Masih belum selesai masalah tadi siang, Richard kembali membuat Qiara tak tenang.
Tak seperti biasanya, Richard makan di rumah!
Hal ini membuat Qiara menghindar. Ia bahkan memilih untuk membersihkan dapur.
“Saya padahal nyuruh kamu buat makan bareng.”
Qiara masih enggan menoleh. Perempuan itu masih mencuci wajannya dan menjawab, “Maaf, Pak. Saya tidak lapar. Masih kenyang.”
Richard menghabiskan sisa makanannya, lalu meletakkan sendoknya di atas piring. Bersamaan dengan Qiara yang selesai membersihkan dapur.
“Bisa kita bicara sebentar?”
Qiara masih diam, bahkan tak berani menatap wajah Richard yang terlihat tegas itu.
“Tolong duduk.”
Qiara menarik kursi yang berada di depan Richard. Ia duduk di sana dengan waswas.
Diremasnya ujung kaosnya sendiri. Apa lagi ini?
“Mengenai kejadian itu—“
“Saya putuskan untuk melupakan semuanya, Pak.”
Entah keberanian dari mana, Qiara mengatakan hal itu. Ia sudah mempertimbangkannya dengan matang. Alasannya jelas mengenai restu Oma Hesty.
“Tapi, bagaimana kalau kamu hamil?”
Menggugurkannya? Tidak! Qiara sangat menyukai anak-anak. Apa lagi anaknya sendiri. Namun, mengenai kontrak tiga tahun? Qiara kembali bimbang memikirkan tentang penalti.
“Apa yang kamu pikirkan?”
“Pak, jujur, kalau saya punya uang, saya memilih untuk resign kalau saya hamil, dari pada harus ….” Qiara tidak berani melanjutkan kalimatnya.
“Dari pada harus menikah dengan saya?” Richard menaikkan sebelah alisnya. “Tadi, kamu bilang, kalau ada uang? Maksudnya apa?”
“Saya di sini dikontrak oleh Oma Hesty selama tiga tahun. Saya dibayar mahal, dan saya tidak boleh asal keluar, karena ada penalti yang besar yang harus saya bayar nantinya.”
Tidak ada pilihan lain selain berkata jujur, masa bodoh dengan anggapan Richard. Menurut Qiara ini jauh lebih baik, dari pada berurusan dengan orang kaya.
“Apa kamu benar-benar mau meninggalkan Alista? Selama ini, yang saya lihat, dia hanya diam bersama kamu. Sebelum-sebelumnya, Alista sering menangis.”
Qiara meremas jemarinya. Ia juga sudah terlanjur menyayangi Alista. Qiara menunduk, tak menjawab.
“Pikirkan ini, Qiara.”
“Kenapa Bapak justru mau bertanggung jawab, Pak? Saya ini—“
“Saya tidak sebrengsek itu, Qiara.” Hanya itu yang Richard bisa katakan. Entah, lidahnya mendadak kelu hanya sekadar ingin mengatakan, jika wanita di depannya itu tempat ternyamannya Alista.
Tidak bisa dipungkiri, kehadiran Qiara, mampu menghilangkan rasa pusing dalam dirinya. Karena sebelumnya Alista selalu menangis.
Tangis Alista selalu mengingatkannya dengan Yasmin. Lebih tepatnya kepergian Yasmin.
“Apa kamu punya pacar? Maksud saya, kamu apa ada calon? Sampai kamu menolak saya?”
Qiara mengangkat wajahnya, matanya melebar dengan spontan menggelengkan kepala. “Tidak ada.”
“Lantas?”
“Saya takut dengan Oma Hesty, Pak. Saya tidak mau kalau beliau menganggap saya memanfaatkan situasi. Dan saya takut dengan Mbak Hana. Bukankah dia kekasih Anda?”
Richard menatap Qiara tak percaya. Wajahnya masih terlihat datar.
“Mengenai itu, semua akan menjadi urusan saya. Hanya saja, saya tidak mau kamu menanggung beban dengan mengandung tanpa suami.” Richard menghela napas panjang. “Soal Hana, dia bukan siapa-siapa.”
Qiara diam, karena memang ia tak tahu apa yang akan dia ucapkan.
“Lagian, kamu bisa menjadi ibunya Alista.”
Richard tahu, Qiara begitu menyayangi putrinya dengan tulus. Ia bisa melihatnya sendiri, bagaimana Qiara mengurus Alista.
Meski terkesan dingin, ia juga sering memperhatikan Alista dari jauh.
“Jangan buat saya memohon, karena saya benci itu.” Richard memalingkan wajahnya.
Dipikir dengan menikah semuanya akan beres?
