Share

Bad Guy (Bahasa Indonesia)
Bad Guy (Bahasa Indonesia)
Author: Senchaaa

Bab 1

"Aku sudah bermain lembut padamu tapi ternyata kau malah suka bermain kasar. Baiklah, ayo kita lakukan, sepertinya itu lebih seru."

"Apa maksud and-hmmmp, lepasss hmmp."

***

Alena berulah lagi, tujuh hari tidak masuk sekolah, tiga kali memukuli teman sekelasnya, tidak mengerjakan satu pun soal ulangan Fisika, dan bolos jam pelajaran entah untuk yang ke berapa puluh kalinya. Begitu kiranya catatan kenakalan Alena bulan ini, dua tingkat lebih parah dibanding dengan kasus kenakalan gadis itu bulan lalu. Sepertinya ia tidak bisa tidur nyenyak jika sehari saja tak merepotkan pihak kesiswaan di sekolahnya. Kurang khidmat hidupnya jika ia tak memicu urat-urat kemarahan gurunya bermunculan. Surat panggilan orang tua sudah beberapa kali disampaikan namun tak sekali pun pihak keluarga Alena memenuhi panggilan itu.

Jelas ini menjadi masalah besar bagi sang wali kelas, Azeeya, ia bertanggung jawab penuh atas nasib anak didiknya yang mulai terancam drop out dari sekolah. Sekali pun Alena sering menimbulkan masalah, tentu Azeeya tidak rela kalau sampai muridnya didepak secara tidak hormat apalagi posisinya sekarang Alena sudah kelas XII. Tak lama lagi anak itu akan lulus dan menyambut kehidupan yang sesungguhnya. Alena tidak boleh membawa luka yang tidak seharusnya dari masa sekolah karena sedikit banyak kasus drop out ini pasti akan memengaruhi kondisi psikis gadis itu dengan atau tanpa disadari.

Oleh karena itu, hari ini, selepas perempuan 26 tahun itu selesai mengajar, dia memutuskan untuk mengunjungi kediaman Alena. Zeeya ingin memastikan sendiri surat panggilan orang tua itu tiba di tempat yang dituju dan langsung tersampaikan pada pihak yang seharusnya. Bukan maksud berburuk sangka pada Alena, namun kemungkinan besar selama ini surat yang dikirim pihak sekolah memang tidak pernah sampai ke tangan yang seharusnya—kedua orang tua Alena. Entah dibuang ke tong sampah atau hangus di tempat pembakaran, yang pasti Zeeya jamin surat panggilan kali ini akan sampai dengan selamat pada orang yang tepat.

Gerbang raksasa bercorak harimau dengan lilitan akar yang unik di sekitarnya terbuka ketika mobil Zeeya tiba di sana. Seorang pria sekitar empat puluh tahunan menghampiri gadis itu dan menanyakan identitas serta maksud dan tujuannya mengunjungi rumah yang lebih menyerupai mansion megah seharga milyaran itu. Jarak antara gerbang masuk dengan mansion utama lumayan jauh, butuh waktu sekitar sepuluh sampai lima belas menit perjalanan jika menggunakan mobil. Sepanjang mata memandang Zeeya menyaksikan pemandangan taman yang begitu luas, terdapat danau buatan yang indah dikelilingi oleh pohon pinus yang terawat dan tanaman hias yang tumbuh di sekitarnya. Di belahan lain, tampak lapangan golf lengkap dengan fasilitasnya. Mata Zeeya terbelalak dan tak berhenti berdecak kagum mendapati rumah semewah ini. Dia baru tahu bahwa ternyata orang tua Alena itu luar biasa kaya sampai memiliki hunian semegah istana kerajaan.

