Share

Jatah Bulanan Berkurang

"Besok kalau kamu libur, kita ke rumah ibu ya Mas." pancing ku.Aku ingin melihat bagaimana ekspresinya.

Uhuuk... Uhuuk.

Mas Wahyu terbantuk hingga kopi yang ada di dalam mulut di keluarkannya.

"Kamu kenapa Mas?" tanyaku pura-pura.

"Tidak apa-apa Lan,hanya kopinya terlalu panas." jawabnya gugup. Wajahnya terlihat pucat pasi.

Aku tahu kamu sedang berbohong Mas, kopinya tidak terlalu panas. Mungkin kamu kaget karena aku mengajakmu ke rumah ibu. Kamu takut, jika kebohonganmu terbongkar kan?

"Pelan-pelan dong Mas, seperti mau ditagih hutang saja." Mas Wahyu terlihat semakin gugup.

"Apa sih kamu! Aku sudah tidak punya hutang.Hutang Mang Juki sudah dibayar kan."ketusnya.

"Aku gak bilang Mas Wahyu punya hutang lho, aku cuman bilang Mas seperti ditagih hutang.Bukan punya hutang."kilahku.

Sebenarnya hanya ingin mengetes Mas Wahyu. Dan aku rasa dia sedang menyembunyikan sesuatu padaku. Perlahan akan ku cari tahu apa yang kamu sembunyikan padaku.

"Terserah kamu saja Lan, capek ngomong sama kamu!"

Sabar Mas, baru disindir sedikit sudah sewot saja.

"Jadi hari sabtu jadi ya ke rumah ibu?" tanyaku memastikan.

Mas Wahyu menghentikan minum kopinya. Menatap tajam ke arahku.

"Apa kamu tidak lihat keadaan seperti apa? Virus corona di mana-mana, apa kamu ingin kita ke sana dan membawa virus untuk ibu. Ibu sudah tua, sakit-sakitan. Beliau sangat mudah terkena virus. Harusnya kamu paham itu. Mas tidak mau ke sana bukan tanpa alasan melainkan demi kesehatan ibu juga."terang Mas Wahyu panjang lebar. Sebenarnya memang benar apa yang diucapkan suamiku. Tapi aku percaya ada udang di balik batu.

"Ya sudah terserah kamu sajalah Mas. Aku usul juga percuma."

"Nah gitu...!" binar kelegaan tergambar dari wajahnya.

"Ini sudah tanggalnya gajian kan Mas? Beras di rumah sudah habis." ucapku

Seketika wajah yang baru berbinar sirna sudah. Dan lagi wajah tegang tergambar di wajahnya. Kalau menyangkut soal uang selalu saja wajahnya seperti itu. Bahkan aku harus minta jatah bulanan kalau tidak, pasti Mas Wahyu tak akan memberikannya.

Dengan berat hati Mas Wahyu mengeluarkan dompet, mengambil lima lembar uang seratus ribuan dan diberikan kepadaku.

Menautkan dua alis, bingung kenapa Mas Wahyu hanya memberi lima ratus ribu saja. Atau mungkin ini untuk satu minggu atau dua minggu.

"Itu uang untuk satu bulan!"ucapnya datar.

Ya Allah delapan ratus ribu saja kurang, dan ini hanya lima ratus ribu. Uang segini bisa untuk apa? Untuk pajak listrik dan beli beras juga sudah habis. Belum jajan dan lauknya.

Mengelus dada, beristighfar dalam hati. Mencoba tenang agar tak timbul pertengkaran.

"Lima ratus ribu mana cukup Mas? Untuk pajak dan beli beras juga sudah habis." protesku.

"Ya, pintar-pintar kamu mengaturnya. Uang segini pasti cukup jika kamu hemat." ucapnya enteng tanpa beban.

"Gaji kamu lima juta, yang empat juta lima ratus untuk apa?" nada suaraku naik dua oktaf.

Maaf Ya Allah, aku sudah tidak sabar lagi. Semakin sabar bukan Mas Wahyu sadar tapi justru makin tak punya perasaan. Aku ini tulang rusuk bukan tulang punggung.

"Mas, sudah bilang ibu sakit jadi uang untuk pengobatan ibulah. Masih kurang jelas penjelasanku?" teriaknya tak mau kalah.

Mencebikkan bibir.

