“Omong kosong! Kakekku tidak akan setuju. Jadi lupakan tentang apa yang pernah aku usulkan padamu waktu itu,” kata Jay, berjalan mengitari mobil, membuka pintu dan masuk.
Begitupun aku. Walau ingin marah dan berniat terus membujuk Jay, aku merasa pembicaraan ini tidak akan menghasilkan apa pun. Jadi lebih baik aku bergegas menuju mobilku sendiri, dan pergi menemui Neil. Tapi sebelum sempat membuka pintu, tangan kekar Jay menahannya.“Kenapa kau tidak ikut bersamaku saja? Tidak sadar bahwa ini akan menimbulkan kecurigaan?”Aku mendengus kasar, tertawa mengejek, “Sejak kapan kau peduli?”“Karena ada Ibuku di dalam. Aku hanya tidak ingin menambah masalah.” Jay menoleh ke kiri dan kanan.Ya, baiklah. Sedikit masuk akal. Tapi sebelumnya dia tidak pernah seperti ini. Aku mengikuti Jay ke mobilnya, memeriksa ponsel setelah duduk dan membaca semua pesan Neil yang berisikan sapaan juga pemberitahuan.[Sayang, aku sarapan sandwich hari ini, sedikit asin karena terlalu banyak keju. Apa sarapanmu pagi ini?][Aku rindu, aku ingin bertemu setelah makan siang jika kau punya waktu luang][Bia, pernikahan kita tidak akan lama lagi. Aku terus gemetaran karena akan memilikimu seutuhnya][Aku sudah mencoba jas pernikahan yang kau pilihkan kemarin, dan itu pas sekali di tubuhku. Terima kasih banyak, sayang. Aku mencintaimu][Sepertinya aku akan menambah waktu lebih lama di rumah, kepalaku sedikit pusing. Jadi aku akan tidur sebentar sebelum berangkat ke Harrison Express][Sayang, aku demam tinggi. Andai kau ada di sisiku. Apa aku terlalu berlebihan?]Setelah pesan yang terakhir kubaca, ada empat panggilan tidak terjawab dari Neil sekitar lima menit yang lalu.“Jay, berhenti di sini!” perintahku ketika melihat kami sudah berada sedikit jauh dari Vigor Food's.“Kenapa? Ada apa?”“Aku harus segera pergi, dan tidak akan pulang malam ini,” kataku lagi sembari bersiap-siap menyelempangkan tas dan menunggu Jay menepikan mobilnya.“Ada apa? Aku bisa mengantarmu—”“Tidak perlu Jay. Aku harus ke rumah Neil, dia sakit. Jadi aku akan merawatnya.”Jay terdiam, dia hanya menatapku, tapi tidak memelankan laju mobilnya apalagi mencoba berhenti.“Jay, ayolah. Jangan bersikap aneh. Kau sudah menandatangi surat perjanjian yang kuberikan. Aku bersedia tutup mulut seumur hidupku tentang perselingkuhanmu, jadi biarkan aku pergi. Aku tahu bahwa kau bukan orang yang peduli pada urusanku. Menepilah, Jayden Martin.”“Itu berbahaya. Aku yang akan mengantarmu.”“Jay, apa kau gila?”“Hanya sampai parkiran. Aku harus menjamin semuanya aman. Kau pasti mengerti maksudku.”Aku meremas ujung pakaianku dengan geram. Kenapa Jay tiba-tiba menjadi sangat hati-hati seperti ini? Apa dia merencanakan sesuatu? Ah, lupakan! Sekarang, Neil lebih penting.Semenjak menjalin hubungan denganku, Neil juga memutuskan untuk tidak mempekerjakan pelayan di rumahnya. Hanya pelayan paruh waktu yang boleh datang saat Neil pergi ke kantor dan pulang sebelum jam makan siang.Dan ini sudah hampir pukul dua belas siang, jadi pelayan itu pasti sudah pergi atau mungkin sudah dilarang datang oleh Neil sejak pagi tadi karena Neil ingin berada di rumah. Biasanya, dia tidak suka ada kebisingan di sekitarnya jika ingin beristirahat.Aku hanya diliputi kecemasan selama dalam perjalanan. Neil hampir tidak pernah mengeluh tentang apapun. Jadi ketika dia memberitahuku seperti ini, aku akan merasa sangat bersalah jika mengabaikannya.Lagipula, aku ingin berada di sisi Neil. Merawat, memastikan kondisi tubuh, dan memeluknya sepanjang malam. Aku sampai tidak sadar bahwa kami sudah memasuki kawasan parkir apartemen Neil.