Tidak! Qiara harus memikirkan tentang imbasnya. Belum tentu Oma Hesty akan memperlakukannya dengan baik. Pun dengan Richard.
Lalu, bagaimana dengan perasaan Qiara? Apa dia harus menikah tanpa ada rasa cinta di dalamnya? Sementara Richard saja bersikap dingin dan acuh tak acuh seperti itu.
“Apa ini hanya sebagai formalitas, Pak?”
Richard menatap Qiara dengan datar. Hal ini juga sulit. Namun, semua itu karena rasa bersalah yang terus mengganggu. Bayangan Yasmin terus memutar di otaknya.
Lalu, noda darah di seprai, hal ini membuat kepala Richard mendenyut nyeri.
“Saya serius dengan ucapan saya.”
Setidaknya, Qiara mampu melunasi semua hutang-hutang ayahnya, kan?
“Siapkan diri kamu, karena besok kita akan membahas pernikahan kita sama Oma.”
Qiara melebarkan mata. Keputusan Richard membuatnya syok. Padahal, ia belum memutuskan sesuatu.
“Be-besok?”
“Lebih cepat, lebih baik. Kembalilah ke kamar kamu. Istirahat dengan baik. Temani Alista.” Richard bangkit dari kursi, lantas pergi ke kamar. Kali ini menutup pintu dengan pelan.
Bagaimana ini? Qiara tidak tahu harus bicara apa dengan Oma Hesty.
Qiara kembali ke kamar. Rasa takut dalam diri semakin besar. Ia menoleh pada Alista yang masih terlelap. Ia menghampiri box bayi itu.
“Sayang, apa mbak beneran akan jadi mama kamu? Tapi, rasanya ini seperti mimpi. Bapakmu itu ….”
Qiara memejamkan mata. Rasanya seperti tidak mungkin mengatakan ini pada bayi yang sedang tertidur.
Qiara melorot dan duduk bersimpuh di lantai. Ia meraup wajahnya sendiri.
Sebentar lagi pernikahan itu pasti akan terlaksana. Entah apa jadinya ia nanti?
Oma Hesty menangis dengan memeluk Inara. Ia sudah sangat takut atas apa yang telah menimpa Qiara. Diculik, dipaksa berlari dalam keadaan hamil pula. Air matanya menetes dengan tangan mengusap perut buncit Qiara. “Oma benar-benar takuy, Qiara,” rintih Oma Hesty. “Bersyukur sekali cicit oma dan kamu baik-baik saja.” Qiara mengulum senyuman. Ia terharu akan perhatian Oma Hesty. Kepalanua menggeleng dengan lemah dengan mata berkaca-kaca. “Semuanya sudah lewat, Oma. Qiara baik-baik saja, kok.” Oma Hesty menyeka air matanya sendiri. Ia tak menyangka, jika hati Qiara sebesar ini. Bahkan ia tak mau menuntut Hana lebih kejam lagi. “Mulai sekarang, kamu harus tinggal sama Oma. Oma seriusan takut kalau ada apa-apa sama kamu lagi, Qiara.” Belum sempat Oma membalas, pintu kamar terbuka perlahan. Richard masuk sambil menggendong Alista—bayi mungil berusia sembilan bulan dengan pipi tembam dan mata bulat besar yang langsung membesar begitu melihat Qiara. “Ma…” Alista mengoceh sambil me
Mobil Richard berhenti dengan kasar di depan IGD rumah sakit. Richard langsung menggendong Qiara dan berlari menuju pintu masuk. Para petugas medis langsung menyambut mereka dan membawa Qiara ke dalam ruangan.Richard menjelaskan kepada dokter tentang apa yang terjadi pada Qiara, tentang penculikan dan pelarian yang menegangkan yang baru saja mereka alami. Dokter mendengarkan dengan saksama, lalu meminta Richard untuk menunggu di luar. "Kami akan melakukan yang terbaik untuk Ibu Qiara," ujar dokter dengan tenang.Richard terdiam di kursi tunggu, tangannya mengepal erat. Dia merasa panik, takut, dan tidak berdaya. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika sesuatu terjadi pada Qiara dan calon bayinya.Richard terduduk lemas, matanya terpejam. Dia berdoa dengan sungguh-sungguh, memohon agar Tuhan melindungi Qiara dan calon bayinya. "Ya Tuhan, tolong lindungi Qiara dan calon bayi kami. Berikan kami kekuatan untuk melewati masa-masa sulit ini," bisik Richard dalam h
