Hening. Farrel bingung harus menjawab apa.
“Tetep nggak bisa, Pa!! Dinara sudah membuat keputusan! Aku gak akan menikah sama Kak Farrel!” Dinara kembali memasuki kamar rawat. Kebiasaan sekali gadis itu, sempat menguping dan langsung masuk membelah percakapan orang lain.
Yandra sempat terdiam menatap lurus putrinya yang nakal itu. Farrel pun hanya bisa menggeleng pelan dan membuang napas.
“Baiklah. Kalau kamu masih tidak mau nurut, papa sudah membuat keputusan lain sebetulnya. Kamu tidak akan masuk ke daftar ahli waris dan itu artinya kamu tidak akan mendapatkan warisan apa-apa dari orang tuamu ini! Silakan cari kehidupanmu di luar sana. Cari tempat tinggal, makan, juga kebahagiaan kamu sendiri. Itu kan yang sejak dulu kamu inginkan?!” tandas Yandra.
Dinara melebarkan mata. Tak menyangka ayahnya akan berbuat begitu jauh padanya.
“Papa ... ngusir aku?” Dinara masih membelalakan mata. Tak menyangka.
“Itu kan yang kamu inginkan sejak dulu! Bebas berkeliaran di luar sana tanpa ada kekangan dari siapa pun! Sekarang, permintaan papa yang terakhir pun tidak juga kamu turuti, maka terima saja konsekuensinya. Tidak akan ada hartaku atas namamu wahai anak pembangkang!” Yandra menatap tajam Dinara. Seperti sudah habis kesabarannya.
“Pa, kenapa sih pilihan Papa itu gak ada yang enak buat aku?!” Suara Dinara mulai terdengar bergetar.
“Karena kamu tidak bisa mengurus diri sendiri. Kamu butuh bimbingan. Butuh diarahkan ke jalan yang benar. Sementara kondisi papa yang kian melemah seperti ini, tidak tau seberapa lama lagi bisa bertahan. Papa gak bisa selamanya ada di sisi kamu!” ujar Yandra. Itu membuat Dinara mendadak merasa takut.
Meskipun sering membangkang dan tidak patuh, Dinara tetap sangat menyayangi ayahnya. Orang tua satu-satunya. Tak bisa dipungkiri, dia pun merasa sangat sedih mendengar ayahnya berujar demikian.
“Pa, jangan ngomong gitu dong, Pa. Papa pasti panjang umur!” kata Dinara.
Yandra menggeleng pelan. “Papa tidak bisa menjamin. Mungkin setelah papa tiada, perusahaan akan di serahkan pada orang lain saja.”
“Kalau Papa khawatir soal perusahaan, kan ada Kak Indira, Pa. Biar aku bicara sama dia!” Dinara hendak beranjak.
“Jangan usik hidup dia!” Ucapan Yandra berhasil membuat langkah Dinara terhenti.
“Kenapa, Pa? Papa nggak pernah usik dan atur-atur hidup Kak Indira. Enak banget dia!” ketus Dinara.
“Karena dia anak yang penurut. Dia memiliki alasan yang kuat dan masuk akal ketika menolak mengelola perusahaan. Kakakmu sudah merancang masa depan dengan jelas. Dia bisa sukses di jalannya sendiri. Sementara kamu gimana? Kuliah saja bolos-bolosan, mau jadi apa kamu, ha?” hardik Yandra.
“Fatalnya kamu juga malah menjalin hubungan dengan anak dari lawan bisnis ayahmu sendiri!” sambung Yandra.
Dinara menghela napas dan mengepalkan jemarinya. Dia kalah telak lagi. Dan hal yang sangat menyebalkan lainnya adalah, lagi-lagi dia dibandingkan dengan kakak kandungnya sendiri.
Dinara memang sulit sekali fokus pada tujuan masa depan. Baginya hidup hanya sekedar senang-senang, makan, menjalankan hobi motor-motoran bersama teman-teman yang juga sama seperti dirinya, tak memilik arah masa depan yang jelas.
Namun, bagi Yandra yang merupakan seorang pengusaha sukses, terhormat, terpandang juga dari keturunan yang tidak sembarangan, tentu merasa sangat malu dengan sikap putri bungsunya itu. Bahkan tak jarang beberapa kerabat juga koleganya yang menyayangkan hal demikian. Harusnya sebagai anak pengusaha yang terpandang, sikap dan perilaku Dinara dapat menjadi contoh yang baik.
Akan tetapi sangat disayangkan, sorot kehidupan Dinara sudah terkesan sangat buruk dan liar di mata masyarakat. Hal itu bahkan hampir saja menggoyahkan nilai positif dari perusahaan. Karena setelah Indira menolak mengisi posisi Yandra di perusahaan, maka Dinara lah yang kini menjadi sorotan.
