LOGINHilda terkulai di tepi dermaga penginapan, wajahnya pucat pasi. Angin laut sore itu berhembus lembut, tapi tubuhnya gemetar hebat. Ponselnya masih tergenggam erat—sambungan terakhir dengan Mellisa sudah terputus. Ia menatap laut lepas yang berkilau diterpa cahaya matahari senja, namun di balik keindahan itu, rasa bersalah menyesakkan dadanya. “Tidak mungkin… ini tidak mungkin…” bisiknya pelan, hampir tanpa suara. Ia menatap ke arah tempat Valeri diculik beberapa jam lalu—bekas jejak kaki di pasir masih terlihat, perahu cepat yang membawa Valeri pun lenyap di balik pulau karang. Semua sesuai rencana mereka, kecuali satu hal—seharusnya itu hanya sandiwara. Aji, Rayhan, Bastian, Irma, dan Putra berdiri di belakang Hilda, semuanya dalam keadaan panik. Rayhan memegang bahu Hilda kuat-kuat. “Hilda, kamu bilang ini cuma rencana prank buat nyuruh Badai nyusul, kan? Tapi mereka beneran bawa Valeri ke arah laut dalam!” Aji menimpali dengan nada tegang, “Kami sudah coba kejar pakai
Kombes Sigit menutup pintu ruang kerjanya rapat-rapat. Di dalamnya hanya ada meja besar berlapis kulit, lampu meja yang memancarkan lingkaran cahaya sempit, dan peta kecil kepulauan terpampang di layar tablet. Di kursi tamu duduk Inspektur Ferdinal—wajahnya setengah pucat, setengah bersemu bangga atas rencana yang kian mengerucut. Di sudut ruangan, suara pendingin ruangan berdengung pelan, seperti napas panjang sebelum badai. Sigit menyandarkan diri ke kursi, menatap kedua bawahannya lekat-lekat. Bibirnya mengerucut, sabar seperti ular yang menunggu mangsa menjauh. “Kita punya dua masalah,” katanya perlahan, suaranya dingin. “Valeri dan—yang paling berbahaya—Badai Lesmana.” Ferdinal mengangguk. “Badai sudah mulai menggali. Dia terlalu berani, Komandan. Kalau dibiarkan, dia bisa bongkar semuanya—Wisnu, aliran dana, bahkan nama-nama yang kita basahi itu.” Sigit menghela napas pendek lalu menatap layar tabletnya. Peta Raja Ampat tergulung, rute kapal wisata ditandai dengan tinta me
Langit Raja Ampat pagi itu seolah dilukis tangan surga — biru lembut bergradasi, berpadu dengan cahaya mentari yang memantul di atas lautan sebening kristal. Angin berhembus pelan, membawa aroma asin laut dan wangi dedaunan tropis yang baru tersentuh cahaya pagi. Burung-burung camar menari di udara, menyapa rombongan kecil mahasiswa yang baru tiba dari Jakarta. Di antara mereka, Valeri berdiri paling depan di dermaga kayu, rambutnya yang panjang berkibar ditiup angin laut. Matanya berkilat penuh pesona, seperti anak kecil yang baru menemukan dunia ajaib. “Lihat, Hil… airnya kayak kaca! Aku bisa lihat karang di bawah sana,” katanya dengan tawa yang melengking. Hilda tertawa, berjalan di samping Rayhan, pacarnya yang tampak sibuk menenteng kamera. “Kau bisa lihat karang, tapi jangan-jangan nanti kau juga bisa lihat cintamu yang tenggelam di dasar laut, Vale,” goda Hilda dengan nakal. “Kalau cinta yang itu mungkin lagi nyelam di hati seseorang bernama Badai,” celetuk Irma sambi
Penyelidikan Badai kian mendalam. Dari hasil analisis laporan misi terakhir, kesaksian saksi lapangan, serta rekaman komunikasi yang sempat dihapus—Badai menemukan kejanggalan mencolok. Nama Brigadir Yadi muncul berulang kali dalam setiap titik gelap penyelidikan. Badai menatap papan data yang terpampang di ruangannya, foto Wisnu dan Yadi berdampingan dalam operasi terakhir di pesisir. “Semua benang merah mengarah padamu, Yadi…” gumamnya lirih. Ia kemudian memanggil Ningsih dan brigadir Jodi ke ruangannya. “Mulai malam ini, awasi semua gerak Yadi. Jangan ada yang tahu kalau kita mencurigainya. Kita tangkap dia bukan dengan tuduhan, tapi dengan bukti.” perintahnya tegas “Baik, Komandan. Kami akan bergerak diam-diam.” jawab Ningsih. Sementara itu, tanpa mereka sadari, dari sebuah mobil hitam di luar gedung, seseorang sedang mengawasi Badai—mengirim pesan singkat ke seseorang: “Badai mulai curiga. Kita harus bertindak sebelum dia tahu terlalu banyak.” Badai membaca ulang s
Alvaro menatap tajam ke arah Fedro dan Alex, suaranya turun serak saat melontarkan kalimat yang membuat udara di ruangan itu mendingin. “Kalian tahu tugas terakhirnya,” katanya pelan. “Tebusan sudah jelas—lima ratus miliar. Setelah uang masuk ke rekening yang kukatakan, tugas kalian belum selesai. Pastikan gadis itu lenyap dari permukaan laut. Jangan ada jejak, jangan ada saksi. Selesai sudah urusan kita.” Desi mengangkat dagu, wajahnya rata tak berkaca, di matanya ada kilau kemenangan. Fedro menarik napas dalam, memandang Alvaro dan Desi, lalu mematikan rokoknya dengan tenang. Alex hanya mengangguk, bibirnya mengeras. Mereka adalah dua orang pekerja gelap yang paham risiko dan konsekuensi profesi mereka—kata-kata itu bukan ajakan, melainkan perintah yang harus dipatuhi. Di sudut ruangan, peta Raja Ampat terhampar, foto-foto jadwal liburan Valeri menumpuk, dan rencana-rencana mengerikan itu mendadak terasa begitu nyata. Lampu redup memantulkan bayangan kelam di wajah semua yang h
Pagi itu, suasana rumah keluarga Hendra terasa hangat. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi ruang makan. Badai duduk di meja sambil membuka berkas-berkas penyelidikan yang baru saja dikirim dari Mabes. Di seberangnya, Hilda sudah menatap dengan senyum penuh rencana — ia tahu ini saat yang tepat untuk membujuk kakaknya. Hilda membuka pembicaraan dengan nada manja. Bang Badai, minggu depan ada libur panjang kan? Gimana kalau sekali-kali kita pergi jalan-jalan bareng? Udah lama banget loh kita nggak liburan bareng.” Badai tanpa mengalihkan pandangan dari berkas. “Liburan? Hm... rasanya belum bisa, Hil. Aku masih harus nyusun laporan hasil operasi Bunaken dan koordinasi sama tim intel. Banyak yang harus diberesin sebelum aku resmi ambil kasus besar di Jakarta.” Hilda menyengir, mencoba lagi dengan nada merayu. “Yaa ampun Bang... kerja terus dari dulu., bahkan Valeri aja bilang kamu harusnya ikut ke Raja Ampat minggu depan. Semua udah disiapin, tempatnya indah banget, lautnya jernih,







