Share

Chapter 6

“Istri macam apa yang berkeliaran di jam malam seperti ini?” Ibu langsung menyerangku dengan cercaan menusuk saat kedua kakiku melangkah di ruang tamu. “Apa temanmu yang sakit itu tidak punya keluarga sampai kau harus menjaganya dua puluh empat jam?”

Aku memandang Ibu dengan wajah malas. “Ibu salah informasi. Aku tidak menjaganya selama itu ...” Aku menoleh pada Jay yang duduk diam dengan wajah bingung. Apa-apaan dia, kutatap Ibu kembali, “aku baru beberapa jam di sana, sejak tadi siang. Dia hidup jauh dari keluarganya. Jadi aku—”

“Ah, hentikan! Itu hanya alasanmu, Ava!” Dengan telunjuk mengacung, kedua mata Ibu mendelik marah padaku. “Sejak kapan kau memiliki teman lain selain Britta dan Sully?”

Aku diam, tidak berniat menjawab, menoleh lagi pada Jay. Benar, aku hanya memiliki dua teman baik selama hidupku, tapi keduanya bisa langsung menusukku dari belakang dengan mengencani suamiku.

Meski pria itu Jay, yang hampir tidak pernah kuanggap sebagai suami selama kami menikah, tetap saja, Britta dan Sully keterlaluan. Mereka menginjak-nginjak harga diriku. Teman yang selalu bersama sejak usia belasan tahun.

Dan si berengsek ini lebih biadab! Dia bisa membuat kedua mantan teman baikku itu jatuh ke pelukannya dengan sangat mudah. Mereka gila!

“Jangan membuat kekacauan dalam rumah tanggamu, Ava!” bentak Ibu, lalu melirik Jay yang hanya diam memandangi Ibu. “Kau juga, Jayden. Bertindak tegaslah pada istrimu. Jangan biarkan dia berkeliaran setelah jam makan malam. Ava masih senang bertindak seolah dia masih melajang!” Ibu masih membentak. Benar-benar hebat untuk urusan menceramahiku.

Oh, aku lelah. Pikiranku dipenuhi sosok Neil yang kutinggal begitu saja di kamarnya seorang diri. Bagaimana jika dia membutuhkan sesuatu saat terbangun nanti?

Bagaimana jika suhu tubuhnya makin meningkat naik? Wah, aku tidak bisa membayangkan itu.

“Va ... Ava!” Bentakan Ibu menyadarkanku.

“Ya, Bu?” Aku mengerjapkan kedua mataku, sedikit perih akibat terkena angin yang masuk melalui jendela mobil saat aku menyetir kencang dengan membiarkan kaca mobil terbuka lebar.

“Kau ini! Daritadi apa kau tidak mendengarkan Ibu bicara?”

“Aku dengar, Bu,” keluhku, lelah.

Kulihat Jay bergerak dari duduknya, beranjak, berjalan mendekati Ibu. “Bu ... daritadi Ibu belum duduk. Duduklah dulu ... akan kubuatkan teh lemon dingin untuk Ibu,” ujar Jay, lembut menenangkan. Hebat, dia bisa bersikap seperti itu dengan sempurna.

Ibu menghela napas. Aku tahu Ibuku itu mudah luluh pada Jay. Sejak dulu memang begitu. Ibu mempercayakan diriku sepenuhnya pada Jay. Jadi Ibu akan sering mengganggu Jay dengan panggilan-panggilan berupa pertanyaan atau nasihat pernikahan.

Aneh, untuk hal satu itu, Jay tidak pernah mengeluh padaku. Tidak pun kesal seperti saat Ayahku yang setiap akhir pekan, di hari minggu, meminta Jay pagi-pagi buta datang ke lapangan golf untuk menemaninya bermain.

Ayah dan Ibu, terutama Kakekku, selalu berbahagia untuk pernikahan kami. Bahkan sebisa mungkin, ikut andil agar pernikahan kami selalu bisa menjadi panutan semua orang. Mereka tidak lelah untuk berjaga-jaga, agar tidak ada hal atau noda sekecil apapun dalam pernikahan kami.

Luar biasa! Aku sungguh lelah dengan semua keharmonisan tipuan ini. Sekarang, aku kembali melihat Jay menuntun Ibu yang terus menggerutu berjalan menuju ruang tengah.

Kapan aku bisa bebas? Tidur di ranjang yang hangat bersama Neil yang kupuja.

***

Entah keputusan siapa, akhirnya Ibu menginap di rumah kami dan tidur di kamar Jay.

