Share

4. Sahur

last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-06 23:49:36

Parmi sudah bangun dari pukul setengah tiga shubuh, menyiapkan menu sahur untuk keluarga tempat ia bekerja. Ada ayam goreng kremes, tahu tempe goreng, sambel, dan tumis pokcoy. Ada juga potongan buah pepaya dan melon yang ia siapkan, tak lupa teh lemon hangat. 

Semua sudah tertata rapi di atas meja makan. Parmi melirik jam di dinding sudah pukul setengah empat shubuh, waktunya ia membangunkan orang rumah untuk sahur. Parmi mengetuk pelan kamar Bu Rasti. Tak lama Bu Rasti keluar kamar beserta suaminya;Pak Andi. 

"Makanan sudah siap, Bu," ucap Parmi sambil tangannya menunjuk meja makan. Bu Rasti tersenyum.

"Tolong bangunkan Anton ya!" titah Bu Rasti pada Parmi, yang diikuti anggukan oleh Parmi. Parmi berjalan ke kamar Anton, lalu mengetuk pintu.

Tok

Tok

"Pak, bangun, sahur!" 

Tak ada sahutan. Parmi mencoba kembali mengetuk pintu kamar Anton.

Tok

Tok

"Pak, sahur!" panggilnya dengan setengah berteriak.

Hening, masih tak ada sahutan.

"Ck, tidur apa mati sih?" gerutu Parmi sambil menggaruk kasar rambutnya.

"Masuk aja Mi, pintunya ga dikunci tuh!" seru Bu Rasti dari ruang makan. Parmi mengangguk patuh, membuka pintu kamar Anton, yang benar tidak terkunci. Tampak Anton sedang meringkuk memeluk guling, rambutnya berantakan. Wajah polosnya terlihat teduh, saat ia pulas seperti ini. Parmi berjalan mendakati ranjang.

"Pak, bangun, udah siang!" Parmi menggoyang-goyangkan kaki Anton. Lelaki itu semakin erat memeluk guling.

"Idih, cakep-cakep, Kebo banget tidurnya!" gumam Parmi sambil terus menggoyang-goyangkan kaki Anton. Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepala Parmi.

"Sayang, bangun sahur yuk," ucap Parmi lemah lembut, sedikit manja. Parmi terkekeh menutup mulutnya. 

"Bentar sayang masih ngantuk," sahut Anton dengan mata terpejam. Parmi melotot kaget saat Anton menyahut dalam tidurnya.

Tiba-tiba Anton tersentak. "Kamu siapa?" tanya Anton masih setengah sadar, menatap wajah kucel Parmi sedang menatapnya.

"Luna maya," sahut Parmi dengan polos. Mata Anton seketika melotot. Sejak kapan Luna maya suntik hitam begini.

"Parmi, kamu ngapain ada di kamar saya?" 

"Bangunin Tuan, dari tadi gak bangun-bangun," sahut Parmi cuek,berjalan keluar kamar Anton.

"Cepetan Tuan, ntar keburu imsak," ucap Parmi lagi sebelum berlalu dari kamar Anton.

Parmi berjalan ke dapur, mengambil nasi di dalam ricecooker serta lauk yang dia masak tadi. Tak lama Anton juga keluar dari kamarnya, wajahnya sudah lebih segar. Anton bergabung dengan kedua orang tuanya di meja makan.

"Parmi, sini makan bareng!" ajak Bu Rasti pada Parmi. Namun Parmi tidak menyahut, dia tetap melanjutkan makan sahurnya dengan lahap.

"Budeg kan dia Ma," celetuk Anton 

"Hust! bukan budeg, cuma kurang dengar," sahut Bu Rasti sambil menahan senyum.

"Sama aja, Ma." Anton memutar bola mata malasnya.

"Kamu yang panggil coba, pasti dia nengok."

"Ogah, ah." Anton cuek saja dengan ucapan Mamanya. Dengan cepat melahap lagi makan sahurnya.

"Parmi!" suara Bu Rasti sedikit keras.

Tak ada sahutan, Anton dan Papanya tertawa. 

"Pembantu aneh itu di pungut Mama di mana sih, Pa?" 

"Parmi itu tetangga Mbok Iyem. Dia menggantikan Mbok Iyem di sini."

Anton manggut-manggut. Mbok Iyem adalah pembantu keluarga Anton sedari Anton kecil, setiap dua bulan sekali Mbok Iyem pulang ke kampungnya, karena masih ada anak dan suaminya di kampung. Setelah beliau berumur lanjut, suaminya sering sakit-sakitan. Jadinya Mbok Iyem pamit tidak bekerja lagi di rumah keluarga Bu Rasti, untuk mengurus suami dan anaknya. Namun Mbok Iyem membawakan Parmi tetangganya yang menggantikan dirinya. 

