"Yang warna apa sih emangnya?" Parmi bertanya dengan polosnya.
"Biru, abu-abu, kuning, merah, ya pokoknya warna warni," terang Anton dengan gusar.
"Kayak pelangi ya, Pak, s*mpaknya," celetuk Parmi sambil terkekeh lagi. Ia melanjutkan kembali menjemurnya, seakan tidak terjadi apa-apa, padahal Anton sedang menunggu jawabannya, kemana semua dalaman yang biasa ia pakai?.
"Parmi, yee ... malah lanjut jemur, ini s*mpak saya mana?" Duh gue jadi sampak s*mpak dah nih ngomong sama pembantu budeg. Anton bermonolog.
Parmi tidak mendengar, masih lanjut menjemur.
"Parmi!" pekik Anton lagi, habis sudah pahala puasa ia hari ini. Emosi tingkat dewa berhadapan dengan Parmi. Parmi menoleh.
"Apaan sih, Tuan?"
"Ya Allah, s*mpak saya, saya mau ngajar. Cepat ini tolong carikan!"
"Yang gini ya?" Parmi mengangkat s*mpak basah bewarna abu-abu.
"Iya itu." Anton mengangguk.
"Ya udah ini." Parmi hendak memberikan sempak basah pada Anton, lewat jendela.
"Ya jangan yang basah Parmi, yang kering dong."
"Enak tau, Tuan, dingin," sahut Parmi sambil mencoba memberikan s*mpak basah abu tadi kepada Anton.
"Bodo ah!" Anton menggerutu, meninggalkan Parmi yang masih terbengong di depan jendela kamar Anton.
"Tadi nanyain s*mpak, dikasih yang bersih, masih wangi lagi. Malah gak mau. Aneh!" Parmi mencebik. lalu melanjutkan kembali aktifitas menjemurnya.
Anton mengetuk pintu kamar Bu Rasti dua kali. Pasti Mamanya masih di kamar, sedangkan sang papa sudah berangkat dari jam enam tadi.
"Ma," panggilnya.
"Iya sebentar," sahut Bu Rasti dari dalam kamar. Lalu dengan cepat membukanya.
"Ada apa?" Bu Rasti sudah rapi dengan seragam PNS, bersiap untuk berangkat ke KUA, kantor tempat ia bekerja.
"Ma, pinjam celana dalam Papa."
Kening Bu Rasti mengkerut. "Loh, emang punya kamu ke mana?" tanya Bu Rasti heran, Bu Rasti masuk ke dalam kamar yang diikuti oleh Anton.
"Saya tanya Parmi katanya ga tau. Ck, pegel ngomong sama Parmi, Ma!" Anton merengut kesal.
"Ya udah itu pilih aja di sana, semua Parmi rapikan di laci itu."
"Ma, Mmm...rencana Mama menikahkan saya dengan Parmi, cancel aja bisa ga, Ma?" tanya Anton ragu-ragu.
"Emangnya taksi online," sahut Bu Rasti sambil terkekeh.
"Eh iya deh, Parmi itu ibarat taksi, bampernya gede, kayak Bulan. Ya kan?" ledek Bu Rasti lagi. Kali ini wajah Anton berubah masam. Mamanya kembali mengingatkan ia akan Bulan, mantan istri yang ia campakkan.
"Udah, ga usah terlalu dipikirin, tinggal ijab qobul, telanjangin, biar cepat jadi anak!"
"Astaghfirulloh, Mama, bulan puasa ngomongnya gitu!" protes Anton yang tidak suka dengan ucapan Mamanya barusan.
Bu Rasti terbahak. "Kasian, udah lama ga nelanjangin perempuan!"
"Ma." Anton menutup kedua telinganya. Lalu dengan cepat membuka laci pakaian salam kedua orangtuanya. Matanya melotot, tatkala melihat jejeran sempak miliknya tertata rapi disana.
"Lah ini punya saya semua, Ma," ucap Anton pada Mamanya yang kini tengah memakain peniti di jilbabnya. Bu Rasti mendekati Anton yang mengambil satu persatu pakaian dalamnya.
"Oh, Parmi salah taruh kalau gitu!"
"Ya udah sana bawa semua, ingatkan Parmi yang mana saja dalaman punya kamu! Mama duluan ya." Bu Rasti mengambil tasnya, lalu keluar kamar meninggalkan Anton yang tengah mengumpulkan pakaian dalamnya.
