Gaara sebenarnya sama sekali tidak punya niat untuk mengejar perempuan yang telah memicu kehebohan di kafetaria, tetapi naasnya dia malah mendapati perempuan itu bersandar pada loker miliknya. Kebetulan area loker saat itu sepi, hanya ada dua atau tiga orang saja dan itu pun sibuk dengan urusan masing-masing. Namun begitu orang menyadari keberadaannya kebanyakan dari mereka memilih kabur atau pura-pura tidak melihat. Gaara sendiri tidak mengerti mengapa semua orang bersikap demikian, tetapi lebih dari itu dia tidak mau ambil pusing.
Begitu Gaara mendekat, gadis itu sama sekali tidak bergeming, bahkan dia mungkin tidak menyadari kehadiran Gaara sama sekali. Karena itulah Gaara sengaja membuka lokernya yang kebetulan bersisian sampai menimbulkan bunyi cukup nyaring yang membuat gadis itu sedikit terlonjak.
Dari ekor matanya Gaara bisa melihat bahwa dia agak panik dan cepat-cepat membuka loker miliknya juga, mencoba untuk menyembunyikan wajahnya. Buat Gaara sejujurnya itu hiburan tersendiri. Agak lucu melihat gadis itu bertingkah spontan dan kelabakan hanya karena mereka bertemu pandang.
“Apa pun yang sudah kau katakan pada Vinson tadi, yang jelas kau berhasil membuat dia bungkam,” ujar Gaara seraya menutup pintu lokernya sendiri. Tetapi gadis itu tidak merespon apapun dan malah berdiri disana bak patung.
Benci di abaikan, Gaara menutup pintu loker Esther secara mendadak sekaligus mendesak tubuh gadis itu hingga dia terpojok pada loker yang sekarang dia belakangi. Gaara menyeringai begitu melihat ekspresi wajah Esther yang masih cukup emosi. Kedua alisnya menukik ditambah dengan sorot mata yang sama tajamnya. Bibir gadis itu agak mengerucut membuat Gaara gemas ingin melahapnya.
Gaara menurunkan kepalanya, sengaja mendekatkan bibinya tepat di depan bibir Esther. Ketika kedua bibir mereka hanya berjarak beberapa centi meter saja, Esther langsung mendorong pria itu menjaga jarak darinya. Gaara terkejut atas pergerakan yang gadis itu buat, tetapi dia justru malah menyeringai tatkala menyadari bahwa dia memberikan perlawanan.
“Yang kau lakukan sebelum ini dan sekarang, sangatlah berani,” bisik Gaara di telinga Esther sekali lagi sebelum dia mengambil jarak dan meninggalkan Esther yang mukanya sudah semerah kepiting rebus dengan napas yang memburu.
***
Esther membawa dirinya sendiri ke toilet perempuan, menatap dirinya di depan cermin sambil berusaha mengatur napas. Emosinya belum reda, dan kini malah bertambah kacau balau mengingat apa yang baru saja terjadi di loker. Jika di ingat lagi sebenarnya apa yang baru saja terjadi disana? Jika tadi Esther tidak mendorong pria itu tadi, apakah sekali lagi Gaara akan mencuri ciuman darinya?
“Ah sial!” jerit Esther frustasi.
Selang beberapa detik setelah itu, sayup Esther mendengar suara tarikan napas tajam dari salah satu bilik toilet diikuti dengan suara isakan kecil. Esther sejenak melupakan rasa sebalnya dan mulai mengernyit mengidentifikasi asal suara tersebut. Dia mendengarkan lebih seksama kemudian mendapati suara itu berasal dari bilik toilet paling ujung.
Jika dugaannya benar maka …
“Nelsy?”
Orang di dalam tidak menjawab, tetapi Esther bisa mendengar bahwa suara isakannya bertambah keras. “Nelsy? Apa benar itu kau?”
Esther hendak memanggil namanya lagi, tetapi sebelum dia sempat melakukannya pintu bilik toilet dibuka dari dalam. Benar saja, dugaannya tidak meleset. Nelsy keluar dari sana dan langsung bereaksi memeluknya erat-erat. Kedua mata Esther terbelalak lebar saat gadis cantik itu terisak dibahunya.