“Sudahlah, mungkin sudah takdirku memiliki anak pembangkang seperti kamu. Biar saja, aku mati dengan sia-sia!” Yandra terlihat pasrah. Tidak tahu lagi harus berbuat apa. “Pergi kamu dari hadapanku!”
Dinara menggeleng dan menatap lurus sang ayah. Dia di usir, artinya tak ada jatah apa-apa lagi untuknya.
“Papa, please! Jangan begini dong. Tega banget sih papa ngusir anak sendiri!” Dinara memasang wajah melas.
“Kamu yang tega. Kuliah asal-salan. Di suruh belajar di perusahaan juga ogah-ogahan. Sekarang di suruh nikah malah gak mau juga. Padahal calon yang papa pilihkan untukmu juga bukan lelaki sembarangan! Kamu akan menyesal kalau menolak menikah dengan lelaki seperti Farrel!” Yandra semakin geram.
Dinara menelan ludah. Seperkian detik dia terdiam, dan menatap pria tampan yang sedari tadi setia berada di sisi ayahnya.
Pria itu memang memancarkan aura tulus dan kebaikan yang sangat kental. Dinara telah mengenal Farrel sejak masa kecil mereka. Hubungan akrab mereka bermula dari persahabatan erat antara ayah mereka, yang sering kali berkumpul dan menjalin silaturahmi. Oleh karena itu, Dinara dan Farrel sering bertemu dan bermain bersama sejak masa kanak-kanak.
Dinara pasti paham sebetulnya, bahwa Farrel adalah sosok pria yang sangat baik dan matang. Perlakuannya selalu hangat dan bijaksana, bahkan sejak masa kecil mereka. Farrel selalu bersikap seperti seorang kakak yang melindungi dan menjaga Dinara. Karena hal-hal inilah, tidak heran jika Yandra memilih Farrel sebagai calon suami bagi putrinya.
“Sabar, Om. Tenanglah. Beri waktu untuk Dinara memikirkan semuanya.” Farrel berusaha menenangkan Yandra yang terlanjur tersulut emosi.
“Aku sudah terlalu sabar selama ini. Biarlah, terserah dia saja mau berbuat apa. Yang jelas setelah ini jangan pernah biarkan anak pembangkang itu hadir bahkan diperistirahatan terakhirku!” kata Yandra serius.
Dinara langsung merasa begitu takut mendengar kalimat itu. Ia menghampiri kembali ayahnya.
“Jangan bicara begitu, Pa. Baiklah ... baik. Dari sekian permintaan yang Papa minta dari aku, hanya satu yang sepertinya dapat aku jalani. Aku ... bersedia menikah dengan Kak Farrel.” Setelah berpikir dan menimbang-nimbang di waktu yang sangat singkat ini, akhirnya Dinara dapat menyetujui pernikahan itu.
Yandra yang semula sangat marah juga menahan sakit, langsung menghela napas lega. Akhirnya sang anak mau menuruti arahannya.
“Syukurlah. Farrel, kamu bersedia kan menikahi putri Om?” Yandra menatap Farrel yang juga tampak terkejut saat mendengar Dinara ternyata siap dinikahinya.
“Aku bersedia, Om.” Tanpa ragu Farrel menerima hal itu. Dia pun bukan tanpa alasan menerima begitu saja permintaan Yandra.
Farrel sudah cukup dewasa dan matang. Sehingga tak perlu bimbang memilih sesuatu untuk masa depannya.
“Kalau begitu, segera persiapkan segala urusannya. Papa mau kalian secepatnya menikah.” Yandra tersenyum hangat.
Sementara Dinara tengah menatap tajam dengan tangan mengepal.
Dalam hati ia terus bergumam.“Awas saja, kamu! jangan pikir menikah denganku itu enak! aku buat kamu nyesel!”
Next ...
