Share

Bab 8

Pagi ini badanku rasanya tak enak. Kepala juga pusing. Sudah tiga kali aku bolak balik kamar mandi karena mual.

"Kok masih tiduran, Ris? Gak masak sarapan?" tanya Bang Ridwan yang baru selesai mandi. Biasanya jam segini aku sudah sibuk di dapur.

"Iya, Bang. Aku kurang enak badan," sahutku lemah.

"Kamu diet lagi?" bentaknya sambil melotot. .

"Nggak, Bang. Sejak pulang dari klinik aku sudah tak diet lagi." Dia tak tau selama ini aku sudah mennalankan program diet, tapi tak seperti waktu itu, tak makan apa pun

"Lalu, kamu kenapa?"

"Ya, gak tau lah, Bang. Rasanya sangat tak nyaman. Mual, pusing, rasanya tak karuan." Aku kembali menyandarkan kepalaku ke bantal.

"Ya sudah, nanti kamu ke klinik itu lagi, ya! Ini uangnya." Bang Ridwan menyerahkan uang kertas berwarna merah sebanyak tiga lembar. Aku mengangguk lalu menyimpan uang itu ke dalam genggaman.

Tepat pukul 10 aku pergi ke klinik dengan menumpang taxi on line.

Setelah sampai di klinik dan melakukan pendaftaran, aku menunggu beberapa saat sampai petugas memanggil namaku. Serangkaian pemeriksaan kujalani. Hingga akhirnya aku mendapat hasil yang jelas, kenapa aku sebenarnya.

"Apa hasilnya? Kamu sakit apa?" tanya Ibu begitu aku kembali dari klinik. Tampaknya dia sengaja menunggu kepulanganku, dengan duduk manis di ruang tamu, seraya membaca koran.

"Risa hamil, Bu," sahutku singkat. Lalu melangkah menuju kamar.

"Apa? Hamil? Kok bisa? Cepat amat!" cercanya membuat langkahku berhenti.

"Kok, Ibu seperti tidak suka begitu?" tanyaku heran. Aku mengerutkan dahi, mencoba mencerna mimik wajah Ibu yang berubah tegang.

"Ya, harusnya ditunda dulu hamilnya. Ridwan kan belum siap jadi ayah." Ibu memberi alasan sembari bangkit dari tempat duduknya sambil bersungut. Terdengar dia seperti mengatakan sesuatu, tapi tidak jelas. Aku tak dapat mendengarnya.

Kuhiraukan sikap mertuaku yang kelihatan tidak bahagia dengan kabar yang kubawa ini. Aku meneruskan langkah menuju kamar.

Menjelang malam, aku duduk di tepian ranjang. Jantungku berdebar tak karuam, menanti sang pujaan hati pulang dari kantor. Tak sabar rasanya ingin segera melihat wajahnya yang selalu kurindu setiap saat. Bagaimana kira-kira reaksinya nanti setelah menerima hasil pemeriksaanku.

Terdengar deru mesin mobil berhenti di garasi. Hatiku semakin berdebar-debar. Berulang kali aku merangkai kata, mencari kata yang pas untuk menyampaikan berita ini. Semoga ini merupakan awal yang baik untuk hubungan kami yang mulai terasa hambar. Ya, sejak peristiwa di pesta itu, Bang Ridwan jadi sering protes tentang penampilanku.

"Sudah pulang, Bang? Mau langsung makan atau mandi dulu?" tanyaku ketika Bang Ridwan masuk ke kamar.

"Mandi dulu lah, gerah. Oya, masih sakit?" tanyanya seraya meletakkan tas dan hape di atas nakas. Walaupun belakangan dia cuek padaku, tapi ternyata dia khawatir juga kalau aku sakit. Aku tersenyum simpul sendiri.

"Sudah lumayan, Bang. Ini hasilnya." Aku menyerahkan selembar kertas berisi hasil pemeriksaanku tadi siang.

"Apa ini?"

"Bacalah!" ucapku. Bang Ridwan mengambil kertas itu lalu mulai membaca dengan teliti.

"Kamu hamil, Ris?" tanyanya dengan mimik wajah terkejut.

"Iya, Bang, aku hamil," sahutku sembari tersenyum bahagia. Namun, Bang Ridwan hanya diam seraya membaca ulang hasil pemeriksaan itu.