Dengan canggung Esther pada akhirnya memberikan pelukan sambil mengusap punggungnya dengan lembut. “Tidak apa-apa Nelsy, tidak apa-apa … semuanya akan baik-baik saja. Maafkan aku karena aku yang membuat segalanya jadi sulit bagimu.”
Sejujurnya Esther tidak menduga bahwa Nelsy ada disini alih-alih pergi jauh dan mencurahkan isi hatinya kepada teman-teman yang dia punya. Bagaimanapun juga Nelsy adalah orang yang populer, temannya ada dimana-mana dan Esther berpikir bahwa gadis itu akan bersama mereka alih-alih mengurung diri dan menangis di toilet kampus seperti ini.
“Ini bukan salahmu Esther. Aku sudah tahu soal itu. Aku sudah mengetahuinya, tetapi aku sangat mencintai Vinson. Aku kesulitan untuk melepaskannya. Aku berharap ini hanya mimpi tapi sepertinya tidak. Kenapa dia melakukan hal seperti itu padaku?” Banyak yang Nelsy ingin katakan. Tetapi seluruh kata-kata itu tertelan kembali dengan ledakan tangisnya.
Esther tidak tahu harus mengatakan apa dalam situasi ini. Jadi pada akhirnya, Esther berada disana, berdiri diam dan memeluk gadis itu hingga tangisnya mereda.
***
Hari-hari berikutnya, Nelsy tidak muncul di kampus. Sebagai satu-satunya saksi mata yang melihat seberapa terluka dan hancurnya Nelsy pada hari itu, Esther merasa khawatir akan ketidakhadirannya yang terbilang mendadak. Kecemasannya makin menjadi ketika dia sadar bahwa tidak ada satu pun dari orang yang Esther pikir temannya Nelsy, peduli pada gadis itu. Malah orang-orang yang dulu melekat erat dengan Nelsy sudah berpindah haluan dan mengerubungi Elise Northway. Perempuan jahanam yang mengkhianati kawannya sendiri dengan menjadi selingkuhan Vinson. Bagaimana bisa orang-orang mau berdekatan dengan orang seperti itu?
Lebih gilanya lagi setelah insiden Vinson yang diputuskan di depan umum oleh Nelsy. Para perempuan tidak waras malah mengincar laki-laki itu untuk dipacari. Membuat pamor lelaki itu kian tinggi, dan tampaknya Vinson juga menikmati setiap perhatian yang ditujukan kepadanya.
Esther menghela napas, sebenarnya dia tidak punya waktu untuk mengurusi perihal Nelsy. Sebab dia sekarang punya masalahnya sendiri. Pertaruhan yang dia setuju membuat isi kepalanya makin carut marut sekarang.
Tadinya Esther ingin cepat pulang saja, tetapi langkahnya di jegal oleh Vinson. Orang yang namanya sudah bosan Esther dengar seharian ini.
“Ternyata sekarang sudah makin berani dan mencoba abai padaku ya?” ujar Vinson tiba-tiba.
Esther melirik dan mendapati pria itu memberinya sebuah senyuman mencemooh seperti biasa. Dia melirik segala penjuru arah, seolah tempat itu telah disterilkan sebelumnya tidak ada satu pun orang disana. Hanya ada mereka berdua saja.
“Dengar pecundang, hanya karena Nelsy bersikap ramah padamu bukan berarti pandangan semua orang padamu juga berubah. Nelsy itu perempuan naif yang bodoh. Dia berpikir bisa mengubah dunia dengan sedikit kebaikan dari hatinya. Aku bertaruh kalau ada yang berniat memperkosanya tetapi dengan cara memelas, perempuan itu pasti akan memberikan tubuhnya dengan cuma-cuma.”
Esther tadinya tidak mau terpancing, tetapi mendengar cara lelaki itu memandang Nelsy sebagai objek dan melecehkannya membuat Esther marah bukan kepalang. “Bajingan! Hanya karena kau sudah putus dengannya kau tidak berhak bicara buruk soal dia!”
“Oh, lagi-lagi kau membuatku terkejut, Esther,” ujar Vinson yang kemudian tertawa mengejeknya. “Di otakmu sekarang kau pasti berpikir bahwa kau sudah menjadi pemeran utama yang punya kekuatan tak terbatas. Kurasa kau bisa membanggakan itu di depan Elson dan bukan berdiri dibelakangnya seperti tikus penakut.”