Renata dan Emma terkikik melihat ekspresi Dinara yang tampak malu-malu.“Cemburu itu wajar loh. Katanya kalau cemburu itu tanda sayang!” kata Emma dengan senyuman lembut.Dinara sendiri hanya bisa tersenyum, karena tujuan utamanya adalah untuk mencaritahu siapa seseorang dibalik kejadian yang menimpanya malam itu. Entahlah, kalau melibatkan keluarga pastinya akan seperti ini. Pikiran mereka melayang jauh. Tapi biarlah.“Ren, langsung berangkat yuk. Aku udah hampir telat nih!” Dinara langsung berdiri dan memilih untuk bergegas.Renata pun mengangguk dan setelah berpamitan, mereka langsung menuju teras. Renata dan Dinara memilih untuk naik motor berboncengan agar lebih cepat sampai ke kampus sekaligus menghindari kemacetan.Kali ini Dinara yang membawa motor berjenis matic itu. Renata sangat terkejut ketika pertama kali di bonceng oleh Dinara yang mengendarai dengan kecepatan tinggi sekaligus tak segan salip-menyalip.&
Dinara merasa serba salah, di bagian hatinya yang lain ia seperti bisa merasakan kalau Theo tidak sepenuhnya bersalah, tapi di sisi lain, bukti kejahatan Theo sudah sangat jelas terlihat.“Aku gak tau apa mauku. Andaikan aku mau sesuatu, tentu saja aku tidak akan pernah mendapatkannya lagi.” Entah mengapa Dinara mendadak jadi melankolis. Matanya mulai pun berembun.“Aku tau kamu masih sangat mencintainya, Dinara. Aku hanya orang ketiga yang hadir di antara kalian. Aku yang harusnya minta maaf, karena sampai aku berada di ambang kematian pun, nyatanya perasaanmu tetap miliknya!” Farrel pun menjadi sangat perasa saat ini.Mungkin ada kalanya ia merasa lelah karena memperjuangkan cintanya itu. Sejauh ini, ia pikir Dinara akan benar-benar melupakan Theo, tapi kenyataannya Dinara masih mendengar baik apa yang dikatakan oleh mantan kekasihnya itu.“Aku gak seperti itu, Kak. Dia gak akan datang lagi. Dia sudah pergi!” tegas Di
Pada malam harinya, Farrel merasa ada yang berbeda dengan istrinya. Harusnya Dinara gegas ke meja makan, karena sedari tadi Emma dan Renata sudah menunggu mereka. Namun, sampai setengah makanan Renata dan Emma hampir habis, Dinara belum juga keluar kamar.“Farrel, ke mana istrimu?” tanya Emma.Farrel yang sedang melahap puding pun hanya menggeleng. “Tadi sih lagi mandi. Nggak tau kalau sekarang.”“Panggilkan gih. Emang gak mau makan malem?” kata Emma.Farrel pun mengangguk dan beranjak dari ruang makan menuju kamarnya. Sementara Renata memperhatikannya dengan tatapan aneh. Tentu saja dia berpikir kalau Farrel dan istrinya tengah bertengkar karena masalah tadi pagi.“Bu, tau nggak?” Renata berbicara pelan-pelan. Sembari menilik ke arah pintu kamar Farrel yang sudah tertutup.“Ada apa?” Emma penasaran.“Itu loh, tadi pagi ada cowok datang ke rumah. Nanyain Kak Dinara,&rdq
Dinara termangu mendengarnya. Melihat cara Theo menyampaikan itu semua, membuat Dinara jadi berpikir. Sejauh ini pria itu terus bersikeras membuktikan bahwa ia tidak bersalah atas kejadian malam itu, dan mungkin saja yang dikatakannya benar.Sementara di tempat lain, Renata rupanya tidak benar-benar bergegas ke sekolah. Ia berputar arah dan memilih untuk memperhatikan dari kejauhan apa yang sebenarnya terjadi dengan pria itu dan kakak iparnya. Perasaannya mendadak tidak enak, tentu saja pikirannya melayang jauh.“Keterlaluan kalau sampai lelaki itu beneran pacarnya Kak Dinara! kalau dulu Kak Dinara berani kabur, artinya gak menutup kemungkinan sekarang juga mereka ada niatan untuk kabur. Duh, semoga aja Kak Farrel cepat datang!” Renata bersembunyi di balik tembok rumah tetangga dan terus mengawasi.Sebelumnya, gadis itu pun sudah menghubungi Farrel, dan memberitahukan kalau ada seorang lelaki yang mengaku kekasihnya Dinara datang ke rumah mereka. Ten
