Pov : Dimas"Aku lagi telepon Lisha loh, Ay. Kenapa kamu tiba-tiba manggil begitu? Lisha bisa mendengar suaramu. Dia pasti curiga kenapa sepagi ini kamu sudah di sini. Kalau dia semakin curiga, bisa gawat kita," ucapku sedikit kesal. Ayu memang tipe manja, cemburuan dan nggak sabaran. Apa yang dia inginkan sering kali harus ditepati saat itu juga. Sikap manjanya terkadang membuatku kangen namun kalau berlebihan aku juga jengah. Tak seperti Lisha yang lebih mandiri dan dewasa. Meski usia mereka tak jauh beda. Lisha lebih tua satu tahun dibandingkan Ayu. "Kamu tanya aku kenapa manggil-manggil saat kamu telepon Lisha, Mas?" tanyanya santai."Iya, kenapa?""Kamu cemburu kan dengar Dokter itu perhatian ke Lisha? Kenapa, Mas? Kamu mulai menyukai istri sandiwaramu itu? Kamu mulai bermain hati, Mas?" tanyanya ketus. Pertanyaan yang membuat dadaku berdebar. Cemburu? Apakah aku memang cemburu dengan Dokter Akbar? Apa aku memang mulai menyukai Lisha dan tak ingin dia jatuh ke tangan orang lain
Jarum jam menunjuk angka sepuluh pagi, namun kulihat Mas Dimas belum juga datang. Entah ke mana dia, padahal tadi dia ijin berangkat lebih dulu. Kupikir dia akan langsung ke kantor tapi ternyata nggak. Aku sudah siapkan berkas pengalihan kerja sama dengan Pak Agustian itu. Dia harus segera menandatanganinya. Modal usaha itu dari kantor papa, otomatis kontrak kerja samanya harus beralih nama papa. Dia harus menandatangani kesepakatan ini. Untuk melancarkan misi ini, ada baiknya aku harus hati-hati. Aku harus membuatnya terburu-buru agar dia langsung menandatangani berkas ini tanpa membacanya terlebih dahulu. |Dapat nggak, Mas? Pokoknya harus dapat. Kamu bilang sebagai permintaan maaf karena masalah kemarin? Di mall-mall biasanya banyak, itu kue baru launching beberapa hari yang lalu dari artis favoritku. Aku mau foto buat dinner kita nanti malam karena hari ini tahun kedua pernikahan kita|Pesan Ayu tiba-tiba terkirim ke ponsel Mas Dimas. Aku sedikit mengernyitkan dahi membaca pesan
"Sha, aku buru-buru pagi ini. Aku mau ke rumah teman dulu sebelum ke kantor. Tolong ambilkan tas kerjaku di kamar. Aku mau sarapan dulu," ucap Mas Dimas dengan tergesa. Dia duduk di kursi makan sembari menyantap sarapan yang sudah disediakan Bik Minah beberapa menit lalu. Gegas kulangkahkan kaki menuju kamar. Kesempatan tak datang dua kali, kuselipkan Atm miliknya ke laci meja. Mas Dimas biasanya tak suka gonta-ganti pin, paling kalau bukan tanggal lahirnya mungkin tanggal pernikahanku dengannya. Ya ... seputar hari penting begitu. Aku bisa mencobanya nanti. "Memangnya mau ke mana, Mas?" tanyaku saat menarik kursi di sebelahnya. Kuletakkan tas kerjanya di atas meja. Kulihat dia minum setengah gelas air putih lalu mengelap mulutnya dengan tissu. "Ada urusan sebentar dengan teman. Penting sekali," jawabnya singkat. Dia tak menjawab detail, membuatku mengerutkan alis berpikir siapa teman yang dia maksud. Apa Pak Agustian? Entah mengapa mendadak aku menebak namanya. Aku yakin Mas D
|Rumah Bapak Rudi dan Ibu Warsih, Mbak Lis. Satpam bilang, anak mereka yang bernama Arnila memang sudah menikah siri dengan Mas Dimas empat bulanan lalu| Deg. Astaghfirullah. Menikah siri? Kukucek kedua mata membaca pesan yang dikirimkan Pak Yono. Berulang kali kubaca pesan itu namun tetap saja tak berubah. Kupikir tadi aku hanya salah membaca namun ternyata nggak. Dua buah foto Mas Dimas yang sedang mengobrol dengan perempuan itu pun terkirim ke ponselku, sementara foto yang lain saat mereka berpelukan. Mungkin saat Mas Dimas pamit untuk pulang.Mas Dimas sudah menikah siri dengan Arnila. Kupejamkan mata perlahan. Benar-benar serakah. Jadi sekarang Mas Dimas memiliki tiga istri, begitu? Pantas saja dia sering berangkat pagi-pagi dengan alasan ini dan itu, pulang juga tak pernah bareng denganku dengan alasan masih ada pekerjaan yang diselesaikan, ternyata dia memiliki istri baru. Astaghfirullah. Astaghfirullah. Astaghfirullah. Tak habis pikir kenapa Mas Dimas bisa melakukan ini semu