Anton kembali ke kamarnya, membawa sepuluh sempak dan lima kaos dalam, miliknya. Yang ditaruh Parmi di laci pakaian orangtuanya.
"Parmi, sini!" Anton melihat Parmi melintas sambil membawa ember cucian. Wanita itu menoleh dan berjalan ke arah Anton. Tubuhnya berpeluh keringat, kaosnya basah sedikit di bagian dada, sehingga terciplak. Anton memicingkan kedua matanya saat melihat pemandangan pakaian Parmi.
"Dah ... nanti saja deh!" Anton bergegas masuk ke dalam kamar, mengusap dadanya, kakinya pun ikut gemetar. Ya Allah ujian banget tinggal di rumah Mama ini. Parmi menatap aneh anak majikannya yang sudah lanjut usia itu. Kepalanya berkali-kali menggeleng. Lalu berlalu dari depan kamar Anton menuju kamarnya, Parmi pun bersiap-siap ingin mandi.
Lima belas menit kemudian, Anton sudah rapi dengan pakaian kemeja kotak-kotaknya, serta celana bahan bewarna hitam. Anton duduk di depan TV sambil memasangkan kaos kaki.
Telinga Anton menangkap suara isakan tangis. Anton celingak celinguk keheranan. Dari mana suara itu berasal? Tiba-tiba Anton merinding, apakah rumah mamanya ini ada penghuninya? Kenapa jadi menyeramkan seperti ini rumahnya? Anton mencoba mencari asal suara isakan tersebut.
"Parmi," panggilnya dengan ragu-ragu. Namun tak ada sahutan. Duh lupa gue, pembantu gue budeg. Anton kembali bermonolog. Anton berjalan ke kamar belakang, yang bersampingan dengan gudang. Suara isakan itu semakin jelas terdengar.
"Iya, Bu, Parmi ikhlas. Parmi tidak berjodoh dengan Mas Agung." Parmi kembali terisak, berbicara di ponselnya. Tak lama Parmi menatap ponselnya, ada foto pernikahan lelaki yang ia cintai sudah tiga tahun ini. Lelaki bekerja di pabrik rokok, dekat tempat tinggalnya.
Parmi mengusap air mata yang terus mengalir. Pantesan satu pekan ini, telpon dan pesan Parmi tidak diangkat oleh pacarnya di kampung. ternyata pacarnya menikah dengan sepupu Parmi sendiri. Anton diam-diam mengintip.
"Parmi," panggilnya lagi. Ia ingin memastikan bahwa suara tangisan itu berasal dari Parmi.
Tok
TokAnton mengetuk pintu kamar Parmi sambil memanggil namanya.
Pintu kamar Parmi terbuka. Wanita itu menunduk. Rambutnya yang basah masih tertutup handuk yang digelung ke atas."Ada apa, Tuan?" tanyanya dengan suara serak.
"Saya dengar suara tangisan, saya kira siapa? Ternyata kamu."
"Bapak kira kuntilanak nangis, gitu?" tanya Parmi dengan polosnya.
Anton memijat pelipisnya, disaat menangis pun pembantunya ini terlihat konyol.
"Kenapa? orang tuamu sakit?" tanya Anton simpati, karena Parmi masih saja terisak berdiri di depan Anton. Parmi menggeleng.
"Trus?" Anton semakin penasaran.
Tak percaya tapi ini terjadi
Dia bersanding duduk di pelaminan
Air mata jatuh tak tertahankan
Dia hianati cinta suci ini
(Tenda Biru _Desi Ratnasari)
Parmi bernyanyi dengan suara merdu di depan Anton. Anton hanya bisa melongo, seperti dihipnotis. Apa-apaan wanita ini pikirnya. Malah bernyanyi.
"Ditanya kok malah nyanyi sih?"
"Itu lagu Desi Ratnasari," terang Parmi.
"Iya saya tahu, yang bilang itu lagu Agnes Monica siapa?"
"Bukan Agnes Monica, Tuan, tapi Desi Ratnasari," terang Parmi lagi. Air matanya sudah berhenti mengalir.
"Iya, saya bukan nanya penyanyinya siapa? Duh ... iiihh ..." Anton meremas tangannya. Bolot ini, bolot!
