Share

BAB 3 - TUHAN, BAGAIMANA INI?

"Kandungannya sudah masuk minggu ketiga."

Aziz meremas rambutnya frustasi. Kata-kata dokter terus berputar di kepalanya. Dia beranjak dari kursi tunggu, melihat Lizia yang belum siuman usai kecelakaan satu jam yang lalu. 

Aziz tidak ingin masuk ke dalam ruang rawat Lizia. Hanya menunggu di luar dengan dengan harapan Lizia cepat bangun. 

Aziz menghela napas panjang. Dia harus menyalahkan siapa atas kematian calon bayi yang dia tunggu selama tujuh tahun lamanya? 

Tuhan benar-benar tidak adil pada keluarganya. Mengambil apa yang mereka nanti-nanti dengan susah payah. Tuhan seperti membuat terbang lalu menjatuhkan mereka sampai hancur berkeping-keping.  

Ibarat kata nasi sudah menjadi bubur, semuanya telah terjadi. Calon bayinya juga sudah pergi. Tidak ada yang bisa dia lakukan untuk memutar kembali waktu. Saat ini bukan hanya dia saja yang terluka, ada Lizia yang lebih remuk hatinya. Bagaimana reaksi wanita itu saat mengetahui semuanya? 

Terlebih lagi ibunya yang pasti sangat marah pada Lizia. 

Sudahlah, Aziz mencoba ikhlas. Berharap ada rencana lebih baik dari pemberi kehidupan setelah ini.

Aziz pergi ke halaman rumah sakit mencari udara segar dan tidak sengaja bertemu dengan perempuan yang meneleponnya tadi pagi. Perempuan itu menyapa dengan senyuman iba.

"Saya turut berduka atas keguguran yang dialami Mbak Lizia," ucap wanita itu. 

Aziz mengangguk, "Terima kasih sudah mengantar istri saya ke rumah sakit," kata Aziz. 

"Kehilangan anak memang masa-masa paling buruk yang dialami orang tua. Saya ngerti perasaan kamu karena saya juga pernah kehilangan anak. Tapi seiring waktu saya mencoba ikhlas dan yakin ini bagian dari rencana Allah untuk membuat hidup kita jadi lebih baik." 

Aziz sekilas memandang wajah cantik perempuan itu. Perkataan perempuan itu memang benar.

"Nama saya Dayana," perempuan itu memperkenalkan diri. 

Aziz menerima tangan Dayana dengan senyum tipis. "Aziz," katanya lalu menyudahi jabat tangan. 

Aziz menoleh cepat ke arah pintu rumah sakit. Sekilas dia melihat wanita yang mirip dengan perawakan ibunya masuk ke dalam rumah sakit. Tetapi dia tidak yakin itu ibunya. Sebab dia belum memberitahu wanita paruh baya itu perihal kecelakaan Lizia. 

Aziz tidak yakin itu adalah ibunya, tetapi kenapa dia menjadi gelisah. Untuk memastikan keraguannya dia kembali ke dalam rumah sakit, meninggalkan Dayana sendirian dengan mata yang terus mengikuti Aziz hingga masuk ke gedung rumah sakit. 

Aziz mempercepat langkahnya. Dia terkejut dan menjadi takut saat melihat Rina yang mengintimidasi Lizia yang baru sadar dan masih dalam kondisi lemah. 

"Ibu!" panggil Aziz sedikit keras. 

Lizia dan Rina menoleh ke arahnya.

"Kok, ibu bisa tahu Lizia di rumah sakit?" tanya Aziz sembari menggenggam lembut tangan Lizia yang dipasangi infus. 

Rina menatap Aziz dengan sinis. "Tidak penting ibu tahu dari mana!" katanya. "Ibu muak sekali melihat wajah Lizia yang sok sedih itu." Rina sekilas melihat Lizia dengan malas. 