"Jangan bohong kamu Mas! Aku sudah tahu ibu tidak sakit apalagi sampai masuk rumah sakit. Bahkan kamu bilang pada Rika jika Diana sakit. Kamu tega mendoakan putri kita sakit. Omongan orang tua itu doa untuk anaknya Mas. Aku tahu ini kamu lakukan supaya kamu tidak mengirim jatah uang untuk ibu kan?Lalu uang itu kamu ke manakan?" ku keluarkan semua uneg-uneg di hati. Lelah rasanya hanya diam dan pasrah. Lama-lama aku tak akan di nafkahi lagi.

Mas Wahyu diam membisu. Wajahnya pucat pasi. Sesekali menatapku lalu menunduk lagi. Pasti dia bingung harus mencari alasan apa lagi.

"Kenapa diam? Semuanya benar kan? Atau jangan-jangan kamu punya selingkuhan ya Mas? Uang itu kamu berikan untuk wanita lain kan? Hingga kamu tega berbuat dzolim pada keluargamu sendiri!" cecarku.

PLAAK

Satu tamparan mendarat di pipi kiriku. Nyeri dan panas menjalar di pipi. Namun lebih nyeri di sanubari. Sakit diperlakukan seperti ini oleh lelaki yang harusnya melindungi dan menyayangi diriku

"Tutup mulut kamu, jangan berani berkata kasar dengan suami. Surga kamu ada di telapak kakiku. Harusnya kamu bersyukur. Masih banyak orang yang nasibnya tidak seberuntung kamu!Terima apa sudah aku kasih. Jangan pernah menuntut lebih!"Mas Wahyu berlalu meninggalkanmu dengan belati yang menancap sanubari.

Bulir bening mengalir tanpa bisa lagi kubendung. Sakit, aku terlalu sakit dengan perlakuannya padaku. Bukannya aku tidak bersyukur Ya Allah. Aku hanya merasa lelah diperlakukan seperti ini. Sampai kapan aku sanggup bertahan?

Aku melangkah gontai masuk ke dalam kamar Diana. Karena hanya melihat wajah putri kecilku,laraku sedikit berkurang.

****

Semua pekerjaan pagi telah selesai, sarapan telah tertata rapi di atas meja. Diana juga telah mandi dan kini asyik duduk manis menonton acara televisi kesukaannya.

Melanjutkan jahit menjahit yang kemarin belum selesai karena nanti sore akan di ambil pelanggan.

"Wulan...!" teriak Mas Wahyu terdengar jelas di ruang jahit, padahal ruang jahit berada di depan, dekat dengan ruang tamu.

Menghembuskan nafas perlahan mengatur emosi yang mulai memenuhi dada. Diam, tak ku perdulikan teriakan Mas Wahyu yang menggelegar memenuhi penjuru rumah, bahkan sampai terdengar tetangga. Aku tak perduli!

Suara langkah kaki mulai terdengar jelas di telinga. Menyibukkan diri dengan pakaian yang baru setengah jadi.

"Wulan!" kututup telinga agar gendang telinga tak pecah kalau mendengar ocehan Mas Wahyu.

"Kalau dipanggil itu jawab, jangan hanya diam seperti patung!"

Sabar, sabar Wulan ini masih pagi jangan mudah terpancing emosi. Biar Mas Wahyu capek sendiri. Batinku menenangkan hati.

"Wulan!"

"Hemmtt, ada apa Mas?" tanyaku datar.

"Baru kemarin aku memberi kamu uang, kenapa kamu tak memasak lauk? Apa kamu pikir aku bisa makan dengan hanya lauk tempe dan sambal!"

Kulirik Mas Wahyu, dadanya naik turun.Aku tahu dia sangat marah kali ini. Dan aku tak perduli. Rasa hormat dan perduliku telah mati.

"Sudah ada tempe dan sambal bawang, apa itu namanya bukan lauk Mas?" ucapku sambil tetap fokus menatap mesin jahit.

"Kamu!" Mas Wahyu mengepalkan tangan di samping tubuhnya.

"Kamu pikir uang lima ratus ribu cukup untuk membeli ayam atau daging Mas?"

Mas Wahyu diam tanpa mampu menjawab. Keluar dari rumah sambil membanting pintu. Tak lama terdengar suara kendaraan Mas Wahyu meninggalkan halaman rumah.

Kuletakkan alat tempurku di atas meja. Berjalan perlahan menuju ruang makan. Ya, memang hanya ada tempe dan sambal bawang di atas meja. Karena mulai sekarang di atas meja hanya akan ada lauk sederhana. Karena hanya uang sedikit yang diberikan padaku. Ini caraku membalasmu Mas! Uangku tak akan keluar hanya untuk memenuhi isi perutmu. Aku tulang rusukmu yang harusnya kamu nafkahi dengan layak bukan sebaliknya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status