Aku tersenyum senang, ketika semua persiapan berjalan lancar dan tamu-tamu Ibu mertuaku berdatangan tepat setelah minuman juga makanan pembuka dihidangkan.
Jumlah mereka sekitar sebelas sampai tiga belas orang dengan tampilan yang lebih menonjol dari si pemilik acara. Satu hal yang paling kusukai dari Ibu mertuaku, penampilan yang sederhana, namun tetap terlihat bahwa dia berasal dari kalangan kelas atas.Saat kulihat Ibu mertua sudah sibuk dengan teman-temannya, aku mundur, perlahan-lahan berniat untuk menyelinap karena Neil bisa saja sudah tidak lagi berada di rumahnya. Meski Neil sering terlambat berangkat ke Harrison Express, aku tetap tidak ingin kehilangan kesempatan untuk bertemu.“Sayang ... bisakah kalian ikut bergabung bersama kami?” Suara panggilan Ibu mencegatku, ketika aku bersiap untuk berbalik.Tapi, tunggu, kalian? Aku menoleh ke arah pintu. Ternyata ada sosok suami berengsekku sedang melangkah seraya melambai ke arahku. Ah, sial!Ini pasti ulah Bu Vivian. Tapi apa Jay tidak sibuk? Biasanya dia tidak akan mau keluar di jam kerja, terutama pagi hari seperti ini.“Jay, Ravabia, ke sini sayang,” panggil Ibu. Kali ini dia melambai-lambai dengan cerianya.Aku menggeram dan menghela napas lelah. Jay menghampiriku dengan senyum palsunya. Dia merangkul pundakku sembari berbisik. “Ikuti saja. Aku juga selalu berusaha menyenangkan hati Ayah dan Kakekmu, jika mereka meminta hal-hal seperti ini. Kau ingat kan?”“Tidak perlu kau beritahu, aku ingat. Tapi jauhkan tanganmu dariku saat Ibu tidak melihat,” kataku setengah mengancam.“Baiklah. Aku setuju,” sahut Jay, merapatkan tubuhnya padaku saat Ibu dan beberapa temannya menatap lurus pada kami, terlihat tertarik dan ingin banyak bertanya.Aku berusaha bertahan meski tubuhku menolak terus ditempeli oleh Jay, kulit bertemu kulit, menjengkelkan sekali!“Waah, pasangan terbaik di Madeline,” cetus seorang wanita paruh baya yang terlihat paling ‘ramai’ dengan kilauan berlian di beberapa jari, pergelangan tangan, telinga, dan lehernya. Luar biasa! Jika ditotal, pastinya semua benda itu bisa mencapai milyaran.“Terima kasih, Nyonya Duny,” ucap Jay, mewakili.Aku mengangguk dan kembali tersenyum palsu, menikmati bagaimana Jay memperlakukanku bak Ratu di hari tanpa angin dan hujan. Membukakan kursi, lalu mempersilahkanku duduk, layaknya pelayan yang setia.“Bisa kau lihat, betapa Jayden dapat diandalkan sebagai seorang suami,” bisik seorang wanita lain pada wanita di sampingnya. Sebenarnya tidak mirip bisikan, karena dia bisa membuatku yang berada diseberang meja mendengarnya.Jay menendang pelan kakiku, membuatku tertawa untuk menanggapi bisikan keras dari salah satu teman Ibunya. “Oh, benar sekali, Nyonya. Jay adalah suami yang paling luar biasa bagiku. Semua Ibu begitu menginginkan dia untuk menjadi menantu mereka.” Dengan rasa mual di ujung tenggorokanku, aku melempar senyum ke arah Jay di sisiku.Menyebalkannya Jay menanggapi hal itu dengan mencium pipi kananku. Seketika wajahku memerah menahan amarah, tapi aku hanya tersenyum berpura-pura malu sambil menggenggam tangan Jay, lalu kakiku menginjak perlahan, tapi kuat pada punggung kakinya.Jay meringis, menggenggam semakin erat pada tanganku hingga terasa sangat menyakitkan untukku. Ingin sekali kujambak rambut lebat Jay yang sudah ditata rapi, serta meninggalkan bekas cakaran di wajah menyebalkannya itu.“Kapan kalian akan merencanakan program untuk memiliki bayi?”Pertanyaan itu seketika membuatku tidak senang. Ya, ini merupakan pertanyaan yang selalu kuhindari sejak setahun belakangan. Setahun pernikahan mungkin cukup untuk mengalihkan pertanyaan seputar kehamilan, tapi di tahun kedua, semua semakin terasa mendesak dan menyudutkanku. Tidak adakah pertanyaan yang lain?