Farrel hanya menyunggingkan senyuman. “Tapi ... sepertinya aku tidak bisa menolak permintaannya yang satu itu! Aku yakin, sebanyak apa alasanku, tetap tak akan mengubah keinginan beliau!”
Dinara sontak menoleh cepat dengan eskpresi tak percaya. Ia mendelik kesal.
“Kamu gila!! Jadi maksudnya kamu akan tetap menerima permintaan Papaku untuk menikahi aku? Jangan mimpi!! Cih!” Dinara sangat geram dan kesal.
Pria tampan itu masih bersikap santai dan tenang. Dia tersenyum manis dan menimpal lugas,
“Siapa bilang aku bermimpi begitu? Sedikit pun aku gak pernah mimpi nikahi kamu!” balas Farrel.
Dinara hanya membuang napas kasar. Rasanya kesal sekali. Pria di sebelahnya mendadak sangat menyebalkan.
“Kalau begitu ya tolak dong permintaan Papa! Jangan malah nurut gitu aja!” Dinara tak ingin kalah. Gadis itu kalau bicara memang terkesan sombong dan galak. Jauh dari kata feminim dan anggun.
“Kita kan memang harus nurut sama orang tua, Dinara. Jangan membantah ucapannya!” kata Farrel yang semakin membuat Dinara naik pitam.
“Dia orangtuaku, bukan orang tuamu!” ketus Dinara.
“Sama saja. Dia sahabat ayahku, artinya dia juga sudah seperti ayahku!” kata Farrel.
“Halah, Kak Farrel tuh cuma modus doang. Aku tau banget lelaki macam apa kamu ini! Palingan juga kamu itu pengen nikah karena gak laku kan? makanya aji mumpung di suruh kawinin anak presdir!” cibir Dinara. Membuat Farrel terkekeh sendiri.
Dinara bingung, mengapa pria itu malah tertawa saat di hina seperti itu. Tak lama kemudian, seorang suster dari dalam ruangan memanggil Dinara untuk memasuki ruang perawatan. Memberitahu kalau Yandra sudah kembali siuman.
Gegas, Dinara memasuki kamar rawat ayahnya. Sementara Yandra pun menatap putrinya dengan lemah.
“Pa, sembuh ya. Maafin Dinara udah bikin Papa jadi kayak gini!” Dinara mendadak lembut.
“Jangan pernah berpikir papa egois memilihkan jalan hidup untukmu. Semua ini demi kebaikanmu yang sampai sebesar ini masih belum bisa menjaga diri dengan baik.” Yandra berujar lemah.
Dinara hanya bisa menunduk. Farrel pun hanya menatap dengan iba.
“Papa mau aku gimana, Pa?” tanya Dinara pasrah.
Yandra menggenggam jemari putrinya. Kemudian kembali berujar. “Menikah dengan Farrel. Hidupmu akan terarah dengan baik!”
Dinara menarik napas dalam. Rupanya permintaan sang ayah masih saja sama. “Pa, apa gak ada pilihan lain selain harus nikah?”
“Apa kamu bisa bertanggung jawab atas dirimu sendiri yang sangat pembangkang dan liar ini? Apa kamu bisa meninggalkan kehidupanmu di luar sana yang gemar sekali keluyuran tidak jelas? Pergaulanmu saja sudah sangat salah, Dinara. Bahkan, satu kesalahan yang paling fatal pun telah kamu lakukan!” Yandra kembali tegang. Itu membuat napasnya kembali sesak.
“Om, tenang dulu ya. Kendalikan diri, Om.” Farrel mendekat dan mengusap lembut bahu pria tua itu. Yandra pun tersenyum hangat seolah berterimakasih telah diingatkan.
“Apa maksud Papa aku telah melakukan kesalahan?” Dinara menatap heran.
“Jangan kira papa tidak tau dengan siapa kamu tengah menjalin hubungan!” Yandra berujar pelan tapi tegas.
Sementara Dinara semakin terheran di buatnya. Dia merasa tak melakukan kesalahan apa-apa.
“Jadi ... Papa sudah tau tentang Theo?” Dinara memicingkan mata.
“Dengar baik-baik. Dia itu adalah putra tunggal dari lawan bisnis papa! Perusahaan mereka sedang panas sekali dengan perusahaan kita, Nak. Papa tidak mengerti bagaimana kalian bisa saling mengenal, tapi yang jelas firasat papa mengatakan, tujuan Theo menjalin hubungan denganmu hanyalah untuk kepentingan pribadi!” ujar Yandra bersungut-sungut.
Dinara tersenyum getir dan menggeleng pelan.
“Papa salah! Aku sama Theo berpacaran bukan karena keluarga, perusahaan, atau apa pun selain cinta, Pa.” Dinara membela diri. “Theo gak pernah menyinggung apa-apa soal perusahaan, Pa.”
