Share

Pertolongan

Sudah tiga hari Mas Wahyu tak mau makan di rumah hanya karena lauk seadanya. Dia lebih memilih makan di luar dibandingkan menambah uang belanjaku. Bukankah lebih baik menambah uang belanjaku, sehingga kamu bisa makan enak bersama. Bukan hanya dia saja! Apa dia tidak berpikir tentang kebahagiaan putrinya?

Ya Allah, aku tak mengerti dengan pola pikirnya. Apa dia sengaja menyiksa diriku seperti ini? Kurang apa aku selama ini?

Menghembuskan nafas perlahan, mengatur emosiku yang sudah di ubun-ubun. Ingin rasanya kumaki lelaki yang telah bersamaku selama tujuh tahun ini. Namun percuma, aku yang akan disalahkan bahkan mungkin tangannya akan mendarat lagi di pipi.

Astagfirullah ...

Beristighfar dalam hati kalau mengingat kelakuan Mas Wahyu satu tahun ini. Setan apa yang merasuki suamiku. Hingga kini dia begitu tega padaku dan Diana.

Melanjutkan kegiatan mencuci piringku,meletakkan piring ke dalam rak. Lalu memasak nasi goreng untukku dan Diana. Sengaja, toh selama tiga hari ini dia tak pernah menyentuh masakanku. Percuma masak banyak jika akhirnya akan terbuang begitu saja.

Aroma tumisan bawang menyeruak memenuhi sudut ruangan. Membuat cacing di perut meronta-ronta meminta jatahnya.

Memindahkan nasi goreng ke piring.Nasi goreng tidak pedas kesukaan Diana. Meletakkannya ke atas meja, lalu segera memanggil putri kecilku untuk sarapan bersama.

Makan bersama Diana dalam satu piring yang sama. Rasanya nikmat luar biasa meski hanya masakan sederhana. Putri kecilku memakan nasi goreng dengan lahapnya. Aku sangat bersyukur Allah mengirimkan anak yang tak pernah menuntut pada orang tuanya. Harusnya Mas Wahyu senang dan menyayanginya dengan tulus bukan justru tak perduli padanya.

Suara langkah kaki semakin mendekat ke arahku. Ada rasa takut jika Mas Wahyu akan marah karena tak ada makanan di meja makan.

Dengan wajah setengah sadar Mas Wahyu duduk di hadapanku.Menatapku dengan tatapan penuh tanda tanya. Mungkin penasaran, kenapa tak ada piring berisi nasi goreng untuknya.

"Mau dibuatkan teh atau kopi Mas?" tawarku.

"Teh saja," ucapnya singkat dan padat.

Melangkah menuju dapur untuk membuatkan teh hangat manis permintaan Mas Wahyu. Kumasukkan teh celup dan dua sendok teh gula pasir ke dalam cangkir lalu menyiramnya dengan air panas. Mengaduknya hingga tercampur rata.

"Ini Mas," kuletakkan secangkir teh di atas meja. Tepat di hadapan Mas Wahyu.

Dengan perlahan Mas Wahyu menyeruput tehnya. Rasa hangat masuk ke dalam tenggorokan hingga ke perut. Sedikit demi sedikit membuat matanya melebar, menghilangkan kantuk karena baru bangun dari tidur. Ya, dia baru membuka mata padahal jarum jam sudah menunjukkan angka delapan.

Dan entah subuh yang ke berapa kali dia lewatkan. Bahkan sekarang aku jarang melihat Mas Wahyu melaksanakan kewajiban menyembah Illahi Robbi.

Ya Allah, sadarkanlah suamiku. Kembalikan dia menjadi Mas Wahyu yang dulu, seperti saat awal menikah.

"Nasi goreng buat Mas mana, Lan?" tanyanya sambil menatap tajam ke arahku.

Ku telan saliva dengan susah patah. Mengatur kata agar tak terjadi keributan untuk kesekian kalinya. Lelah raga dan jiwa jika setiap hari harus ada drama semacam ini.

"Habis Mas, maaf ya soalnya nasi sisa semalam hanya ada segitu. Dan beberapa hari ini sepertinya Mas bosan dengan masakan aku, jadi makan di luar kan," ucapku lalu memasukkan nasi goreng ke dalam mulut.

"Kamu ... istri macam apa sih? Memperlakukan suami seperti itu?" matanya semakin tajam menatapku dengan tangan kanan mengepal di atas meja.