“Aku dan Ava masih ingin menikmati kebersamaan dan kemesraan kami seperti ini, Nyonya Plum,” jawab Jay, tersenyum lembut pada wanita yang terlihat paling tua di antara semua tamu yang diundang Ibu mertua.Wanita itu terkesima, menatap dengan pandangan kedua mata yang berbinar haru. Adakah pria sekaligus suami terbaik selain Jayden Martin baginya? Oh, dia terpesona dengan cepat oleh ucapan Jay yang berbisa bersama penampilan sempurnanya.“Terima kasih, sayang. Kau suami terbaikku,” ucapku lirih sembari menyandarkan kepalaku di bahu Jay dengan sikap mesra yang dibuat-buat.Jay mencium punggung tanganku, lembut. “Ya sayang, aku mencintaimu.”“Aku juga,” jawabku tidak kalah lembutnya.Suasana seketika riuh dengan tawa dan decak kagum para tamu, termasuk Ibu mertuaku. Ada senyum bangga yang terukir di wajah dengan kerutan halus milik Bu Vivian. Dia pasti berbangga hati pada Putra tunggal yang dimilikinya. Sangat bisa diharapkan.Aku terus dalam posisi seperti ini karena sadar beberapa tamu Ibu mertua mengambil foto kami berdua, dan tujuannya hanya satu, membagikannya ke sosial media.Bukan hal pertama bagi kehidupan rumah tangga sialan ini. Kami terbiasa, sangat terbiasa menjadi bahan perbincangan di media sosial yang kenyataannya, bukan aku atau Jay pelaku dari sebar menyebar foto-foto menggelikan itu.Masyarakat Madeline begitu mencintai keluarga Martin, setahuku, sejak Kakek Hamlet berada dipuncak kejayaannya dulu, dia senang berbaur dan berbagi pada masyarakat Madeline.Dan hal itu turun temurun dilakukan oleh generasi setelahnya, Kendrick—Ayah Jay—dan Putra tunggalnya, Jayden.Sehingga tidak perlu heran jika semua masyarakat berlomba-lomba membanggakan seorang Jayden yang mereka puja.Karena berstatus sebagai istri Jay, aku jadi harus ikut terseret arus ini. Mau tak mau aku sudah siap dan terbiasa. Anehnya, tidak pernah ada berita buruk tentang Jay yang tersebar luas, seolah semua keburukan Jay tidak ada, hanya angin lewat yang bertiup di musim panas.Setelah satu jam lebih sebelas menit, Jay pamit membawaku pergi dari perkumpulan para tamu Ibunya dengan alasan ingin mengantarku pulang dan makan siang bersama di rumah.“Aku lebih suka makan siang berdua saja dengan istriku jika ada kesempatan seperti ini,” kata Jay, saat Nyonya Plum sempat mencegah kami pergi dari sana.Bu Vivian terlihat tidak berniat untuk mencegah kami. Justru dia menegur Nyonya Plum untuk segera memiliki menantu cantik dan baik sepertiku, agar Anaknya—Vicky—juga bisa makan siang bersama seseorang yang dicintai.Saat tiba di parkiran dan suasana sepi, aku langsung melepas tanganku yang mengamit lengan Jay.“Cantik dan baik,” cetus Jay, terbahak. Aku tahu dia menyindir, sebentar lagi dia akan kembali menghinaku.“Itu artinya kau tidak menghargai pendapat Ibumu,” sahutku sembari sibuk mencari ponsel di tas. Aku tahu sejak tadi pasti Neil mengirimi pesan seperti biasa. Percakapan via chat yang hangat di sepanjang hari.“Tidak begitu. Aku hanya merasa lucu saat kita selalu berhasil menipu orang-orang. Terutama keluarga besar kita.”Setelah ponsel kudapatkan, aku menatap Jay yang berdiri di depan mobil, melipat kedua tangan di depan dada sambil mengawasiku. “Jika memang bisa, sesuai apa katamu setahun lalu, kita bercerai dengan saling meyakinkan Kakek masing-masing tentang pernikahan yang gagal ini.”Jay menggeleng, “Tidak semudah itu.”“Aku tahu, tapi jika bisa diusahakan, kenapa tidak kita coba. Kau dan aku tidak akan pernah tahu batas umur seseorang. Bisa jadi, aku akan mati lebih dulu dari keduanya sebelum sempat bahagia.”“Omong kosong! Kakekku tidak akan setuju. Jadi lupakan tentang apa yang pernah aku usulkan padamu waktu itu,” kata Jay, berjalan mengitari mobil, membuka pintu dan masuk.Begitupun aku. Walau ingin marah dan berniat terus membujuk Jay, aku merasa pembicaraan ini tidak akan menghasilkan apa pun. Jadi lebih baik aku bergegas menuju mobilku sendiri, dan pergi menemui Neil. Tapi sebelum sempat membuka pintu, tangan kekar Jay menahannya.