Malam sudah larut, Tiana duduk di teras depan menunggu suami dan Papanya pulang. Aldrich dan Sebastian belum juga kembali. Tiana menyergah napasnya panjang dan menyandarkan punggungnya. Bukannya mobil Papinya yang datang, melainkan sebuah mobil berwarna merah milik Tino. "Kak Tino," gumam gadis itu. Laki-laki dengan balutan kemeja putih tersebut turun dari dalam mobil dan menatapnya dengan tatapan tak biasa. "Kenapa di sini? Suamimu mana?" tanya Tino menaiki anak tangga teras dan berdiri di hadapan Tiana. "Aldrich sedang pergi dengan Papi, ada urusan penting dan belum kembali." "Astaga... Mungkin ke luar kota, sudah ayo masuk! Nanti mereka juga pulang, tenang saja! Aman dengan Papi suamimu itu tidak akan selingkuh!" seru Tino memasang wajah yakin. Tino mengulurkan tangannya dan Tiana pun ikut masuk bersama kembarannya tersebut. Wajah murung Tiana membuat Tino merangkul pundak gadis itu. "Kenapa? Ribut sama Lalat Buah?" tanya Tino mendekatkan wajahnya pada Tiana. "Tiana diben
Keesokan paginya Tiana dan Aldrich langsung pulang dari kediaman orang tua Tiana. Mereka berdua ingin menghabiskan hari libur di rumah.Tiana berjalan masuk ke dalam kamarnya dan ia melepaskan jaket tebalnya. Sementara Aldrich berjalan di belakangnya seraya bersenandung kecil. "Hari ini ada ide ingin menghabiskan hari dengan hal menyenangkan apa, Sayangku?" Laki-laki itu mendekati Tiana dan memeluknya dari belakang. "Mau bersih-bersih rumah," jawab gadis itu. "Oh ayolah, kau hanya membuat tubuhmu lelah saja. Lebih baik kita habiskan waktu berdua di kamar dan kita bisa bercin-""Itu juga membuatku jauh lebih lelah, dua kali lipat sangat-sangat lelah!" sela Tiana menjawabnya telak. Aldrich tertawa pelan dan ia menjatuhkan keningnya di pundak Tiana."Ayolah Sayang, kita melakukan apapun... Yang menyenangkan!" Laki-laki keras kepala ini terus merengek seperti anak kecil. "Semua ruangan di rumah ini rata-rata kosong dan kotor. Harus dibersihkan, salah siapa punya rumah besar tapi pen
"Sayang..." "Tiana tidak papa, Aldrich." Tiana menoleh dan tersenyum samar pada suaminya. Wajah Aldrich menjadi sangat cemas sejak Samuel pulang, belum lagi obrolan Samuel tentangnya yang keceplosan mengatakan kalau Papa dari Aldrich tidak menyukai Tiana dan tidak menganggapnya sebagai menantu.Aldrich cemas kata-kata itu melukai hati Tiana hingga membuat istrinya marah. Namun kenyataannya kini Tiana biasa saja dan tidak menunjukkan kekesalan sama sekali. "Kau sungguh tidak marah?" Aldrich menarik lengan sang Istri dan memintanya untuk menatapnya. Tiana mendengkus kesal, ia memutar duduknya dan beralih menatap Aldrich sepenuhnya. Bibir gadis itu cemberut sebal dipaksa mengaku untuk hal yang tidak ia rasakan sama sekali. "Kan Tiana sudah bilang! Tiana sama sekali tidak kesal, Aldrich!" pekik gadis itu cemberut. "Lagipula Tiana juga sudah tahu kalau Papa memang tidak suka sama Tiana. Bagi Tiana yang penting Aldrich suka sama Tiana, sudah! Titik!" Kembali Tiana berbaring di atas r
Beberapa Minggu Kemudian..."Oma datang kenapa tidak kabar-kabar dulu? Tahu begitu kan Tiana dan Aldrich bisa menjemput Oma di bandara." Tiana menatap Karen yang kini duduk di sofa setelah meletakkan tas besarnya di atas kursi kayu. "Tidak perlu repot-repot, Tiana. Oma juga masih punya nyali naik taksi menuju ke sini," jawab wanita itu seraya melepaskan selendang yang dia pakai. "Mama dan Papa tidak ikut ya, Oma?" tanya Tiana menanti-nanti. "Roghan mana mau bertemu dengan putranya. Dia kecewa dengan suamimu, anak satu diatur susah sekali!" Tiana terdiam dan tersenyum tipis, semakin ia merasa dan berpikir yang tidak-tidak tentang dirinya sendiri. Apakah dirinya ini bentuk dari kegagalan seorang suami di mata keluarganya? Bila benar begitu, lantas kenapa Karen dan Emma tetap mengizinkan Aldrich untuk menikah muda. "Tenang... Tenang... Tidak sepenuhnya Roghan itu membencimu," kata Karen tersenyum tipis pada Tiana."Iya Oma." Gadis itu menganggukkan kepalanya kecil. Helaan napas t