“Terima kasih, Jay.” Hampir tidak pernah mengucapkan kalimat itu pada Jay, tapi aku mengatakannya hari ini.“Hem.”Setelah mendengar itu, sekilas melihat Jay yang hanya menatap lurus ke depan tanpa mematikan mesin mobil, aku langsung membuka pintu, berjalan cepat tanpa menoleh ke belakang.***“Kenapa kau datang?”“Karena aku ingin merawatmu,” jawabku lembut, menggenggam tangan Neil yang terlalu hangat, karena dia benar terserang demam.Ini sudah berlalu hampir satu jam, tapi Neil terus mempertanyakan kedatanganku. Dia khawatir, aku tahu, setulus itulah hatinya.“Aku akan terus memelukmu sampai pagi,” kataku lagi, mencium keningnya yang juga terlalu hangat, menjurus panas karena suhu tubuhnya hampir mencapai tiga puluh sembilan derajat selsius.“Jangan lakukan itu.”“Kenapa? Kau sedang menolakku?” Aku tertawa.“Bukan itu, Bia. Aku tidak ingin kau tertular.” Wajah merah padam Neil terlihat semakin lemah.“Jika ini terjadi padaku, apa kau tidak ingin tidur sambil memelukku?”“Tentu saja aku akan memelukmu. Sepanjang waktu, jika itu perlu.”Aku mengusap wajahnya, betapa aku menyayangi pria ini. Pria tulus pertama dalam hidupku.“Jadi kau sebaiknya jangan melarangku melakukan ini juga.” Dengan cepat, aku melompat ke sampingnya, memasukkan diri bersama satu selimut Neil dan tersenyum sambil memeluknya erat.“Biaaa ....” Neil menyebut namaku seolah ingin melarangku, tapi kusambut dengan tawa.“Tidurlah, sayang.”Aku memejamkan mata meski sama sekali tidak tidur. Kuberitahu, bagiku, sekedar pelukan dan ciuman, tidak termasuk ke dalam perzinahan. Kecuali, bersetubuh seperti Jay dan para wanita jalangnya.Meski tidak pernah melihat langsung, aku yakin setidaknya, Jay melakukan hal itu dengan satu atau dua orang yang dia sukai, terbukti dari aroma tubuh Jay yang berubah. Aroma setelah berhubungan seksual, dan si berengsek itu membawa baunya sampai ke rumah. Menjijikkan!Dengkuran halus Neil mengejutkanku. Melepas pelukan dengan hati-hati, aku memperhatikan wajah manis Neil dari sisinya. Setelah minum obat dia pasti mudah tertidur meski nanti dia akan mengigau atau merasa tidurnya tidak nyaman.Kami akan segera menikah dan ini seperti mimpi bagiku. Aku tidak akan mendoakan agar Kakek Hamlet atau Kakekku cepat mati, tapi kuharap, ada jalan keluar lain untuk bercerai dari Jay, selain daripada menunggu kematian mereka.Aku sangat membutuhkan kerjasama Jay dalam hal ini. Tapi aku juga tidak bisa memaksanya. Dia bersedia untuk menandatangani surat perjanjian itu saja, sudah sangat baik untukku dan Neil. Jadi hal seperti perceraian, akan kubicarakan lagi dari waktu ke waktu. Aku yakin Jay juga sangat menginginkan perceraian.Baiklah, saatnya tidur dan aku akan kembali