“Istri macam apa yang berkeliaran di jam malam seperti ini?” Ibu langsung menyerangku dengan cercaan menusuk saat kedua kakiku melangkah di ruang tamu. “Apa temanmu yang sakit itu tidak punya keluarga sampai kau harus menjaganya dua puluh empat jam?”
Aku memandang Ibu dengan wajah malas. “Ibu salah informasi. Aku tidak menjaganya selama itu ...” Aku menoleh pada Jay yang duduk diam dengan wajah bingung. Apa-apaan dia, kutatap Ibu kembali, “aku baru beberapa jam di sana, sejak tadi siang. Dia hidup jauh dari keluarganya. Jadi aku—”“Ah, hentikan! Itu hanya alasanmu, Ava!” Dengan telunjuk mengacung, kedua mata Ibu mendelik marah padaku. “Sejak kapan kau memiliki teman lain selain Britta dan Sully?”Aku diam, tidak berniat menjawab, menoleh lagi pada Jay. Benar, aku hanya memiliki dua teman baik selama hidupku, tapi keduanya bisa langsung menusukku dari belakang dengan mengencani suamiku.Meski pria itu Jay, yang hampir tidak pernah kuanggap sebagai suami selama kami menikah, tetap saja, Britta dan Sully keterlaluan. Mereka menginjak-nginjak harga diriku. Teman yang selalu bersama sejak usia belasan tahun.Dan si berengsek ini lebih biadab! Dia bisa membuat kedua mantan teman baikku itu jatuh ke pelukannya dengan sangat mudah. Mereka gila!“Jangan membuat kekacauan dalam rumah tanggamu, Ava!” bentak Ibu, lalu melirik Jay yang hanya diam memandangi Ibu. “Kau juga, Jayden. Bertindak tegaslah pada istrimu. Jangan biarkan dia berkeliaran setelah jam makan malam. Ava masih senang bertindak seolah dia masih melajang!” Ibu masih membentak. Benar-benar hebat untuk urusan menceramahiku.Oh, aku lelah. Pikiranku dipenuhi sosok Neil yang kutinggal begitu saja di kamarnya seorang diri. Bagaimana jika dia membutuhkan sesuatu saat terbangun nanti?Bagaimana jika suhu tubuhnya makin meningkat naik? Wah, aku tidak bisa membayangkan itu.“Va ... Ava!” Bentakan Ibu menyadarkanku.“Ya, Bu?” Aku mengerjapkan kedua mataku, sedikit perih akibat terkena angin yang masuk melalui jendela mobil saat aku menyetir kencang dengan membiarkan kaca mobil terbuka lebar.“Kau ini! Daritadi apa kau tidak mendengarkan Ibu bicara?”“Aku dengar, Bu,” keluhku, lelah.Kulihat Jay bergerak dari duduknya, beranjak, berjalan mendekati Ibu. “Bu ... daritadi Ibu belum duduk. Duduklah dulu ... akan kubuatkan teh lemon dingin untuk Ibu,” ujar Jay, lembut menenangkan. Hebat, dia bisa bersikap seperti itu dengan sempurna.Ibu menghela napas. Aku tahu Ibuku itu mudah luluh pada Jay. Sejak dulu memang begitu. Ibu mempercayakan diriku sepenuhnya pada Jay. Jadi Ibu akan sering mengganggu Jay dengan panggilan-panggilan berupa pertanyaan atau nasihat pernikahan.Aneh, untuk hal satu itu, Jay tidak pernah mengeluh padaku. Tidak pun kesal seperti saat Ayahku yang setiap akhir pekan, di hari minggu, meminta Jay pagi-pagi buta datang ke lapangan golf untuk menemaninya bermain.Ayah dan Ibu, terutama Kakekku, selalu berbahagia untuk pernikahan kami. Bahkan sebisa mungkin, ikut andil agar pernikahan kami selalu bisa menjadi panutan semua orang. Mereka tidak lelah untuk berjaga-jaga, agar tidak ada hal atau noda sekecil apapun dalam pernikahan kami.Luar biasa! Aku sungguh lelah dengan semua keharmonisan tipuan ini. Sekarang, aku kembali melihat Jay menuntun Ibu yang terus menggerutu berjalan menuju ruang tengah.Kapan aku bisa bebas? Tidur di ranjang yang hangat bersama Neil yang kupuja.***Entah keputusan siapa, akhirnya Ibu menginap di rumah kami dan tidur di kamar Jay.Aku dan Jay memang selalu berjaga-jaga dengan alasan bahwa kamar tamu itu terkadang dijadikan tempat bekerja oleh Jay, karena kenyataan ada sebagian besar barang-barang Jay di sana saat keluarga dari pihak kami berdua, tiba-tiba datang berkunjung dan melihatnya.“Kenapa Ibu memilih kamarmu?” Aku berbisik, sangat cemas jika suaraku akan terdengar meski terpisah dinding.