Hal semacam itu biasanya hanya Zeeya temukan di dongeng-dongeng dan cerita romansa saudagar kaya, nyatanya di dunia ini benar-benar ada manusia yang hidup bergelimang harta dan tinggal di sebuah tempat setingkat istana. Dari sana Zeeya sadar, bahwa orang yang akan ia hadapi sebentar lagi bukanlah orang biasa. Beragam strategi gadis itu siapkan agar tidak mempermalukan dirinya dan instansi yang mengirimnya ke tempat ini. Mobil Zeeya sudah tiba di pekarangan depan rumah, gadis itu cukup terkejut karena begitu Zeeya turun dari mobil, ia langsung disambut hangat oleh beberapa pelayan. Mereka sangat ramah dan memperlakukan Zeeya bak tamu agung. Gadis itu tidak mengerti kenapa bisa demikian, mungkin penjaga gerbang depan tadi yang menginformasikan tentang kedatangannya pada para pelayan ini.

"Anda diminta untuk langsung menunggu di ruang tamu Nona, silakan, lewat sini," ujar salah seorang pelayan perempuan berwajah ramah.Tutur kata dan pembawaannya pun sangat sopan membuat Zeeya nyaman dan tidak ragu untuk mengikuti anjurannya.

"Kami akan segera memberi tahu tuan Allendra tentang kedatangan Anda," ungkap pelayan itu lagi.

"Tunggu, apa saya bisa bertemu dulu dengan Alena sebelum menemui tuan Allendra?" pinta Zeeya dengan hati-hati.

Dirinya memang memiliki hal yang harus didiskusikan terlebih dahulu dengan Alena, Zeeya tidak ingin gegabah dan menyudutkan anak itu di depan orang tuanya. Sebisa mungkin dia akan mengambil jalan tengah agar tidak terlihat Alenalah yang paling bersalah dalam kasus ini. Bagaimana pun juga Alena itu masih remaja, Zeeya hanya khawatir jika Alena akan tertekan lebih parah jika semua beban ditimpakan padanya.

"Tentu, kalau begitu mari ikut saya. Kediaman Nona Alena ada di gedung sebelah timur," kata pelayan itu lalu lanjut berjalan.

Wah, ini rumah atau istana negara? Banyak sekali gedungnya, batin Zeeya terheran-heran sekaligus kagum.

Cepat ia mengikuti langkah sang pelayan agar tidak tersesat, Zeeya yakin sedikit saja dia lengah maka gadis itu akan kesulitan untuk kembali ke ruang utama tadi. Banyak koridor, ruangan yang sangat luas di masing-masing bagian, interior luar biasa mewah, lampu-lampu kristal menggantung cantik di setiap penjuru. Kepala sederhana Zeeya sulit menebak kira-kira berapa banyak uang yang dikeluarkan perbulannya untuk membayar listrik. Belum lagi biaya air dan lain-lain, sepertinya gajinya sebagai guru selama satu tahun penuh pun tidak akan cukup untuk membayar tagihan listrik rumah itu.

"Silakan tunggu di sini, saya akan memanggil nona Alena untuk menemui Anda."

"Baik, terima kasih."

Ruang tamu lagi?

Batin Zeeya semakin menangis melihat kekayaan keluarga Alena. Gadis itu mengedarkan pandangan ke sekitar, lagi dan lagi dia tidak berani menebak harga dari setiap ornamen dan guci-guci antik yang tersusun rapi di setiap sudut ruangan. Dia tidak mau pingsan di sana dan mempermalukan dirinya sendiri.

"Untuk apa Ibu ke sini?" tanya Alena begitu dia tiba di ruang tamu ke sekian rumah mewah itu.

Zeeya berdiri dan langsung terfokus pada luka di bibir dan pelipis Alena, gadis itu beranjak cepat—mendekat pada Alena dan menyentuh sudut bibir muridnya itu.

"Kau kenapa, Len?"

Alena segera menepis tangan Zeeya, sikapnya memang tidak sopan namun Zeeya berusaha memakluminya.

"Saya tanya untuk apa Ibu ke sini?"

"Ibu mau bertemu dengan orang tuamu."

"Mereka tidak ada."

"Tapi tadi katanya tuan Allendra ada di sini dan siap menemui Ibu."

"Allendra memang ada, orang tuaku yang sudah tidak ada."

"Lalu tuan Allendra siapa?"

“Seseorang yang tidak boleh didekati, dia berbahaya sebaiknya Ibu pulang saja dan lupakan rencana untuk menemuinya."