“Kenapa kau tidak ikut bersamaku saja? Tidak sadar bahwa ini akan menimbulkan kecurigaan?”Aku mendengus kasar, tertawa mengejek, “Sejak kapan kau peduli?”“Karena ada Ibuku di dalam. Aku hanya tidak ingin menambah masalah.” Jay menoleh ke kiri dan kanan.Ya, baiklah. Sedikit masuk akal. Tapi sebelumnya dia tidak pernah seperti ini. Aku mengikuti Jay ke mobilnya, memeriksa ponsel setelah duduk dan membaca semua pesan Neil yang berisikan sapaan juga pemberitahuan.[Sayang, aku sarapan sandwich hari ini, sedikit asin karena terlalu banyak keju. Apa sarapanmu
“Istri macam apa yang berkeliaran di jam malam seperti ini?” Ibu langsung menyerangku dengan cercaan menusuk saat kedua kakiku melangkah di ruang tamu. “Apa temanmu yang sakit itu tidak punya keluarga sampai kau harus menjaganya dua puluh empat jam?”Aku memandang Ibu dengan wajah malas. “Ibu salah informasi. Aku tidak menjaganya selama itu ...” Aku menoleh pada Jay yang duduk diam dengan wajah bingung. Apa-apaan dia, kutatap Ibu kembali, “aku baru beberapa jam di sana, sejak tadi siang. Dia hidup jauh dari keluarganya. Jadi aku—”“Ah, hentikan! Itu hanya alasanmu, Ava!” Dengan telunjuk mengacung, kedua mata Ibu mendelik marah padaku. “Sejak kapan kau memiliki teman lain selain Britta dan Sully?”Aku diam, tidak berniat menjawab, menoleh lagi pada Jay. Benar, aku hanya memiliki dua teman baik selama hidupku, tapi keduanya bisa langsung menusukku dari belakang dengan mengencani suamiku.Meski pria itu Jay, yang hampir tidak pernah kuanggap sebagai suami selama kami menikah, tetap saja,
“Fantasimu tentangku? Hei, apa kau memiliki hal itu di pikiranmu?” Jay tampak menahan diri di antara ingin mengejek dan menertawaiku.“Bukan seperti yang kau pikirkan!” Kulempar bantal ke wajahnya.Mengernyit marah, dia mengambil bantal yang jatuh di pangkuannya dan balik melempar tepat mengenai kepalaku.Entah kapan dimulai, kami berdua mulai saling lempar bantal tanpa suara. Tiba-tiba Jay mendekat dan menindihku. Membuatku terkejut tapi tidak dapat melakukan apapun.Jika aku berteriak atau mengumpat padanya, Ibu jelas akan bangun dan memarahiku. Sudah dapat kupastikan sejak awal menikah, Ibu lebih berpihak pada Jay daripada diriku putrinya sendiri.Mungkin Ibu masih menganggap aku akan menyakiti hati Jay—si suami idaman—karena kami dijodohkan oleh para Kakek. Tampak jelas di mata serta sikapku yang menolak perjodohan kami waktu itu, dua tahun yang lalu. Aku yakin, Ibu mulai berasumsi sendiri tentang ketidaksukaanku pada Jay.“Kita berpura-pura saja atau langsung melakukannya?” bisik
Aku bergeser pelan, tanpa suara bentakan atau hardikan untuk Jay. Aku benar-benar merasakan kecanggungan sentuhan serius darinya.Perlu diingat, kami hampir tidak pernah menjurus ke arah berbau seksual, selain dari kontak fisik untuk saling menolak, atau keberatan terhadap sesuatu.Bahkan saat dia masuk ke kamar mandi di saat aku sedang berendam dibalik busa, kami sama sekali tidak saling tertarik untuk melakukan hal yang lebih dari itu.Untuk menanggapi Jay, aku melakukan hal seperti menendangnya jika dia masuk tanpa izin ke kamarku, terbiasa menepis tangannya saat dia menghalangi jalanku, atau menepuk pundaknya jika ingin membangunkan dia yang tertidur di ruang keluarga.Hal-hal seperti itu dan sama sekali tidak pernah menimbulkan hasrat apapun di antara kami. Itu aneh? Tidak juga. Jay jarang pulang dan lebih sering membawa jalangnya ke sini. Meski belakangan sudah cukup jarang terjadi, tapi itu tidak memudarkan penilaianku tentangnya yang maniak seks, sering main gila di luar itu m