Pov : Lisha Jarum jam hampir menunjuk angka sebelas malam saat aku sampai di rumah bersama papa. Suasana rumah Pak Burhan yang kini menjadi tempat tinggal Ayu begitu ramai. Banyak motor parkir di halaman. Aku dan papa gegas ke luar gerbang lalu menyeberang jalan. Beberapa tetangga saling berbisik saat aku dan papa datang. Kulihat rahang papa mengeras menahan amarah. "Pa, istighfar, ya," bisikku padanya. Papa menatapku beberapa saat, mengangguk lalu kembali melangkah ke dalam rumah. Kali ini aku hanya berharap papa bisa mengontrol emosinya. Aku tak ingin papa kembali drop dan masuk rumah sakit kembali. |Dokter, bisa minta tolong? Ada masalah antara saya dan Mas Dimas. Sekarang papa tampak begitu emosi, saya takut papa kenapa-kenapa. Kalau dokter tak sibuk, bisa kah ke rumah sekarang? Saya dan papa ada di depan rumah, rumah Pak Burhan| Kukirimkan segera pesan itu ke nomor Dokter Akbar. Gegas kususul papa yang sepertinya sudah mulai mengomel di dalam rumah. Kulihat di dalam su
Pov : Dimas Empat bulan sudah aku menikah dengan Arnila Larasati. Gadis berusia 20 tahunan yang cantik, baik dan sangat sopan. Aku bertemu dengannya secara tak sengaja tak terlalu jauh dari alun-alun kota, enam bulan yang lalu. Saat itu hujan cukup deras. Aku baru pulang dari kantor, agak malam karena lembur. Kebetulan ada tender yang harus kutangani. Suasana cukup sepi, tak ada lalu lalang kendaraan di sana. Mungkin karena hujan cukup lebat.Kulihat seorang perempuan berdiri di samping motor sembari terisak bersama seorang laki-laki. Dia melambaikan tangannya ke arahku, namun aku berlalu begitu saja karena tak ingin mencampuri. Kuhentikan mobil seketika saat kulihat dari spion wajah perempuan itu mengiba, seolah minta tolong. Gegas membuka mobil dan melangkah cepat ke arahnya saat laki-laki itu menarik paksa lengan kanannya menuju pinggir jalan. Entah mau dibawa ke mana perempuan itu. "Mau dibawa ke mana dia!" Bentakku seketika saat perempuan itu berusaha melepaskan tangannya dar
Pov : Dimas Jarum jam hampir menunjuk angka 12 malam. Aku masih termenung di depan kontrakan Ayu. Para tetangga sudah pulang ke rumah masing-masing. Suara tangis Ahmad yang tadi terdengar cukup keras pun sudah mulai hilang. Mungkin dia sudah tidur dengan nyenyak sekarang. Aku masih belum bisa berpikir jernih. Kulihat rumah di seberang jalan yang biasa menjadi istanaku melepas lelah, rumah yang nyaman dengan segala fasilitasnya, rumah yang tenang dan dipenuhi cinta pemiliknya, kini seolah menertawakan kehancuranku. "Bawa sini kunci mobilnya, Mas. Ini mobil kantor jadi kamu sudah nggak berhak untuk memakainya karena kamu sudah dipecat papa!" Suara Lisha yang kembali ke sini beberapa menit lalu untuk mengambil kunci mobil masih terngiang di benak. Teganya dia mengambil mobilnya di tengah malam begini. Aku yang tadinya sudah semangat ingin ke rumah Arnila mendadak terdiam tanpa kata. membiarkanku tidur di luar berteman dengan nyamuk, sementara dia kembali bersama papa ke rumahnya. Tak
|Aku pulang, Mas. Semoga kamu bahagia dengan istri mudamu! Jangan pernah mencariku apalagi merayu ibuku agar kamu bisa kembali. Aku tak Sudi!| Sebuah pesan dari Ayu muncul di layar. Kuhembuskan napas perlahan. Bayangan Ahmad kembali hadir dalam ingatan. Anak itu semakin hari semakin membuatku rindu dan menggemaskan. Entah kapan aku bisa menemuinya kembali. Mengajaknya bermain dan tertawa bersama seperti sebelumnya. "Mas, tumben banget kamu ke sini pagi-pagi?" Pertanyaan Arnila membuatku terjaga dari lamunan. Dia datang dengan secangkir teh dan kue bolu di atas nampan lalu meletakkannya ke meja. "Aku mau cerai dengan Lisha, Nil. Untuk sementara aku tinggal di sini, ya?" ucapku pada Nila yang masih keheranan dan cukup kaget saat mendengar sekelumit kisah rumah tanggaku. Aku yang benar-benar akan bercerai dengan Lisha."Maksudmu, Mas? Kamu beneran pisah dengan istrimu yang kaya itu?" tanya Nila tiba-tiba. Entah mengapa mendadak aku fokus dengan kata kaya. Darimana dia tahu kalau istri