Share

BAB 4 - KEPUTUSAN LIZIA

Langkah kaki Lizia lemah saat memasuki rumahnya. Tubuhnya basah kuyup membuat lantai yang ia lewati menjadi basah. Dia langsung naik ke kamarnya untuk mengganti pakaian basahnya dengan pakaian yang kering. 

Setelah itu, dia naik ke atas ranjang. Tubuh dan pikirannya yang lelah membuat tak butuh waktu lama lagi bagi Lizia untuk terlelap di bawah selimut. 

Jam 8 malam.

Lizia membuka matanya yang berat. Dia segera meninggalkan ranjang ketika melihat suasana di luar yang gelap dari jendela. 

Lizia menuruni setiap anak tangga dengan menopang tangannya di pegangan tangga. Kepalanya menjadi pusing setelah terkena hujan beberapa jam yang lalu. Dia langsung ke dapur dan meminum satu setengah gelas air putih. 

Lizia terduduk di kursi dapur. Dia kembali memikirkan kenyataan menyedihkan itu. Berharap hanya menjadi mimpi belaka saat bangun tidur. 

Lizia menghela napasnya. Dia menangis lagi. 

Betapa kejamnya Tuhan pada dirinya. Mengapa harus dirinya yang merasakan takdir pahit ini? Setelah doa-doa yang dia panjatkan siang dan malam, Tuhan malah memberinya jalan yang penuh pecahan kaca. 

Lalu setelah mengetahui semuanya, apakah Aziz akan meninggalkannya? Apakah pria itu akan beralih kepada wanita yang bisa memberi keluarga yang lengkap dengan hadirnya anak-anak? Kemudian, Lizia menjadi sendiri dalam ruangan kosong sambil menonton kebahagiaan Aziz bersama orang lain.

Ting!

Lamunan Lizia buyar ketika ponselnya berbunyi. Dia menghapus air matanya sebelum membuka pesan dari Aziz.

"Aku menyuruh Sindi mengantar makanan untuk kamu. Maaf, ya, aku tidak bisa pulang karena ada operasi mendadak." Tulis Aziz. 

Lizia hanya mengirim stiker jempol untuk mengiyakan pesan suaminya. 

Syukurlah kalau Aziz bermalam di rumah sakit. Dengan begitu Lizia tidak perlu bersusah payah menyembunyikan matanya yang bengkak. 

Seperti dipesan Aziz kalau Sindi akan datang, wanita itu benar-benar datang tidak lama kemudian. Sindi membawa sekantong ayam KFC. Bukan hanya ayam, dia juga membawa sekeranjang buah seperti habis panen besar-besaran. 

"Kenapa, kok, belum dimakan? Bukannya kamu paling suka ayam KFC dari zaman kuliah?" tanya Sindi sembari tangannya sibuk mengatur buah yang ia bawa ke dalam kulkas. 

Lizia diam tidak menjawab dan hanya menatap ayam goreng di atas piring. Tidak ada niat untuk makan, apalagi nafsu. 

"Liz, kamu kenapa? Coba cerita." Sindi yang paling mengerti dengan hanya melihat wajah sahabatnya. 

"Ah, iya juga aku lupa," sahut Sindi dengan wajah bersalah. Dia memukul pelan kepalanya. Dia lupa kalau Lizia baru saja kehilangan calon anak yang ditunggu-tunggu selama 7 tahun. Bahkan, jika dia berada di posisi Lizia, dia mungkin tidak akan beranjak dari tempat tidur dan terus menangis.

"Liz," panggil Sindi pelan sembari meraih tangan Lizia lalu menggenggamnya lembut.

Lizia menatap Sindi dengan tatapan kosong.

"Aku bangga sama kamu. Kamu perempuan kuat. Aku enggak tahu harus bilang apa buat kuatkan hati kamu. Tapi, kamu harus yakin sama rencana Allah, ya. Anggap musibah yang lalu sebagai penguat hati kamu supaya kamu lebih kuat lagi."

Lizia menatap Sindi dengan air mata yang menggenang dan hampir jatuh ke pipinya. Lebih kuat katanya, musibah ini tidak akan menguatkannya, tapi malah menghancurkan hidupnya untuk selama-lamanya. 

"Allah enggak mungkin biarin kalian hidup tanpa seorang anak. Allah pasti kasih kalian anak, entah besok, satu tahun, dua tahun. Yang pastinya kalian pasti bakal punya anak, kok. Yakin dan terus berdoa."

Ya, Lizia pasti berdoa. Tetapi bukan untuk meminta anak, melainkan berdoa agar suaminya tidak meninggalkan dirinya setelah dia mengatakan semuanya.

"Liz, ayolah jangan menangis." Sindi menghapus air mata Lizia yang setetes demi setetes jatuh. 

"Sin ..." lirih Lizia membuat hati Sindi seperti teriris. 

Suara rendah Lizia membuat siapa pun dapat merasakan betapa hancurnya dia.

"Aku bukan istri yang baik. Dan aku enggak akan pernah bisa jadi istri yang baik," kata Lizia.

Sindi menggeleng cepat. "Tidak hamil bukan berarti istri yang buruk. Kamu sempurna Liz," ucap Sindi. 