Setelah mengatakan itu Alena pun berbalik dan meninggalkan gurunya. Zeeya yang sempat tercenung akibat mencerna ucapan Alena lalu tersadar, dia memutuskan untuk mengejar Alena dan mengajak anak itu bicara empat mata lagi.

"Alena tunggu, kita harus bicara!" pekik Zeeya sambil terus mempercepat langkah agar tidak ketinggalan dari langkah Alena yang begitu cepat.

"Alena stop! Ibu benar-benar ingin membicarakan masalah serius denganmu. Kali ini kau tidak boleh menghindar lagi dan mari selesaikan semuanya. Sebentar lagi kau ujian, jadi tolong bekerja samalah dengan Ibu. Akan Ibu pastikan kau bisa lulus tahun ini, Len."

Tubuh Zeeya limbung ketika tak sengaja dia tersandung kakinya sendiri. Begitu dia berusaha menegapkan badan, sosok Alena sudah tidak terlihat lagi dalam jangkauan matanya. Gadis itu menghilang entah ditelan koridor sebelah mana. Ada tiga jalur yang terbentang di depan sana, kiri, kanan, dan tengah. Zeeya sama sekali tidak tahu ke arah mana Alena pergi. Dengan hanya berbekal insting, gadis itu pun memilih jalur kiri sambil terus memanggil-manggil Alena. Setelah melakukan pencarian cukup panjang akhirnya Zeeya berhasil menemukan sosok Alena.

Gadis remaja itu sedang berdiri di depan sebuah ruangan yang belum Zeeya ketahui fungsinya. Alena tampak mematung, menatap tajam ke dalam ruangan lantas kedua tangannya mengepal. Zeeya memindai pemandangan aneh itu dengan saksama, mencoba menerka hal apa yang Alena saksikan sampai dia bereaksi marah seperti itu. Alena tampak menahan emosi, tidak ingin diinterogasi lebih lanjut oleh Zeeya, gadis tomboy itu pun beranjak tanpa kata dan menyisakan beribu tanya di benak Zeeya.

“Apa yang dia lihat?” gumam Zeeya setelah berdiri di hadapan pintu ruangan tempat Alena mematung tadi.

Guru itu maju selangkah, memiringkan kepalanya untuk mengintip apakah gerangan yang membuat Alena bereaksi kesal tertahan. Merasa area pandangnya terbatas, Zeeya pun mendorong sedikit pintu itu untuk mendapat akses penglihatan yang lebih leluasa dan alangkah terkejutnya gadis itu begitu menemukan sejoli tengah beradegan panas di dalam sana. Penampilan si pria masih tampak rapi dengan kemeja putih dibalut jas hitam, ia mengenakan setelan formal. Sementara kondisi perempuannya sudah tidak karuan. Rambutnya berantakan, rok terangkat sedikit, dan mendesahkan suara menjijikkan menurut Zeeya. Seumur hidup, ini kali pertama Zeeya menyaksikan kegiatan semacam itu.

“Astaga!” pekik Zeeya refleks.

"Siapa itu?"

Jantung Zeeya tersentak begitu sang wanita menyadari keberadaannya. Pria yang tadi sibuk mencumbu wanita itu pun terganggu aktivitasnya, dia menatap heran sang lawan main kemudian wanita itu menjelaskan bahwa ada seseorang yang mengintip mereka. Mendengar itu Zeeya langsung panik, dia hendak melarikan diri dari sana namun terlambat. Gadis itu tidak bisa berpindah tempat seinci pun karena seseorang telah mencekal lengannya.

Mati aku! Gadis bodoh, kenapa pula kau harus mengintip mereka?!

"Ada yang bisa dibantu, Nona?"

Sekujur tubuh Zeeya merinding begitu suara husky dengan getaran lembut namun mencekam itu menyapa indra pendengarannya. Cara bicaranya memang dibuat seramah mungkin namun Zeeya merasakan aura yang berbeda dari nada suara itu. Gadis itu berbalik dan mendapati sosok pria tampan berwajah tegas sedang menyunggingkan senyum lebar namun terkesan aneh. Zeeya tidak nyaman melihatnya.