Aku dan Jay memang selalu berjaga-jaga dengan alasan bahwa kamar tamu itu terkadang dijadikan tempat bekerja oleh Jay, karena kenyataan ada sebagian besar barang-barang Jay di sana saat keluarga dari pihak kami berdua, tiba-tiba datang berkunjung dan melihatnya.

“Kenapa Ibu memilih kamarmu?” Aku berbisik, sangat cemas jika suaraku akan terdengar meski terpisah dinding.

“Aku tidak tahu. Hanya ....” Jay menatapku, lalu menghela napas, tidak tampak dia berniat melanjutkan.

“Hanya apa?” Aku menyikutnya dengan tidak sabar. Pria berengsek ini semakin menyebalkan. Beruntung, sedang tidak ada jalangnya yang datang berkunjung malam ini. Sehingga dia terbebas dari kecurigaan Ibu, dan tentu saja, petaka besar.

“Apa kau yakin ingin mendengarnya?” Kedua alis Jay terangkat. Menambah ketampanannya menjadi berkali-kali lipat. Sekali lagi, meski berengsek, dia memang sangat tampan.

Tapi sungguh! Aku tidak akan terpedaya dengan wajah tampan yang menyimpan akal busuk di dalamnya.

“Seharusnya tidak usah bicara saja sejak awal!” gerutuku kesal. Ingin sekali bersuara keras, tapi posisiku jauh lebih berbahaya jika sampai Ibu mendengar aku berbicara kasar pada Jay.

“Ibu berpikir ada masalah dengan kegiatan ranjang kita,” jelas Jay, setengah bergumam.

“Apa?” Aku melotot, merasakan kedua bola mataku ingin meloncat keluar karena begitu terkejut. Sepersekian detik aku segera sadar bahwa Ibu pasti mulai terpengaruh akan gunjingan orang-orang tentangku yang tidak kunjung hamil.

“Harus kuulangi?” Jay malah balik bertanya dengan wajah kesal. Aku yakin dia sama tidak sukanya dengan hal ini.

“Ini gawat!” Kegelisahan menjadi memenuhi diriku saat ini. Menggigit bibir bagian bawahku dengan rasa bingung. “Apa ... sebaiknya aku berpura-pura hamil saja?”

“Apa maksudmu?” Jay balik bertanya lagi, kali ini giliran kedua matanya yang akan meloncat keluar.

“Kita bisa melakukan itu. Kau boleh memilih siapapun yang ingin kau tanam benihmu, dan aku akan berpura-pura diriku seolah hamil Anakmu. Bisakah seperti itu?” Lambat-lambat aku berkata. Ragu pada ide gilaku sendiri. Itu akan mudah dilakukan diawal, dan semakin sulit dipertengahan, apalagi diakhir.

Ibu tidak semudah itu dibohongi. Sama sepertiku, Ibu terlalu sulit ditipu. Aku sadar, hubungan dengan Neil saja sudah sangat sulit untuk kusembunyikan darinya. Apalagi kehamilan bodoh yang ingin kuciptakan ini.

“Kau masih waras, kan? Aku sedang tidak ingin cari mati, Ava,” bisik Jay. Meneliti wajahku yang masam dan kesal sejak dia menyebutkan masalah ranjang. Ini gila!

“Ibu pasti belum tidur, aku tahu Ibu akan bertindak seperti apa setelah dia menargetkan sesuatu yang dicurigainya.” Kupandangi dinding pembatas diriku dan Ibu dengan perasaan sesak. Aku sulit melawannya. Ibu dan Kakekku adalah dua sosok yang paling sulit kuhadapi.

“Ikuti ideku saja malam ini. Semoga besok pagi Ibu tidak mencurigai kita,” gumam Jay, dia kembali berbisik di telingaku. Aku seakan lupa bahwa posisi kami begitu dekat di atas ranjangku. Bahu kami menempel satu sama lain.

“Apa idemu?”

“Kita pura-pura melakukannya.” Jay menutupi telingaku dengan kedua tangannya, berbisik jelas hingga suaranya membuatku merinding.

“Melakukan ‘itu’?” Sungguh, aku tidak paham bagaimana caranya berpura-pura melakukan kegiatan itu dengan Jay.

“Kau hanya perlu mendesah, begitu juga denganku,” kata Jay lagi, dia terlihat salah tingkah sebenarnya, tapi tidak memperlihatkannya secara terang-terangan padaku.

Ini lucu. Rancu dan menggelikan.

“Sebut namaku di sela desahanmu, begitupun aku. Kita perlu membuat suara-suara dari ranjang. Melakukan sesuatu seperti itu menjadi seolah-olah nyata.” Jay melompat-melompat di atas ranjang dalam posisi duduknya. Aku menahan tawaku, konyol!

“Lupakan. Itu merusak fantasiku tentangmu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status