Share

Bab 2

"Aku ingin membunuh Allendra, Ibu mau membantuku?"

***

Gadis itu mengambil ancang-ancang, menapakkan kaki kanan di tembok gedung lalu melakukan gerakan melayang sampai kaki yang satunya menyentuh pipi seorang pria yang sejak tadi berlaga jagoan di hadapannya. Alena paling benci orang yang sok berkuasa atas apa pun yang bukan miliknya. Dia bukan orang baik, ya itu memang benar, tapi jika ada sesuatu yang tidak sedap dipandang tertangkap matanya tentu Alena tidak bisa tinggal diam. Suasana di gang sempit itu tampak sepi padahal hari sudah cukup pagi, hari ini Alena memang berangkat lebih awal dari biasanya karena malas diinterogasi dengan sederet pertanyaan tidak penting Allendra. Benar, memang pria itu satu-satunya walinya yang tersisa di dunia ini tapi sejak orang tuanya meninggal Alena merasa semua wali dan orang-orang yang peduli padanya pun ikut hilang. Allendra lebih mirip orang asing yang tidak peduli pada adik semata wayangnya.

Hubungan mereka tidak dekat apalagi akrab untuk disebut sebagai kakak-adik, jauh dari kata harmonis, setidaknya begitu yang Alena rasa sekarang. Ketika berpapasan di rumah pun mereka akan saling mengabaikan, layaknya musuh yang bertemu di persimpangan jalan. Tidak ada yang berbesar hati menyapa lebih dahulu atau sekadar menunjukkan keberadaan satu sama lain. Letak kediaman yang kebetulan sangat besar dan keduanya menghuni gedung berbeda membuat intensitas pertemuan Alena dan Allendra semakin jarang.

Kedua orang itu tidak pernah mempermasalahkannya dan hanya fokus pada kehidupannya masing-masing. Selagi tidak saling mengusik maka keduanya akan bersikap wajar, dan Allendra mulai melanggar kesepakatan itu sejak Zeeya mengunjungi rumahnya. Sudah Alena duga, keputusan gurunya itu hanya akan semakin merepotkannya. Menyebalkan!

"Kurang ajar! Berani kau menyentuhku, dasar gadis sialan!" umpat lelaki itu kemudian balas menyerang Alena dan menghadiahi beberapa pukulan di wajah dan perut Alena.

Gadis itu kecolongan saat mendengar korban palak berandal itu memekik keras, seharusnya ia abaikan saja tapi Alena takut anak itu kenapa-kenapa jadi dia terpaksa menghentikan perlawanan dan memeriksa keadaan gadis itu. Sayangnya, kelengahan Alena dimanfaatkan musuhnya untuk balas menyerang dan berhasil, Alena sempat kewalahan. Tubuhnya membentur tembok dan bahunya ditahan oleh dua orang sementara satu orang lainnya kembali membubuhkan pukulan ke wajah Alena sampai luka-luka yang kemarin nyaris hilang kini kembali lagi dan lebih parah.

"Hentikan, kumohon hentikan! Ahhh," teriak gadis lemah tadi sambil menangis dan menjerit miris saat darah segar mengucur dari sudut bibir Alena.

Bukan Alena namanya jika harus kalah dalam pertempuran, sekali pun kini dia sudah terluka parah dan lawannya tidak imbang namun gadis itu masih memiliki tenaga untuk menendang bagian selangkang laki-laki di hadapannya lalu meraih kepala dua orang yang menahan pundaknya tadi. Kepala itu dihantamkan satu sama lain, sang korban meringis kesakitan dan menimbulkan efek pusing yang cukup menyisa.

Tidak berhenti sampai di sana, Alena lantas menyerang sang ketua berandal dengan tinju-tinju keras secara membabi buta. Ia baru berhenti ketika berandal itu mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Alena mencengkeram kerah kemeja orang itu yang sudah ternoda bercak darah, tatapan tajam ia jatuhkan sekaligus memberi peringatan.

"Jangan pernah muncul di hadapanku lagi atau kalian akan mati!" tekan gadis itu dingin dan menusuk, untuk ukuran pria saja-tiga berandal tadi merinding mendengar ancaman itu.