Dor Richard terperanjat. Bunyi ledakan membuatnya ternganga, tak percaya. Haidar tertembak di bagian lengan kiri. Namun, nampaknya pria itu tak menyerah, ia membalas dengan satu tembakan yang berhasil tepat sasaran. Buru-buru Richard menghampirinya. “Haidar, kamu enggak apa-apa?” Richard sangat panik. Suara sirene mobil aparat mulai terdengar, beberapa petugas turun dari mobil, mengejar para pelaku, termasuk Denis. Richard berjongkok di samping Haidar, tubuh sahabatnya itu terkulai lemas dengan darah yang mengalir dari luka tembak di lengannya. Detak jantung Haidar terdengar lemah, dan napasnya tersengal-sengal. Richard berusaha menenangkan Haidar, "Tenang, Haidar. Ambulans sudah dalam perjalanan."Polisi yang membantu mengevakuasi Haidar, segera mengamankan lokasi kejadian. Penjahat yang menembaki Haidar berhasil ditangkap. Richard merasa lega, tetapi keprihatinannya terhadap Haidar tetap tak tergoyahkan.Richard mengambil ponselnya dan menghubungi ambulans. "Halo, saya
“Keluar kalian!” teriak ketiga pria yang mengejar Qiara, Richard dan Haidar. “Mas, aku sudah gak kuat lagi,” rintih Qiara sambil memegangi perutnya sendiri. “Stt, kamu harus bersabar sayang. Kita akan segera pergi dari sini.” Richard berbisik, seraya mengusap lengan sang istri. Menenggelamkan wajah Qiara di ceruk leher. Berharap, hal seperti ini bisa membuat Qiara lebih tenang. “Tuan, Anda bisa di sini. Biar saya yang maju. Setelah saya bisa mengalihkan. Anda bisa membawa Bu Qiara,” ucap Haidar pada akhirnya. Ia tidak berani mengambil tindakan sebelumnya, karena keadaan Qiara yang tidak memungkinkan. Wanita itu hamil besar. “Berhati-hatilah,” titah Richard. Haidar mengangguk. Ia mengambil posisi, mengintip berlebih dahulu. Dirasa aman, ia berguling untuk berpindah tempat. berguling lagi, hingga sampai pada tumpukan drum berisikan oli. Brak! Sengaja Haidar menjatuhkan sesuatu, untuk mengundang atensi ketiga pria yang mengejarnya. Ia memberikan anggukan pada Richard, untuk mengam
Mobil Richard berhenti dengan bunyi decitan ban yang mengeras di atas aspal. Udara malam terasa dingin menusuk kulit, membawa aroma tanah basah dan dedaunan kering. Richard melangkah keluar, tubuhnya tegap dan tangannya menggenggam erat pistol di pinggang. Di sampingnya, Hana, dengan wajah pucat pasi, mengikuti dengan langkah gontai."Kau yakin ini tempatnya, Haidar?" tanya Richard, suaranya berat dan berbisik.Haidar, dengan seragam polisi yang kusut, mengangguk pelan. "Ya, Tuan. Ini markas Denis. Aku pernah mengintai tempat ini beberapa kali. Dia sering keluar masuk dengan Hana."Richard mengerutkan kening. "Jadi, Hana memang terlibat?""Sepertinya begitu, Tuan. Aku tidak tahu pasti apa motifnya, tapi dia selalu terlihat bersama Denis kemarin."Richard menarik napas dalam-dalam. "Baiklah. Kita harus bergerak cepat. Qiara... Qiara mungkin dalam bahaya."Mereka bertiga memasuki halaman rumah yang gelap dan sunyi. Daun-daun kering berderit di bawah sepatu mereka. Richard menunjuk sebua
“Hana,” desis Richard dengan mengepalkan tangan kuat-kuat. Pria bermata lebar itu melangkah dengan pasti, menghampiri wanita yang sedang berbincang dengan teman-temannya. menyadari keberadaan Richard, teman Hana menyikut wanita itu, menunjuk Richard dengan dagunya. “Richard, kamu datang lagi?” Hana melebarkan senyuman, seolah senang akan kehadiran pria itu. “Di mana Qiara?” tanya Richard dengan rahang mengeras. Andai Hana laki-laki, mungkin ia sudah menghajarnya habis-habisan. “Qiara? Kenapa bertanya kepadaku? Aku--” “Tidak usah berkelit, Hana! Kamu satu-satunya orang yang sama sekali tidak menyukai dia. Sebuah mobil membawa istriku pergi, aku yakin, ini ada hubungannya dengan kamu. Mengaku, atau kamu akan mendapatkan akibatnya dariku ” Hana menggelengkan kepalanya, bahkan wajahnya tampak terlihat bingung. “Aku memang berencana untuk menjauhkan dia dari kamu. Tapi, mengenai hilangnya dia sekarang, sih, aku sama sekali tidak tahu.” “Bohong! Katakan, atau kau akan merasakan aki