"Saya tanya kamu kenapa nangis? Parmi!" ucap Anton dengan gemas.
"Oh ... hiks." Parmi kembali menangis. Ia mengambil ponselnya dan menunjukkan foto pasangan pengantin disana.
"Siapa ini?" tanya Anton pada Parmi.
"Presiden," sahut Parmi.
"Hah!" Anton kaget.
"Ya pacar saya, Tuan, masa presiden!"
"Itu yang laki-laki loh ya pacar saya, bukan yang perempuan," ucap Parmi lagi dengan polosnya. Anton menyeringai menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Anton kembali melihat ponsel Parmi, wajah pengantin lelaki itu masih muda dan cukup tampan.
"Jadi kamu ditinggal kawin?" tanya Anton sambil menyerahkan kembali ponsel Parmi.
"Nggak, saya belum pernah kawin, Tuan, benar. Saya masih orisinil atas bawah depan belakang," sahut Parmi
"Tuan bisa cek fisik," ucapnya lagi.
"Duh, emangnya mau ganti plat nomor pake segala cek fisik," gumam Anton sambil terus berusaha menahan senyumnya.
"Maksud saya bukan kawin itu, Parmi. Nikah maksudnya."
"Oh, itu iya. Saya ditinggal nikah, dia nikah sama sepupu saya," ucap Parmi sedih.
Anton mengangguk paham.
"Bagaimana kalau kamu nikah sama saya aja?"
*****
Empat bulan berlalu semenjak kejadian tragis itu. Berdasarkan pasal 340 KUHP, barang siapa yang sengaja dengan rencana terlebih dahulu, yang bisa mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, maka pertanggung jawabannya adalah hukuman mati atau penjara seumur hidup, atau paling lama dua puluh tahun. Hakim memutuskan, Safira akhirnya dihukum dua puluh tahun penjara, sedangkan bik Isah dihukum selama lima belas tahun.Parmi yang masih merasa sangat khawatir, memilih mengajak ibu dan tetehnya untuk tinggal bersama. Suatu keharuan tersendiri bagi Parmi. Saat suaminya memberikan kunci rumah baru untuk Parmi. Rumah yang sudah ia beli dengan kerja kerasnya. Kini ia berikan atas nama Parmi, istrinya.Anton juga mendatangkan seorang lagi saudara Parmi yang bisa membantu untuk menjaga si kembar."Apa?teteh pacaran dengan mas Iqbal!" pekik Parmi tidak percaya, saat Parni membisikkan sesuatu di telinga Parmi."Huuusstt....jangan denger Anton, teteh malu." Parni menu
Parmi menangis sejadi-jadinya di depan ruang NICU, ketiga bayi kembarnya tidak sadarkan diri, setelah keracunan obat yang mengandung obat tidur. Bahkan Parmi pingsan hingga dua kali. Betapa hancur hatinya melihat di tubuh ketiga puterinya, dipasang alat. Untuk membantu mereka tetap bernafas dan membantu mereka mengeluarkan racun dari dalam tubuh.Bu Rasti yang baru saja tiba, ikut menangis hingga terduduk di lantai tepat di depan ruang NICU. Ia sangat kaget, saat ditelepon oleh bibik, kalau si Kembar mengeluarkan busa dari dalam mulutnya. Bu Rasti yang saat itu sedang ada rapat dengan Kementrian Agama, meninggalkan ruang rapat begitu saja. Kakinya serasa tidak menapak, pikiran buruk berkecamuk di kepalanya. Ia tidak sanggup jika harus kehilangan cucu kembar tiganya."Mamah, anak saya, Mah," lirih Parmi dengan lemah menghampiri ibu mertuanya. Mereka berpelukan erat."Kenapa bisa seperti ini, Mi?""Ada yang sengaja memasukkan obat tidur ke dalam badan