"Ini bukan kesalahan Lizia, Bu. Lizia juga tidak tahu kalau dia ternyata hamil dan dia masih merasa kehilangan. Jadi, ibu jangan terus-terusan memarahi istriku. Ini sudah jadi takdir Allah," kata Aziz. 

Rina menghembuskan napasnya kasar. Dia menatap marah pada Aziz. "Masih kamu bela istrimu ini, Ziz? Kamu tahu tidak? Dia itu sengaja keguguran supaya dia bisa terus merawat perusahaan warisan ayahnya itu---"

"Cukup, Bu, cukup. Tolong diam!" Lizia mengangkat telapak tangannya, memohon pada Rina untuk diam.

"Istri mana yang tidak mau hamil? Dan ibu mana yang membunuh anaknya sendiri? Memangnya aku mau keguguran? Tolong, jangan menyalahkan aku terus-terusan dan jangan asal bicara!" sahut Lizia cepat. 

Rina melotot tidak percaya dengan jawaban Lizia. Sementara ada yanga Aziz lagi-lagi hanya menghela napasnya. Menatap Lizia dan ibunya secara bergantian.

"Asal bicara bagaimana? Kamu memang sengaja membunuh calon cucu saya! Dasar kamu istri tidak berguna. Kenapa juga aku menyetujui permintaan almarhum ayahmu saat itu. Punya anak mantu kayak kamu ini seperti sengaja menggunting di dalam lipatan sendiri," kata Rina marah. 

"Ibu, cukup!" kata Aziz. Dia tidak tahan lagi melihat air mata yang Lizia keluarkan akibat kata-kata ibunya.

"Ibu juga seorang wanita sama seperti Lizia. Tapi kenapa ibu tidak mengerti kondisi dan perasaannya saat ini? Lizia baru kecelakaan dan keguguran, Bu. Tolong berikan ruang untuk dia bernapas tanpa hadirnya ibu. Dan sampai kapan pun aku tidak akan merasa menyesal telah menikahi Lizia," ujar Aziz. 

Lizia seperti tertusuk belati mendengar kalimat terakhir Aziz. Dia menggenggam erat telapak tangan suaminya itu. 

"Kamu mengusir ibu?" tanya Rina. Matanya melotot menatap Aziz. 

Aziz mengangguk.

"Kamu lebih memilih wanita sial ini?" Rina menunjuk wajah Lizia dengan telunjuknya. 

"Lizia bukan wanita sial. Dia istriku, Bu," tegur Aziz. Wajahnya menjadi tidak bersahabat. 

"Oke, kita lihat sampai kapan kamu dengan bangga menyebut Lizia sebagai istrimu. Entah kenapa ibu punya rasa kalau pernikahan kamu sama Lizia tidak akan bertahan lama setelah ini. Mari berdoa supaya perasaan ibu hanya menjadi sekedar perasaan."

Lizia langsung mengeluarkan semua tangisannya ketika Rina pergi. Aziz membenamkan kepala Lizia di dadanya. Mengusap dan sesekali mencium kepala Lizia. Dia tidak ingin melepas pelukan itu. 

"Sayang," panggil Lizia.

"Hm?" 

"Apa pun yang terjadi, please jangan pernah ninggalin aku sendiri."

"Kenapa bicara seperti itu? Aku, kan, sudah pernah bilang, bersama kamu saja sudah cukup." 

•••

Lizia sudah diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit selah menjalani perawatan selama 3 hari. Dia merapikan bangsalnya sambil menunggu kedatangan Aziz yang katanya akan datang setelah melakukan pemeriksaan pada pasiennya. 

Rumah sakit tempat Aziz bekerja lumayan jauh dari rumah sakit tempatnya dirawat. Suaminya itu selalu datang sehari sekali dan akan bermalam di ruangannya setiap malam. 

Setelah selesai, Lizia meminum segelas air putih di atas meja. Kemudian, menutup pintu ruang rawatnya dan pergi dari sana. 

Lizia memakai pakaian kasual biasa, dan karena cuaca sore di kota Jakarta semakin dingin, dia memakai jaket hitam milik Aziz. 

