Ketika kamu benar-benar menginginkan sesuatu lalu kamu memperjuangkannya tanpa membatasi dirimu dengan ketidakpercayaan, maka semesta akan menjadikannya nyata untukmu. Memang tidak mudah memegang prinsip itu, ujian akan datang dari berbagai arah—menempamu dengan perah berlumur perih. Selayaknya kehidupan yang tidak selalu mudah, putus asa dan ingin menyerah bisa muncul kapan saja. Melemahkan hatimu dengan letih yang menatih. Namun perih itu tak akan selamanya membuatmu merintih, sebab selalu ada bahagia yang dihadiahkan bagi mereka yang ikhlas menjalani itu semua. Zeeya sedang berada di fase itu sekarang, merasakan kebahagiaan berlipat ganda usai dijatuhi luka yang menyiksa. Selamat dari maut, berhasil mendatangkan Seandra ke dunia, melihat sang suami memangku bayinya. Semua itu adalah angan yang selalu ia berikan pada Tuhan lantas mewujud doa yang dikabulkan. Ternyata benar, sesulit apa pun keadaan yang sedang dihadapi, alangkah lebih baik jika kita tetap berpikir positif ser
"Vincent, Natasha sudah kembali ke Inggris," ujar Zeeya berusaha bicara dengan sangat hati-hati. Matanya setia menanti reaksi pria yang baru datang dengan sekantung makanan pesanannya. "Iya, terus hubungannya denganku?" "Kau tidak mengucapkan selamat tinggal atau apa gitu padanya?" "Sudah." "Apa yang kau maksud hari di mana dia menciummu?" "Kau tau dari mana?" kaget Vincent, tampak tidak menyangka Zeeya mengetahui rahasia itu. "Natasha cerita padaku, katanya dia menciummu. Tapi itu kan sudah sangat lama, ada tiga bulan yang lalu." "Sama saja." Setelah mengatakan itu, Vincent mengambil minuman yang disajikan pelayan keluarga Spancer. Menyesap aroma dengan hidungnya terlebih dahulu lantas meneguknya secara perlahan. "Bagaimana bisa kau berbicara sejahat itu?" "Jahat apanya?" "Natasha tulus menyukaimu, Vin." "Tapi aku menyukai gadis lain." "Gadis yang kau sukai sudah jadi ist
"Aku sudah bermain lembut padamu tapi ternyata kau malah suka bermain kasar. Baiklah, ayo kita lakukan, sepertinya itu lebih seru.""Apa maksud and-hmmmp, lepasss hmmp."***Alena berulah lagi, tujuh hari tidak masuk sekolah, tiga kali memukuli teman sekelasnya, tidak mengerjakan satu pun soal ulangan Fisika, dan bolos jam pelajaran entah untuk yang ke berapa puluh kalinya. Begitu kiranya catatan kenakalan Alena bulan ini, dua tingkat lebih parah dibanding dengan kasus kenakalan gadis itu bulan lalu. Sepertinya ia tidak bisa tidur nyenyak jika sehari saja tak merepotkan pihak kesiswaan di sekolahnya. Kurang khidmat hidupnya jika ia tak memicu urat-urat kemarahan gurunya bermunculan. Surat panggilan orang tua sudah beberapa kali disampaikan namun tak sekali pun pihak keluarga Alena memenuhi panggilan itu.Jelas ini menjadi masalah besar bagi sang wali kelas, Azeeya, ia bertanggung jawab penuh atas nasib anak didiknya yang mu
"Aku ingin membunuh Allendra, Ibu mau membantuku?"***Gadis itu mengambil ancang-ancang, menapakkan kaki kanan di tembok gedung lalu melakukan gerakan melayang sampai kaki yang satunya menyentuh pipi seorang pria yang sejak tadi berlaga jagoan di hadapannya. Alena paling benci orang yang sok berkuasa atas apa pun yang bukan miliknya. Dia bukan orang baik, ya itu memang benar, tapi jika ada sesuatu yang tidak sedap dipandang tertangkap matanya tentu Alena tidak bisa tinggal diam. Suasana di gang sempit itu tampak sepi padahal hari sudah cukup pagi, hari ini Alena memang berangkat lebih awal dari biasanya karena malas diinterogasi dengan sederet pertanyaan tidak penting Allendra. Benar, memang pria itu satu-satunya walinya yang tersisa di dunia ini tapi sejak orang tuanya meninggal Alena merasa semua wali dan orang-orang yang peduli padanya pun ikut hilang. Allendra lebih mirip orang asing yang tidak peduli pada adik semata wayangnya.
