"Aduh, kenapa lama sekali sih, Mbak kasir?" Aku sengaja meninggikan suaraku, membuat Bu Dewi dan Bu Siti seketika salah tingkah.

"Biar saya duluan saja kalau gitu." Aku melewati Bu Siti dan Bu Dewi, lalu memberikan kebaya yang kami pilih untuk dibungkus kasir.

"Yang ini harganya enam ratus ribu, Kak," ucap kasir itu sambil membungkus kebaya milik Ibu. Kulihat kedua mata Bu Dewi dan Bu Siti mendelik, seperti mau keluar dari tempatnya.

"Oh, iya, yang ini kayaknya gak jadi kalian beli, ya?" Aku menunjuk ke arah kebaya yang tadi diserobot oleh mereka berdua. "Kalau begitu biar saya bungkus sekalian, Mbak."

Wajah Bu Dewi dan Bu Siti semakin terlihat seperti baru saja digigit vampir, sudah pasti mereka malu. Apalagi saat kasir menyebutkan total belanjaan kami.

"Totalnya satu juta lima ratus, Kak," ucap kasir sambil mengulurkan belanjaan kami.

"Saya bayar pakai debit bisa kan, Mbak?" Aku mengeluarkan kartu berwarna emas dari dalam dompet.

"Bisa, Kak." Kasir itu menerima kartu milikku dan menyerahkannya pada pemilik toko.

"Wah, rupanya tajir melintir, ye?" Pemilik toko tersenyum saat melihat kartu itu. "Terima kasih sudah belanja di toko saya, lain kali datang lagi, ya?"

Setelah pembayaran selesai, aku dan Ibu beranjak keluar dari toko. Dan saat melewati Bu Dewi dan Bu Siti, lagi-lagi aku sengaja mengeraskan suaraku waktu bicara dengan Ibu.

"Baju di sini ternyata murah-murah ya, Bu? Lain kali kita borong saja kalau ke sini lagi," ucapku.

Aku bisa membayangkan wajah mereka berdua, sehingga begitu berjalan cukup jauh dari toko, aku tak bisa menahan geli lagi. Aku tertawa cekikikan sepanjang jalan, cukup puas bisa membuat orang yang menghina Ibu malu tadi.

"Kamu ini, Nduk. Pasti tadi sengaja mengerjai Bu Dewi dan Bu Siti, kan?" Terlihat Ibu juga terlihat mengulum senyum.

"Biarin, Bu. Sekali-kali memang harus membuat mereka tidak lagi sembarangan merendahkan orang," jawabku.

"Tapi ini mahal, Nduk. Ibu gak pantas pakai baju mahal," ucap Ibu lagi.

"Ibu, ish. Lagi-lagi merendah. Besok aku ajak ibu ke salon, buat perawatan. Pokoknya saat datang ke pernikahan adiknya Mas Lana, Ibu harus cantik," sahutku.

"Aduh, Nduk. Mana mungkin Ibu ...."

"Pokoknya Ibu gak boleh menolak ucapan Dara. Titik."

"Ya Allah, Nduk." Ibu mengusap wajah dengan ujung jilbab. Pasti lagi-lagi ibu menyembunyikan rasa terharunya.

Saat kami berdua sampai di depan pekarangan rumah, kami seketika menghentikan langkah. Seorang wanita berjilbab panjang berdiri di sana, dengan rantang makanan di tangannya. Wajahnya cantik sekali, dan terlihat begitu anggun. Dia tampak tersenyum manis ketika menoleh dan melihat ke arah Ibu.

"Ibu ...." Dia mendekat ke arah Ibu, dan langsung mencium tangannya dengan takdzim. Aku hanya melongo menyaksikan semua itu.

"Mas Lana ada, Bu?" tanyanya kemudian, membuat hatiku seketika seperti teriris sesuatu.

Siapa wanita itu? Kenapa menanyakan Mas Lana?

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Ella Wati
lnjt kk..penasaran kelanjutan ceritanya
goodnovel comment avatar
Ernoth
kgk update2 thor
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status