Hari ini, Parmi dan Bu Rasti membawa Angkasa, juga si kembar pergi bermain ke Taman Margasatwa Ragunan. Bik Isah dan bibik tentu saja diajak. Sedangkan Anton tidak bisa meninggalkan kelas, karena sedang mengawas mahasiswa yang sedang ujian.Angkasa nampak antusias, melihat aneka hewan disana. Bahkan seolah tiada lelah, ia berlarian kesana-kemari agar cepat sampai dari satu kandang ke kandang lainnya. Angkasa sangat senang, saat berada di depan kandang gajah. Ada empat ekor gajah besar disana. Dan satu ekor gajah berukuran lebih kecil. Angkasa mengambil foto hewan-hewan tersebut dengan ponselnya. Ia juga memotret Parmi, nenek dan ketiga adiknya.Foto-foto keseruan disana, Angkasa kirimkan kepada mommy dan juga papanya. Eh iya, kepada daddy Xander, ayah sambungnya juga ia kirimkan fotonya."Bibik, kenapa?" tanya Angkasa saat tanpa sengaja melihat bik Isah memegang hidung Andrea.Bik Isah yang memang kebagian menggendong Andrea, karena Andrea tidak mau
Hujan rintik-rintik membasahi tanah pedesaan. Air mulai menggenang di selokan tanah yang berlubang. Harumnya begitu memesona, karena bercampur aroma daun segar yang ikut tersapu air hujan. Parni masih fokus dengan kegiatan merajutnya. Sesekali ia tersenyum malu-malu, sambil melirik ponselnya. Sepertinya ia sedang menunggu pesan dari seseorang.Ting! ting!Parni kaget, bahkan benang rajutnya yang bewarna merah itu, terlempar ke lantai rumah. Bunyi pesan masuk berbunyi, wajah Parni tampak gembira. Dengan cekatan, ia membuka pesan yang masuk.["De Parni sedang apa?ganggu ga kalau saya telpon."]Parni mesem-mesem, wajahnya pun merona bahagia. Apakah ia jatuh cinta?Ragu Parni mengetik balasan pesan dari seseorang itu. Ponsel masih ia genggam dengan tangan sedikit berkeringat. Jujur setelah luka lama yang menganga bertahun-tahun lalu, baru kali ini ia coba membuka hati."Udah sana masuk kamar, kalau mau teleponan!" Bu Parti tersenyum menggoda Parni
Parmi dan Anton sudah berada di bandara. Menunggu kedatangan penerbangan dari Belanda. Anton dan Parmi sudah tidak sabar melihat Angkasa. Sedari turun dari mobil, Parmi dan Anton selalu bergandengan tangan. Persis pasangan yang sedang dimabuk asmara. Anton juga tidak jengah sesekali mencium kepala Parmi."Jangan dicium terus rambutnya, Mas!" rengek Parmi, merasa cukup jengah dengan tingkah alay suaminya."Kenapa sih, Sayang? Wangi kok rambutnya," sahut Anton, sambil memegang rambut panjang Parmi."Ntar kutunya nempel di bibir, baru tahu rasa!" Anton menelan salivanya, cepat ia meraba bibirnya. Merasa kurang puas, ia mengambil ponselnya lalu membuka menu kamera depan. Ia bercermin dari layar ponselnya, memeriksa kembali bibirnya. Apakah ada kutu rambut yang menempel di sana? Tapi sepertinya tidak, bibirnya masih terlihat segar dan sedikit bengkak, efek digigit oleh Parmi.Anton bergidik ngeri bila nengingat semalam, betapa ganas istrinya. Kopi yang i
Parmi keluar dari kamar, sayup-sayup ia mendengar suara ibu mertuanya seperti sedang berbicara di teras. Ia berjalan menghampiri dan melihat ada siapa disana."Eh, Parmi sini, Nak." Bu Rasti menepuk kursi kosong di sampingnya, bermaksud agar Parmi ikut duduk. Parmi menurut, duduk di samping ibu mertuanya.Wanita paruh baya yang sedang duduk di lantai. Memerhatikan gerak gerik Parmi dengan seksama, sambil menyunggingkan senyum tipis."Ini, Mi. Kenalkan ibu Isah namanya, dia sedang mencari pekerjaan. Jadi mama menawarkan untuk menjaga si kembar. Bagaimana kamu mau?" bu Rasti memperkenalkan ibu yang sedang duduk di lantai pada Parmi."Emang Ibu rumahnya di mana?" tanya Parmi dengan ramah."Keluar komplek ini gang sebelah kanan, Non.""Oh deket ya, jadi ilIbu nginep apa pulang pergi kerjanya?""Saya datang pagi, lalu pulang malam. Sehabis magrib.""Bagaimana Parmi, boleh ibu ini membantu?kasian dia sedang butuh pekerjaan." Bu