Parmi sendiri sudah berusia sembilan belas tahun, sekolah hanya tamatan SMP. Orangnya polos namun sedikit lambat dalam hal apapun, kecuali mengerjakan pekerjaan rumah. Parmi sangat cekatan. Tubuhnya sintal, kulitnya coklat, cenderung kurang bersih, namanya biasa bekerja di sawah. Kaki dan tangannya juga kapalan. Namun Bu Rasti tidak mempermasalahkan hal itu, sepanjang Parmi dapat melakukan pekerjaan rumah dengan baik.

"Sini makan bersama, Mi!" Bu Rasti sampai menghampiri Parmi yang tengah duduk di kursi kecil di dapur.

"Eh, Ibu, ga papa Bu, saya di sini saja. Saya deg-degan kalau makan dekat Tuan Anton," ucapnya polos sambil malu-malu meong. 

Bu Rasti sampai terkekeh melihat raut wajah Parmi yang merona. Gak terlalu keliatan juga sih, karena kulit Parmi yang sedikit gelap. Karena Parmi bersikeras tetap makan di dapur, maka Bu Rasti tidak bisa memaksa. Bu Rasti melanjutkan makannya bersama anak dan suaminya. Sesekali Anton melirik Parmi, yang kepedesan. Berkali-kali Parmi menarik air hidungnya, sesekali menyeka hidung yang berair dengan punggung tangannya. 

"Uueek!" Anton menjadi enneg.

"Kenapa, Ton?" tanya Bu Rasti panik, tiba-tiba Anton merasa enneg seperti itu.

"Ah ga papa, Ma," kilahnya lalu melanjutkan makannya dengan menahan mual. Ampun deh, Parmi jorok banget! Anton bermonolog.

Selesai makan sahur, Bu Rasti, suaminya, dan Anton duduk di depan televisi, menonton acara ceramah. Satu dua kali mereka berbincang ringan, perihal kajian yang dibahas saat ceramah berlangsung. Sedangkan Parmi sibuk di dapur membereskan kembali hingga bersih dan kembali kinclong.

"Yah, kenapa nih?" Parmi bergumam menatap kran air yang mampet.

"Ada apa, Mi?" tanya Anton, saat ia hendak menaruh gelas di wastafel dapur.

"Airnya ga keluar, Tuan." 

"Kok bisa?" 

"Mana saya tahu, kalau saya tahu saya gak tanya Tuan." 

"Kelamaan jomblo apa ya, makanya mampet?" oceh Parmi tidak jelas.

Huk

Huk

Anton sampai tersedak air liurnya sendiri, mendengar apa yang barusan Parmi ucapkan.

"Ck, kamu ada-ada saja, sini saya lihat dulu!" Anton mengecek kran air, membukanya dengan obeng dan tang. Saluran air ia bongkar, hingga adzan shubuh bergema. Anton masih sibuk membetulkan kran air, Parmi pamit untuk sholat shubuh.

Bu Rasti memandang suaminya.

"Emang Anton bisa benerin kran air, Pa?" 

Pak Andi mengendikkan bahunya. 

"Harus benar lho, Ton," celetuk Bu Rasti sebelum masuk ke kamar bersama suaminya.

Namun hingga Parmi selesai sholat, Anton tak kunjung selesai membetulkan kran air. Yang ada dapur menjadi becek dan berantakan. Parmi mengembuskan napas kasar, melihat kekacauan yang dibuat Anton.

"Bisa, Tuan?" tanya Parmi sambil menghampiri Anton yang sudah kepayahan, membetulkan kran air.

"Airnya udah ga mampet sih, cuma kenapa krannya yang bawah sama atas saya gak bisa kepasang ya?" terang Anton, sambil terus berusaha memasang kembali kran yang telah ia buka.

"Oh, gitu. Coba sini sama saya." 

"Emang kamu bisa?"

"Lepas pasang, ahlinya saya, Tuan. Apalagi lepas pasang se*pak!" Parmi terbahak.

"Parmi!" pekik Anton gusar. Apa-apaan barusan yang diucapkan Parmi.

"Kenapa?" 

"Emang Tuan ga bisa lepas pasang se*pak?" 

"Ya salam, Parmi. Ini lagi benerin kran air lho, kenapa jadi se*pak? Bulan puasa ini Parmi!" pekik Anton histeris.

"Emang kalau bulan puasa ga boleh gitu make se*pak?" tanya Parmi polos.

"Makruh puasa saya hari ini, gara-gara kamu!" gerutu Anton sambil berjalan meninggalkan Parmi yang masih menatapnya dengan keheranan. 