Esther menggertakan giginya. Seharusnya dia memang melawan Vinson sejak SMA dan bukannya terus berdiri dibelakang punggung Elson, sepupunya. Dia menyesal baru punya nyali setelah dirongrong bertahun-tahun oleh lelaki ini.
Vinson menyentuh dagu Esther dan mengangkat wajahnya. “Kau pastinya sudah melihat apa yang sudah aku bagi denganmu kan? aibmu akan tersebar jika kau gagal, jadi pastikan kau melakukan penawaran dariku dalam waktu sebulan.”
Esther menepis tangan Vinson yang menyentuhnya, menatap wajah lelaki itu dengan nyalang. “Kau akan menyesal telah menantangku, Vinson.”
“Aku suka semangatmu, manis,” sahut Vinson sambil menyeringai. “Meski kemenanganmu nyaris tidak terlihat.”
Muak melihat muka Vinson, Esther memilih menabrakan dirinya pada pria itu. Melesat angkuh dengan amarah yang sudah setinggi gunung. Seluruh isi kepalanya mulai menyusun rencana. Satu bulan? Bisakah Esther menjinakan Gaara Maxwell dalam waktu sesingkat itu?
Baiklah ini mungkin sedikit tentang keluarga pasutri muda. sebenarnya tidak ada yang terlihat wah atau bagaimana kecuali fakta bahwa mereka mulanya adalah pasangan yang terlihat abnormal tetapi nyatanya bisa membuat sebuah keluarga yang terlampau manis bak gulali, apple candy, dan kue lapis legit. Namun terkadang juga bisa sepahit kopi, se asam lemon, se asin garam. Ya, barangkali inilah alasan mengapa hidup itu tidak selalu tentang satu rasa, sebab manis itu sendiri tidak akan pernah berarti bila tidak ada rasa yang lain. Hidup tidak melulu soal bahagia.Matahari sudah meninggi, teriknya telah menghidupkan semesta mencoba mengintip dari celah tirai jendela yang sengaja belum dibuka. Seiring dengan langkah Gaara yang sampai di ujung tengah dan lekas membuka pelan pintu kamarnya.Lelaki itu berjalan tanpa suara, seraya mengukir senyum yang paling sempurna. Kedua matanya memancarkan cahaya yang lembut, tampak sekali bahwa pria tersebut menyukai sosok wanita yang masih meringkuk nyaman d
Tidak disangka hari yang ditunggu akan tiba. Dia juga tidak habis pikir bahwa akan tiba masanya dia akan mengenakan pakaian serba putih dan didandani dengan cantik, terlebih nantinya dia akan bersanding dengan pria yang dia cintai. Senyuman manis terpatri di wajah Esther yang sudah dipoles dengan make up sedemikian rupa. Gadis itu sama sekali tidak bisa berhenti tersenyum untuk moment ini. Hari ini dia akan menikah, dengan seseorang yang dulunya adalah bad boy di kampus, lelaki yang mulanya hanya dijadikan sebagai objek taruhan antara dia dengan Vinson. Ceritanya memang selucu itu, tetapi tidak memudarkan bahwa cinta yang dia miliki kepada sang pria adalah cinta yang tulus.Setelah lulus dan berpacaran selama kurang lebih tiga tahun, Gaara datang ke kediamannya dan dengan gentle meminang Esther di depan ayahnya. Lamaran itu datang tanpa diduga sama sekali oleh Esther, dan dia teramat bahagia mendengar kesungguhan Gaara terhadapnya. Selang beberapa waktu, pria itu langsung sibuk memper
Esther terbangun karena rasa lapar di perut. Dia berbalik dan menemukan sepasang mata Gaara yang menatapnya dengan intens.Dia tertidur saat ditengah permainan, dan ranjang Gaara sekarang sudah menjadi favorit Esther. Dia tidak mau meninggalkannya.“Hei,” sapa gadis itu pada sang pemuda, dia tersenyum malu-malu.“Hei,” balas Gaara membalas senyumannya. “Kau lapar ya?”Esther mengangguk.“Aku sudah memanaskan sup dan ada sedikit roti juga. Mungkin rasanya tidak akan terlalu cocok, tapi aku pribadi memang jarang makan dirumah.”Esther terkekeh. “Kau seperti cenayang, bagaimana kau bisa tahu aku lapar?”“Aku mendengar suara perutmu.”Wajah Esther memerah, sementara Gaara malah tertawa. Mereka kemudian makan bersama di tempat tidur. Makan terakhir yang Esther makan memang hanya sarapan di pesawat. Rasa lelah membuat Esther melupakan banyak hal termasuk urusan mengisi perut. Dan meski Gaara bilang rasanya mungkin tidak sesuai, tetapi bagi Esther makanan itu adalah yang paling nikmat yang p