"Kau tidak menyeriusi ucapan Oma, kan?" Aldrich berjalan mendekati Tiana yang kini tengah duduk di balkon kamar mereka. Suara Aldrich membuat Tiana menoleh ke belakang menatap suaminya. Gadis itu mengerjapkan kedua matanya pelan. "Ya Sayang?" Aldrich duduk di sampingnya dan menggenggam satu tangan Tiana. "Jangan hamil dulu," ujar laki-laki itu langsung to the point. Kedua mata Tiana mengerjap seolah bertanya-tanya, mengapa? Mengapa tidak boleh?Tautan jemari Aldrich dibalas menjadi genggaman yang hangat oleh Tiana. Gadis itu menyandarkan kepalanya di pundak Aldrich dengan nyaman. "Kenapa jadi panik begini? Seorang anak itu lahir karena anugerah dari Tuhan, kalau diberi sekarang maka harus diterima, kalau belum diberi berarti belum mendapatkan anugerah tersebut. Iya kan?" Gadis itu menatap wajah Aldrich yang nampak ragu-ragu. "Ck! Pokoknya jangan dulu, Sayang!" seru laki-laki itu kesal. Tiana terkekeh geli dengan ekspresi kesal Aldrich pada istrinya ini. Perlahan Tiana mengulu
Aldrich memanggil dokter untuk memeriksa Tiana dan memastikan keadaan istrinya. Laki-laki itu khawatir dengan apa yang terjadi pada Istrinya saat ini. "Nyonya Tiana tidak papa, hanya kelelahan saja. Tolong untuk tidak mengabaikan kesehatannya ya, karena Nyonya juga butuh banyak waktu untuk beristirahat," ujar seorang dokter perempuan yang baru saja memeriksa Tiana. "Tapi sungguh tidak ada yang serius dengan istri saya, dok?" tanya Aldrich serius."Tidak ada Tuan. Hanya kekalahan biasa saja." Tiana memperhatikan suaminya yang begitu khawatir dengan keadaan Tiana saat ini. Sampai akhirnya dokter pun kini berpamitan, tinggal Aldrich dan Tiana saja yang ada di dalam kamar itu. Tiana mengulurkan tangannya meraih lengan Aldrich dan memintanya untuk duduk di sampingnya. Wanita cantik itu tersenyum sembari menggelengkan kepalanya mengisyaratkan kalau dia tidak papa. "Sayang, aku baik-baik saja kan! Tiana bilang juga apa, Tiana itu tidak papa," ujar Tiana tersenyum manis. Aldrich duduk
Malam ini Tiana tidur bersama Shela, gadis itu sejak tadi tidak enak diam. Meskipun tidak berbicara dan sudah mengatakan kalau dia mengantuk, namun Tiana masih terus menerus mengusap dan mengelus perutnya. Shela menatapi putrinya, sesungguhnya kedua mata Tiana sudah terpejam. "Sayang, Tiana kenapa?" tanya Shela beranjak duduk. "Kenapa nak, sakit perut?" "Tidak Mi... Tidak tahu kenapa maunya diusap terus," jawab Tiana berbaring miring. Shela menyibak selimutnya. "Mami buatkan teh dulu ya, mungkin Tiana masuk angin." Tiana menganggukkan kepalanya, gadis itu ikut dengan Shela bangun dan berjalan bersama turun ke lantai dasar. Di sana, ada Tiano yang hari ini pulang untuk menamani Mami dan adiknya. Tiano pun sedang duduk di pantry dapur dengan laptop di hadapannya. "Loh, belum tidur?" Tiano menoleh pada Tiana yang kini duduk di sampingnya dengan wajah lesu. "Sepertinya adikmu masuk angin," jawab Shela membuatkan teh hangat untuk Tiana. "Ck! Ada-ada saja sih, Tiana..." Tiano menyi
"Wahh, kau benar-benar bisa membuat Sushi! Hebat...! Padahal aku selalu gagal saat menggulung nasinya." Tiana tersenyum lebar duduk di kursi kayu di hadapan Sora. Gadis bermata sipit itu mengangguk dan menuangkan saos di mangkuk kecil. "Ayo Tiana, dihabiskan. Kalau kurang aku buatkan lagi," ujar Sora tersenyum senang. "Terima kasih, Sora..." Dengan senang hati Tiana memakannya, dan Sora sama sekali tidak memakan Sushi itu. Dia tidak suka olahan ikan mentah, makan seafood, Sora tidak terlalu menyukainya, hanya saja karena ada Tiano, dia menyediakan untuk laki-laki galak itu. "Kau tidak mau?" Tiana menyodorkan di hadapan gadis itu. "Emm... Aku tidak suka seafood," jawab Sora menggelengkan kepalanya. "Jadi sebanyak ini kau buatkan khusus untukku?""Tentu saja. Ini kan pertama kalinya kau ke sini, aku juga tidak pernah ke manapun apalagi punya teman, jadi aku sangat senang dengan kedatanganmu hari ini." Sora begitu tulus pada Tiana. Tiana menatapnya dalam-dalam, ia tahu pancaran m