Share

Izinkan Aku Pergi

Sudah beberapa hari ini Shela merasa ada yang aneh pada dirinya, ia terus ingin muntah dan tubuhnya yang mudah tidak bertenaga membuat Shela terus menerus mengurung diri di dalam kamar.

Gadis itu kini duduk di tepi ranjangnya dan mengusap perutnya yang masih tak nyaman, perasaan cemas kembali menghampirinya.

"Sudah lima minggu lebih aku terlambat datang bulan, apa mungkin aku..," lirih Shela menatap pantulan dirinya di cermin.

Segera Shela beranjak dari duduknya, gadis itu berjalan membuka laci meja rias. Ragu-ragu Shela mengambil sebuah test pack yang pagi tadi ia beli.

Shela berjalan masuk ke dalam kamar mandi dan mengunci pintunya rapat-rapat, cukup lama ia diam di sana dan menunggu.

'Semoga firasatku ini salah Ya Tuhan, semoga dugaanku tidak terjadi,' batin Shela penuh harap.

Beberapa menit Shela menunggu, gadis itu meraih test pack dengan tangan gemetar. Dua garis merah begitu jelas telihat hasil dari test pack yang Shela pegang. Dan Shela kini benar-benar tengah hamil!

Bagai petir menyambar hati Shela, gadis itu membekam mulutnya tak mampu menahan isak tangis. Tubuh seketika lemas terjatuh duduk di lantai kamar mandi.

"Tidak mungkin," lirih Shela menatap lagi benda yang dipegangnya. "Ini pasti salah..."

Shela menangis keras tak tertahankan, bagaimana bisa ia menghadapi semua kenyataan ini? Shela tengah mengandung anak Sebastian, adik Papa tirinya, dan laki-laki itu sudah mempunyai calon istri.

Apa jadinya kalau Mamanya tahu tentang ini semua? Teman-temannya, keluarga Ferdi, dan semua orang? Shela pasti akan sangat malu.

"Bagaimana ini, Ya Tuhan... Apa yang harus aku lakukan?" Shela menjambak rambutnya putus asa.

Gadis itu menatap nanar test pack yang ia jatuhkan dengan frustrasi, kedua matanya pun kembali terpejam erat.

'Tidak mungkin aku meminta pertanggung jawaban darinya, dan aku tidak mau terus bertemu dengannya. Aku tidak akan sanggup hidup di tengah-tengah semua ini. Lebih baik aku mengakhiri hidupku!'

**

Sebuah mobil sport membelah jalanan tengah malam di kota Paris yang tengah dilanda hujan. Sebastian Morgan, laki-laki itu mengemudikan mobilnya usai ia mengantarkan Bella ke suatu tempat.

Tiba-tiba saja perhatian Sebastian teralihkan. Perlahan ia mengurangi kecepatan mobilnya saat melihat seorang gadis yang berdiri di tepi jembatan.

"Apa yang gadis itu lakukan hujan-hujan begini?" gumam Sebastian lirih.

Gadis dengan dress putih panjang basah kuyup berdiri di tepi jembatan menatap ke bawah sungai. Wajah cantik gadis itu lamat-lamat terlihat tidak asing bagi Sebastian.

"Shela," ucap Sebastian terkejut dan langsung menghentikan mobilnya. "Astaga, Shela!"

Saat itu juga Sebastian turun dari dalam mobilnya dan berjalan cepat mendekati gadis itu.

Sedangkan Shela yang berdiri di tepi jembatan, gadis itu sudah tidak bisa memikirkan apapun, tekadnya bulat ia sungguh ingin mengakhiri hidupnya.

Air mata berdesakan di pelupuk mata, Shela bersumpah tidak akan menyesali keputusan terakhirnya. Dirinya bahkan telah meninggalkan surat terakhir untuk sang Mama.

Kedua tangan Shela terkepal menatap arus deras sungai di bawahnya. 'Mama mafkan Shela, Ma...'

Kedua mata Shela terpejam dengan tubuhnya yang lemas, namun begitu ia hendak menjatuhkan diri, seseorang mendekapnya erat dari belakang dengan lengan kekar melingkari perut Shela.

Terasa jelas hangatnya napas dan detak jantung orang itu, tangan kekar melingkar erat di perut Shela.

"Apa yang kau lakukan, Shela?" bisik laki-laki itu dengan suara lirih tajam.

Suara dalam ini?

Shela sontak membalikkan badannya dan menatap laki-laki tampan berbalut kemeja putih yang kini mencekal kedua pergelangan tangannya.

Tatapan iris mata hitam itu begitu tajam, rambut hitam dan tubuhnya basah kuyup.

"O-om Sebastian..." Shela mundur perlahan.

"Apa kau gila ingin mengakhiri hidupmu, hah?!" amuk Sebastian menarik menatap tegas gadis itu.

"Ini bukan urusanmu! Kau bukan siapa-siapaku!" Shela menangis histeris menggelengkan kepalanya menghindari Sebastian. 

"Jangan bodoh Shela..." Laki-laki itu meraih kedua pergelangan tangan Shela dan mencekalnya.

"Lepaskan aku, jangan ikut campur!" pekik Shela memberontak.

Sebastian mengabaikannya dan tetap mencekal kuat kedua pergelangan tangan Shela. Laki-laki itu bingung, apa yang membuat Shela seperti ini?