memeluk Neil hingga pagi. Tapi tunggu! Suara getaran apa itu? Ponsel? Aku bangkit dari pembaringan, menyapu pandangan ke segala arah dan menemukan asal suara. Tasku di meja. Ya ampun, harusnya aku mematikan ponsel sialan itu!Dengan hati-hati, aku turun dari ranjang Neil, memastikan dia masih tertidur dalam demamnya. Aku berjalan pelan tanpa suara, meraih ponsel dalam tas dan melihat nama ‘Jayden Martin’ di layar.Ada apa lagi dengan si gila ini? Rencanaku, aku tidak ingin menjawab panggilannya, tapi ketika ingat betapa berengseknya Jay, dan dia tahu apartemen Neil tepatnya berada di mana, aku urung mengabaikannya.Aku berjalan cepat menuju kamar mandi. Menutup dan mengunci pintunya. “Ada apa, Jay?”“Ibumu datang,” jawab Jay. Terdengar dia panik, jadi aku yakin Jay tidak sedang berbohong.“Ya ampun, Jay. Tidak bisakah kau atasi itu?”“Aku sudah mengatasinya. Tapi melihat Ibu yang marah-marah, aku terpaksa mengatakan bahwa kau akan segera pulang dari menjenguk teman wanitamu di Rumah Sakit,” jelas Jay, masih panik.Jelas saja dia panik. Ibuku persis diriku. Yang berbeda hanya wajah, karena Ayah mewariskan semua ketampanannya padaku dalam wujud wanita. Ibuku galak, itu poin utamanya. Seorang Jayden Martin pun tidak akan bisa menang melawan Nyonya Ravia Vigor.Suara panggilan Ibu pada Jay di seberang mengejutkanku. Jadi buru-buru aku berkata pada Jay. “Katakan, dalam sepuluh menit aku akan tiba di rumah.”“Istri macam apa yang berkeliaran di jam malam seperti ini?” Ibu langsung menyerangku dengan cercaan menusuk saat kedua kakiku melangkah di ruang tamu. “Apa temanmu yang sakit itu tidak punya keluarga sampai kau harus menjaganya dua puluh empat jam?”Aku memandang Ibu dengan wajah malas. “Ibu salah informasi. Aku tidak menjaganya selama itu ...” Aku menoleh pada Jay yang duduk diam dengan wajah bingung. Apa-apaan dia, kutatap Ibu kembali, “aku baru beberapa jam di sana, sejak tadi siang. Dia hidup jauh dari keluarganya. Jadi aku—”“Ah, hentikan! Itu hanya alasanmu, Ava!” Dengan telunjuk mengacung, kedua mata Ibu mendelik marah padaku. “Sejak kapan kau memiliki teman lain selain Britta dan Sully?”Aku diam, tidak berniat menjawab, menoleh lagi pada Jay. Benar, aku hanya memiliki dua teman baik selama hidupku, tapi keduanya bisa langsung menusukku dari belakang dengan mengencani suamiku.Meski pria itu Jay, yang hampir tidak pernah kuanggap sebagai suami selama kami menikah, tetap saja,
“Fantasimu tentangku? Hei, apa kau memiliki hal itu di pikiranmu?” Jay tampak menahan diri di antara ingin mengejek dan menertawaiku.“Bukan seperti yang kau pikirkan!” Kulempar bantal ke wajahnya.Mengernyit marah, dia mengambil bantal yang jatuh di pangkuannya dan balik melempar tepat mengenai kepalaku.Entah kapan dimulai, kami berdua mulai saling lempar bantal tanpa suara. Tiba-tiba Jay mendekat dan menindihku. Membuatku terkejut tapi tidak dapat melakukan apapun.Jika aku berteriak atau mengumpat padanya, Ibu jelas akan bangun dan memarahiku. Sudah dapat kupastikan sejak awal menikah, Ibu lebih berpihak pada Jay daripada diriku putrinya sendiri.Mungkin Ibu masih menganggap aku akan menyakiti hati Jay—si suami idaman—karena kami dijodohkan oleh para Kakek. Tampak jelas di mata serta sikapku yang menolak perjodohan kami waktu itu, dua tahun yang lalu. Aku yakin, Ibu mulai berasumsi sendiri tentang ketidaksukaanku pada Jay.“Kita berpura-pura saja atau langsung melakukannya?” bisik
