Ayra sedang fokus memilah setumpuk laporan keuangan yang sudah diberi oleh Pak Toni. Jika mulai berkutat dengan deretan angka-angka, pikiran Ayra tidak bisa beralih pada hal lain hingga berjam-jam. Dia sangat suka meneliti dan memecahkan soal selisih hitungan.Di hadapannya adalah laporan keuangan perusahaan dalam tiga tahun terakhir. Semua disiapkan dengan sangat lengkap dan rinci. Setiap detail mulai nota, kwitansi, jurnal, berita acara dan keseluruhan rekapitulasi laporan keuangan telah dicetak hingga ratusan lembar untuk setiap tahunnya. Ayra tidak menganggap itu beban, dia justru sangat bersemangat ingin memecahkan misteri adanya kecurigaan. Dia membaca dan memilah setiap detail. Menandai dan menulis catatan kecil pada setiap lembar. Lalu mengelompokkan semuanya dalam beberapa tumpukan.Pintu dan tirai ruangan sudah dia tutup rapat. Dia juga membisukan notifikasi ponselnya. Segelas besar susu coklat favoritnya dan sepiring kue juga telah disiapkan untuk amunisi. Ayra sama sekali
Pagi ini setelah mengantar kedua putrinya ke sekolah, Fujia juga telah selesai mengemasi semua barang-barangnya. Dia akan pindah hari ini ke rumah baru yang telah dipinjamkan oleh Ayra.Fujia menatap semua barang yang sudah dikemas rapi dan baru tersadar ternyata selama ini dia dan Fatih tidak punya barang berharga apapun selain pakaian, kipas angin dan lemari baju. Barang-barang elektronik lain yang sebenarnya dibeli oleh dirinya dan suaminya tidak akan dibawa. Biarlah semua barang itu tetap dirumah ini menjadi milik ibunya. Toh, di rumah baru, semua barang itu sudah lengkap tersedia bahkan jauh lebih bagus dari yang ada di rumah ini. "Sudah selesai, Dek?" Fatih masuk ke dalam kamar dan bertanya pada Fujia. "Sudah, Mas. Cuma ini aja." Fujia menunjuk pakaian yang sudah rapi terbungkus dalam beberapa kardus besar. "Kasur itu milik ibu. Jadi nggak perlu dibawa." dia melirik ke arah kasur di sudut ruangan."Iya nggak apa-apa. Nanti biar aku kerja lebih rajin buat nambah tabungan beli
"Jadi, intinya mereka minta kantorku jadi konsultan hukum untuk beberapa proyek yang akan mereka jalani." Nesya berkata sambil membaca lembaran kontrak yang baru saja dikirim oleh assistennya. "Agak lucu." Ayra menanggapi santai. "Iya, aku juga mikir begitu." Nesya melempar asal map yang dipegangnya ke atas meja dan bersandar pada sofa. Dia menyilangkan tangannya di depan dada dan mengerucutkan bibir. "Perusahaan sebesar Bimantara Group pasti sudah punya departemen hukum yang kuat. Dan kenapa malah baru sekarang mengajukan ini ke kantormu?" Ayra menatap Nesya. "Padahal ada kantor papa, dan juga kantor hukum lain yang lebih besar dari ini. Jadi makin aneh kalo dipikirin." Nesya menatap sinis map milik Bimantara Group di atas meja tersebut. "Gimana kalau kamu minta pendapat Om Doni aja? Mungkin dia bisa paham dan kasih saran yang baik buat masalah ini." "Huh, papa pasti menyindirku. Mentang-mentang kantorku kecil dibanding perusahaanmu, emang aku bakalan mau ketipu sama rencana
Ayra tertegun sejenak memandang Revan. Lelaki yang masih berstatus suaminya itu juga menatap ke arahnya. Lalu berjalan mendekat dan duduk di kursi sebelah Ayra. Ayra langsung mengalihkan pandangannya lurus ke depan. Dia menegakkan tubuhnya menghadap hakim yang telah siap memulai persidangan. Setelah itu, Ayra tidak pernah menoleh ataupun melirik lagi ke arah Revan. "Baik, selamat pagi. Kita mulai persidangan hari ini." hakim mengetuk palu. Selanjutnya hakim membacakan isi gugatan yang telah diajukan oleh pihak Ayra dengan jelas. Merinci semua sebab yang menjadi alasan Ayra untuk mengajukan perceraian. "Saudara tergugat, apakah benar yang dituduhkan oleh saudara penggugat, bahwa anda telah melakukan perselingkuhan dan juga kekerasan dalam rumah tangga?" hakim ketua bertanya dengan tegas kepada Revan. "T-tidak pak. Itu saya khilaf. Untuk kekerasan, saya tidak melakukannya pak." Revan mencoba menyangkal. "Saudara penggugat, apa anda mempunyai bukti untuk menguatkan tuduhan anda?" h
"Dadah mami." Arzha dan Zetha kompak melambaikan tangan pada Ayra yang mengantar mereka ke sekolah hari ini. Mereka berjalan ceria masuk ke halaman sekolah. Ayra membalas lambaian tangan mereka dengan tersenyum lebar sampai kedua anaknya tidak terlihat lagi. Lalu Ayra berbalik dan berjalan ke tempat mobilnya terparkir. Setelah masuk, dia mencari ponselnya dan melakukan panggilan pada Fujia."Halo dek, Assalamu'alaikum." tak perlu menunggu lama, terdengar suara Fujia di seberang. "Wa'alaikumsalam. Mbak, aku sudah dapat rumah kontrakan buat mbak. Kalo mbak ada waktu kita bisa ketemu langsung disana sekarang. Gimana?" Ayra langsung mengutarakan maksud dan tujuannya. "Beneran? Iya, boleh. Kamu kirimkan aja alamatnya, biar mbak langsung berangkat kesana sekarang." Fujia terdengar sangat antusias. "Oke, aku chat ya. Kita ketemu disana. Mumpung aku juga udah di jalan ini.""Iya, Dek."Ayra segera menutup telepon. Dia menuliskan sebuah pesan berisikan sebuah alamat kepada Fujia lalu memas
Abrar telah sampai rumah pada saat hampir gelap. Dia langsung masuk dan berjalan ke arah kamarnya. Keadaan hatinya sedang sangat baik hari ini. Dia hanya ingin pulang dan beristirahat dengan cukup. Nenek Wanda sedang duduk membaca buku di ruang tengah saat Abrar datang. Dia memperhatikan tingkah cucunya yang tidak biasa. Bibirnya ikut tersenyum. Abrar sejak kecil diasuh sendiri oleh Nenek Wanda. Kedua orang tua Abrar meninggal bersamaan dalam kecelakaan saat dia masih berusia 7 tahun. Saat itu bisnis yang dijalankan mereka sedang dalam keadaan sangat baik. Tapi takdir malah menginginkan yang lain. Akhirnya sejak saat itulah Nenek Wanda yang mengurusnya. Nenek sudah menjadi sosok ibu dan ayah untuk Abrar. Nenek yang paling paham semua kondisinya. Jadi tidak heran, hanya nenek yang bisa langsung menebak bagaimana suasana hati Abrar saat ini."Tumben sudah pulang?" Nenek menyapa setelah meletakkan kacamata dan bukunya di meja. "Nenek? Maaf aku nggak sadar ada nenek disini." Abrar sed