Hujan rintik-rintik membasahi tanah pedesaan. Air mulai menggenang di selokan tanah yang berlubang. Harumnya begitu memesona, karena bercampur aroma daun segar yang ikut tersapu air hujan. Parni masih fokus dengan kegiatan merajutnya. Sesekali ia tersenyum malu-malu, sambil melirik ponselnya. Sepertinya ia sedang menunggu pesan dari seseorang.
Ting! ting!
Parni kaget, bahkan benang rajutnya yang bewarna merah itu, terlempar ke lantai rumah. Bunyi pesan masuk berbunyi, wajah Parni tampak gembira. Dengan cekatan, ia membuka pesan yang masuk.
["De Parni sedang apa?ganggu ga kalau saya telpon."]
Parni mesem-mesem, wajahnya pun merona bahagia. Apakah ia jatuh cinta?
Ragu Parni mengetik balasan pesan dari seseorang itu. Ponsel masih ia genggam dengan tangan sedikit berkeringat. Jujur setelah luka lama yang menganga bertahun-tahun lalu, baru kali ini ia coba membuka hati."Udah sana masuk kamar, kalau mau teleponan!" Bu Parti tersenyum menggoda Parni
Hari ini, Parmi dan Bu Rasti membawa Angkasa, juga si kembar pergi bermain ke Taman Margasatwa Ragunan. Bik Isah dan bibik tentu saja diajak. Sedangkan Anton tidak bisa meninggalkan kelas, karena sedang mengawas mahasiswa yang sedang ujian.Angkasa nampak antusias, melihat aneka hewan disana. Bahkan seolah tiada lelah, ia berlarian kesana-kemari agar cepat sampai dari satu kandang ke kandang lainnya. Angkasa sangat senang, saat berada di depan kandang gajah. Ada empat ekor gajah besar disana. Dan satu ekor gajah berukuran lebih kecil. Angkasa mengambil foto hewan-hewan tersebut dengan ponselnya. Ia juga memotret Parmi, nenek dan ketiga adiknya.Foto-foto keseruan disana, Angkasa kirimkan kepada mommy dan juga papanya. Eh iya, kepada daddy Xander, ayah sambungnya juga ia kirimkan fotonya."Bibik, kenapa?" tanya Angkasa saat tanpa sengaja melihat bik Isah memegang hidung Andrea.Bik Isah yang memang kebagian menggendong Andrea, karena Andrea tidak mau
Parmi menangis sejadi-jadinya di depan ruang NICU, ketiga bayi kembarnya tidak sadarkan diri, setelah keracunan obat yang mengandung obat tidur. Bahkan Parmi pingsan hingga dua kali. Betapa hancur hatinya melihat di tubuh ketiga puterinya, dipasang alat. Untuk membantu mereka tetap bernafas dan membantu mereka mengeluarkan racun dari dalam tubuh.Bu Rasti yang baru saja tiba, ikut menangis hingga terduduk di lantai tepat di depan ruang NICU. Ia sangat kaget, saat ditelepon oleh bibik, kalau si Kembar mengeluarkan busa dari dalam mulutnya. Bu Rasti yang saat itu sedang ada rapat dengan Kementrian Agama, meninggalkan ruang rapat begitu saja. Kakinya serasa tidak menapak, pikiran buruk berkecamuk di kepalanya. Ia tidak sanggup jika harus kehilangan cucu kembar tiganya."Mamah, anak saya, Mah," lirih Parmi dengan lemah menghampiri ibu mertuanya. Mereka berpelukan erat."Kenapa bisa seperti ini, Mi?""Ada yang sengaja memasukkan obat tidur ke dalam badan
Empat bulan berlalu semenjak kejadian tragis itu. Berdasarkan pasal 340 KUHP, barang siapa yang sengaja dengan rencana terlebih dahulu, yang bisa mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, maka pertanggung jawabannya adalah hukuman mati atau penjara seumur hidup, atau paling lama dua puluh tahun. Hakim memutuskan, Safira akhirnya dihukum dua puluh tahun penjara, sedangkan bik Isah dihukum selama lima belas tahun.Parmi yang masih merasa sangat khawatir, memilih mengajak ibu dan tetehnya untuk tinggal bersama. Suatu keharuan tersendiri bagi Parmi. Saat suaminya memberikan kunci rumah baru untuk Parmi. Rumah yang sudah ia beli dengan kerja kerasnya. Kini ia berikan atas nama Parmi, istrinya.Anton juga mendatangkan seorang lagi saudara Parmi yang bisa membantu untuk menjaga si kembar."Apa?teteh pacaran dengan mas Iqbal!" pekik Parmi tidak percaya, saat Parni membisikkan sesuatu di telinga Parmi."Huuusstt....jangan denger Anton, teteh malu." Parni menu