"Maaf, saya salah masuk kamar," Zeeya beralasan, mencoba bersikap setenang mungkin padahal saat ini jantungnya sudah nyaris meledak saking takutnya.

"Apa Anda guru yang dimaksud pelayan tadi?"

"Ah, iya, perkenalkan saya Azeeya, wali kelas Alena. Tujuan saya datang ke sini untuk—"

"Menemuiku?" potong pria itu masih dengan senyum anehnya.

Mereka berbicara di ambang pintu, kamar mewah itu sudah terbuka lebih lebar dan Zeeya bisa menyaksikan dengan jelas jika kini perempuan yang tadi penampilannya acak-acakan kini sudah tampil lebih baik dan sopan. Tidak lagi semengenaskan tadi.

"Bertemu dengan wali Alena tepatnya," koreksi Zeeya berusaha menjaga wibawanya agar tidak luntur, meski aura Zeeya kalah kuat dari lelaki di hadapannya ini namun dia tidak ingin terkesan lemah apalagi sampai tersudut oleh ucapan pria itu yang terkesan menekannya terus-terusan.

"Saya satu-satunya wali sah Alena yang masih hidup. Jadi sudah pasti Anda harus bertemu dengan saya, Nona Azeeya."

Zeeya tampak mengembuskan napas berat, mendadak ia teringat akan peringatan Alena yang menyuruhnya untuk tidak menemui Allendra, mungkin pria di depannya inilah orangnya. Dia terlihat berbahaya dan tidak bersahabat, sosok yang patut dijauhi oleh Zeeya.

"Kalau begitu bisakah kita bicara di tempat yang lebih nyaman?"

"Ide bagus, aku juga merasa di sini terlalu terbuka, bukan begitu?"

"Maksud Anda?" heran Zeeya dengan tatapan penuh curiga, sekali lagi pria itu hanya membalasnya dengan senyuman ganjil.

"Hailey pergi!" usir Allendra pada perempuan yang tadi.

"Tapi kita belum selesai Al, baru saja dimulai."

"Just go, you got it?"

Gadis itu mendengus sebal dan menunjukkan ekspresi yang tidak bersahabat pada Zeeya. Bahkan ketika dia keluar, Hailey sengaja menabrak bahu Zeeya dengan bahunya karena merasa gadis itu sudah mengacaukan rencananya dengan Allendra.

"Anda tidak harus mengusirnya seperti itu, kalau memang sibuk saya bisa mengunjungi Anda lain kali."

"Anda mungkin bisa mengunjungi saya kapan saja tapi saya tidak bisa menerima Anda setiap saat, kecuali jika saya ingin, so, come in please."

Kaki Zeeya membatu, berat rasanya untuk mengikuti langkah pria itu karena ia merasa jika selangkah saja ia melewati batas pintu ini maka rasanya sulit bagi Zeeya untuk keluar lagi. Dia tidak mengerti mengapa bisa memiliki perasaan semacam itu, serta merta ketakutan itu datang dengan alami tanpa diminta.

"Kenapa, ada masalah?" ucap pria itu lagi ketika tidak menemukan sang tamu mengikutinya.

Zeeya menggeleng cepat, dia berusaha mengenyahkan semua pemikiran aneh dan terus berpikir positif. Terkait kejadian kurang nyaman yang disaksikannya tadi, Zeeya akan berusaha melupakan itu.

Sebenarnya itu juga bukan urusan Zeeya, toh pria itu melakukan kegiatan tadi di kediamannya sendiri, di kamar pula. Jelas sekali gadis itu yang lancang, Zeeya tidak sopan karena menyaksikan sesuatu yang seharusnya tidak dia lihat. Namun nasi sudah menjadi bubur, telanjur basah jadi ya sudah. Gadis itu pun mengikuti langkah Allendra, dia dipersilakan duduk di sofa beludru berwarna abu-abu. Entah sudah berapa kali Zeeya memuji kemewahan dan fasilitas rumah itu. Dia masih saja terkejut dan terpesona melihat setiap interior di masing-masing ruangannya. Seperti sekarang ini, meski terkesan kelam dengan nuansa abu dan hitam tapi ruangan yang diprediksi adalah kamar Allendra ini cukup membuatnya betah memandangi suasananya lama-lama. Ingat, hanya suasananya saja tidak dengan penghuninya.