Mereka mengangguk ketakutan dan beringsut menjauhi Alena sampai akhirnya ketiganya lari terbirit menjauhi tempat itu.

Alena menepuk seragam sekolahnya yang kotor akibat perkelahian barusan, dia menyugar rambut kecokelatannya lalu menyeka darah di sudut bibirnya. Minggu ini adalah minggu tersial untuk gadis itu, dalam waktu berdekatan dia harus mengeluarkan banyak tenaga untuk menghukum cecunguk-cecunguk tidak tahu diri. Besok-besok Alena tidak akan melewati rute jalan ini, dia pun berharap kejadian semacam ini tidak terulang kembali. Sungguh, itu sangat merepotkan dan tidak menguntungkan sama sekali.

"Kakak, tunggu!" panggil gadis yang nyaris kehilangan semua barang berharganya itu.

Alena menoleh dan gadis yang tampak sedikit lebih mudah darinya itu pun menghampiri Alena.

"Ini Kak, gunakan sapu tanganku untuk menyeka darah di wajah Kakak."

Gadis itu menyodorkan sapu tangan berwarna biru muda dengan motif garis-garis, Alena tidak langsung menerimanya dan hanya menatap sapu tangan itu datar.

"Tidak perlu," tolak Alena sambil lalu.

Gadis itu mengikuti arah pergi penyelamatnya dan dia berlari agar mengimbangi langkah Alena.

"Kalau begitu sebaiknya kita ke klinik dan mengobati luka Kakak. Aku takutnya nanti infeksi dan berbekas, sayang kan kulit mulus Kakak kalau ada bekas luka."

"Kubilang tidak perlu ya tidak perlu. Pergi sana, jangan mengikutiku!" usir Alena merasa terganggu dengan kehadiran gadis cerewet itu.

"Aku tidak mengikuti Kakak, tujuan kita memang sama. Kakak murid SMA Sevit, kan?"

Tidak ada jawaban, alih-alih mendengar ocehan gadis itu, Alena justru mengeluarkan earphone lalu disumbatkan ke kedua telinganya. Ia memutar lagu sekeras mungkin bahkan sampai bisa terdengar oleh gadis yang masih setia mengekorinya. Ekspresi ketakutan yang tadi ditunjukkan gadis itu kini berubah menjadi keceriaan yang membuat Alena muak. Pasalnya gadis itu terus mengajukan pertanyaan-pertanyaan tidak penting dan bertingkah seakan mereka dekat, padahal sejak tadi Alena jelas mengabaikan gadis itu.

Kini mereka sudah memasuki bus yang nantinya akan melintasi halte di dekat SMA Sevit, gadis itu masih belum menyerah untuk bersikap ramah pada penyelamatnya. Mereka satu sekolah dan besar harapan si gadis untuk bisa berteman dengan perempuan hebat seperti Alena. Serta merta perasaan kagum itu muncul tanpa peduli sikap tidak bersahabat yang ditunjukkan Alena.

"Ini hari pertamaku masuk sekolah, Kak. Asalku dari Bandung, datang ke sini karena menerima beasiswa di SMA Sevit. Aku tinggal di rumah bibiku, ah iya, sebenarnya aku juga punya kakak sepupu yang sekolah di Sevit. Tadinya kami mau berangkat bersama tapi sayang kemarin malam kakak sepupuku tidak pulang dan harus menginap di sekolah. Jadilah aku berangkat sendiri, eh pas di tengah jalan aku malah lupa harus turun di mana dan akhirnya turun di halte yang salah. jalan sebentar buat cari ojek tapi malah dicegat sama berandal, tadi aku takut banget, untung ada Kakak.”

Gadis dengan rambut dikucir kuda itu terus bercerita dengan ceria seakan Alena mendengarkan setiap detail ceritanya.

"Paman dan Bibi juga sempat menawarkan tumpangan untukku, Cuma aku nolak karena mau belajar berangkat sendiri berbekal ingatan yang tak seberapa ini. aku payah banget tahu Kak kalau disuruh ngapal jalan, mesti dilakuin berulang kali baru hafal, nasib jadi orang yang buta arah ya gini, hobi nyasar.”