Aku bergeser pelan, tanpa suara bentakan atau hardikan untuk Jay. Aku benar-benar merasakan kecanggungan sentuhan serius darinya.Perlu diingat, kami hampir tidak pernah menjurus ke arah berbau seksual, selain dari kontak fisik untuk saling menolak, atau keberatan terhadap sesuatu.Bahkan saat dia masuk ke kamar mandi di saat aku sedang berendam dibalik busa, kami sama sekali tidak saling tertarik untuk melakukan hal yang lebih dari itu.Untuk menanggapi Jay, aku melakukan hal seperti menendangnya jika dia masuk tanpa izin ke kamarku, terbiasa menepis tangannya saat dia menghalangi jalanku, atau menepuk pundaknya jika ingin membangunkan dia yang tertidur di ruang keluarga.Hal-hal seperti itu dan sama sekali tidak pernah menimbulkan hasrat apapun di antara kami. Itu aneh? Tidak juga. Jay jarang pulang dan lebih sering membawa jalangnya ke sini. Meski belakangan sudah cukup jarang terjadi, tapi itu tidak memudarkan penilaianku tentangnya yang maniak seks, sering main gila di luar itu m
“Aku menginginkanya lagi.” Bisikan serupa angin dingin berhembus di telingaku, ketika pertama kali membuka kedua mata.Kesadaran paling penuh yang kulewati semalaman memang hampir tidak ada. Tapi aku ingat bagaimana kami melakukannya berulang kali seolah tanpa ampun, apalagi jeda.“Hmm?” Pura-pura bodoh, aku meraba-raba meja samping untuk mencari ponsel.“Kau kehabisan daya di ponsel-mu, jadi aku mengisinya,” kata Jay. Aku menoleh ke arahnya dan melihat dia menunjuk ke meja kecil tempat biasa aku meletakkan ponsel jika sedang disi daya baterai.Membulatkan bibir, aku mengangguk mengerti dalam kecanggungan yang tampak seperti hanya aku seorang yang mengalaminya.Jay bertingkah santai menopang kepalanya di atas telapak tangan, seolah menggoda dengan posisi berbaring miring menghadap ke arahku. “Tidak bisakah kau mengabulkan keinginanku?”Mendadak kikuk, aku berdeham. “Aku ... aku harus pergi memeriksa tempat untuk besok.” Menyibak selimut, aku hampir terpekik karena tidak ada gaun tidur
“Mau kuantar?”Aku melirik sekilas pada Jay yang berdiri dengan ponsel di tangan, di ambang pintu kamarku. Aku kembali lagi ke sini setelah tadi sudah berada di dalam mobil—siap berangkat—karena lupa membawa kotak berisi cincin pernikahan kami, aku dan Neil tentunya.Sial! Bisa-bisanya benda itu tidak ada di laciku. Aku ingat semalam masih memandanginya sebelum tidur. Tapi lupa apa yang terjadi setelah itu.“Bisa bantu aku mencari kotak cincinku?”Jay tiba dengan cepat sebelum aku sempat mendengar jawabannya. Sekarang dia sedang memeriksa bagian bawah ranjang, lalu beralih menuju lemari pakaianku.Aku juga melakukan hal yang sama di sampingnya.“Kotak dengan warna apa?”“Hitam beledu.”Beberapa menit dia sibuk dengan isi lemari pakaianku.“Tidak ada,” katanya. Dan aku yang mematung menunggu, seketika panik. “Jay, bagaimana ini?” Spontan aku malah bertanya pada pria yang setelah hari ini, sudah siap menerima pembagian waktu dengan Neil.“Masalah cincin bukan perkara serius. Jika terus