Lizia menggeleng. Dia terisak pilu. Percayalah Sindi, Lizia tidak lagi seperti yang kamu bilang. 

"Sin, aku akan mengikuti saran ibu mertuaku. Aku akan menggunakan rahim orang lain untuk memberi Aziz anak," ujar Lizia.

"Liz, kamu---" 

"Aku enggak mungkin membiarkan Aziz hidup tanpa anak karena aku. Dan aku juga enggak mungkin hidup tanpa Aziz. Aku sudah memikirkan ini baik-baik."

Sindi menghela napas panjang. Tidak menyangka Lizia semudah ini menyerah. 

"Kenapa tiba-tiba, Liz? Memangnya kamu sudah bicarakan ini dengan suamimu?" tanya Sindi.

Lizia menggeleng. "Belum, tapi aku yakin Aziz juga setuju dengan keputusanku."

"Ya sudah kalau itu memang keputusanmu. Sekarang kamu makan, ya," kata Sindi.

•••

Sindi pulang ketika waktu memasuki jam 10 malam. Lizia yang kembali sendiri menarik selimut sampai sebatas pinggang sambil menatap langit-langit kamarnya. 

Sementara Aziz yang belum pulang membuatnya bersyukur. Dengan begitu Lizia dapat mengeluarkan beban hatinya dengan air mata. Menangis sepanjang malam dalam kesendirian. 

Lizia membelai perutnya. 

Dahulu, sebelum mewarisi perusahaan almarhum ayahnya, dia hanyalah gadis belia dengan cita-cita menjadi seorang ibu dari 5 anak. Mengandung anak-anak untuk suaminya. Namun, sekarang cita-cita itu bagaikan pil pahit yang mau tidak mau harus ia telan.

Lizia meneteskan air mata hingga membasahi sarung bantal. Kenapa kenyataan menyedihkan itu tak henti-hentinya menghancurkan hatinya. 

Ya Allah, tolong percepat waktu. Dia ingin rasa sakit ini segera mereda walau tak sepenuhnya memudar. Kehilangan anak dan kehilangan harapan bukanlah sekedar kehilangan lalu melupakan dalam beberapa hari atau berbulan-bulan. Tetapi itu akan menjadi rasa sakit seumur hidup yang sembuh dan akan meninggalkan bekas. 

Lelah hati, lelah pikiran, dan lelah fisik membuat Lizia tak perlu waktu lama untuk menutup matanya. Menjelajahi mimpi untuk membuat hatinya senang sesaat. 

Pagi hari, Lizia mendapati Aziz yang terlelap di sampingnya sambil memeluk pinggangnya. Dia tidak ingin membangunkan pria itu walau waktu memasuki jam 7 pagi. 

Lizia segera memasuki kamar mandi lalu menyalakan shower air hangat. Dia akan mengompres matanya yang bengkak di dalam sana agar Brian tidak curiga.

Setelah mengompres, Lizia langsung ke dapur membuat sarapan. 

Tidak banyak yang dia masak, hanya nasi goreng spesial serta roti dan segelas susu. Setelah selesai dia kembali naik ke lantai dua untuk membangunkan Aziz. 

"Sayang, bangun," kata Lizia lembut sambil mengguncang pelan bahu Aziz.

Lizia pun kembali ke bawah tanpa berkata lagi setelah Aziz bangun. 

"Kenapa belum siap-siap? Kamu tidak ke rumah sakit hari ini?" tanya Lizia bingung saat menyadari Aziz yang belum juga mengganti pakaian tidurnya.

Aziz menggeleng sambil tersenyum lebar. 

Ah, hati Lizia menjadi sakit melihat senyum Aziz. Apakah Aziz akan tetap tersenyum seperti itu ketika dia mengatakan semuanya?

"Aku ambil cuti dua hari. Demi kamu," kata Aziz.

Lizia tersenyum tipis. "Memangnya tidak apa-apa?" tanyanya khawatir.

Aziz menggeleng. "Tentu tidak."

"Wih ... nasi goreng, tumben kamu masak ini." 

"Iya, aku ingin saja," kata Lizia sambil tangannya menyendok nasi ke piring Aziz. 

"Tadi malam Sindi datang?" tanya Aziz.

"Iya dia datang. Memangnya kenapa?"

"Aku kira dia tidak datang, soalnya bilangnya sibuk di kafe. Maklum cabang kafenya ada di mana-mana," ujar Aziz. 

Lizia tidak berkata apa-apa lagi dan hanya mendengarkan setiap cerita Aziz selama sarapan pagi. Matanya memang tertuju pada Aziz, tetapi pikirannya sudah ke mana-mana.

"Sayang."

Cerita Aziz terpotong saat Lizia memanggil.

"Hm?"

Lizia diam cukup lama. Dia menatap lekat wajah Aziz yang memandangnya dengan pandangan bingung. 

Lizia meletakkan sendok miliknya di atas piring. Kemudian, megambil tangan Aziz dan menggenggamnya. Perlahan dia menarik napas.

"Aku ingin memberi kamu anak walaupun bukan dari rahimku. Jadi, kita ikuti saran ibu, kita gunakan rahim orang lain untuk mengandung anak kita. Ini sudah jadi keputusanku." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status