“Aku tidak tahu. Hanya ....” Jay menatapku, lalu menghela napas, tidak tampak dia berniat melanjutkan.“Hanya apa?” Aku menyikutnya dengan tidak sabar. Pria berengsek ini semakin menyebalkan. Beruntung, sedang tidak ada jalangnya yang datang berkunjung malam ini. Sehingga dia terbebas dari kecurigaan Ibu, dan tentu saja, petaka besar.“Apa kau yakin ingin mendengarnya?” Kedua alis Jay terangkat. Menambah ketampanannya menjadi berkali-kali lipat. Sekali lagi, meski berengsek, dia memang sangat tampan.Tapi sungguh! Aku tidak akan terpedaya dengan wajah tampan yang menyimpan akal busuk di dalamnya.“Seharusnya tidak usah bicara saja sejak awal!” gerutuku kesal. Ingin sekali bersuara keras, tapi posisiku jauh lebih berbahaya jika sampai Ibu mendengar aku berbicara kasar pada Jay.“Ibu berpikir ada masalah dengan kegiatan ranjang kita,” jelas Jay, setengah bergumam.“Apa?” Aku melotot, merasakan kedua bola mataku ingin meloncat keluar karena begitu terkejut. Sepersekian detik aku segera sadar bahwa Ibu pasti mulai terpengaruh akan gunjingan orang-orang tentangku yang tidak kunjung hamil.“Harus kuulangi?” Jay malah balik bertanya dengan wajah kesal. Aku yakin dia sama tidak sukanya dengan hal ini.“Ini gawat!” Kegelisahan menjadi memenuhi diriku saat ini. Menggigit bibir bagian bawahku dengan rasa bingung. “Apa ... sebaiknya aku berpura-pura hamil saja?”“Apa maksudmu?” Jay balik bertanya lagi, kali ini giliran kedua matanya yang akan meloncat keluar.“Kita bisa melakukan itu. Kau boleh memilih siapapun yang ingin kau tanam benihmu, dan aku akan berpura-pura diriku seolah hamil Anakmu. Bisakah seperti itu?” Lambat-lambat aku berkata. Ragu pada ide gilaku sendiri. Itu akan mudah dilakukan diawal, dan semakin sulit dipertengahan, apalagi diakhir.Ibu tidak semudah itu dibohongi. Sama sepertiku, Ibu terlalu sulit ditipu. Aku sadar, hubungan dengan Neil saja sudah sangat sulit untuk kusembunyikan darinya. Apalagi kehamilan bodoh yang ingin kuciptakan ini.“Kau masih waras, kan? Aku sedang tidak ingin cari mati, Ava,” bisik Jay. Meneliti wajahku yang masam dan kesal sejak dia menyebutkan masalah ranjang. Ini gila!“Ibu pasti belum tidur, aku tahu Ibu akan bertindak seperti apa setelah dia menargetkan sesuatu yang dicurigainya.” Kupandangi dinding pembatas diriku dan Ibu dengan perasaan sesak. Aku sulit melawannya. Ibu dan Kakekku adalah dua sosok yang paling sulit kuhadapi.“Ikuti ideku saja malam ini. Semoga besok pagi Ibu tidak mencurigai kita,” gumam Jay, dia kembali berbisik di telingaku. Aku seakan lupa bahwa posisi kami begitu dekat di atas ranjangku. Bahu kami menempel satu sama lain.“Apa idemu?”“Kita pura-pura melakukannya.” Jay menutupi telingaku dengan kedua tangannya, berbisik jelas hingga suaranya membuatku merinding.“Melakukan ‘itu’?” Sungguh, aku tidak paham bagaimana caranya berpura-pura melakukan kegiatan itu dengan Jay.“Kau hanya perlu mendesah, begitu juga denganku,” kata Jay lagi, dia terlihat salah tingkah sebenarnya, tapi tidak memperlihatkannya secara terang-terangan padaku.Ini lucu. Rancu dan menggelikan.“Sebut namaku di sela desahanmu, begitupun aku. Kita perlu membuat suara-suara dari ranjang. Melakukan sesuatu seperti itu menjadi seolah-olah nyata.” Jay melompat-melompat di atas ranjang dalam posisi duduknya. Aku menahan tawaku, konyol!“Lupakan. Itu merusak fantasiku tentangmu.”“Fantasimu tentangku? Hei, apa kau memiliki hal itu di pikiranmu?” Jay tampak menahan diri di antara ingin mengejek dan menertawaiku.