Parmi tengah asik membersihkan telinganya dengan ujung korek api yang berwarna coklat di bagian ujungnya. Kebiasaan yang sangat sulit ia tinggalkan walau kini usianya tak muda lagi. matanya meram-melek menikmati kesahduan dalam melakukan ritual setiap pagi, bahkan sebelum salat Subuh. Suara kokok ayam dan alunan salawat dari musolah dekat tempat tinggalnya, menambah kenikmatan pagi sambil membersihkan telinga.“Jangan terlalu dalam, Mi. Begini aja kuping kamu udah bermasalah, segala pake dikorek setiap hari. Nanti tambah budek loh!” tegur Parni;kakak dari Parmi. Parmi yang tengah berjongkok, langsung menoleh lalu menatap kakaknya dengan wajah tanda tanya.“Ngomong apa barusan?” tanya Parmi dengan polosnya. Jangan tanyakan bagaimana reaksi Parni saat ini. Sudah pasti wanita itu tertawa terpingkal-pingkal mendengar pertanyaan adiknya. Baru saja dibilangin, udah beneran tidak dengar. Parni hanya bisa menggelengkan kepala, la
Parmi sudah berada di Jakarta, tepatnya di depan pagar rumah majikan Mbak Yem. Bermodalkan alamat dari tetangganya itu, akhirnya Parmi sampai juga dengan selamat di sana. kepalanya celingak-celinguk mengintip keadaan rumah dari balik pagar. Rumah yang sangat sepi. Parmi memastikan alamat yang ia pegang, dengan nomor rumah yang ada tertempel di dinding samping pintu rumah.“Alamatnya sudah benar, tapi kenapa tak ada orang?” gumam Parmi.“Assalamualaykum. Permisi! Ada orang gak? Halo! Ada orang gak?!” seru Parmi lagi dari balik pagar dengan suara sedikit berteriak. Tak lama kemudian, munculah seorang lelaki cukup dewasa dan tampan, hanya mengenakan celana boxer sebetis dan juga kaus dalam yang sudah memudar warnanya. Lelaki itu berjalan mendekat ke arah pagar sambil mengucek kedua matanya.Untuk sesaat Parmi tak mampu berkata-kata. Kenapa lelaki Jakarta bangun tidur saja tampan seperti ini? Sangat b
Selamat membaca.Wanita yang biasa dipanggil Parmi itu tengah menyapu ruang tengah, saat Anton baru saja tiba di rumah orangtuanya. Sambil melenggak-lenggokkan pinggulnya, mengikuti irama musik india kesukaannya.Prem ratan dhan payo (payo)Prem ratan dhan payo (payo)Rut milan ki layooPrem ratan...Dengan lincah Parmi menggoyangkan bahu dan pinggulnya, sambil berputar-putar."Parmi!" panggil Anton sedikit keras. Namun Parmi tidak mengindahkan, karena kedua telinganya tertutup headset."Parmi!"Panggil Anton lagi semakin kencang."Budeg kali ini pembantu, hadeehh!" Anton memijat pelipisnya, menatap miris Parmi yang masih meliuk-liuk dengan gagang sapu di tangannya. Wanita ini yang akan menjadi istrinya kelak. MasyaAllah ... tampaknya lebih error dari Bulan. Anton bermonolog.Disaat yang bersamaan, Parmi tersadar bahwa ada Anton, anak majikannya yang tengah menatapnya. Parmi menghentikan gerak
Parmi sudah bangun dari pukul setengah tiga shubuh, menyiapkan menu sahur untuk keluarga tempat ia bekerja. Ada ayam goreng kremes, tahu tempe goreng, sambel, dan tumis pokcoy. Ada juga potongan buah pepaya dan melon yang ia siapkan, tak lupa teh lemon hangat.Semua sudah tertata rapi di atas meja makan. Parmi melirik jam di dinding sudah pukul setengah empat shubuh, waktunya ia membangunkan orang rumah untuk sahur. Parmi mengetuk pelan kamar Bu Rasti. Tak lama Bu Rasti keluar kamar beserta suaminya;Pak Andi."Makanan sudah siap, Bu," ucap Parmi sambil tangannya menunjuk meja makan. Bu Rasti tersenyum."Tolong bangunkan Anton ya!" titah Bu Rasti pada Parmi, yang diikuti anggukan oleh Parmi. Parmi berjalan ke kamar Anton, lalu mengetuk pintu.TokTok"Pak, bangun, sahur!"Tak ada sahutan. Parmi mencoba kembali mengetuk pintu kamar Anton.TokTok"Pak, sahur!" panggilnya dengan setengah berteriak.
"Yang warna apa sih emangnya?" Parmi bertanya dengan polosnya. "Biru, abu-abu, kuning, merah, ya pokoknya warna warni," terang Anton dengan gusar. "Kayak pelangi ya, Pak, s*mpaknya," celetuk Parmi sambil terkekeh lagi. Ia melanjutkan kembali menjemurnya, seakan tidak terjadi apa-apa, padahal Anton sedang menunggu jawabannya, kemana semua dalaman yang biasa ia pakai?. "Parmi, yee ... malah lanjut jemur, ini s*mpak saya mana?" Duh gue jadi sampak s*mpak dah nih ngomong sama pembantu budeg. Anton bermonolog. Parmi tidak mendengar, masih lanjut menjemur. "Parmi!" pekik Anton lagi, habis sudah pahala puasa ia hari ini. Emosi tingkat dewa berhadapan dengan Parmi. Parmi menoleh. "Apaan sih, Tuan?" "Ya Allah, s*mpak saya, saya mau ngajar. Cepat ini tolong carikan!" "Yang gini ya?" Parmi mengangkat s*mpak basah bewarna abu-abu. "Iya itu." Anton mengangguk. "Ya udah ini." Parmi hendak memberikan sempak basah