"Jadi masalah apa lagi yang diperbuat adik saya?"

"Anda tahu Alena sering berbuat onar?" kaget Zeeya dan lebih kaget lagi karena respons pria itu hanya mengangguk kecil seperti tidak begitu peduli.

"Tentu."

"Lantas mengapa Anda membiarkannya begitu saja? Sebentar, sebelumnya saya ingin bertanya, apa selama ini Anda sudah menerima surat panggilan dari pihak sekolah?"

Lagi, pria itu mengangguk tanpa memberi jawaban dengan lisannya.

"Dan Anda menolak hadir?"

"Bukan menolak, saya hanya tidak punya waktu."

Zeeya mendengus, emosinya mulai terpancing. Ternyata selama ini Alena sudah menyampaikan semua surat yang diberikan pihak sekolah, hanya walinya saja yang tidak tahu diri dan enggan memenuhi panggilan itu.

"Tujuh hari dalam seminggu, dua puluh empat jam dalam sehari, tidak bisakah Anda meluangkan waktu beberapa jam saja untuk mengurusi masalah adik Anda? Ah, saya rasa waktu tiga puluh menit saja sudah cukup. Ini terkait masa depan Alena, bagaimana Anda bisa tidak acuh seperti ini?"

"Tujuh hari dalam seminggu, dua puluh empat jam dalam sehari, dan tiga ratu enam puluh hari dalam setahun kuhabiskan semua waktu yang kupunya untuk bekerja. Tidak ada waktu untuk mengurusi hal yang tidak penting, kecuali kalau aku mau."

Wah, manusia ini lebih dari gila rupanya. Dia psikopat! Maki Zeeya dalam hatinya, hanya itu yang bisa dia lakukan sekarang.

"Tetap saja Anda tidak bisa menelantarkan Alena, dia butuh perhatian dan kasih sayang Anda. Melihat sikap Anda yang seperti ini agaknya saya mulai mengerti kenapa Alena selalu bertingkah nakal di sekolah. Semua itu pasti gara-gara keluarganya yang tidak peduli padanya, dan Anda sebagai kakak satu-satunya yang dia punya sungguh egois karena terlalu mementing diri Anda sendiri dan pekerjaan dibandingkan dengan Alena."

Ini kali pertama setelah sekian lama Allendra dimarahi dan diceramahi seseorang. Awalnya dia kesal namun setelah menatap gadis itu lekat-lekat kekesalan itu sirna seketika. Dia mulai merasa gadis di hadapannya ini sungguh unik dan menyenangkan, bermain-main dengannya pasti akan membuat Allendra puas.

"Untuk ukuran orang yang baru bertemu ucapan Anda terlalu lancang, nona Zeeya. Anda tidak tahu apa-apa tapi sudah berani mencela kehidupan keluarga saya. Itu tidak sopan namanya."

"Mohon maaf sebelumnya jika Anda tersinggung dengan ucapan saya, tapi saya serius, mulai saat ini dan ke depannya Anda harus lebih memperhatikan Alena. Anda tahu jika saat ini Alena terluka? Sudut bibir dan pelipisnya lebam, sepertinya dia baru bertengkar dengan seseorang di suatu tempat."

"Dia pandai bela diri, Anda tidak usah khawatir."

"Anda sungguh kakak yang tidak bertanggung jawab. Bisa-bisanya berkata sesantai itu di saat adik perempuan Anda terluka cukup parah. Mari kita akhiri pembicaraan ini, rasanya percuma, pembicaraan kita tidak akan pernah menemui titik temu. Saya permisi."

Allendra bergerak cepat dengan menghadang langkah Zeeya. Pria itu melangkah, terus merapatkan jaraknya dengan Zeeya sampai membuat gadis itu terus memundurkan langkah dan tibalah punggungnya membentur tembok. Zeeya sudah tidak bisa bergerak lagi sedangkan Allendra semakin mendekat padanya.