"Lha kenapa jadi saya?" Parmi memutar bola mata malasnya.

"Gimana sih, bisa buka ga bisa masang?" Parmi mencebik, mencoba secara perlahan, memasang kran air kembali dan berhasil. Dapur kembali bersih dan kinclong. 

Parmi melanjutkan pekerjaan rumahnya yaitu menjemur pakaian, halaman samping tempat menjemur baju, persis berhadapan dengan jendela kamar Anton. Sebelum menjemur, Parmi terlebih dahulu menyapu halaman, menyiram beberapa bunga yang tengah mekar. Parmi suka bunga, di halaman samping, bunga-bunga yang tadinya tidak terawat, sekarang tumbuh subur dan cantik. Parmi melanjutkan aktifitas menjemurnya, satu persatu pakaian ia jemur.

"Parmi!" panggil Anton dari kamarnya. Parmi menoleh. Tumben nengok. Anton bermonolog.

"Ada apa, Tuan?" 

"CD saya mana?" 

"CD? Apa?" tanya Parmi tak paham.

"CD Parmi, celana dalam." 

"Dalam apa tuan?" 

"Haduh ... ya Allah, semoga hamba ga setruk lama-lama bergaul sama ini bocah," gumam Anton dalam hati.

"Celana dalam saya Parmi, ini ga ada!" 

"Iya dalam apa, Tuan? saya ga ngerti!" 

"Astaghfirulloh, se*pak Parmi." 

"Apa, sempak saya?!" Parmi melotot kaget.

"Maksud Tuan, mau minjem se*pak saya?" tanya Parmi sambil kikuk.

Anton meremas rambutnya dengan kasar.

****

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Babu Jadi Menantu   62. Happy Ending

    Empat bulan berlalu semenjak kejadian tragis itu. Berdasarkan pasal 340 KUHP, barang siapa yang sengaja dengan rencana terlebih dahulu, yang bisa mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, maka pertanggung jawabannya adalah hukuman mati atau penjara seumur hidup, atau paling lama dua puluh tahun. Hakim memutuskan, Safira akhirnya dihukum dua puluh tahun penjara, sedangkan bik Isah dihukum selama lima belas tahun.Parmi yang masih merasa sangat khawatir, memilih mengajak ibu dan tetehnya untuk tinggal bersama. Suatu keharuan tersendiri bagi Parmi. Saat suaminya memberikan kunci rumah baru untuk Parmi. Rumah yang sudah ia beli dengan kerja kerasnya. Kini ia berikan atas nama Parmi, istrinya.Anton juga mendatangkan seorang lagi saudara Parmi yang bisa membantu untuk menjaga si kembar."Apa?teteh pacaran dengan mas Iqbal!" pekik Parmi tidak percaya, saat Parni membisikkan sesuatu di telinga Parmi."Huuusstt....jangan denger Anton, teteh malu." Parni menu

  • Babu Jadi Menantu   61. Siapa yang Meracun

    Parmi menangis sejadi-jadinya di depan ruang NICU, ketiga bayi kembarnya tidak sadarkan diri, setelah keracunan obat yang mengandung obat tidur. Bahkan Parmi pingsan hingga dua kali. Betapa hancur hatinya melihat di tubuh ketiga puterinya, dipasang alat. Untuk membantu mereka tetap bernafas dan membantu mereka mengeluarkan racun dari dalam tubuh.Bu Rasti yang baru saja tiba, ikut menangis hingga terduduk di lantai tepat di depan ruang NICU. Ia sangat kaget, saat ditelepon oleh bibik, kalau si Kembar mengeluarkan busa dari dalam mulutnya. Bu Rasti yang saat itu sedang ada rapat dengan Kementrian Agama, meninggalkan ruang rapat begitu saja. Kakinya serasa tidak menapak, pikiran buruk berkecamuk di kepalanya. Ia tidak sanggup jika harus kehilangan cucu kembar tiganya."Mamah, anak saya, Mah," lirih Parmi dengan lemah menghampiri ibu mertuanya. Mereka berpelukan erat."Kenapa bisa seperti ini, Mi?""Ada yang sengaja memasukkan obat tidur ke dalam badan