Lima belas menit perjalanan sudah berlalu dan selama itu pula gadis remaja itu terus mengeluarkan cerita demi cerita yang entah mengapa begitu mudah dia bagikan pada orang asing. Alena tidak peduli dengan itu semua, sungguh, dia malas memberi peringatan lagi karena terhitung dua kali diingatkan dua kali pula peringatan Alena itu diabaikan. Jadi kini yang perlu dilakukan gadis itu hanya diam, berpura-pura tidak kenal-ah sebenarnya mereka memang tidak saling mengenal-dan bersikap seperti biasanya, dingin pada siapa pun. Bus berhenti tepat di halte tujuan, Alena bergegas turun diikuti gadis tadi yang seakan tidak ingin ketinggalan momen kebersamaan dengan idola barunya.

***

Zeeya mendesah berat, rasanya akhir-akhir ini begitu banyak alasan untuknya melakukan itu setiap hari apalagi jika dia sudah berhadapan dengan gadis ini. Masih seputar kasus pelanggaran minggu lalu, Zeeya berencana untuk menyelesaikan perkara itu hingga ke akar dan membuat beberapa perjanjian dengan Alena sampai mereka menghasilkan win win solution. Kekesalannya pada kakak gadis itu memang masih berkobar hebat sampai sekarang, Zeeya terhina sekaligus ternoda akan sikap kurang ajar dan pelecehan yang dilakukan Allendra terhadapnya. Awalnya gadis itu ingin melaporkannya ke polisi, namun setelah dipikir lagi itu percuma saja. Hanya membuang-buang waktu dan tenaga, Allendra bukan orang yang bisa dilumpuhkan oleh hukum negara dengan mudah. Orang sepertinya sudah pasti kebal hukum, mengingat kekayaan dan kekuasaan pria itu membuat Zeeya ragu untuk melawannya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa yang berkuasa bisa mengalahkan segalanya. Mereka punya kendali penuh atas apa saja tanpa khawatir ada yang menjegal langkahnya.

Semua perkara bisa diselesaikan dengan uang, bukan bermaksud berpikir negatif akan sistem kehidupan zaman sekarang namun memang begitulah faktanya. Sistem tak tertulis ini sudah berlaku sejak lama di berbagai belahan dunia. Upaya pemberantasan tindakan semena-mena tentu ada, tapi tidak pernah benar-benar tuntas karena mereka yang menindak hukum tidak lebih baik dari para pelanggar hukum itu sendiri. Memang tidak semua begitu, tapi sebagian besar kurang lebih seperti itu.

"Kau bertengkar dengan siapa lagi?" dakwa Zeeya melihat plester yang tertempel di sudut bibir, pipi kanan, dan pelipis kiri Alena.

"Bukan urusan Ibu."

"Jelas ini urusan Ibu, Alena! Kau murid Ibu, tanggung jawab Ibu jadi sudah sepantasnya Ibu tahu apa yang membuat kau seperti ini."

"Kalau mau mengeluarkanku dari sekolah ini tinggal lakukan saja, tidak perlu banyak basa-basi dan melakukan sesuatu yang tidak perlu. Buang-buang waktu."

Zeeya menahan emosinya sekuat mungkin, dia merapal doa ketenangan berulang kali agar tetap bisa sabar dan tampil bijaksana di hadapan muridnya yang luar biasa kurang ajar ini.

"Alena, Ibu sama sekali tidak bermaksud buruk dengan ikut campur ke dalam urusanmu. Tapi jika ini menyangkut masalah sekolah, maka Ibu tidak bisa lepas tangan begitu saja. Kau ini tanggung jawab Ibu di sini, tidak ada yang bisa mengeluarkanmu dari sekolah ini selama masih ada Ibu."

Alena mendecih, seperti menganggap remeh ucapan gurunya. Dia sudah menduga bahwa perempuan dewasa itu akan berbicara omong kosong, tadinya Alena ingin menghindar ketika Zeeya menyuruhnya ikut ke ruangan guru. Namun tangan Alena dicekal erat sekali oleh Zeeya sampai akhirnya dia terpaksa ikut dan berakhir di ruangan ini sekarang.

