Lima Tahun Kemudian...
Birmingham, Inggris."Tino, Tiano, dan Tiana, ayo anak-anak duduk yang manis, Mami akan membagi donatnya satu-satu."Shela berjalan mendekati tiga anak yang langsung duduk berbaris di sofa menunggunya. Sorot iris hitam ketiganya yang berbinar-binar melihat Mamanya membawakan donat untuk mereka.Lima tahun terasa cepat bagi Shela, setelah dia pergi jauh dari Paris dan datang ke Birmingham, Shela berhasil melahirkan tiga bayi kembar dan membesarkan mereka seorang diri. Bersama ketiga buah hatinya, Shela tidak pernah merasakan kesepian. Hidup mandiri, mempunyai sebuah usaha toko roti dan florist, Shela tidak cemas untuk memanjakan ketiga buah hatinya."Mi, Kak Tiano sama Tino jangan dikasih, buat Tiana saja semua!" seru gadis berambut cokelat dikuncir dua yang tengah tertawa geli."Tidak boleh rakus, Tiana. Kalau rakus nanti dimarahin Tuhan," seru Tiano menasihati kembarannya."Iya, kalau kau nakal tidak akan aku temani! Biar saja main sendirian," imbuh Tino menjulurkan lidahnya pada sang adik.Menatap mereka betiga, Shela hanya tersenyum. Si kembar sudah duduk rapi berjajar dan menunjukkan tatapan tak sabaran. Mereka anak-anak istimewa yang pintar dan lucu.Menyaksikan setiap hari mereka tumbuh bersama, Shela sungguh terharu ia bisa menjadi orang tua yang baik untuk ketiganya. Meskipun mereka tak jarang anak-anak itubertanya akan di mana Papanya. Namun Shela mempunyai alasan tersendiri untuk mereka."Ayo donatnya Mami bagikan, ini buat Tiano, ini buat Tiana dan spesial buat si cerewetnya Mami, Tino... Spesial yang rasa matcha. Dimakan ya Sayang, tidak boleh ada bertengkar!" Shela membagi rasa satu-satu donat yang baru saja ia buat pada mereka.Wanita itu menekuk kedua lututnya di hadapan Tiano dan mengulurkan tangannya mengusap cokelat yang belepotan di pipi gembil putranya."Hati-hati makannya, Sayang..." Shela begitu sabar mengusapnya."Heumm, Mami pintar sekali, enak!" seru Tino mengacungkan jempolnya pada sang Mami."Ihhh... Mami!" pekik Tiana menjauhkan donatnya dan menutup mulutnya. "Tiana mau muntah..."Shela langsung berdiri mendekati sang putri "Astaga, kenapa Sayang?""Ada kacangnya! Tiana tidak suka kacang! Nanti Tiana muntah-muntah lagi," protes anak itu seketika ia langsung menjauhkan donat yang ia bawa."Ya ampun Tiana, mana-mana... Tino sama Tiano berbagi sama adik ya," bujuk Shela pada kedua anak laki-lakinya."Iya Mi, siap!" Tiano mengacungkan jempolnya."Tiana mau punya sendiri, tidak mau dikasih punya Kakak!" protes Tiana."Sudah jangan marah-marah Tiana, kasihan Mami capek. Makan punyaku atau tidak usah makan sekalian!" Tino memberikan setengah donatnya pada adik membarannya.Gadis kecil itu cemberut, Shela baru menyadari kalau mereka memiliki makanan favorit sendiri-sendiri. Sampai-sampai Shela kadang mudah lupa.Tiana tidak menyukai makanan kacang-kacangan sejak kecil, tidak seperti dia kembarannya, mungkin anak itu sama seperti Papa mereka.Shela segera meringkas donat milik Tiana dan meletakkannya di atas meja dapur.Di sana Shela memperhatikan tiga buah hatinya,Tiana memang sangat berbeda dari kedua saudaranya, anak itu sakit-sakitan dan banyak makanan yang menjadi pantangan untuk kesehatannya, kalau tidak dia akan mudah muntah darah karena suatu penyakit yang di derita."Non, kenapa?"Suara Bibi membuat Shela menoleh. Pandangannya menjauh dari donat yang ia letakkan di atas meja."Ini Bi, aku salah lagi memberikan makanan ke Tiana," jawab Shela dengan wajah sedih. "Aku lalai, Tiana kan tidak suka kacang."Wanita setengah baya itu tersenyum manis. "Tidak papa Non, setidaknya mereka tidak ribut kan?" Bibi menoleh ke arah ruang tamu.Senyuman mengembang di bibir Shela, ia ikut memperhatikan mereka sebelum Tino menoleh ke arahnya dan melambaikan tangan pada Shela.Dua anak laki-lakinya memiliki paras sama persis seperti Sebastian, dari hidung, alis, sorot matanya bahkan kadang ketusnya mereka berbicara sangat mirip dengan Papanya. Tidak seperti Tiana yang cengeng, dia memiliki kecantikan duplikat dari Shela.Shela berjalan kembali ke ruang tamu, ketiga anaknya sudah menunggu di teras depan dan mereka akan ikut Shela bekerja pagi ini, di toko roti miliknya."Mi, ayo dong... Kok lama-lama banget!" seru Tiano berdiri menengok ke dalam rumah."Iya Sayang, ini Mami sudah siap. Ayo berangkat! Hati-hati, Tino gandengan dengan Tiano," tutur Shela mengatur mereka