Yandra tersenyum sinis. Meremehkan omong kosong tentang cinta buta anaknya itu.
“Kamu dibodohi!! Rasanya akan sulit membuatmu mengerti hal itu, Dinara. Tapi keputusan papa sudah bulat. Kalau kamu tidak bisa berubah juga, maka kamu harus menikah dengan Farrel!” tegas Yandra.
“Pa, kalau tujuan papa mengirim Kak Farrel untuk menjaga aku ya gak harus melalui pernikahan, kan?” Dinara protes lagi.
Farrel sendiri mendadak merasa canggung dan resah. Terbesit dalam hati, bahwa dirinya hanya dijadikan perantara agar gadis tomboy dan pembangkang itu mau nurut dengan orang tua.
“Cara yang baik hanyalah dengan menikah! Kalau papa nggak ada umur panjang, baru berasa kamu! Nyesel gak nurut sama orang tua!” Yandra memegangi lagi dadanya.
Dinara tercekat. Dia tak bisa berkomentar lagi. Meskipun hatinya terus menggerutu. Selama ini gadis tomboy itu memang tak pernah mendengarkan arahan orang tua. Mau senang sendiri dan menjalani hidup secara bebas tanpa aturan.
Dinara memilih beranjak meninggalkan ruangan itu. Mencari ketenangan sejenak.
“Farrel. Maaf, kalau permintaan Om ini sangat mendadak sekali. Tapi ... hanya kamu sejauh ini yang dapat Om percaya untuk menjaga Dinara. Kalian kan sudah kenal sejak kecil, kamu dulu menjaga Dinara seperti adikmu sendiri. Sekarang, Om berharap kamu akan menjaganya seumur hidup. Bimbing dia. Karena Om tidak mau dia meneruskan hubungan dengan anaknya si Marva itu. Dengan kalian menikah, harusnya mereka akan menyerah!” Yandra berujar serius.
Farrel hanya terdiam. Tidak mungkin dia menolak permintaan itu. Yandra banyak berjasa dalam hidupnya. Terlebih ibunya Farrel pun akhir-akhir ini sering sekali merengek menanyakan kapan Farrel akan menikah. Apalagi usianya sudah hampir menginjak kepala tiga.
‘Ini kesempatan yang bagus untukku sebetulnya.’ Farrel bergumam dalam hati. Sejak lama ia memang menginginkan pernikahan ini. Hanya saja, masih sulit untuk mengakui.
“Aku ... belum bisa membuat keputusan, kalau Dinara saja sepertinya belum siap untuk menikah, Om.” Farrel tampak gelisah.
“Om paham. Tapi, kamu sendiri bersedia kan menikahi dia?” Yandra menatap dalam. Seolah dapat membaca kalau pria tampan itu memang siap.
Next ...
Renata dan Emma terkikik melihat ekspresi Dinara yang tampak malu-malu.“Cemburu itu wajar loh. Katanya kalau cemburu itu tanda sayang!” kata Emma dengan senyuman lembut.Dinara sendiri hanya bisa tersenyum, karena tujuan utamanya adalah untuk mencaritahu siapa seseorang dibalik kejadian yang menimpanya malam itu. Entahlah, kalau melibatkan keluarga pastinya akan seperti ini. Pikiran mereka melayang jauh. Tapi biarlah.“Ren, langsung berangkat yuk. Aku udah hampir telat nih!” Dinara langsung berdiri dan memilih untuk bergegas.Renata pun mengangguk dan setelah berpamitan, mereka langsung menuju teras. Renata dan Dinara memilih untuk naik motor berboncengan agar lebih cepat sampai ke kampus sekaligus menghindari kemacetan.Kali ini Dinara yang membawa motor berjenis matic itu. Renata sangat terkejut ketika pertama kali di bonceng oleh Dinara yang mengendarai dengan kecepatan tinggi sekaligus tak segan salip-menyalip.&
Dinara merasa serba salah, di bagian hatinya yang lain ia seperti bisa merasakan kalau Theo tidak sepenuhnya bersalah, tapi di sisi lain, bukti kejahatan Theo sudah sangat jelas terlihat.“Aku gak tau apa mauku. Andaikan aku mau sesuatu, tentu saja aku tidak akan pernah mendapatkannya lagi.” Entah mengapa Dinara mendadak jadi melankolis. Matanya mulai pun berembun.“Aku tau kamu masih sangat mencintainya, Dinara. Aku hanya orang ketiga yang hadir di antara kalian. Aku yang harusnya minta maaf, karena sampai aku berada di ambang kematian pun, nyatanya perasaanmu tetap miliknya!” Farrel pun menjadi sangat perasa saat ini.Mungkin ada kalanya ia merasa lelah karena memperjuangkan cintanya itu. Sejauh ini, ia pikir Dinara akan benar-benar melupakan Theo, tapi kenyataannya Dinara masih mendengar baik apa yang dikatakan oleh mantan kekasihnya itu.“Aku gak seperti itu, Kak. Dia gak akan datang lagi. Dia sudah pergi!” tegas Di