Saat tubuh Shela melemah, Sebastian membawa tubuh kecil gadis itu dalam dekapannya. Tangisannya perlahan lenyap dan tubuhnya lemas dalam pelukan Sebastian.

"Shela... Shela bangun! Shela..!" Sebastian menepuk-nepuk pipi Shela dengan pelan.

Kedua mata Shela terpejam dan tubuhnya sangat lemas tak bedaya. Tanpa memikirkan apapun lagi, Sebastian segera membawa Shela masuk ke dalam mobilnya.

Sebastian mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi mengantarkan Shela pulang.

Sesekali Sebastian menatap wajah pucat Shela. Hatinya merasa amat sangat tidak tenang dipenuhi tanda tanya.

'Kenapa dengan gadis ini? Apa yang membuat dia ingin mengakhiri hidupnya?'

**

Kedua mata Shela terbuka pelan begitu ia merasakan kehangatan di tubuhnya. Shela menyadari, ia berada di dalam kamarnya kembali. Dan aksi bunuh dirinya gagal karena Sebastian datang menyelamatkannya.

"Shela Sayang, sudah bangun nak..."

Suara lembut Stevani mengalihkan tatapan Shela yang nanar. Wanita itu duduk di tepi ranjang dan di belakangnya Ferdi berdiri dengan wajah cemas.

Stevani masih menyeka air matanya. Wanita itu sangat histeris begitu Sebastian menceritakan hal yang terjadi pada Shela beberapa jam yang lalu.

"Mama," lirih Shela lemah.

"Sayang, apa yang terjadi nak? Kenapa Shela melakukan hal itu? Ada apa Sayang?" Stevani mengusap dan menangkup satu pipi Shela.

Gadis itu bangun dan duduk memeluk Stevani erat-erat. Shela menangis, sedih, takut, dan seribu perasaan yang sulit ia ucapkan.

"Maaf Ma," lirih Shela mengeratkan pelukannya pada sang Mamanya.

Sejenak Stevani terdiam, ia menoleh pada Ferdi sampai laki-laki itu mendekat dan mengusap pucuk kepala Shela.

"Ada apa nak? Katakan semuanya pada Mama dan Papa, kami tidak akan marah," ujar Ferdi begitu sabar ia membujuk Shela.

Stevani menarik Shela dari pelukannya, ditangkup kedua pipi putrinya dengan hangat.

Wajah sembab Shela membuat Mamanya cemas, rasa takut meliputi hati Stevani dengan kondisi Shela yang terpukul hebat.

"Katakan, Mama akan dengarkan semuanya. Mama tidak akan marah, Mama janji," ucap Stevani.

Shela tertunduk meremas selimutnya dan terisak kian kuat.

"Shela... Shela hamil, Ma," lirihnya, gadis itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

Tubuh Stevani bagai terhantam batu besar ketika mendengar ungkapan putrinya. Terdiam membeku wanita itu hingga pelukan erat Shela menyadarkannya.

Perlahan Stevani kembali membawa Shela dalam dekapannya. Bohong kalau wanita itu tidak ingin menangis.

"Shela, katakan pada Mama, ini tidak bercanda kan, nak?" Stevani berkaca-kaca.

Shela menggeleng. "Maaf Ma..."

Wanita itu menundukkan kepalanya mendekap tubuh Shela kian erat dan mengusap punggungnya.

Ferdi pun merasa terkejut dan laki-laki itu juga merasakan kesedihan yang sama.

"Siapa laki-laki itu nak? Katakan sejujurnya," bujuk Ferdi dengan sabar.

"Iya, katakan pada Mama, Sayang. Siapa dia?" Stevani menatap wajah Shela dan mengusap air mata di wajah putrinya. "Mama tidak marah nak, katakan dengan jujur."

Dada Shela terasa sesak, untuk hal ini ia tidak akan mungkin mengatakannya kepada siapapun. Shela tidak akan pernah mengatakannya.

"Ti-tidak tahu, dia malam itu... Shela..."

Ucapan Shela kembali tertelan, Stevani memejamkan kedua matanya erat dan wanita itu mencengkeram erat sweeter merah yang Shela pakai dan menyembunyikan wajah Shela dalam ceruk lehernya.

"Tidak papa Sayang, jangan takut... Mama dan Papa akan tetap di sini. Kita berdua akan menjaga Shela," ujar Stevani menyemangatinya.

"Tenang nak, Papa akan menjagamu. Anak itu tidak berdosa, Shela jangan melakukan hal yang aneh-aneh," tutur Ferdi mengusap punggung Shela.

Shela tetap tidak tenang dengan semua ucapan mereka, bayangan setiap saat dia harus bertemu dengan Sebastian, ayah biologis anak yang Shela kandung, dan fakta laki-laki itu akan segera menikah, Shela tidak sanggup!

"Mama..." Shela menggenggam kedua tangan Stevani, sorot mata penuh keskesedihan menatap sang Mama. "Tolong izinkan Shela pergi dari sini, Shela malu, Shela tidak ingin tinggal di sini lagi."

"Sayang, Shela mau ke mana?" Stevani begitu berat melihat kondisi Shela.

"Shela ingin tinggal di tempat baru di mana semua orang tidak mengenali Shela." Gadis itu menggenggam kuat kedua tangan Mamanya, dan tertunduk. "Ma, Shela ingin membesarkan anak ini sendiri, tolong izinkan Shela pergi..."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status