  • Babu Jadi Menantu   60. Obat Tidur

    Hari ini, Parmi dan Bu Rasti membawa Angkasa, juga si kembar pergi bermain ke Taman Margasatwa Ragunan. Bik Isah dan bibik tentu saja diajak. Sedangkan Anton tidak bisa meninggalkan kelas, karena sedang mengawas mahasiswa yang sedang ujian.Angkasa nampak antusias, melihat aneka hewan disana. Bahkan seolah tiada lelah, ia berlarian kesana-kemari agar cepat sampai dari satu kandang ke kandang lainnya. Angkasa sangat senang, saat berada di depan kandang gajah. Ada empat ekor gajah besar disana. Dan satu ekor gajah berukuran lebih kecil. Angkasa mengambil foto hewan-hewan tersebut dengan ponselnya. Ia juga memotret Parmi, nenek dan ketiga adiknya.Foto-foto keseruan disana, Angkasa kirimkan kepada mommy dan juga papanya. Eh iya, kepada daddy Xander, ayah sambungnya juga ia kirimkan fotonya."Bibik, kenapa?" tanya Angkasa saat tanpa sengaja melihat bik Isah memegang hidung Andrea.Bik Isah yang memang kebagian menggendong Andrea, karena Andrea tidak mau

  • Babu Jadi Menantu   59. Berkeringat

    Hujan rintik-rintik membasahi tanah pedesaan. Air mulai menggenang di selokan tanah yang berlubang. Harumnya begitu memesona, karena bercampur aroma daun segar yang ikut tersapu air hujan. Parni masih fokus dengan kegiatan merajutnya. Sesekali ia tersenyum malu-malu, sambil melirik ponselnya. Sepertinya ia sedang menunggu pesan dari seseorang.Ting! ting!Parni kaget, bahkan benang rajutnya yang bewarna merah itu, terlempar ke lantai rumah. Bunyi pesan masuk berbunyi, wajah Parni tampak gembira. Dengan cekatan, ia membuka pesan yang masuk.["De Parni sedang apa?ganggu ga kalau saya telpon."]Parni mesem-mesem, wajahnya pun merona bahagia. Apakah ia jatuh cinta?Ragu Parni mengetik balasan pesan dari seseorang itu. Ponsel masih ia genggam dengan tangan sedikit berkeringat. Jujur setelah luka lama yang menganga bertahun-tahun lalu, baru kali ini ia coba membuka hati."Udah sana masuk kamar, kalau mau teleponan!" Bu Parti tersenyum menggoda Parni

  • Babu Jadi Menantu   58. Menjemput Angkasa

    Parmi dan Anton sudah berada di bandara. Menunggu kedatangan penerbangan dari Belanda. Anton dan Parmi sudah tidak sabar melihat Angkasa. Sedari turun dari mobil, Parmi dan Anton selalu bergandengan tangan. Persis pasangan yang sedang dimabuk asmara. Anton juga tidak jengah sesekali mencium kepala Parmi."Jangan dicium terus rambutnya, Mas!" rengek Parmi, merasa cukup jengah dengan tingkah alay suaminya."Kenapa sih, Sayang? Wangi kok rambutnya," sahut Anton, sambil memegang rambut panjang Parmi."Ntar kutunya nempel di bibir, baru tahu rasa!" Anton menelan salivanya, cepat ia meraba bibirnya. Merasa kurang puas, ia mengambil ponselnya lalu membuka menu kamera depan. Ia bercermin dari layar ponselnya, memeriksa kembali bibirnya. Apakah ada kutu rambut yang menempel di sana? Tapi sepertinya tidak, bibirnya masih terlihat segar dan sedikit bengkak, efek digigit oleh Parmi.Anton bergidik ngeri bila nengingat semalam, betapa ganas istrinya. Kopi yang i

  • Babu Jadi Menantu   57. Malam Panas Part 2

    Parmi keluar dari kamar, sayup-sayup ia mendengar suara ibu mertuanya seperti sedang berbicara di teras. Ia berjalan menghampiri dan melihat ada siapa disana."Eh, Parmi sini, Nak." Bu Rasti menepuk kursi kosong di sampingnya, bermaksud agar Parmi ikut duduk. Parmi menurut, duduk di samping ibu mertuanya.Wanita paruh baya yang sedang duduk di lantai. Memerhatikan gerak gerik Parmi dengan seksama, sambil menyunggingkan senyum tipis."Ini, Mi. Kenalkan ibu Isah namanya, dia sedang mencari pekerjaan. Jadi mama menawarkan untuk menjaga si kembar. Bagaimana kamu mau?" bu Rasti memperkenalkan ibu yang sedang duduk di lantai pada Parmi."Emang Ibu rumahnya di mana?" tanya Parmi dengan ramah."Keluar komplek ini gang sebelah kanan, Non.""Oh deket ya, jadi ilIbu nginep apa pulang pergi kerjanya?""Saya datang pagi, lalu pulang malam. Sehabis magrib.""Bagaimana Parmi, boleh ibu ini membantu?kasian dia sedang butuh pekerjaan." Bu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status