“Menurutmu apa aku punya pilihan Gaara?” Dia merasakan air mata membasahi pelupuk mata. “Aku sendirian. Jika ada satu kesempatan bagiku untuk bisa menyelamatkan diri, tentu aku akan melakukannya.”“Bagaimana bisa kau melakukan itu sementara—”“Siapa yang kau pikir akan menolongku saat itu? Apakah kau Gaara? Kau? Tentu saja aku tidak pernah berpikir kesana karena aku orang asing bagimu sementara Vinson adalah teman baikmu. Dan apa yang kau lakukan saat kau tahu aku kesulitan di kampus ketika Vinson membully-ku? Kau tidak melakukan apapun.” Gaara hendak memotongnya, tetapi Esther segera mengangkat tangan mencoba untuk menghentikan apapun yang akan lelaki katakan sebagai bentuk dari pada pembelaan. “Kita pernah membicarakan ini dulu sekali. Aku tidak berusaha sedang menyalahkan keadaan ini kepadamu. Faktanya, memang pada saat itu aku tidak punya seorangpun yang bisa menolongku. Pada akhirnya aku hanya harus melakukan sesuatu agar aku bisa menyelamatkan diriku sendiri. Terus terang taruha
Gaara yakin dia berhalusinasi ketika melihat sosok perempuan berambut keperakan yang berdiri di muka rumahnya.Tidak. Tidak mungkin itu Esther.Selain Gaara hanya ada dua orang yang tahu soal keberadaan rumah ini. Paman Yoshi dan ayahnya.Bahkan saat Gaara turun dari jeep dan melepas kacamata hitamnya untuk memastikan bahwa terik matahari tidak membuatnya berhalusinasi, sosok tersebut masih berada disana. Semakin mendekat, Gaara semakin yakin bahwa sosok itu memang adalah Esther.Perasaannya kian membuncah dan tidak terkendali. Tetapi diantara itu semua, Gaara tidak bisa berbohong bahwa dia bersyukur melihat Esther ada disini. Apalagi mengingat bahwa beberapa saat yang lalu dia nyaris membuat keputusan yang mungkin akan disesalinya.Ketika dia berhasil memeluk sosok itu, rasa lega segera menyebar dalam hatinya. Dia tidak tahu bagaimana caranya Esther bisa berada disini. Namun dia bersyukur bahwa sekali lagi dia masih bisa menyentuh kehangatan kulit gadis itu. Berada didekat Esther mem
Sejak meninggalkan rumah yang dahulu menjadi tempat dia menghabiskan waktu bersama sang bunda tercinta. Gaara tidak menduga bahwa akan ada saatnya dia kembali ke rumah ini. Tepat seperti dugaannya pula tidak ada satu bagian dari rumah ini yang berubah. Ayahnya pasti melakukan segala cara agar rumah tersebut tetap sama persis seperti saat masih ditinggali oleh ibunya terakhir kali. Gaara bisa melihatnya dari taman bunga dan juga gazebo tempat ibunya dulu selalu menghabiskan waktu bersama Gaara untuk membacakannya sebuah dongeng.Gaara tidak bisa membohongi dirinya. Rumah itu sangat mencerminkan kepribadian ibunya. Setiap sudutnya memaksa Gaara mengingat semua memori tentang wanita itu. Ketika Gaara pertama kali melewati pintu depan rumah tersebut, dia merasa seperti melihat hantu ibunya dari masa lalu.Dalam perjalannnya ke Australia, Gaara sebenarnya telah membayangkan ratusan skenario yang ingin dia lakukan pada rumah tersebut. Hal pertama yang mampir ke otaknya adalah membersihkan s