Pada malam harinya, Farrel merasa ada yang berbeda dengan istrinya. Harusnya Dinara gegas ke meja makan, karena sedari tadi Emma dan Renata sudah menunggu mereka. Namun, sampai setengah makanan Renata dan Emma hampir habis, Dinara belum juga keluar kamar.“Farrel, ke mana istrimu?” tanya Emma.Farrel yang sedang melahap puding pun hanya menggeleng. “Tadi sih lagi mandi. Nggak tau kalau sekarang.”“Panggilkan gih. Emang gak mau makan malem?” kata Emma.Farrel pun mengangguk dan beranjak dari ruang makan menuju kamarnya. Sementara Renata memperhatikannya dengan tatapan aneh. Tentu saja dia berpikir kalau Farrel dan istrinya tengah bertengkar karena masalah tadi pagi.“Bu, tau nggak?” Renata berbicara pelan-pelan. Sembari menilik ke arah pintu kamar Farrel yang sudah tertutup.“Ada apa?” Emma penasaran.“Itu loh, tadi pagi ada cowok datang ke rumah. Nanyain Kak Dinara,&rdq
Dinara termangu mendengarnya. Melihat cara Theo menyampaikan itu semua, membuat Dinara jadi berpikir. Sejauh ini pria itu terus bersikeras membuktikan bahwa ia tidak bersalah atas kejadian malam itu, dan mungkin saja yang dikatakannya benar.Sementara di tempat lain, Renata rupanya tidak benar-benar bergegas ke sekolah. Ia berputar arah dan memilih untuk memperhatikan dari kejauhan apa yang sebenarnya terjadi dengan pria itu dan kakak iparnya. Perasaannya mendadak tidak enak, tentu saja pikirannya melayang jauh.“Keterlaluan kalau sampai lelaki itu beneran pacarnya Kak Dinara! kalau dulu Kak Dinara berani kabur, artinya gak menutup kemungkinan sekarang juga mereka ada niatan untuk kabur. Duh, semoga aja Kak Farrel cepat datang!” Renata bersembunyi di balik tembok rumah tetangga dan terus mengawasi.Sebelumnya, gadis itu pun sudah menghubungi Farrel, dan memberitahukan kalau ada seorang lelaki yang mengaku kekasihnya Dinara datang ke rumah mereka. Ten
Theo langsung terdiam dengan mata yang melotot.“Apa? jadi anak ingusan ini adiknya si Farrel?” gumam Theo masih tak percaya. Berarti semua sesuai dugaan awalnya, kalau gadis berseragam SMA ini adalah adiknya Farrel.Renata masih menatap tajam ke arah Theo yang malah bergeming. Mungkin masih syok dan merasa bersalah karena main tuduh begitu saja. Sudah salah, berani ngotot pula.“Kenapa diem?” gertak Renata.Theo mengerjapkan mata. “Siapa yang diem.”“Idih, dasar orang nggak jelas. Emang situ siapa sih muncul terus di depan saya?” Renata masih tak kalah geram.Theo jadi bingung harus berkata apa. Faktanya gadis yang menantangnya ini ternyata pemilik rumah itu juga. Dia jadi mati kutu.“Lah, malah bengong! situ cari siapa sih?” tanya Renata tak sabaran.“Lo seriusan adiknya si kacung itu?” Tanpa berpikir, Theo langsung bertanya demikian, bahkan tak segan men
Theo masih berdiri menyaksikan perbincangan ayahnya yang sangat mencurigakan itu. Namun, dia tidak terlalu bodoh untuk bisa menyimpulkan apa yang sudah terjadi ini.“Tidak salah lagi. Papa benar-benar ada kaitannya dengan kejadian di klub malam itu. Dan, sepertinya dia tidak bekerja sendiri. Melainkan ada seseorang yang turut terlibat dalam masalah ini.” Theo bergumam dengan mata yang awas.“Sudahlah. Lebih baik kau istirahat saja, Nyonya. Kumpulkan tenagamu untuk rencana besar nanti. Kali ini aku memang tidak akan banyak terlibat, tapi aku akan tetap memantau. Aku yakin, ide yang satu ini pasti akan membuat hubungan Dinara dan Farrel segera berakhir.” Marva terkekeh.“Tapi apa kau tidak takut, kalau Dinara berpisah dengan suaminya, lalu perempuan itu akan kembali pada putramu?” tanya wanita itu di seberang panggilan.Marva tergelak. “Tidak akan terjadi. Theo akan segera berangkat ke New York. Dia akan bahagia di