Langit semakin mendung dan perlahan hujan turun, tetapi Aziz belum juga datang. Lizia mulai gusar dan bosan mulai menggerogoti dirinya. Dia membuka kotak panggilan di ponselnya, lalu menempelkan benda persegi itu di telinganya setelah menekan nama Aziz. 

"Maaf sayang. Aku terjebak macet," kata Aziz terdengar begitu bersalah.

"Kamu pulang naik taksi saja, ya. Takutnya aku kelamaan menjemput kamu. Bisa, kan?" kata Aziz lagi.

"Oke. Aku tunggu kamu di rumah," kata Lizia dengan suara lembut. Setelah itu dia mengakhiri panggilan. 

Hujan deras membuat taksi tidak ada yang kelihatan satu pun. Lizia mulai kesal. 

Tiba-tiba ponselnya kembali berbunyi. Dia menjadi bingung saat nama rumah sakit Medikal Harapan tertera otomatis di sana. 

"Perasaan aku sudah melunasi tagihan rumah sakit," gumamnya dan segera menjawab panggilan itu. 

Beberapa saat kemudian dia berlari kecil menembus hujan dan masuk kembali ke dalam rumah sakit.

Lizia langsung ke ruangan dokter kandungan. 

"Ada apa, dok?" tanya Lizia. 

Dokter bernama Gisel itu menyerahkan sebuah kertas putih berisi keterangan kondisi tubuhnya. 

Lalu ... tes.

Setetes demi setetes air mata Lizia jatuh mengenai kertas putih di tangannya. Dia membekap mulutnya dan menatap dokter sambil menggeleng. 

"Apa dokter bercanda? Apa ini benar?" tanya Lizia dengan suaranya yang hampir hilang.

Dokter Gisel menatap iba pada Lizia. " Sayang sekali, rumah sakit tidak pernah bercanda tentang kondisi pasiennya. Saya tahu ini berat, bahkan sangat-sangat berat. Tetapi inilah kenyataannya, dan ini sudah menjadi ketetapan Yang Maha Kuasa. Sesuai hasil pemeriksaan, rahim Anda ... tidak berfungsi, dengan kata lain Anda tidak akan bisa hamil lagi." 

Bagai petir yang menyambar, tubuh Lizia menjadi kaku dan matanya yang tidak berkedip terus menjatuhkan air mata. Bibirnya kelu. Hatinya seketika hancur menjadi kepingan-kepingan yang tak dapat disatukan kembali.

Oh, Tuhan! Cobaan apa lagi yang Engkau berikan. Lizia tidak sanggup lagi kali ini. Dia benar-benar menyerah. Mengetahui rahimnya yang tidak berguna seakan merasa sia-sia hidupnya selama ini. 

"Hindari hantaman dan benturan di area perut. Jika sampai terjadi, terpaksa rahim Anda akan diangkat demi kelangsungan hidup Anda di masa depan."

Lizia tidak dapat mendengar perkataan dari mulut dokter. Dia menjadi syok berat hingga tidak dapat mendengar dengan jelas. Lizia tidak tahu harus berbuat apa lagi sehingga memilih pergi dari rumah sakit. 

Di dalam taksi, Lizia menangis sejadi-jadinya. Suaranya menyatu dengan guyuran hujan yang merdu. Itu membuat sopir taksi kebingungan tapi tidak berani bertanya. 

Lizia menatap kertas di tangannya dengan mata yang bengkak. Kemudian merobek menjadi bagian-bagian kecil lalu meremasnya. Setelah itu dia melempar kertas itu jauh ke luar. 

Lizia meremas rambut yang basah kuat-kuat. Sangat frustasi. Entah apa yang harus ia katakan pada Aziz. Entah bagaimana reaksi pria itu. Lizia menutup wajahnya. Dia tidak mampu membayangkan kesedihan Aziz setelah mengetahui kondisi tubuhnya yang sangat menyedihkan. 

Tuhan, bagaimana ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status