"Anda pikir bisa pergi begitu saja setelah mengatai saya sebagai kakak yang tidak bertanggung jawab, hm?"

"Anda mau apa?"

"Sepertinya kita seumuran, bagaimana kalau jangan bicara terlalu formal, kaku rasanya, aku tidak suka."

"Tolong jangan macam-macam, bagaimana pun saya ini guru adik Anda. Tolong jaga sikap Anda, ya!"

"Kau guru adikku, bukan guruku dan lagi ini bukan di sekolah jadi kita tidak perlu menjaga tata krama seformal itu. Santai saja, lagi pula di sini hanya ada kita berdua."

"Tuan Allendra, saya peringatkan Anda untuk tidak berbuat macam-macam!"

Pria itu memecah tawa ringan sambil terus memberikan tatapan seduktif, dipindainya tubuh Zeeya dari atas sampai ujung kaki. Tidak seprofosional para wanitanya selama ini namun gadis bertubuh mungil ini memiliki pesona yang membuat Allendra begitu betah menatapnya lama-lama. Baru bertemu sudah ingin memiliki, sah-sah saja bukan?

"Macam-macam yang bagaimana, Cantik?" bisik Allendra sensual, jarak wajahnya dengan Zeeya teramat dekat, mereka bahkan bisa merasakan embusan napas masing-masing dari jarak setipis itu.

"Menjauhlah!" Zeeya berusaha mendorong dada Allendra namun kekuatan gadis itu tidak berarti apa-apa bagi si pria.

"Aku ingin lebih dekat denganmu, tidak mau menjauh."

"Go away!"

"Tidak sebelum kita bermain sebentar."

Plak!

Satu tamparan keras berhasil mendarat di pipi Allendra, pria itu terkejut namun wajahnya masih terlihat biasa-biasa saja. Namun tidak dipungkiri bahwa kini garis bibir pria itu sudah mulai mendatar, rahangnya mengeras, dan urat-urat kemarahannya sudah mulai terlihat.

"Aku sudah bermain lembut padamu tapi ternyata kau malah suka bermain kasar. Baiklah, ayo kita lakukan, sepertinya itu lebih seru."

"Apa maksud and-hmmmp, lepasss hmmp."

Allendra mendesak Zeeya untuk membalas ciuman paksa pada bibir gadis itu, kemarahannya sudah terpancing. Tadinya dia ingin bermain dengan tempo yang pelan namun lawan mainnya menantang Allendra untuk melakukan permainan yang lebih cepat dan kasar. Sebagai pemain ulung tentu dia berani menerima tantangan itu, tidak alasan untuk menolak terlebih ketika dia sudah mencecap rasa manis dari bibir gadis cantik itu. Zeeya terus berontak sebisa mungkin, sisa kekuatannya dia gunakan untuk memberikan perlawanan. Dicakarnya pergelangan tangan Allendra dan saat pria itu lengah Zeeya segera mendorong tubuh Allendra lantas menampar pipi pria itu untuk yang kedua kalinya.

"Berengsek!" maki Zeeya kemudian pergi dari ruangan itu sambil menyeka bibirnya yang sudah ternoda oleh Allendra.

Sepeninggal gadis itu Allendra masih terengah-engah, bermain dengan gadis liar seperti Zeeya ternyata cukup menguras tenaganya. Dia sangat beringas dan susah diatur, lengannya bahkan sampai menjadi korban. Ada tiga cakaran kuku di lengan Allendra sekarang, pria itu tidak kesakitan sama sekali. Dia malah menerbitkan senyum senang melihat tanda cakar dari Zeeya, mereka berdua sudah sama-sama memberikan tanda di tubuh masing-masing. Artinya, keduanya sudah resmi terlibat dalam satu takdir. Alur kehidupan mereka baru saja bertemu dan Allendra janji dia akan menuntaskan permainan ini hingga akhir. Tidak ada yang bisa menghentikannya untuk mendapatkan apa yang dia mau.

"Aku suka dia," ujar Allendra menerbitkan senyum kepuasan yang sulit diartikan. Sungguh ini hari yang begitu membahagiakan untuknya.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status