bertiga.Mereka mematuhi perintah sang Mama, sedangkan Shela menggendong Tiana, dan dua anak laki-lakinya berjalan di depannya bergandengan dengan wajah ceria.Begitu mereka keluar dari gerbang rumah, langkah mereka berempat terhenti saat melihat seseorang di seberang jalan."Mi, itu Papinya temanku pulang," ujar Tiana menatap Shela dengan ekspresi sedih. "Papiku kapan?"Shela membatu di tempat, biasanya ia mengelak dengan pertanyaan semacam ini. Tapi kali ini sulit baginya untuk menghindar dan akan terus mengatakan alasan yang sama.Tino dan Tiano pun mendongak menatap Shela."Mau juga dipeluk Papi kayak temaku itu, Mi," ujar Tiano menunjuk ke seberang jalan di mana teman bermainnya sedang menyambut kedatangan Papanya."Huhh, kalian ini jangan mulai deh, kan aku sudah bilang jangan bikin Mami sedih! Papi kita sedang bekerja di luar negeri, Papi akan pulang sepuluh tahun lagi! Benar kan, Mami!" seru Tino kesal.Selalunya Tino yang menengahi keributan di antara mereka. Shela pun menekuk kedua lututnya dan menatap satu persatu wajah anak-anaknya."Sayang, dengarkan Mami... Papi kalian masih bekerja di tempat yang jauh sekali, masih ada sepuluh tahun lagi buat bertemu Papi. Jadi nanti kalau nanti Papi kalian sudah pulang, kembar bisa sambut kedatangan seperti teman kalian itu, ya?" tutur Shela pada ketiganya, jelas saja ia selalu berdusta."Sepuluh tahun itu lama ya, Mi?" Tiana memeluk leher Shela. "Kangen Papi, Mi...""Tidak Sayang, itu hanya sebentar kok, jangan sedih lagi. Kan masih ada Mami, okay?!" Shela berusaha tersenyum lebar di hadapan mereka berdua.Wajah muram dan cemberut mereka membuat Shela merasa bersalah. Inilah konsekuensi bagi Shela, ia harus pintar mencari alasan untuk menjawab pertanyaan mereka semua saat mencari di mana Papanya.Tapi satu dari mereka, hanya Tino yang tidak pernah bertanya di mana Papanya, bagi anak itu asal sang Mama berada di sampingnya, ia sudah tenang dan bahagia."Sudah sedihnya? Sekarang ayo kita ke toko, bantu Mami menata roti dan bunga, nanti siang kita jalan-jalan ke mall beli es krim yang banyak, kalian setuju?!" Shela mengusap pucuk kepala mereka."Setuju!" heboh mereka bertiga bersamaan.Hal ini sering terjadi, Shela selalu berusaha mengalihkan perhatian mereka agar tidak terus menerus bertanya tentang Papanya.Karena bagi Shela, sampai kapanpun ia dan ketiga buah hatinya tidak akan bisa berjumpa dengan seorang Sebastian Morgan. Dan harapan Shela, jangan sampai mereka bertemu.**Seorang laki-laki tampan dengan stelan tuxedo hitam, tengah menatap sebuah berkas bersampul biru di hadapannya dengan ekspresi marah menghiasi wajah rupawannya.Sebastian melempar dan membanting berkas yang baru saja ia baca di hadapan calon istrinya yang kini tersentak kaget."Kau gila, Bella?! Kenapa kau memperpanjang kontrak kerjamu lagi? Mau sampai kapan pertunangan ini akan menggantung!" sentak Sebastian pada Bella, calon istrinya."Ini tentang pekerjaanku, Bastian! Urusan menikah kita bisa tanda sebentar, kan?" Bella melawannya.Sebastian menyunggar rambut hitamnya dengan wajah marah."Sebentar katamu? Lima tahun kau selalu menunda pernikahan kita, Bel!""Ya terus mau bagaimana lagi! Aku masih menyukai karierku!"Bibir Sebastian menipis"Baik... Kalau itu pilihanmu. Kau lanjutkan kariermu itu tanpa memikirkan pertunangan kita! Aku juga akan memikirkan karierku dan pergi dari sini!"Bella menatapnya sengit. "Terserah! Aku tidak peduli!"Wanita itu kembali menyahut berkasnya yang dibuang oleh Sebastian sebelum dia keluar dari ruangan itu tanpa mengucapkan sepatah kata pun dan membanting pintu ruangan itu dengan kuat.Situasi ini membuat Sebastian ingin merah dan membenci Bella di saat bersamaan. Wanita itu selalu menunda pernikahan mereka, hingga lima tahun lamanya Sebastian bagai terus dipermalukan."Josh!" teriak Sebastian memanggil anak buahnya."Iya Tuan," balas seorang laki-laki dengan pakaian formal yang kini masuk ke dalam ruangan kerja milik Sebastian."Siapkan tiket pesawat ke Birmingham, aku akan melanjutkan pengembangan perusahaanku di sana!" seru Sebastian."Tuan yakin? Lalu bagaimana dengan pernikahan Tuan bulan dep-"Ucapan Josh terhenti begitu Sebastian menatapnya dingin penuh ancaman."Jangan banyak membantah, kerjakan perintahku! Pastikan besok pagi kita sampai Birmingham, dan aku akan menetap di sana!"Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan