"Mami bangun, Mami. Tiana perutnya sakit, mau muntah..."
Suara Tiana yang merengek membuat Shela terjingkat dari tidurnya. Di sampingnya, Tiana duduk dengan wajah pucat dan membekam mulutnya.Telapak tangan mungilnya sudah dipenuhi darah yang menetes."Astaga, Tiana!" Shela memekik hebat, ia langsung bangun dan menggendong putrinya. "Tiana kenapa tidak bangunin Mami, Sayang?"Anak itu menggelengkan kepalanya saja, tetes demi tetes darah jatuh di piyama yang Shela pakai. Shela segera membawa putrinya turun ke lantai satu, ia mengambil air hangat dalam baskom kecil dan mengelapnya."Tiana tadi makan apa? Kenapa bisa muntah darah lagi, Sayang?" Shela berkaca-kaca, wajah putrinya benar-benar pucat. "Minuman punya Kakak," cicitnya sedih.Shela meghela napasnya pelan, ia mengelap wajah Tiana dan membersihkannya. Setiap bulannya, Tiana selalu berobat, Shela juga berjuang untuk kesembuhan putrinya."Duduk sebentar ya Sayang, masih mau muntah?""Tidak Mami," jawab anak itu tersenyum.Hati Shela seperti tersayat, anaknya masih bisa tersenyum saat dia kesakitan. Shela melepaskan kardigan yang ia pakai dan menutupkan pada tubuh kecil Tiana.Dari lantai dua, terdengar suara-suara Tiano dan Tino mencari Mama, juga adiknya."Mami, Adik, sedang apa?" tanya Tiano berdiri di ujung atas anak tangga."Sayang, tolong ambilkan baju buat adik ya, Mami minta tolong sama Kakak," pinta Shela pada mereka berdua. "Tino ambilkan kotak obatnya adik ya, Sayang,""Siap Mi!" pekik Tiano langsung berlari masuk ke dalam kamar.Sedangkan Tino, tanpa berkata apapun dia langsung bergegas.Mereka berempat diam di ruang tengah, Shela memakaikan minyak bayi yang hangat pada tubuh Tiana sebelum ia memakaikan baju hangat pada putri kecilnya.Sedangkan dua Kakak kembarannya hanya diam memperhatikan dengan wajah mengantuk."Mi, Tiana ngerepotin lagi ya?" tanya Tino memeluk bantalan sofa.Shela menggeleng. "Tidak Sayang, Adik tidak pernah merepotkan Mami, kok.""Jangan sakit ya, Tiana. Kita ini sudah tidak ditemani Papi, kalau Tiana sakit namti Mami repot," tutur Tiano.Tiana nampak lemas, anak itu menyandarkan kepalanya di dada Shela. Dia memakan roti isi yang Shela berikan sebelum meminum obat yang selalu dia minum setiap harinya."Tiana tidak sakit kok, Tiana cuma pusing," ujar anak empat tahun itu.Sungguh situasi ini begitu mencekik Shela, ia menggendong Tiana sembari mengusap punggungnya dengan pelan.Hingga berjam-jam lamanya Shela mondar-mandir di ruang tamu sampai si kembar Tiano dan Tino tertidur di sofa, dan Tiana tertidur dalam gendongan Shela.Langkah Shela terhenti di depan lemari kaca di bawah anak tangga, ia menatap pantulan dirinya sendiri. Shela ingin menangis setiap kali merasakan kondisi ini."Cepat sembuh ya Sayang, Mami akan berjuang keras demi Tiana. Nanti kalau kalian sembuh, kita jalan-jalan yang jauh sama Kakak. Maafkan Mami," bisik Shela menyeka air matanya.Dalam benak Shela, ia sangat sedih merawat anak sakit tanpa ada yang membantunya. Andainya Sebastian mengetahui semua ini, apa yang akan laki-laki itu lakukan? Shela tak pernah melupakan laki-laki itu, dan mengakui segala kekeliruan mereka malam itu.**"Tiana duduk di sini, jangan ikut main sama Kakak. Kalau Tiana tidak nangis, Papi pasti cepat pulang!"Shela tersenyum manis menenangkan Tiana yang baru saja menangis. Seperti biasa, karena dua Kakaknya merebut maianannya."Iya Mami..."Kambali Shela menatap dua kembar yang bermain bola di dalam ruang tamu. Mereka dilarang keluar dari dalam rumah oleh Shela, karena Tiana yang sakit tidak mau ditinggal oleh siapapun."Tino sama Tiano jangan keluar rumah ya, jagain adik! Mami mau masak dulu, okay?!" Shela mendekati dua anaknya."Iya Mi, masak yang enak." Tiano memeluk Shela dan mengecup pipinya."Tino mau telur kecap! Nanti putihnya dibuang," pinta Tino tak mau kalah dia mengecupi pipi kiri Shela.Wanita itu terkikik geli, ia pun melepaskan pelukannya kedua anaknya dan mengangguk antusias."Ya sudah, Mami ke belakang ya...""Iya Mam!"Shela berjalan ke belakang, hari ini Bibi sedang libur dan pulang ke rumahnya, Shela sementara libur bekerja dan menyerahkan pekerjaannya pada Morsil, tangan kanannya.Wanita itu mulai memasak di dapur dan tak khawatir dengan buah hatinya di ruang tamu, Tiana menonton kartun, dan dua kembar Tino dan Tiano bermain lempar-lemparan bola.Semantara di luar rumah mereka, sebuah mobil berwarna hitam berhenti di depan teras.Seorang laki-laki tampan dengan stelan sweeter hitam yang dibalut mantel cokelat gelap, dengan kaca mata hitam yang dilepaskan, ia baru saja keluar dari dalam mobilnya.Sebastian tersenyum tipis mendongak menatap rumah keluarga Morgan yang lama tidak pernah dia kunjungi."Rumah ini tidak berubah," gumam Sebastian."Iya Tuan," jawab Josh yang berdiri di belakang membawa koper milik Sebastian.Sebastian hendak melangkah membuka pintu, perhatiannya tertuju pada tumpukan maianan di dalam kotak besar.Keningnya mengerut melirik Josh. "Mainan?" Sebastian bertanya-tanya.Tanpa pikir panjang, laki-laki itu membuka pintu rumah yang ternyata benar-benar tidak terkunci, karena setahunya rumah itu ada yang menjaganya."Lempar ke sini, Tiano!" teriak seorang anak laki-laki.Sebastian tepat membuka pintu kayu berwarna putih di depannya, dan sial! Sebuah bola mendarat di kepalanya dengan cukup kuat. Langkah laki-laki itu langsung terhenti di tempat."Sialan!" umpat Sebastian tanpa sadar dan spontan.Tiga anak kecil di depan sana tersentak dan mereka bertiga berkumpul menjadi satu.Mereka bertiga mengerjapkan kedua matanya menatap sosok laki-laki tampan yang masuk ke dalam rumahnya, dan membawa sebuah koper! Jangan-jangan...Tiana, anak itu mengerjapkan kedua matanya polos. Ia teringat apa yang Mamanya katakan tadi, kalau Tiana tidak menangis, maka Papinya akan pulang.Senyuman anak itu langsung merekah bersamaan ia berlari ke arah Sebastian dengan kedua tangan yang terlentang."Papi..!" teriak Tiana kesenangan.Sebastian mengerutkan keningnya, ia menatap anak kecil yang berdiri di depannya dan mengulurkan kedua tangannya dengan tatapan penuh kerinduan.Dua anak lainnya berdiri di dekat sofa menatap Sebastian dengan tatapan takut."Papi... Papi, Tiana kangen! Tiana mau gendong Papi!" pekik Tiana lompat-lompat kecil dengan kedua tangan terulur.Sebastian mengerjapkan kedua matanya, sesuatu yang hebat membuatnya tercengang. Wajah anak perempuan ini sangat ia kenali.Sebastian menekuk lututnya di hadapan Tiana sebelum anak perempuan itu berhambur memeluknya."Tiana kangen Papi!" seru anak itu mencari posisi nyaman dalam pelukan Sebastian.Sebastian melepaskan pelukan Tiana