Theo langsung terdiam dengan mata yang melotot.“Apa? jadi anak ingusan ini adiknya si Farrel?” gumam Theo masih tak percaya. Berarti semua sesuai dugaan awalnya, kalau gadis berseragam SMA ini adalah adiknya Farrel.Renata masih menatap tajam ke arah Theo yang malah bergeming. Mungkin masih syok dan merasa bersalah karena main tuduh begitu saja. Sudah salah, berani ngotot pula.“Kenapa diem?” gertak Renata.Theo mengerjapkan mata. “Siapa yang diem.”“Idih, dasar orang nggak jelas. Emang situ siapa sih muncul terus di depan saya?” Renata masih tak kalah geram.Theo jadi bingung harus berkata apa. Faktanya gadis yang menantangnya ini ternyata pemilik rumah itu juga. Dia jadi mati kutu.“Lah, malah bengong! situ cari siapa sih?” tanya Renata tak sabaran.“Lo seriusan adiknya si kacung itu?” Tanpa berpikir, Theo langsung bertanya demikian, bahkan tak segan men
Theo masih berdiri menyaksikan perbincangan ayahnya yang sangat mencurigakan itu. Namun, dia tidak terlalu bodoh untuk bisa menyimpulkan apa yang sudah terjadi ini.“Tidak salah lagi. Papa benar-benar ada kaitannya dengan kejadian di klub malam itu. Dan, sepertinya dia tidak bekerja sendiri. Melainkan ada seseorang yang turut terlibat dalam masalah ini.” Theo bergumam dengan mata yang awas.“Sudahlah. Lebih baik kau istirahat saja, Nyonya. Kumpulkan tenagamu untuk rencana besar nanti. Kali ini aku memang tidak akan banyak terlibat, tapi aku akan tetap memantau. Aku yakin, ide yang satu ini pasti akan membuat hubungan Dinara dan Farrel segera berakhir.” Marva terkekeh.“Tapi apa kau tidak takut, kalau Dinara berpisah dengan suaminya, lalu perempuan itu akan kembali pada putramu?” tanya wanita itu di seberang panggilan.Marva tergelak. “Tidak akan terjadi. Theo akan segera berangkat ke New York. Dia akan bahagia di
“Sial!” Theo bergumam dengan bibir yang mengatup rapat.Rasanya sia-sia dia datang ke tempat ini. Tak ada gunanya. Theo tak ingin berdebat lagi, dia langsung pergi melewati kerumunan orang-orang yang menari dan bersorak-sorai menikmati dentuman musik di tempat itu. Hatinya semakin bergemuruh kala teringat peristiwa malam itu bersama Dinara.Theo gegas memasuki mobilnya. Ia menarik napas dalam-dalam dan kembali mengerang kesal.“Sial banget gue. Semua orang yang terlibat atas kejadian malam itu semua udah nggak ada. Ini jelas ada yang aneh. Gue makin curiga dan yakin, kalau malam itu memang ada yang sengaja mau menjebak gue dan Dinara.”“Tapi siapa pelakunya? pasti orang terdekat! Ya, siapa lagi kalau bukan si Farrel itu! emang bangsat dia!” Theo bertanya dan menjawab sendiri. Benaknya semakin penuh akan banyak pernyataan yang belum terpecahkan.“Farrel memang tidak punya kekayaan seperti papa dan papanya Di
Ia memperhatikan lamat-lamat sebuah mobil yang terparkir di bagian depan area. Tepat 100 meter dari mobil Farrel. Ia cukup familiar dengan mobil mewah itu. Mobil yang pernah ia lihat di depan gerbang rumah tetangganya, juga di depan toko bunganya.“Itu kan mobilnya lelaki yang waktu itu. Dia kok ada di sini juga?” gumam Renata dalam hatinya.Tak lama kemudian, lelaki yang dimaksud oleh Renata tampak berlari kecil menuju mobil tersebut. Ternyata benar saja dugaan Renata, lelaki itu adalah Theo.Gadis cantik itu menelan ludah dengan mata yang melebar. Benaknya menimbulkan berbagai pertanyaan. Dari penampilan terlihat jelas kalau lelaki itu pasti berkuliah di sini juga.“Dia anak kampus sini. Semester berapa dia? senior kah atau ... dia mahasiswa baru seperti aku?” Renata terdiam dengan benaknya yang sibuk menebak-nebak. Dia jadi teringat moment di mana ia meninju wajah lelaki itu sampai memar dan berdarah.Renata mendadak linu
Keesokan harinya, Yandra dan Indira sudah siap di meja makan. Mata Yandra terpaku pada wajah putrinya yang tak bersemangat di pagi itu. Walau hidangan sarapan telah disajikan dengan segala kelezatannya, tetapi Indira masih terlihat muram.“Gimana tidurnya semalam?” tanya Yandra berbasa-basi.“Biasa aja. Papa gimana?” Indira bertanya balik. Dari nada bicaranya masih terdengar santai dan tampak tenang.Yandra tersenyum dan mengangguk. “Yahh, cukup nyenyak, kok. Papa juga semalam habis mimpi indah.”Indira menaikkan kedua alis tebalnya. “Oh ya? tumben papa mimpi. Biasanya juga jarang banget. Emang mimpi apa, Pa?” kekeh Indira.“Papa mimpi kita berkumpul kembali sama mama kalian. Kita jalan-jalan, tertawa riang, pokoknya bahagia lah. Sampai akhirnya satu per satu di antara kalian pergi. Mamamu, Dinara, dan kamu. Ah, mungkin itu hanya gambaran dari kehidupan nyata saja, kenyataannya mama kalian kan s