Brak!Seseorang baru saja berbuat keributan di kantin sekolah, kalian salah jika mengira itu Alena, karena faktanya gadis yang dicurigai itu tidak melakukan apa-apa meski masih ada kaitan dengannya. Alena melihat sekilas orang yang menggebrak mejanya lalu membeliak malas dan lanjut menyantap makan siang yang dipesannya beberapa saat lalu."Sampai kapan kau mau berlaga seperti orang yang berkuasa di sekolah ini Alena? Kau bukan siapa-siapa tapi selalu bersikap semena-mena!" maki orang yang mengusik ketenangan Alena.Sontak kejadian itu menarik perhatian banyak orang, dalam sekejap mata mereka menjadi buah bibir dan tontonan menarik yang sangat sayang jika dilewatkan."Kau punya telinga tidak?! Jawab aku dan berhenti bersikap pongah!" teriak gadis itu lagi yang diperkirakan seusia Alena.Alena berusaha mengabaikan pancingan demi pancingan yang sedikit banyak mulai memengaruhi emosinya. Tapi gadis itu sedang tidak minat menghajar siapa pun hari ini ja
“Bisa bicara dengan tuan Allendra?” tanya Zeeya setelah dia menentukan pilihan. “Saya sendiri, siapa ini?” “Saya wali kelas Alena, Azeeya.” “Ahh, hai, apa kabar?” “Bisakah Anda datang ke sekolah sekarang?” “Kenapa, kau merindukanku?”***“Mohon maafkan Alena sekali ini saja Pak, saya janji akan membimbingnya menjadi lebih baik lagi. “Pihak sekolah sudah terlalu sering memberiny
"Saya benci pria yang tidak bertanggung jawab. Jadi berhentilah bermimpi, karena sampai kapan pun tujuan Anda tidak akan tercapai."Allendra memejam sedetik masih dengan senyum lebar di bibirnya. Gemas mendengar jawaban Zeeya yang benar-benar memacu adrenalin hatinya. Ia senang menemukan tantangan yang menyenangkan. Ia akan berterima kasih pada adiknya karena berkat Alena, Allendra menemukan Zeeya."Mau bertaruh denganku?"***"Aku tahu aku tampan, tidak perlu menatapku setajam itu. Kau membuatku semakin menyukaimu."Zeeya mendengus, seolah tidak cukup membuatnya mangkir dari jam kerja, pria itu kini membuat jantungnya ingin meledakkan amarah besar. Masa bodoh jika memang pria ini adalah orang berpengaruh dan sangat berbahaya seperti kata Alena, Zeeya tetap tidak bisa menerima tindakan semena-menanya. Tidak tahu aturan, tidak disiplin, arogan, dan sombong. Semua sifat yang dimiliki iblis ada padanya.
Alena berbaring dan menatap lurus langit-langit kamarnya yang bertabur bintang. Interior ruangan di kamar gadis itu memang lebih futuristik dibanding ruangan lain yang ada di istana megah keluarganya. Jika kamar Allendra didominasi warna hitam dan abu, maka berbeda dengan kamar Alena meski kesan yang didapat sama-sama gelap. Di kamar gadis itu warna putih dan biru lebih dominan. Lampu yang berpijar di bawah tempat tidurnya yang berbentuk bundar menyala terang sejak tadi.Tepatnya, sejak sang pemilik berbaring di atas kasur itu sambil merenungi kejadian demi kejadian yang telah terjadi hari ini. Sebelum benar-benar memeluk geming, Alena sempat memukul-mukul kasur dan meluapkan emosinya pada barang-barang di atas meja riasnya. Meja yang sama sekali tak menampung peralatan tempur perempuan ketika merias diri. Di sana hanya ada pelembap, bedak bayi, dan parfum kesukaan Alena. Selebihnya, tidak ada apa-apa lagi. Ah, mungkin di laci mejanya ada sisir dan hair dryer, itu pun jarang
"Ck, ck, ternyata kutukan Spancer itu benar adanya," gumam Vincent sambil geleng-geleng tak menyangka."Maksudmu?""Kau tidak tahu?""Tahu apa?"***"Selamat pagi," sapa seorang pria, menyapa Zeeya ketika gadis itu baru keluar dari rumahnya."Pagi, kau baru mau berangkat, Mark?""Iya, mobilmu mana?""Di bengkel.""Ada masalah apa memangnya?""Entah, aku tidak mengerti. Hanya saja kemarin keluar asap dari bagian kap depan. Maklum, mobil tua.""Mm, bagaimana kalau hari ini kau berangkat bersamaku?"Zeeya tersenyum sopan pada tetangga sekaligus teman kuliahnya ini. Dia bekerja di salah satu bank swasta sebagai manajer. Tubuhnya tinggi, memiliki tahi lalat di dagu, dan berkaca mata. Meski begitu, pria yang selalu tampak formal sepanjang Zeeya mengenalnya tetap terlihat ideal untuk dijadikan kriteria para gadis. Dia baik, ramah, dan sangat perhatian, dan cukup menyenang