"Kenapa, Bang? Abang tak percaya?" tanyaku seraya memperhatikan mimik wajah Bang Ridwan yang kelihatan tak gembira.

"Ah, bukan. Ya sudah, Abang mandi dulu, ya!" Bang Ridwan meraih handuk yang tersangkut di kursi lalu melangkah menuju kamar mandi.

Kenapa dengan Bang Ridwan. Kok seperti tidak bahagia mendengar kabar ini. Apa dia tak ingin segera memiliki anak dari pernikahan ini? Apa nenar kata Ibu, kalau Bang Ridwan belum siap jadi ayah? Hatiku dirundung berbagai pertanyaan melihat sikap yang ditunjukan oleh Bang Ridwan barusan. Perasaanku jadi tak enak.

Hari berganti minggu, minggu pun berganti bulan. Kini, tiga bulan sudah usia kandunganku. Bang Ridwan mulai berubah, bahkan sangat jauh berbeda dari awal-awal menikah dulu.

Setiap hari dia selalu pulang larut malam. Beberapa kali kudapati aroma alkohol menguar dari mulutnya saat dia pulang ke rumah. Entah masalah apa yang sedang dia hadapi, hingga dia berbuat demikian.

Terkadang, Bang Ridwan bersikap perhatian padaku, menanyakan keadaanku, sehatkah, ngidamkah, mau dibelikan apa bahkan mencium perutku ketika hendak pergi ke kantor. Tak jarang pula, sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Jangankan menanyakan tentang keadaanku, mengusap perut ini saja dia enggan. Entahlah, semakin hari aku semakin tak mengenali suamiku itu. Sering aku merasa dia bagaikan orang asing bagiku.

"Abang kenapa? Kok kayaknya suntuk banget? Ada masalah apa, Bang?" tanyaku ketika mendapati Bang Ridwan bangun tengah malam dan duduk sendirian di ruang tengah dengan puntung rokok yang berserakan di sekitar kakinya.

"Gak ada! sudahlah, jangan banyak tanya, kamu gak akan ngerti apa-apa." Begitulah jawabnya setiap aku ingin membantu menyelesaikan masalahnya.

Dalam kehidupan rumah tangga, sudah sepantasnya suami-istri saling berbagi suka dan duka. Tapi ternyata, Bang Ridwan tak mau melakukan itu. Dia tak suka kalau aku terlalu ikut campur dengan urusannya.

Mungkinkah karena aku yang hanya tamatan SMA ini, makanya Bang Ridwan menganggap aku tak layak mengetahui masalahnya dan tak akan mampu memberikan solusi yang tepat, malah akan jadi runyam. Mungkin saja.

*

Hari ini, Bang Ridwan berjanji akan mengantarkan aku memeriksakan kandungan di klinik langgananku. Aku sangat bersyukur karenanya. Setelah sekian bulan aku mengandung anaknya, baru kali ini dia mau diajak ke tempat itu.

Tujuh bulan sudah usia kehamilanku. Tak terasa sebentar lagi aku akan menjadi seorang ibu. Semoga dengan lahirnya anak ini kelak, Bang Ridwan akan berubah. Aku berharap dia akan menyayangi anak ini sepenuh hati.

[Jam berapa ke dokternya?]

Bang Ridwan mengirimkan sebuah pesan tadi, sekitar pukul dua siang.

[Jam Lima sore, Bang] tulisku menjawab pesannya.

[Oke, tunggu Abang, ya! Nanti Abang yang antarkan] tulisnya lagi.

[Iya, Bang] jawabku singkat. Walau sebenarnya hati ini sedang berbunga-bunga. Akhirnya nya keinginanku tercapai, Bang Ridwan mau melihat janin di dalam perut ini.

Tak ada pesan lagi, setelahnya. Bahkan, sampai sekarang, Jarum jam yang bergerak tanpa lelah itu telah berhenti sesaat di angka sembilan. Sudah jam sembilan malam, tak ada kabar apa pun dari Bang Ridwan.

Aku mengira kalau dia lupa karena banyak pekerjaan yang harus dikerjakannya. Kucoba menelepon untuk mengingatkannya, tepat pukul enam tadi, hapenya tidak aktif.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status