"Sebenarnya saya sudah malas membahas masalah ini dengan Ibu, berulang kali saya tekankan kalau saya tidak keberatan sama sekali jika dikeluarkan dari sekolah. Lagi pula untuk apa saya bertahan di sini, sejak awal saya memang tidak menginginkannya."

"Sekolah itu penting untuk masa depanmu, Alena. Kau harus tetap belajar agar-"

"Orang sepertiku tidak butuh masa depan, Bu."

"Jangan bicara seperti itu Alena, kita semua memiliki masa depan dan kau membutuhkan itu untuk tetap melanjutkan hidup. Kau masih muda, ada banyak waktu untukmu merenung, menanyakan semuanya pada hatimu tentang apa yang ingin kau lakukan di kemudian hari, tujuan apa yang ingin kau capai, dan mimpi apa yang bisa membuatmu senang. Cobalah Len, Ibu yakin kau akan menemukan satu hal yang akan kembali membuatmu semangat menjalani hidup ini."

"Sejak dulu aku hanya punya satu tujuan dan aku tidak perlu sekolah untuk mewujudkan tujuan itu."

"Ceritakan pada Ibu, apa tujuanmu? Kita bisa belajar sama-sama dan siapa tahu Ibu bisa membantumu."

Alena menunjukkan senyum miring dengan tatapan dingin namun penuh ambisi. Dia menyimpan kedua tangannya di atas meja, mencondongkan tubuh ke arah Zeeya lalu berbisik, "Aku ingin membunuh Allendra, Ibu mau membantuku?" ungkap Alena serius diselingi senyum mengerikan yang hanya dimiliki oleh psikopat-psikopat yang Zeeya lihat di film-film.

Gadis berambut panjang yang kini diikat ekor kuda itu mematung, bisa-bisanya anak seusia Alena berucap kalimat tidak pantas seperti itu. Alena cukup puas dengan jawaban yang dia berikan pada Zeeya, melihat reaksi gurunya, Alena merasa tidak ada satu pun yang bisa memahami dirinya. Jadi dia tidak butuh orang lain untuk mewujudkan semua hal yang ingin dia lakukan. Gadis itu meninggalkan ruangan Zeeya tanpa berkata apa-apa lagi, membiarkan gurunya berkutat dengan pikiran-pikiran yang mungkin akan mengusik hari-harinya mulai dari hari ini dan seterusnya.

"Astaga, mereka benar-benar keluarga psikopat."

***

"Kakak ...."

Lengkingan suara yang tidak asing itu menggema di telinga Alena, dia yang baru keluar dari ruangan Zeeya tiba-tiba dihampiri gadis cerewet yang sejak tadi pagi selalu mengusik hidupnya. Alena tidak tahu apa keinginan gadis itu mendekatinya, dan tidak tahu juga sebenarnya. Begitu sadar bahwa yang memanggilnya adalah si gadis cerewet, Alena pun bergegas menuruni tangga dan mempercepat langkah.

"Kakak aku panggil kok malah menjauh sih, hhh hhh hhh," ujar gadis itu setelah berhasil menyamakan langkah dengan Alena.

Menjauhi area gedung sekolah, Alena berjalan ke arah luar menuju lapang basket yang sedang dipenuhi anak kelas XII A. Mereka sedang latihan tanding dengan kelas tetangga yaitu kelas XII B. Sorak sorai penonton bergemuruh di sana namun lengkingan suara gadis cerewet ketika ingin menarik perhatian Alena, tidak kalah nyaringnya.

"Kakak, aku masuk ke kelas X A, loh. Katanya itu kelas unggulan, teman-temannya juga pada baik semua dan aku senang karena mereka menyambutku dengan hangat. Kupikir, aku akan dikucilkan karena pindahan dari desa. Aku senang sekali hari ini, bisa bertemu dengan Kakak dan teman-teman yang baik. Meskipun sempat terjadi insiden mengerikan tadi pagi tapi berkat Kakak, hari pertamaku masuk sekolah jadi sangat menyenangkan."