“Bukan seperti yang kau pikirkan!” Kulempar bantal ke wajahnya.Mengernyit marah, dia mengambil bantal yang jatuh di pangkuannya dan balik melempar tepat mengenai kepalaku.Entah kapan dimulai, kami berdua mulai saling lempar bantal tanpa suara. Tiba-tiba Jay mendekat dan menindihku. Membuatku terkejut tapi tidak dapat melakukan apapun.Jika aku berteriak atau mengumpat padanya, Ibu jelas akan bangun dan memarahiku. Sudah dapat kupastikan sejak awal menikah, Ibu lebih berpihak pada Jay daripada diriku putrinya sendiri.Mungkin Ibu masih menganggap aku akan menyakiti hati Jay—si suami idaman—karena kami dijodohkan oleh para Kakek. Tampak jelas di mata serta sikapku yang menolak perjodohan kami waktu itu, dua tahun yang lalu. Aku yakin, Ibu mulai berasumsi sendiri tentang ketidaksukaanku pada Jay.“Kita berpura-pura saja atau langsung melakukannya?” bisik
Aku bergeser pelan, tanpa suara bentakan atau hardikan untuk Jay. Aku benar-benar merasakan kecanggungan sentuhan serius darinya.Perlu diingat, kami hampir tidak pernah menjurus ke arah berbau seksual, selain dari kontak fisik untuk saling menolak, atau keberatan terhadap sesuatu.Bahkan saat dia masuk ke kamar mandi di saat aku sedang berendam dibalik busa, kami sama sekali tidak saling tertarik untuk melakukan hal yang lebih dari itu.Untuk menanggapi Jay, aku melakukan hal seperti menendangnya jika dia masuk tanpa izin ke kamarku, terbiasa menepis tangannya saat dia menghalangi jalanku, atau menepuk pundaknya jika ingin membangunkan dia yang tertidur di ruang keluarga.Hal-hal seperti itu dan sama sekali tidak pernah menimbulkan hasrat apapun di antara kami. Itu aneh? Tidak juga. Jay jarang pulang dan lebih sering membawa jalangnya ke sini. Meski belakangan sudah cukup jarang terjadi, tapi itu tidak memudarkan penilaianku tentangnya yang maniak seks, sering main gila di luar itu m
“Aku menginginkanya lagi.” Bisikan serupa angin dingin berhembus di telingaku, ketika pertama kali membuka kedua mata.Kesadaran paling penuh yang kulewati semalaman memang hampir tidak ada. Tapi aku ingat bagaimana kami melakukannya berulang kali seolah tanpa ampun, apalagi jeda.“Hmm?” Pura-pura bodoh, aku meraba-raba meja samping untuk mencari ponsel.“Kau kehabisan daya di ponsel-mu, jadi aku mengisinya,” kata Jay. Aku menoleh ke arahnya dan melihat dia menunjuk ke meja kecil tempat biasa aku meletakkan ponsel jika sedang disi daya baterai.Membulatkan bibir, aku mengangguk mengerti dalam kecanggungan yang tampak seperti hanya aku seorang yang mengalaminya.Jay bertingkah santai menopang kepalanya di atas telapak tangan, seolah menggoda dengan posisi berbaring miring menghadap ke arahku. “Tidak bisakah kau mengabulkan keinginanku?”Mendadak kikuk, aku berdeham. “Aku ... aku harus pergi memeriksa tempat untuk besok.” Menyibak selimut, aku hampir terpekik karena tidak ada gaun tidur
“Mau kuantar?”Aku melirik sekilas pada Jay yang berdiri dengan ponsel di tangan, di ambang pintu kamarku. Aku kembali lagi ke sini setelah tadi sudah berada di dalam mobil—siap berangkat—karena lupa membawa kotak berisi cincin pernikahan kami, aku dan Neil tentunya.Sial! Bisa-bisanya benda itu tidak ada di laciku. Aku ingat semalam masih memandanginya sebelum tidur. Tapi lupa apa yang terjadi setelah itu.“Bisa bantu aku mencari kotak cincinku?”Jay tiba dengan cepat sebelum aku sempat mendengar jawabannya. Sekarang dia sedang memeriksa bagian bawah ranjang, lalu beralih menuju lemari pakaianku.Aku juga melakukan hal yang sama di sampingnya.“Kotak dengan warna apa?”“Hitam beledu.”Beberapa menit dia sibuk dengan isi lemari pakaianku.“Tidak ada,” katanya. Dan aku yang mematung menunggu, seketika panik. “Jay, bagaimana ini?” Spontan aku malah bertanya pada pria yang setelah hari ini, sudah siap menerima pembagian waktu dengan Neil.“Masalah cincin bukan perkara serius. Jika terus