sebelum dua anak kembar lainnya berjalan menjauh. Sebastian tidak bisa berkata-kata, ia masih terkejut dengan ketiga anak ini."Kakak sini, ini Papi kita pulang!" pekik Tiana melambaikan tanganya pada dua kembarannya.Dua kembarannya menggeleng dan berlari ke belakang. Sedangkan Tiana masih memeluk Sebastian, anak itu tidak sungkan mengecupi wajah Sebastian dan tersenyum manis.Detak jantung Sebastian berpacu setelah wajah cantik anak dalam pelukannya itu mengingatkannya pada seseorang gadis yang telah lama hilang.'Wajah anak ini, dia begitu mirip dengan...'Sebastian terpana mengingatnya. "Shela!"Sebuah acara makan malam yang begitu yang begitu menyenangkan di musim dingin di kediaman keluarga Morgan. Meskipun hanya dengan anak dan menantunya yang berkumpul di sana, namun kebersamaan ini membuat Shela merasa senang dan bahagia. "Kalau seperti ini setiap hari, Mami akan senang sekali. Andai saja kalian mau membeli rumah di sekitar sini," ujar Shela mantap para anak-anaknya. "Kakak kan sudah tinggal sama Mami," jawab Tiana membantu Shela menyiapkan makanan di meja. "Kami akan sering-sering ke sini, Mi," sahut Irish. Shela mengangguk, wanita itu tersenyum manis pada mereka. Sadari mereka semua memiliki keputusan yang tepat untuk kehidupannya masing-masing. Meskipun para anak-anaknya sudah dewasa, namun di mata Shela mereka adalah anak kecil yang dulu dia asuh dan ditimang ke mana-mana sendirian. "Mamimu sangat takut kalian jarang berkunjung," ujar Sebastian yang duduk berhadapan dengan Shela. "Tentu saja! Mami kan sayang sama kita, Pi. Dari bayi juga cuma Mami yang merawa
Beberapa Bulan Kemudian...Waktu berjalan dengan sangat cepat, hari-hari yang dilalui penuh dengan kebahagiaan untuk Irish dan Tino. Apalagi kini mereka telah menjadi orang tua, setelah kemarin Irish melahirkan anak pertama mereka. Doa-doa yang setiap harinya dia panjatkan ternyata dikabulkan oleh Tuhan. Dia memiliki seorang anak perempuan yang sangat-sangat cantik. "Mereka bertiga seperti anak kembar, ya?" Irish terkekeh melihat putri kecilnya dibaringkan bersama dua anak Sora dan Tiano. Sora dan Tiano memiliki anak kembar laki-laki yang lahir dua minggu lebih dulu dari Irish. "Seperti aku dan Kakak dulu ini, aku perempuan sendiri, dua saudara kembarku laki-laki!" seru Tiana sembari duduk di samping Irish. "Tapi tetap saja! Yang nangisnya paling kenceng seperti Mamanya, tetap Arabelle!" sahut Tino kini menggendong Arabelle yang memeluk botol susu cokelat miliknya. Anak manis berusia hampir satu tahunan itu merengek-rengek ingin turun setelah dibuat menangis oleh Tino. Irish me
Kabar kehamilan Irish sudah diketahui oleh semua keluarga, tentu saja mereka semua bahagia. Bahkan di kemungkinan besar Irish dan Sora akan memiliki anak yang seumuran nantinya, hanya selisih satu bulan saja. Kini Irish berada di rumahnya, gadis itu baru saja menghubungi Sora dan Tiana, untuk memberikan kabar bahagia pada saudarinya kalau dia hamil. "Rish, kau sudah makan?" tanya Tino mendekati istrinya yang tengah rebahan di sofa yang berada ruang keluarga di lantai satu. Gadis itu menoleh dan menggelengkan kepalanya. "Tino... Aku tidak lapar, aku nanti bisa mual kalau makan terlalu banyak. Aku tidak mau," seru gadis itu menggelengkan kepalanya lagi. Tino pun tersenyum tipis dan menarik lengan gadis itu dengan pelan. "Makan sekarang, Sayang!" serunya dengan nada menekan dan memaksa. "Pemaksaan sekali, Tino..." gerutu Irish dengan wajah cemberutnya. "Aku mau makan, tapi suapi aku, ya!" "Iya! Aku akan menyuapimu. Sekarang ayo makan dulu," seru Tino lagi. Irish duduk dengan pel