“Aku menginginkanya lagi.” Bisikan serupa angin dingin berhembus di telingaku, ketika pertama kali membuka kedua mata.Kesadaran paling penuh yang kulewati semalaman memang hampir tidak ada. Tapi aku ingat bagaimana kami melakukannya berulang kali seolah tanpa ampun, apalagi jeda.“Hmm?” Pura-pura bodoh, aku meraba-raba meja samping untuk mencari ponsel.“Kau kehabisan daya di ponsel-mu, jadi aku mengisinya,” kata Jay. Aku menoleh ke arahnya dan melihat dia menunjuk ke meja kecil tempat biasa aku meletakkan ponsel jika sedang disi daya baterai.Membulatkan bibir, aku mengangguk mengerti dalam kecanggungan yang tampak seperti hanya aku seorang yang mengalaminya.Jay bertingkah santai menopang kepalanya di atas telapak tangan, seolah menggoda dengan posisi berbaring miring menghadap ke arahku. “Tidak bisakah kau mengabulkan keinginanku?”Mendadak kikuk, aku berdeham. “Aku ... aku harus pergi memeriksa tempat untuk besok.” Menyibak selimut, aku hampir terpekik karena tidak ada gaun tidur
“Mau kuantar?”Aku melirik sekilas pada Jay yang berdiri dengan ponsel di tangan, di ambang pintu kamarku. Aku kembali lagi ke sini setelah tadi sudah berada di dalam mobil—siap berangkat—karena lupa membawa kotak berisi cincin pernikahan kami, aku dan Neil tentunya.Sial! Bisa-bisanya benda itu tidak ada di laciku. Aku ingat semalam masih memandanginya sebelum tidur. Tapi lupa apa yang terjadi setelah itu.“Bisa bantu aku mencari kotak cincinku?”Jay tiba dengan cepat sebelum aku sempat mendengar jawabannya. Sekarang dia sedang memeriksa bagian bawah ranjang, lalu beralih menuju lemari pakaianku.Aku juga melakukan hal yang sama di sampingnya.“Kotak dengan warna apa?”“Hitam beledu.”Beberapa menit dia sibuk dengan isi lemari pakaianku.“Tidak ada,” katanya. Dan aku yang mematung menunggu, seketika panik. “Jay, bagaimana ini?” Spontan aku malah bertanya pada pria yang setelah hari ini, sudah siap menerima pembagian waktu dengan Neil.“Masalah cincin bukan perkara serius. Jika terus
Seperti ucapan Neil, kami menghabiskan waktu dengan menikmati kegiatan menyenangkan di luar penginapan sambil mendengar suara binatang-binatang malam yang terdengar memecah hening.Tapi bagiku, terdengar lucu dan menghibur.Senja tadi, aku habiskan dengan terisak sambil menerima sesendok demi sesendok makanan yang disuapi Neil ke dalam mulutku.Di mana lagi ada pria sebaik dan setulus dirinya?“Setelah ini, kita coba lagi ya?” Kuamit lengannya. Memutuskan untuk berusaha daripada menyerah dan merasa bersalah.Sambil terus melangkah, Neil mengusap puncak kepalaku. “Baiklah, aku ingin kau melakukannya dalam keadaan tenang, tanpa perasaan terbebani.”Walau mungkin akan sulit karena aku sendiri tidak paham di mana letak kerisauan dan ketidaktenangan diriku, aku coba mengangguk paham.Belum juga jam sepuluh malam, aku sudah mengeluh lelah dan beralasan ingin kembali ke penginapan.Tujuanku sebenarnya hanya satu, ingin memberikan diriku pada Neil setelah kami resmi menikah.Dia sudah bersaba
“Kau ragu padaku?” Giliranku yang tertawa. “Tidak, bukan begitu, Bia. Ini tidak semudah yang kau pikirkan.”“Aku tahu. Tapi daripada menunggu dengan tidak pasti begini, bukankah sebaiknya kita berusaha dulu sebelum menyerah?” Setelah menghela napas dan menggeleng-geleng kepala seperti tidak habis pikir, Neil memutuskan untuk setuju pergi kebelakang penginapan guna mencari kandang hewan ternak bersamaku.Di sisi kanan tidak ada jalan atau lahan kosong, karena ada sebuah penatu yang dindingnya langsung menempel di bagian kanan bangunan penginapan.Jalan satu-satunya menuju ke belakang hanya melalui lahan di sebelah kiri yang cukup untuk dilewati beberapa orang ini.Sebenarnya, kami bisa saja ke belakang melewati dapur, tapi menurut Neil, tidak ada pintu keluar di dapur pemilik penginapan, hanya ada beberapa jendela. Itupun tidak dibuka.Neil sudah tahu itu karena sore tadi sempat memesan dan mengambil sendiri makanan dari dapur.“Pemilik penginapan seperti kekurangan tenaga pekerja. D