Ku telan paksa nasi goreng yang ada di mulut. Dan segera meneguk air putih agar makananku semakin cepat masuk ke dalam lambung.

"Adek makannya sudah kan? minum dulu ya!" kuberikan segelas air putih lalu Diana meminumnya hingga tandas tak tersisa.

"Adek main di kamar dulu ya, nanti ibu menyusul, " ku elus rambut putri kecilku yang tergerai.

Diana mengangguk, lalu berjalan menuju kamar. Aku hanya ingin melindungi Diana. Karena jika Mas Wahyu marah sangat mengerikan. Pernah suatu saat di mencubit paha putri kecilku hanya karena kesakitan saat menginjak mainan Diana yang tersebar memenuhi ruang keluarga.

"Tolong, jangan buat keributan di pagi hari Mas.Apa kamu memang tidak malu kena hujatan para tetangga karena kita sering bertengkar, " ku letakkan piring kotor ke dalam wastafel. Tak ku perdulikan wajahnya suamiku yang memerah menahan amarah.

"Kamu ... beraninya!" dada Mas Wahyuaaa naik turun. Dan aku tahu ini berbahaya untukku. Akhir-akhir ini Mas Wahyu suka hilang akal jika sedang marah. Apa mungkin di dalam tubuhnya sudah dipenuhi jin.

"Apa? Bukankah memang benar apa yang aku ucapkan tadi. Kamu tak mau makan masakan aku? Tiga hari ini kamu makan di luar terus bukan?" ucapku lantang. Entah keberanian dari mana hingga aku mengucapkan kata-kata itu.

Mungkin karena lelah diperlakukan semena-mena hingga membuatku berani mengambil resiko tinggi dengan menjawab setiap perkataan suamiku.

Ya Allah, aku tahu ini salah. Namun emosi telah merasuk hingga membuatku tidak bisa berfikir jernih. Aku ingin suamiku sadar, jika perbuatannya salah.

"Kamu pikir aku mau makan masakan kamu yang hanya tempe dengan sambal. Sebenarnya kamu bisa masak atau tidak? Mana ada suami yang mau makan kalau lauknya hanya tempe saja!"

Astagfirullah

Ku elus dadaku yang terasa sesak. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu setelah dia memberiku nafkah sedikit. Memangnya dia pikir ayam dan daging bisa turun dari langit tanpa mengeluarkan uang.

"Apa kamu pikir masak ayam tidak pakai uang. Jangan suka protes lauknya tempe jika kamu hanya mampu memberiku jatah bulanan lima ratus ribu. Hari gini uang segitu dapat apa Mas?"

Mas Wahyu hanya diam membisu, namun kilau kemarahan nampak jelas di wajahnya. Buat apa marah, jika yang ku katakan semuanya adalah kenyataan. Harusnya dia sadar bukan semakin banyak tingkah.

PLAAK

Rasa panas dan nyeri menjalar di pipi. Tak menyangka suamiku tega menamparku lagi. Rasa nyeri tamparan yang dulu saja baru saja sembuh dan kini dia kembali membuat luka di tempat yang sama.

"Dasar istri tidak tahu diuntung. Berani kamu mengatakan itu padaku? Aku ini suami kamu, dan surga kamu ada di telapak kakiku. Harusnya kamu menghormatiku bukan justru melawan! Kamu tidak mau kan, kalau nanti masuk neraka!"teriaknya memenuhi sudut ruangan.

"Seorang suami bisa saja masuk masuk neraka karena berbuat dzolim pada istri dan anaknya.Apa kamu tidak tahu itu Mas?"

"Berani ya kamu menjawab!"tangan Mas Wahyu diangkat ke udara.

Aku ingin menghindar namun percuma, kini tubuhku terpojok menempel di dinding. Hanya bisa pasrah menerima serangan dari suamiku. Mau melawan juga tak mungkin, tenagaku kalau telak dengan Mas Wahyu.

" Wahyu ...!" suara lelaki yang sangat ku kenal. Mas Wahyu menghentikan tangannya yang hendak menamparku. Tak mungkin Mas Wahyu berani menyakitiku di hadapannya.

Alhamdulillah.

Aku bernafas lega, karena Allah memberiku pertolongan sehingga aku tak merasakan nyeri tamparan Mas Wahyu lagi.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Lestary Nury
eee maaf thor.. bisa gk buat cerita jangan begitu... itu istri bodoh apa gmn??
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status