Hari dengan hari berjalan jemu, Irish sering kali merasa kesepian beberapa waktu ini. Suaminya rupanya sangat sibuk, selalu pulang terlambat, dan pergi saat Irish masih tertidur. Bahkan di minggu ketiga di mana Tino selalu sibuk dengan pekerjaan di kantor milik Sebastian kini, Irish merasa benar-benar membutuhkannya di saat dia tidak sehat kondisi tubuhnya. Irish bangun pukul delapan pagi, dan hari ini Tino masih di rumah. Kesempatan yang baik untuk Irish berbincang dengannya. "Sayang..." Suara Irish memanggil dari luar di lantai dasar. Gadis itu mencari-cari, dia menuruni anak tangga dan memperhatikan sekitar yang sepi. Sampai akhirnya langkah Irish benar-benar terhenti di penghujung tangga. "Hari ini jadwal saya akan padat Pak Kyle, boleh diundur sampai hari Senin besok? Tidak ada waktu luang sama sekali, Minggu ini saya juga akan ke luar kota untuk mengecek proyek. Satu jam dari sekarang saya ada meeting!" Suara penuh riuh kesibukan itu membuat Irish kembali menelan kesediha
Keesokan paginya, Irish dan Tino asik menghabiskan waktu untuk mengunjungi beberapa tempat wisata di kawasan Salzburg. Mereka menikmati momen berdua di sebuah taman yang sangat indah. "Andai saja liburannya bisa diperpanjang," ujar Irish menyandarkan kepalanya di pundak Tino. "Aku juga tidak ingin pulang," jawab laki-laki itu mengecup pucuk kepala Irish. "Heem, kita menikmati momen yang indah di sini." Irish mengembuskan napasnya pelan, ia beranjak dari duduknya dan berdiri di hadapan Tino, memegangi satu tangan Tino dan menatap sekitar. Sedangkan Tino masih selalu memperhatikan istrinya dengan tatapan kagum, ia yang selalu mencintai dan menyayangi Irish, tak mungkin bisa berpaling darinya. Sampai tiba-tiba sebuah bole menggelinding di bawah kaki Irish. Gadis itu menatap bola merah di bawah kakinya, sebelum ada seorang anak kecil perempuan yang baru saja bisa berjalan, menuju ke arahnya. "Wahhh, ini bola mi-milikmu ya?" Irish menekuk kedua lututnya dan mengulurkan tangannya me
Hari sudah malam, Tino kali ini bersama dengan Paman Caesar di sebuah rumah kaca setelah ia meninggalkan istrinya yang sibuk berjalan-jalan dengan Bibi Alpen dan juga sopirnya ke kota. Kini Tino berdua saja dengan Paman Caesar, laki-laki itu menuangkan sebuah minuman ke gelas berukuran kecil di hadapan Tino. "Huffttt... Aku tidak pernah menyangka kalau Irish akan memiliki suami sepertimu," ujar Paman Caesar tiba-tiba. "Kenapa begitu, Paman?" tanya Tino menatap laki-laki di depannya itu dengan tatapan tak biasa. Caesar menghela napasnya pelan. "Irish anak yang sangat aneh, Tino. Tidak mudah baginya untuk dekat dengan sembarang orang, Irish... Irish punya masa lalu yang buruk sekalipun dia anak orang terpandang. Makanya aku mengajukanmu, dari keluarga Morgan untuk menjadi suaminya. Aku tahu kau tidak akan menyakitinya." Tino sedikit tercubit dengan kata-kata Caesar barusan, karena pada awalnya dia tidak sebaik ini pada Irish. "Irish tidak gagap, Tino," ujar Caesar lagi. Detak jan