Alena masih tetap mengabaikan gadis itu, sialnya saat ini gadis itu tidak membawa ear phone karena tadi Zeeya buru-buru mengajaknya keluar kelas.

"Oh iya, Kak, aku hampir lupa, kenalkan namaku Seranisa. Kalau kakak siapa? Kelas berapa?"

Sejak tadi Sera terus memanggil Alena dengan sebutan kakak berdasarkan insting dan tebakannya saja. Ia merasa penyelamatnya itu lebih dewasa dari usianya jadi dia memanggilnya seperti itu agar lebih sopan.

"Kakak orangnya pendiam ya, aku jadi tidak enak bicara sendiri terus. Maaf ya Kak kalau merasa terganggu, aku hanya ingin mengenal Kakak lebih dekat dan—"

"Awasss!" teriak banyak orang di lapangan, Sera menoleh lalu meringkuk spontan saat bola basket melayang cepat ke arahnya.

Beberapa saat kemudian Sera membuka mata, dia tak merasakan nyeri atau hantaman apa pun. Begitu sadar ternyata bola berwarna cokelat tua itu sudah tepat ada di hadapannya dan dalam kuasa tangan Alena. Mata Sera berbinar antara kaget dan kagum membaur jadi satu. Sekali lagi, Alena menyelamatkannya dari bahaya, kekaguman gadis itu pun semakin menjadi-jadi saja. Orang-orang yang ada di sana pun dibuat jantungan, terutama para pemain basket yang sempat waswas kalau bola mereka akan menyakiti orang lain.

"Liam, bukankah itu adik sepupumu?" tanya salah seorang pemain.

Lelaki jangkung itu pun menajamkan pandangan dan dari arah yang cukup jauh dia bisa memastikan bahwa gadis yang hampir terkena lemparan bola tadi memang benar sepupunya.

"Kenapa dia bisa bersama Alena?"

"Wah, bahaya itu."

Cuitan kekhawatiran dari teman satu timnya membuat Liam mengambil langkah tegas. Lelaki itu berjalan menghampiri sepupunya diiringi teriakan penonton yang entah bertujuan untuk apa. Mungkin mereka sedang terpesona saat melihat Liam yang saat ini mengenakan seragam basket warna hitam, berjalan di bawah terik matahari dengan keringat bercucuran dan mengalir di rahangnya yang tegas. Anak-anak perempuan menggambarkan keadaan itu dengan kata seksi. Mereka senang melihat sang bintang sekolah saat melakukan kegiatan apa pun tanpa terkecuali, karena memang dia selalu memesona setiap saatnya. Alena memantulkan bola basket di tangannya ke arah aspal dan refleks Liam menangkap bola itu tanpa meleset. Setelahnya gadis itu pergi meninggalkan area lapang tanpa berucap apa pun atau memandang siapa pun termasuk Liam dan Sera.

"Kakak tunggu!" panggil Sera hendak mengejar Alena namun lengannya dicegah Liam.

"Kau mengenal Alena?" tanya Liam membuat Sera mengernyit karena merasa tidak mengenal nama itu.

"Alena siapa?"

"Gadis yang menangkap bola tadi."

"Oh ... jadi namanya kak Alena? Wah, nama yang cantik ya Kak, secantik orangnya. Tadi aku mengajaknya berkenalan tadi malah diabaikan, sepertinya kak Alena memang sangat pendiam."

"Jangan dekat-dekat dengannya, Sera."

"Loh, kenapa? Kak Alena itu orang baik."

"Tidak, dia sama sekali tidak baik. Sebaiknya mulai sekarang kau hindari dia dan jangan pernah mencari gara-gara dengan gadis itu, kau mengerti?"

"Tapi Kak—"

"Aku tidak ingin dibantah, Sera."

"Iya, tapi aku harus tahu dulu alasan mengapa aku tidak boleh dekat-dekat dengan Kak Alena. Kalau seperti ini aku jadi tidak punya alasan kuat untuk menjauhinya."

"Dia gadis berbahaya."

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status