Seperti ucapan Neil, kami menghabiskan waktu dengan menikmati kegiatan menyenangkan di luar penginapan sambil mendengar suara binatang-binatang malam yang terdengar memecah hening.Tapi bagiku, terdengar lucu dan menghibur.Senja tadi, aku habiskan dengan terisak sambil menerima sesendok demi sesendok makanan yang disuapi Neil ke dalam mulutku.Di mana lagi ada pria sebaik dan setulus dirinya?“Setelah ini, kita coba lagi ya?” Kuamit lengannya. Memutuskan untuk berusaha daripada menyerah dan merasa bersalah.Sambil terus melangkah, Neil mengusap puncak kepalaku. “Baiklah, aku ingin kau melakukannya dalam keadaan tenang, tanpa perasaan terbebani.”Walau mungkin akan sulit karena aku sendiri tidak paham di mana letak kerisauan dan ketidaktenangan diriku, aku coba mengangguk paham.Belum juga jam sepuluh malam, aku sudah mengeluh lelah dan beralasan ingin kembali ke penginapan.Tujuanku sebenarnya hanya satu, ingin memberikan diriku pada Neil setelah kami resmi menikah.Dia sudah bersaba
“Kau ragu padaku?” Giliranku yang tertawa. “Tidak, bukan begitu, Bia. Ini tidak semudah yang kau pikirkan.”“Aku tahu. Tapi daripada menunggu dengan tidak pasti begini, bukankah sebaiknya kita berusaha dulu sebelum menyerah?” Setelah menghela napas dan menggeleng-geleng kepala seperti tidak habis pikir, Neil memutuskan untuk setuju pergi kebelakang penginapan guna mencari kandang hewan ternak bersamaku.Di sisi kanan tidak ada jalan atau lahan kosong, karena ada sebuah penatu yang dindingnya langsung menempel di bagian kanan bangunan penginapan.Jalan satu-satunya menuju ke belakang hanya melalui lahan di sebelah kiri yang cukup untuk dilewati beberapa orang ini.Sebenarnya, kami bisa saja ke belakang melewati dapur, tapi menurut Neil, tidak ada pintu keluar di dapur pemilik penginapan, hanya ada beberapa jendela. Itupun tidak dibuka.Neil sudah tahu itu karena sore tadi sempat memesan dan mengambil sendiri makanan dari dapur.“Pemilik penginapan seperti kekurangan tenaga pekerja. D
“Tidak bisakah kau bicara lebih tenang, Ava? Apa sesuatu yang buruk terjadi pada bulan madu kalian?” ejek Jay diiringi tawa yang tertahan.Aku tidak bodoh, seketika saja pikiran buruk melintas. “Itu artinya kau yang merusak acara bulan madu kami!”Itu benar, bisa saja bukan? Kejadian tidak menyenangkan beruntun terjadi. Meski jika nanti dipikirkan dengan jernih, Jay pasti tidak memiliki hubungan sama sekali dengan semua yang telah terjadi padaku sejak kemarin.Aku mengenalnya lebih dari dua tahun. Jay pria spontan yang menyuarakan pemikirannya secara langsung.Selebihnya, dia hanya pria kaya yang tampan dan sombong.“Oh, mana mungkin! Aku terus di sini, coba dengarkan.”Aku menajamkan pendengaranku, mencengkeram erat gagang telepon seolah benda ini bisa memberi apa yang kubutuhkan.Sayup terdengar suara percakapan Ibu dan Ayah, sedikit jauh, samar. Ada teriakan dan tepukan tangan yang bisa kudengar meski tidak begitu jelas.Aku yakin itu suara Ayah dan Ibuku. Sedang apa dan di mana me