Seperti ucapan Neil, kami menghabiskan waktu dengan menikmati kegiatan menyenangkan di luar penginapan sambil mendengar suara binatang-binatang malam yang terdengar memecah hening.Tapi bagiku, terdengar lucu dan menghibur.Senja tadi, aku habiskan dengan terisak sambil menerima sesendok demi sesendok makanan yang disuapi Neil ke dalam mulutku.Di mana lagi ada pria sebaik dan setulus dirinya?“Setelah ini, kita coba lagi ya?” Kuamit lengannya. Memutuskan untuk berusaha daripada menyerah dan merasa bersalah.Sambil terus melangkah, Neil mengusap puncak kepalaku. “Baiklah, aku ingin kau melakukannya dalam keadaan tenang, tanpa perasaan terbebani.”Walau mungkin akan sulit karena aku sendiri tidak paham di mana letak kerisauan dan ketidaktenangan diriku, aku coba mengangguk paham.Belum juga jam sepuluh malam, aku sudah mengeluh lelah dan beralasan ingin kembali ke penginapan.Tujuanku sebenarnya hanya satu, ingin memberikan diriku pada Neil setelah kami resmi menikah.Dia sudah bersaba
“Kau ragu padaku?” Giliranku yang tertawa. “Tidak, bukan begitu, Bia. Ini tidak semudah yang kau pikirkan.”“Aku tahu. Tapi daripada menunggu dengan tidak pasti begini, bukankah sebaiknya kita berusaha dulu sebelum menyerah?” Setelah menghela napas dan menggeleng-geleng kepala seperti tidak habis pikir, Neil memutuskan untuk setuju pergi kebelakang penginapan guna mencari kandang hewan ternak bersamaku.Di sisi kanan tidak ada jalan atau lahan kosong, karena ada sebuah penatu yang dindingnya langsung menempel di bagian kanan bangunan penginapan.Jalan satu-satunya menuju ke belakang hanya melalui lahan di sebelah kiri yang cukup untuk dilewati beberapa orang ini.Sebenarnya, kami bisa saja ke belakang melewati dapur, tapi menurut Neil, tidak ada pintu keluar di dapur pemilik penginapan, hanya ada beberapa jendela. Itupun tidak dibuka.Neil sudah tahu itu karena sore tadi sempat memesan dan mengambil sendiri makanan dari dapur.“Pemilik penginapan seperti kekurangan tenaga pekerja. D
“Tidak bisakah kau bicara lebih tenang, Ava? Apa sesuatu yang buruk terjadi pada bulan madu kalian?” ejek Jay diiringi tawa yang tertahan.Aku tidak bodoh, seketika saja pikiran buruk melintas. “Itu artinya kau yang merusak acara bulan madu kami!”Itu benar, bisa saja bukan? Kejadian tidak menyenangkan beruntun terjadi. Meski jika nanti dipikirkan dengan jernih, Jay pasti tidak memiliki hubungan sama sekali dengan semua yang telah terjadi padaku sejak kemarin.Aku mengenalnya lebih dari dua tahun. Jay pria spontan yang menyuarakan pemikirannya secara langsung.Selebihnya, dia hanya pria kaya yang tampan dan sombong.“Oh, mana mungkin! Aku terus di sini, coba dengarkan.”Aku menajamkan pendengaranku, mencengkeram erat gagang telepon seolah benda ini bisa memberi apa yang kubutuhkan.Sayup terdengar suara percakapan Ibu dan Ayah, sedikit jauh, samar. Ada teriakan dan tepukan tangan yang bisa kudengar meski tidak begitu jelas.Aku yakin itu suara Ayah dan Ibuku. Sedang apa dan di mana me
Sekarang aku sudah berada di dalam pesawat menuju rumah. Aku pulang tanpa Neil.Dia hanya mengantarkanku sampai bandara, dan kembali ke penginapan karena ingin menghabiskan waktu sampai hari ini berakhir bersama Trisa.Aku tahu dia kecewa. Sangat kecewa padaku meski akupun berpura-pura tidak mengetahui seperti apa perasaannya.Tadi, Neil berkata padaku bahwa tidak masalah jika aku belum siap. Dia menganggapku mungkin belum bisa beradaptasi dari tubuh Jay berpindah ke tubuhnya.Walau aku bersikeras akan berusaha untuk tidak melakukannya lagi bersama Jay, Neil memilih untuk tetap pada pendiriannya.“Tidak ada yang berubah dariku, Bia. Cintaku tidak akan hilang begitu saja karena urusan ranjang. Kita akan kembali mencobanya ketika kau siap dan tidak merasa terbebani lagi.”Itu ucapan Neil yang terus berputar-putar di kepalaku sampai aku tidak sadar bahwa perjalanan lebih dari satu jam-ku sudah berakhir.Jay mengirimi pesan sejak aku masih di penginapan, bahwa dia akan datang menjemput ke